[ Kembali ke masa kini ... ]
[PoV: William Disca]
Kami tiba di dapur, di mana aroma makanan hangat langsung menyambut kami, seolah-olah dunia luar yang penuh misteri dan kegelapan tak pernah ada. Suasana hangat dan nyaman itu sejenak membuat kami lupa akan segala pertanyaan yang menggelayuti pikiran.
Terdapat meja tua di tengah ruangan ini dan memiliki 4 kursi.
Di sudut ruangan, terlihat seorang wanita berambut cokelat panjang yang rambutnya diikat dan memiliki mata hijau yang berkilau seperti permata zamrud yang memancarkan ketenangan. Dia mengenakan kemeja putih sederhana, memakai celana hitam panjang, dan apron putih bermotif bunga mawar yang terikat rapi di pinggangnya. Dia adalah Sophia Disca, ibu kami yang penuh kasih sayang.
Wajahnya yang lembut terlihat sedikit lelah, namun senyumannya tetap hangat dan menenangkan. Dia menoleh ke arah kami, matanya berbinar penuh kehangatan.
"Sudah bangun, Nak? Ayo, sarapannya sudah siap," ucap Ibu dengan suara lembut yang seakan mengusir segala kegelisahan.
"Baik, Ibu," jawab Serry sambil duduk di kursi. Aku mengangguk dan mengikuti Serry, duduk di sebelahnya. Revas, dengan tatapan kosong namun penuh ketenangan, duduk di kursi di seberang diriku.
Meskipun dunia ini terasa asing, masakan Ibu selalu membawa kami kembali ke rumah, ke tempat di mana kami merasa aman. Namun, pikiran tentang masa lalu dan misteri dunia ini tak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya tertidur sementara, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali.
"Kakak," Serry berbisik, memecahkan keheningan. "Kamu masih memikirkan tentang itu, ya?"
Aku menatapnya, lalu menghela napas. "Iya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang bagaimana kita bisa ada di sini. Dan tentang Revas... apakah dia juga seperti kita?"
Serry mengerutkan kening, lalu menatap Revas yang sedang diam memandangi piringnya. "Aku tidak tahu, Kak. Tapi yang pasti, dia adalah saudara kita. Apapun yang terjadi, kita akan selalu melindunginya." Serry berbisik dengan nada yang lembut.
Aku tersenyum kecil, merasa lega mendengar kata-kata Serry. "Kau benar. Apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama." Bisikku.
Ibu yang sedang sibuk di dapur tiba-tiba berhenti dan menatap kami dengan tatapan penuh kasih sayang. Kami saling memandang, lalu tersenyum, sebuah senyuman hangat yang memberikan kenyamanan. Meskipun dunia ini penuh dengan misteri dan bahaya, kami tahu bahwa kami tidak sendirian. Kami memiliki keluarga, dan itu sudah cukup.
Ibu melepaskan apronnya, menggantungnya di sebuah gantungan, lalu dengan menggunakan sendok sup, dia menyajikan makanan di panci ke dalam mangkok putih bersih, dan menaruhnya di atas nampan.
Dengan hati-hati, Ibu berjalan ke arah meja, membawa nampan berisi mangkok sup ayam yang masih mengepul.
"Baiklah anak-anak, ini sup ayam kesukaan kalian," ucap Ibu dengan nada lembut dan senyuman hangat. Dia menaruh mangkok di depan kami satu per satu.
"Woahh! Sup ayam!" Mata Serry berbinar. "Makasih, Bu!"
Ibu membalas dengan senyuman, lalu ibu duduk di seberang kami tepat di sebelah revas, menghadap kami dengan tatapan penuh kasih.
"Silakan dimakan, anak-anak," ucap Ibu dengan lembut.
Merasa sangat lapar, aku dan Serry langsung memegang sendok dan mulai makan dengan lahap, seolah-olah kami belum makan selama sebulan penuh. Sementara itu, Revas makan dengan tenang, lambat, dan pasti, seolah-olah dia menikmati setiap suapannya dengan penuh kesadaran, walau dia tidak akan bisa merasakan kenikmatan dari makanan tersebut.
Ibu hanya terkekeh melihat kami, lalu dia mengambil sendok dengan tangan kanannya, menikmati sup ayam buatannya sendiri dengan penuh rasa syukur.
