[PoV: William Disca]
"Uhh..." Mataku terbuka perlahan, menatap langit-langit atap yang gelap dan suram. Aku menggerakkan kepala ke samping, melihat meja kayu tua yang dipenuhi oleh tumpukan buku dan lilin yang nyaris habis terbakar. Cahaya lilin itu berkedip-kedip, menari-nari di dinding yang retak, seolah-olah ingin memberitahu sesuatu.
Aku menghela nafas panjang, lalu menggerakkan tubuhku yang masih terasa berat. Kedua telapak tanganku menopang di kasur yang keras, mendorong tubuhku untuk bangkit. "Sepuluh tahun sudah berlalu sejak aku lahir di dunia ini," gumamku pelan, suaraku hampir tak terdengar di ruangan yang sunyi.
Aku melirik ke sekitarku, terdapat dinding beton yang di cat berwarna krim yang sudah kusam dengan retakan kecil di sekitarnya, dan jendela yang tertutup tirai. Lalu lantai yang terbuat dari kayu ek yang dipenuhi oleh debu, dan juga terdapat meja dan lemari yang terlihat tua di sudut ruangan. Ini adalah kamarku.
Saat ini, aku dan keluargaku di kehidupan yang sekarang tinggal di mansion tua ini untuk waktu yang lama. Mansion tua ini berada di tengah hutan, tepatnya ditengah hutan belantara yang di selimuti oleh kegelapan.
Bahkan aku sempat bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Darimana ibu mendapatkan energi listrik? Walaupun hanya energi yang kecil, tapi itu cukup untuk menerangi sedikit beberapa ruangan di mansion ini dengan caharanya yang agak redup
Aku menghela nafas. "Lupakan hal tadi" aku berpikir. 'Dunia ini sangat aneh,sepertinya terdapat suatu peristiwa yang menjadi sebab dari ini semua.'
Tiba-tiba, suara ketukan pintu yang keras memecah kesunyian. "Kakak! Kakak!! Oi!! Bangun!!" Teriak seorang perempuan dengan nada kesal yang tak terbendung.
"Iya! Iya!! Tunggu sebentar!" Aku berteriak balas, sambil menggosok-gosok mata yang masih berat. Aku turun dari kasur, berjalan menuju pintu kayu yang sudah usang. Genggaman tanganku pada gagang pintu terasa dingin, dan dengan dorongan yang kuat, pintu itu terbuka.
Di depan pintu, berdiri seorang anak perempuan. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat terurai hingga pinggangnya, dan mata hijaunya yang bersinar seperti menatapku dengan kesal.
Dia memakai pakaian berwarna biru dengan campuran warna putih, dan celana panjangnya yang berwarna putih bersih.
Dia adalah Serry Disca, saudari kembarku yang lahir hanya beberapa menit setelahku, kami berumur sepuluh tahun.
Kami berdua memiliki warna rambut dan mata yang sama, itu mungkin karena secara genetik, genetik ibu kami lebih unggul di diri kami, kecuali adik bungsu kami. Karena adik bungsu kami memiliki genetik ayah kami yang lebih unggul di dalam dirinya daripada genetik ibu kami.
"Akhirnya si pemalas ini bangun," ucap Serry dengan nada sarkastik, sambil melipat tangannya di dada. "Aku sudah menunggu lama, tahu!"
Aku mengerutkan kening, lalu tanpa berpikir panjang, tanganku melayang dan memukul kepala Serry dengan cukup keras. "Aw! Apa yang kau lakukan?!" Serry meringis, memegangi kepalanya yang baru saja kena pukul.
Senyum mengejek muncul di bibirku. "Berani sekali kau menghina kakakmu yang hebat ini."
Serry memandangku dengan tatapan tajam, lalu dengan cepat membalas, "Hebat? Jangan banyak berkhayal, dasar jelek!"
"Jelek?! Siapa yang kau panggil jelek, dasar kutu buku!" Aku membalas, dengan mengejek hobi Serry yang suka membaca buku.
