Pagi yang cerah datang, dan meskipun Zara merasa lebih tenang setelah percakapan semalam dengan Dylan, ada sedikit kecemasan yang tetap menghantuinya. Ada hal yang belum sepenuhnya jelas, dan Zara tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Dylan. Pekerjaan hari itu berjalan biasa, tapi pikirannya masih terjebak pada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Zara duduk di mejanya, memandangi layar komputer, tapi otaknya tidak benar-benar fokus. Setiap kali dia mencoba untuk menyelesaikan tugas, gambar Dylan dan percakapan mereka terus muncul di pikirannya. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengabaikannya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdegup kencang. Itu Dylan lagi.
Dengan sedikit keraguan, Zara mengangkat teleponnya. "Halo?"
"Zara, ini aku," suara Dylan terdengar sedikit lebih tegas dari sebelumnya. "Gue minta maaf kalau gue nggak bisa menjelaskan semuanya kemarin. Ada sesuatu yang harus gue jujurkan ke lo."
Zara merasa sedikit cemas, tapi mencoba untuk tetap tenang. "Apa yang terjadi, Dylan?"
"Begini," Dylan memulai, seolah-olah ada beban yang berat di dadanya. "Gue punya masalah keluarga yang cukup besar. Ini bukan tentang lo atau hubungan kita, Zara. Cuma aja, masalah ini bikin gue harus jauh dulu buat beberapa waktu. Gue nggak bisa jelasin lebih rinci sekarang, tapi gue pengen lo tahu gue serius sama lo."
Zara menelan ludah, merasa campur aduk. "Jadi, ini kenapa lo tiba-tiba jauh? Lo... nggak mau lagi ketemu gue?"
"Enggak," jawab Dylan cepat. "Gue masih pengen ketemu lo. Gue nggak mau ninggalin lo, Zara. Cuma... ini lebih dari sekadar urusan pribadi. Gue harus atur semuanya dulu."
Zara merasakan sedikit beban yang terangkat setelah mendengar penjelasan itu, meskipun hatinya masih diliputi rasa khawatir. "Gue ngerti kok, Dylan. Kalo lo perlu waktu, gue bakal sabar. Gue nggak mau bikin lo tertekan."
"Lo tahu, Zara, gue beruntung banget punya lo di hidup gue. Gue janji bakal balik secepatnya dan ngurus semuanya. Kita bakal ketemu lagi, dan gue bakal bener-bener serius untuk hubungan kita," jawab Dylan, suara penuh keyakinan.
Zara tersenyum sedikit, meski hatinya masih dipenuhi rasa bingung. "Gue harap itu terjadi, Dylan."
Setelah percakapan itu, Zara merasa sedikit lebih lega, meski tetap ada ketidakpastian yang menghantuinya. Masalah keluarga Dylan—meskipun tampak serius—terasa agak jauh dari apa yang dia harapkan. Namun, dia tahu bahwa hubungan ini tidak bisa langsung mulus begitu saja. Kadang-kadang, hal-hal terjadi di luar kendali mereka.
Namun, Zara merasa lebih yakin untuk memberi Dylan ruang. Mungkin, waktu yang mereka butuhkan ini akan menjadi momen untuk mereka lebih memahami satu sama lain. Karena meskipun ada ketidakpastian, satu hal yang jelas—Zara tidak ingin menyerah pada perasaan yang sudah berkembang begitu dalam.
---
Hari-hari berikutnya berjalan dengan tenang, meskipun rasa cemas masih mengendap di dalam hati Zara. Dylan tidak menghubunginya lagi, dan meskipun dia tahu bahwa ada alasan di balik itu, Zara tetap merasa sedikit terabaikan. Teman-temannya, yang biasanya menjadi tempatnya curhat, mulai menyadari perubahan sikapnya.
"Mungkin lo harus bicara sama dia lagi, Zara," ujar Mia, sahabatnya, saat mereka sedang makan siang bersama. "Kayaknya lo agak cemas deh sama keadaan ini."
Zara menggelengkan kepala, sedikit bingung. "Aku nggak tahu, Mia. Gue pengen ngertiin dia, tapi rasanya kayak hubungan ini belum cukup kuat buat ngadepin masalah sebesar itu."
"Kadang kita harus memberi sedikit ruang untuk seseorang, Zara," kata Mia sambil tersenyum, "tapi jangan sampai lo malah nungguin di tempat yang salah. Kalo lo pengen jelas, lo harus minta penjelasan."
Zara merasa perkataan Mia cukup masuk akal. Memang, tidak ada salahnya untuk mencari kejelasan. Tapi entah kenapa, dia takut terlalu memaksa dan malah merusak hubungan yang sedang mereka bangun.
Sore harinya, Zara memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat apartemennya. Pemandangan senja yang indah sedikit mengalihkan pikirannya dari masalah ini. Dia menghela napas panjang, merasakan angin sore yang menyejukkan wajahnya.
Namun, seiring langkahnya, ponselnya berdering lagi. Itu adalah pesan dari Dylan.
Dylan: "Zara, gue tahu lo pasti ngerasa bingung. Gue minta maaf banget atas semua yang terjadi. Gue cuma butuh waktu buat ngeresolusiin semuanya. Tapi gue janji, gue nggak akan pergi dari hidup lo. Kita masih punya banyak waktu, dan gue nggak mau bikin lo merasa sendirian."
Zara membaca pesan itu dengan hati-hati. Ada rasa lega, tapi juga masih ada rasa khawatir yang mengendap. Dia tahu, Dylan sedang berjuang dengan masalahnya sendiri, tetapi dia juga ingin merasa diperhatikan dan dihargai.
Zara: "Gue ngerti, Dylan. Gue sabar kok. Tapi jangan lupa kita juga harus ngobrol lebih lanjut kalo udah waktunya. Gue nggak mau ada yang disembunyikan."
Tidak lama kemudian, pesan itu dibalas.
Dylan: "Lo selalu benar, Zara. Gue akan pastiin kita ngomong lebih banyak nanti. Terima kasih udah sabar."
Zara tersenyum kecil membaca pesan itu. Mungkin ini adalah langkah pertama menuju pemahaman yang lebih dalam antara mereka. Dan meskipun ketidakpastian masih ada, Zara tahu satu hal—dia siap untuk melangkah bersama Dylan, apapun yang akan datang.