[PoV: Revas Clein]
Angin malam yang sejuk menerjang deras ke arahku yang berada di atap gedung 20 lantai.
Aku berdiri di tepi lantai.
Mataku menatap ke depan, dimana seorang wanita tengah berdiri.
Seorang wanita berambut emas dengan mata kuning keemasan, memakai sebuah mantel warna putih, dia memakai kaos putih sebagai kaos dalamnya dan terdapat lambang pohon berwarna emas di bagian dada kanan mantelnya, dan di pinggangnya terdapat pistol yang di taruh tepat di holster.
Kehadirannya memberikan perasaan yang mengancam dan aura di sekitarnya memberikan kesan bahwa dia sangat kuat.
Wanita itu menatap diriku.
Wanita itu berbicara dengan nada bicara yang lembut. "Terimakasih untuk segalanya, kau adalah pria yang baik."
Aku membalas dengan nada bicara yang lembut juga. "Aku juga berterimakasih kepadamu, kau adalah wanita yang sangat baik." Aku melanjutkan ucapanku. "Aku sangat beruntung memiliki istri sepertimu."
Senyuman kecil muncul di bibirnya, tapi kemudian berganti dengan raut wajah yang sedih dan tatapan penuh perhatian. "Maafkan aku, aku terpaksa harus melakukan ini."
Wanita itu menggerakkan tangannya, dia mengambil pistol yang ada di holster, mengangkatnya dan mengarahkannya kepadaku.
Wanita itu menarik pelatuknya hingga tiga kali.
Bang! Bang! Bang
Tiga peluru itu mengenai tepat di bagian dadaku.
Sekilas tubuhku merasakan rasa sakit yang hebat.
Tubuhku bergerak sempoyongan, merasa tak kuat, aku menjatuhkan tubuhku ke belakang, dan membuat tubuhku terjatuh dari ketinggian 20 lantai.
'Jadi beginilah akhirnya'
'Natasha ... aku titip anak-anak kepadamu'
'Jagalah mereka'
Bruk!!
Tubuhku mengalami benturan keras dengan lantai paling bawah, membuat seluruh tubuh dan tulang-tulangku remuk, dan darah mengalir perlahan dari seluruh tubuhku.
•••
[PoV: Serry Wayn]
Malam yang begitu tenang dan angin yang kencang membuat rambut hitamku yang panjang terurai.
Aku menundukkan kepalaku, dimana dari ketinggian 3 lantai, aku melihat lantai dasar yang jauh di bawah sana.
Aku saat ini sedang berdiri di tepi atap sekolah, alasan kenapa aku masih di sini karena aku di kunci di ruang peralatan olahraga, ini di lakukan oleh para bajingan yang merundung diriku, dan aku disini untuk menenangkan diriku dari perasaan sedih dan putus asa sebelum aku pulang kerumah.
Tatapanku teralihkan ke pakaian sekolahku.
Pakaian putih dan rok hitamku kotor akibat para bajingan itu.
Tetapi tidak lama kemudian aku merasakan denyut di kepalaku.
Aku mencoba menyentuhnya.
'Aw! Sial ...'
'Eh? Darah?'
Aku melihat tanganku, mataku terbelalak saat melihat telapak tanganku yang di penuhi darah.
Pandanganku buram, perlahan air mata keluar dari mataku, dan perasaan putus asa muncul di benakku.
"Hiks! ... Hiks ... Hiks"
Air mataku berlinang cepat di pipi, aku mengangkat tanganku, dan mengusapnya menggunakan tanganku.
'Kenapa harus aku? Apa salahku?'
'Sejak kapan ini semua bermula?'
'Apa karena aku miskin?'
'Apa karena aku tak memiliki orang tua?'
Selesai mengusap air mata, tubuhku perlahan merasa sangat lelah.
'Bibi ... Paman .... maaf, Serra tidak bisa lulus sekolah menengah atas dan tidak bisa memasuki universitas terbaik.'
'Tapi Serra senang memiliki kalian sebagai pengganti orang tuaku, dan maaf jika Serra punya salah ... Serra menyayangi kalian.'
Dengan perasaan sedih, putus asa dan kebencian, aku mengayunkan tubuhku ke depan.
Tubuhku terjatuh dari atap.
Brukk!
Tubuhku mendarat di tanah dengan sangat keras, tulang rusukku remuk, kepalaku mengalami kebocoran, dan perlahan darah mengalir keluar dari kepala dan badanku.
•••
[PoV: William Joe]
"Ini kembaliannya pak."
Aku mengangkat tanganku, mengulurkannya ke depan, dan mengambil kembalian dari uang yang ku belanjakan itu.
'Pak? Memangnya aku setua itu?'
"Terimakasih sudah berbelanja di sini." Wanita itu tersenyum dan membungkuk.
Aku kemudian berjalan menujut pintu kaca.
Aku mengangkat tanganku, mengulurkan tanganku dan mengenggam ganggang pintu tersebut.
Aku mendorong pintu itu sampai terbuka lebar dan kemudian berjalan keluar.
Aku berhenti berjalan, berdiri di depan pintu kaca minimarket.
Aku membuka plastik belanjaanku.
"Makan malam hari ini mie instan lagi ..."
Ini sudah kesekian kalinya aku memakan mie instan untuk makan malam.
Selama ini aku sudah berusaha mencari pekerjaan di kota ini, dan hasilnya aku selalu di tolak.
Tapi aku selalu di transfer sedikit uang oleh kakakku untuk kebutuhanku, selama aku belum mendapat pekerjaan, kakakku akan selalu mengirimku sedikit uang setiap bulannya.
'Sampai kapan aku harus hidup seperti ini?'
'Ah ... aku sangat ingin makan steak atau tidak ayam goreng.'
Aku menggelengkan kepalaku, mencoba menghilangkan pemikiran itu.
"Baiklah! Besok, aku akan mencoba menceri pekerjaan lagi!"
Aku kembali berjalan, aku menatap ke sebuah lampu lalu lintas yang sedang berwarna hijau.
Aku meneruskan berjalan hingga Zebra Cross.
Tepat saat di tengah jalan, sebuah lampu menyinari diriku, seketika sebuah truk menabrak tubuhku dengan kecepatan yang kencang.
Tubuhku terpental, tubuhku terbaring di tengah jalan, darah mengucur deras di kepala dan badanku.
Rasa sakit yang ekstrim menjalar ke seluruh tubuhku.
Penglihatanku menjadi buram, napasku menjadi rendah dan tidak beraturan.
'Ah ... apakah ini akhirnya?'
'Maafkan aku kakak ... aku mengecewakanmu.'
'Ah ... entah kenapa aku rindu ayah dan ibu, bagaimana kabar mereka ya? mereka pasti memperhatikan kami dari surga'
Kelopak mataku perlahan menutup, detak jantungku berhenti, dan aku menghembuskan napas terakhirku.
...