"Grrr!" Serry tidak bisa menahan amarahnya. Dia menatap tajam diriku, lalu mengejek diriku dengan nada yang keras. "Jelek!"
"Kutu buku!"
"Jelek!!"
"Dasar kutu buku!"
"Masih mending, daripada kau jelek!."
Kami berdua saling melontarkan ejekan, suara kami memenuhi lorong yang sunyi. Namun, pertengkaran kami tiba-tiba terhenti ketika sosok yang memiliki tinggi yang hampir menyamaiku muncul di antara kami secara tiba-tiba.
Seorang anak laki-laki berkulit pucat, dan berambut hitam pendek yang acak-acakan, dengan mata merah menyala seperti permata ruby. Berdiri di tengah-tengah kami, dia memakai kemeja hitam dan celana hitam panjang. Namanya adalah Revas Disca, adik bungsu kami yang berumur 9 tahun.
"Kyaa!!" Serry berteriak kaget, sementara aku hanya bisa menahan nafas, mencoba menenangkan diri. "Revas... kau membuat kami terkejut," ucapku dengan suara yang lebih tenang.
Revas menatap kami dengan tatapan kosong, perlahan menggerakkan tangannya. Dia memegang tangan kami satu per satu, lalu menyatukannya, seolah memaksa kami untuk berdamai.
Aku menghela nafas, mencoba menenangkan diri. "Baiklah, Serry, aku minta maaf," ucapku dengan suara lembut.
"Kakak, aku juga minta maaf," balas Serry hampir bersamaan. Kami saling memandang, lalu tertawa kecil. Pertengkaran kami seketika mereda.
Tapi tatapan kami beralih ke Revas, yang masih berdiri di antara kami dengan ekspresi datar. Revas memang berbeda dari kami. Sejak lahir, dia mengalami gangguan pada mental dan sistem saraf otaknya, membuatnya tidak bisa mengekspresikan emosinya dan beberapa panca indera miliknya sudah tidak berfungsi, seperti indera pendengar, indera peraba, indera pencium, dan indera pengecap. Hanya menyisakan indera penglihat yang masih berfungsi, walaupun mungkin samar-samar.
"Revas, terima kasih sudah mengingatkan kami," ucapku sambil mengusap kepalanya dengan lembut. Serry juga tersenyum, lalu memeluk Revas dengan hangat.
"Baiklah, mari kita sarapan," ujar Serry sambil melepaskan pelukannya. "Ibu sudah menyiapkan makanan di dapur. Kau pasti lapar, kan?"
Aku mengangguk, merasa perutku sudah keroncongan sejak tadi. "Iya, ayo kita makan."
.
.
.
Kami berjalan di lorong yang gelap beserta dinding beton yang kusam, terdapat beberapa retakan kecil. Serta lantainya yang terbuat dari kayu ek, dan lorong ini hanya diterangi oleh cahaya kecil dari lampu-lampu yang menggantung di atap.
Revas berjalan di depan, sementara aku dan Serry mengikutinya dari belakang.
Aku melirik ke arah Serry, dan dia langsung membalas dengan gestur kasih sayangnya yang khas: mengacungkan jari tengahnya kepada diriku
Aku hanya bisa menahan amarah di kepalaku, terlihat urat di pelipis kepalaku. 'Anak ini benar-benar!' pikirku. Meskipun kami sudah saling meminta maaf, pertengkaran kecil seperti ini selalu terjadi. Tapi, inilah cara kami menjaga ikatan kami sebagai saudara.
Tapi ada satu hal yang membuat kami berbeda dari keluarga biasa. Aku dan Serry dulunya adalah manusia di Bumi, lalu terlahir kembali di dunia ini. Sebuah dunia yang penuh dengan misteri dan bahaya. Dan bahkan mau itu dikehidupan yang lalu atau sekarang, kami memiliki nama yang sama, kami tidak tahu apa itu hanya sebuah kebetulan atau tidak, tapi ibu kamilah yang menamai kami. Sungguh suatu hal membingungkan.