Makan malam di keluarga ini selalu dipenuhi dengan ketenangan dan kebahagiaan. Meskipun terkadang ada pertengkaran kecil, itu justru menjadi bagian dari kedekatan kami. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang tersembunyi di balik senyuman dan tawa kami.
Beberapa saat setelah makan...
Aku dan Serry saling bertatapan. Kami mengangguk, sepakat untuk menanyakan hal yang selama ini menjadi misteri besar bagi kami. Pertanyaan yang sudah kami simpan sejak dulu, pertanyaan yang akan menjawab rasa penasaran kami.
Serry menatap ibu, perlahan membuka mulutnya. Dia bertanya dengan rasa gugup, tetapi terdapat tekad di dalam hatinya. "Ibu..."
"Ya? Ada apa?"
"Kami ingin mengetahui rahasia di balik dunia ini, alasan kenapa dunia ini diselimuti oleh kegelapan. Bisakah ibu memberitahu kami alasan dibalik ini semua?" Tanya serry.
Ibu terdiam sejenak, wajahnya yang biasanya dipenuhi senyuman kini berubah menjadi serius. Dia menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat.
•••
[PoV: Sophia Disca]
Aku menatap Serry dan William, mencoba untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat. Pertanyaan mereka bukanlah sesuatu yang bisa kujawab dengan mudah. Tapi, aku tahu bahwa saatnya telah tiba. Mereka sudah cukup besar untuk mengetahui kebenaran, meskipun itu mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.
Mungkin... sedikit kebohongan tidaklah buruk untuk kuberikan kepada mereka.
Aku mulai berucap dangan suara yang lembut namun tegas. "Aku tahu kalian penasaran. Aku tahu kalian memiliki banyak pertanyaan. Dan sekarang, aku akan mencoba menjawabnya sebaik mungkin."
•••
[PoV: William Disca]
Kami menelan ludah yang terasa berat, rasa gugup dan kebingungan bercampur aduk di dalam diri kami. Kami memajukan tubuh, berusaha mendengarkan setiap kata yang akan Ibu ucapkan dengan seksama. Sementara itu, Revas tetap diam, matanya yang merah tetap kosong, dia tidak terpengaruh oleh ketegangan yang terjadi
Mata ibu yang hijau berkilau seperti permata zamrud itu menatap kami dengan penuh perhatian. Suasana di ruangan itu tiba-tiba terasa lebih berat, seolah-olah udara di sekitarnya ikut menegang. Aku bisa merasakan detak jantungku berdegup lebih kencang, dan dari sudut mataku, aku melihat Serry menggenggam erat tepi meja, menunggu kata-kata pertama yang akan keluar dari mulut Ibu.
"Anak-anak," Ibu mulai dengan suara yang tenang namun penuh makna, "dunia ini... tidak selalu seperti yang kalian lihat sekarang. Dulu, langit berwarna biru cerah, matahari bersinar terang, dan kehidupan berjalan dengan damai. Tapi semua itu berubah ketika 'Peristiwa Gelap' terjadi."
Aku dan Serry saling memandang, rasa penasaran semakin membara di dalam dada kami. "Peristiwa Gelap?" tanyaku, mencoba memahami apa yang Ibu maksud.
Ibu mengangguk perlahan, matanya menerawang seolah-olah dia sedang mengingat sesuatu yang sangat jauh. "Ya, Peristiwa Gelap. Itu adalah momen ketika segala sesuatu berubah. Langit yang cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita, matahari tidak lagi terlihat, dan bulan pergi entah kemana. Dunia ini perlahan-lahan kehilangan cahayanya, dan dunia di selimuti oleh kegelapan. Banyak orang yang hilang, banyak tempat yang hancur, dan kehidupan yang kita kenal dulu... lenyap."
"Tapi kenapa? Apa yang menyebabkan semua itu terjadi?" Serry bertanya dengan rasa penasaran yang tinggi.
Ibu menunduk, seolah-olah dia sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Tidak ada yang benar-benar tahu, Nak. Ada yang mengatakan itu karena keserakahan manusia, ada yang bilang itu karena kekuatan gelap yang bangkit dari dalam bumi. Tapi yang pasti, setelah Peristiwa Gelap itu, dunia ini dilanda kekacauan dan peperangan antar ras. Dunia ini tidak akan pernah sama lagi seperti dulu."
...