Aku kemudian menatap ke luar jendela, melihat hutan gelap yang tidak ada sedikitpun cahaya dan di selimuti oleh kegelapan. Dunia ini tidak memiliki bulan dan matahari, karena bulan dan matahari tidak ada di dunia ini. Kami tidak tahu dimana keduanya berada dan kemana perginya.
Dunia ini begitu asing bagiku. Mansion tua ini berada di tengah hutan belantara yang gelap gulita, tetapi apa alasan ibu masih tetap berada di sini, kenapa kita tidak pindah?
Untuk beberapa saat aku merasakan pusing di kepalaku karena memikirkan hal itu, aku menggelengkan kepalaku, mencoba agar dapat menghilangkan pemikiran tersebut dari pikiranku dan mulai kembali ke saat ini.
Pandangan mataku beralih ke arah Revas. Kemudian pertanyaan lain muncul di benakku.
Aku dan Serry adalah transmigrator, atau mungkin reinkarnator, seperti yang sering diceritakan dalam novel fantasi. Tapi Revas... apakah dia juga seperti kami? Ataukah dia benar-benar anak asli dari dunia ini?
'Hahh... aku teringat saat pertama kali tahu bahwa Serry juga berasal dari Bumi.'
.
.
.
[6 tahun yang lalu...]
Aku duduk di kamarku, dikelilingi oleh tumpukan buku dan cahaya lilin yang redup. Aku sedang membaca buku sejarah tentang pahlawan Sigurd, seorang pahlawan legendaris di dunia ini. Seorang pahlawan yang sangat di hormati di dunia ini, tetapi pahlawan legendaris itu menghilang tanpa kabar dan tidak pernah menampakkan dirinya lagi.
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka tanpa permisi. "Kak, apa yang sedang kau baca? Tumben sekali kau membaca buku," ucap Serry dengan nada penasaran.
Aku menahan kekesalan, lalu berbicara dengan nada lembut yang dipaksakan. "Serry, 'kan sudah kubilang, kalau mau masuk, pintunya diketuk dulu~"
"Ya maaf, lagipula pintunya tidak dikunci, yasudah aku langsung masuk saja."
Aku menghela nafas. "Hahh... seterah kau sajalah." Aku kembali fokus pada buku milikku, mencoba mengabaikan kehadirannya.
Tapi Serry tidak bisa diam. Dia mendekat dan melirik ke buku yang kubaca. "Kisah Pahlawan Sigurd?" Dia bertanya dengan penasaran. "Siapa dia?"
Aku menjawab dengan santai, tetap fokus membaca lembar demi lembar. "Dia adalah pahlawan legendaris di dunia ini, dan dia adalah manusia yang sangat kuat, saking kuatnya dia di juluki manusia setengah Dewa."
Mata Serry berbinar karena kagum, dan mulutnya terbuka lebar. "Sepertinya pahlawan itu terdengar kuat!" Serry bersuara dengan nada yang kecil. "Apakah dia sekuat pahlawan Hercules?"
Walaupun nada suaranya kecil, suara itu masih bisa kudengar lewat telingaku. Aku terdiam sejenak dan berpikir. 'Pahlawan Hercules... Hercules...' Tiba-tiba, mataku membulat. Aku menatap Serry dengan penuh penasaran. "Kamu... bagaimana kamu tahu?"
"Tahu apa?"
"Bagaimana kamu tahu tentang pahlawan Hercules?" Tanyaku.
Serry menatapku dengan bingung, lalu tidak lama kemudian dia akhirnya sadar, dan matanya juga membulat. "Tu-tunggu! Ja-jangan-jangan, kamu juga!?"
Malam itu, kami akhirnya saling mengungkapkan rahasia kami dengan perasaan bercampur aduk, rasa senang karena ada manusia selain aku yang terlahir di dunia ini, dan rasa khawatir tentang apa yang akan menunggu kami di masa depan yang akan mendatang.
.
.
.
...