Mentari senja menghiasi langit dengan rona jingga yang hangat, menyelimuti taman di belakang istana yang luas. Bunga-bunga di sana terlihat bermekaran dengan warna yang cerah, mulai dari merah mawar hingga kuning melati, dan seolah-olah sedang ikut merayakan tawa riang dari ketiga anak raja yang bermain tanpa beban itu.
"Lestari, lempar bolanya lebih jauh! Aku bisa menangkapnya!" ujar Dika sambil berdiri di tengah rerumputan. Tubuhnya yang tegap untuk anak seusianya memancarkan rasa percaya diri, membuat kedua adiknya selalu merasa aman jika bersamanya.
"Aku tidak bisa terlalu jauh, Kak! Tangkap ini dulu!" balas Lestari sambil melempar bola kecil dari kain ke arah kakaknya. Gerakannya penuh semangat, hingga membuat rambutnya yang dikepang dua menjadi berayun-ayun mengikuti langkahnya.
Sementara itu, Dina yang duduk di bawah pohon ceri, hanya memperhatikan mereka dengan tenang. Tangannya sibuk memetik kelopak bunga yang gugur, dan membuat lingkaran kecil di tanah. Ia sesekali melirik kedua kakaknya, tapi tak berusaha untuk ikut bermain.
"Nona Dina, mengapa anda tidak ikut bermain dengan kakak kakakmu?" tanya seorang pelayan wanita yang berdiri tak jauh darinya. Rambut hitamnya yang panjang berkilauan di bawah sinar matahari, dan senyumnya begitu lembut sehingga membuat suasana semakin hangat.
"Aku... aku lebih suka di sini...," jawab Dina dengan suara pelan. Ia kemudian menunduk, karena merasa canggung jika harus menjawab lebih panjang.
"Dina selalu begitu, Mbak Rina. Dia memang suka diam saja," ujar Lestari sambil mendekati pelayan itu. Lalu, Lestari memegang tangan wanita itu dengan wajah ceria. "Tapi tidak apa-apa, kan? Dina memang aneh, tapi dia adik kami yang paling manis."
Pelayan yang bernama Rina itu kemudian tertawa kecil, lalu membelai lembut kepala Lestari. "Tentu saja tidak apa-apa, Nona Lestari. Setiap anak punya cara sendiri untuk menikmati waktu bermainnya."
Sementara itu, Dika mendekati Dina. Ia lalu berjongkok di depannya dan tersenyum hangat. "Dina, kalau tidak mau bermain, setidaknya bantu aku menghitung bintang sore ini, ya. Kita lomba siapa yang paling banyak menemukannya duluan."
"B-baik, Kak. Tapi... apakah sudah ada bintang sekarang?" tanyanya sambil mengangkat wajahnya yang tersenyum manis ke langit.
"Sebentar lagi pasti akan muncul. Kau yang mulai dulu, ya?" ujar Dika, sambil mencoba membuat adiknya merasa lebih nyaman.
Namun suasana damai itu tiba-tiba terganggu oleh bunyi lonceng besar yang menggema dari arah istana.
Dong! Dong! Dong!
Saat mendengar suara itu, Rina menoleh dengan cepat ke arah sumber suara, dengan wajahnya yang seketika langsung berubah serius. "Sudah waktunya kita kembali ke dalam. Lonceng itu menandakan senja sudah berlalu."
"Ah, aku masih ingin bermain!" protes Lestari sambil melipat tangannya di dada. Ia terlihat kecewa, meskipun matanya tetap memancarkan semangat.
"Tidak bisa, Nona Lestari. Aturan istana harus kita patuhi. Mari, saya antar kalian ke kamar masing-masing," jawab Rina dengan nada lembut, namun tegas.
Tanpa menunda-nunda lagi, Dika langsung berdiri, lalu meraih tangan Dina. "Ayo, Dina. Kita lanjutkan hitung bintangnya nanti dari balkon kamar. Kau harus istirahat lebih awal malam ini."
Setelah itu, Lestari akhirnya mengalah dan berjalan mengikuti mereka dengan langkah kecil sambil sesekali menendang kerikil kecil di jalan setapak taman. "Lonceng itu selalu memotong waktu bermainku. Kalau aku jadi ratu nanti, aku akan menghapus aturan ini!"
"Tapi kalau tidak ada aturan, istana akan kacau, Nona." sahut Rina sambil tersenyum ketika mendengar celoteh dari gadis kecil itu. "Bagaimana ratu bisa memimpin jika semua orang ingin bermain sepanjang waktu?"
"Hm, mungkin aku akan membuat aturan bahwa bermain adalah tugas utama semua orang!" balas Lestari dengan tawa lebar.
Kemudian, Dina yang berjalan di sampingnya Dika, menarik ujung bajunya dengan pelan. "K-kak... apakah... apakah lonceng itu... pernah berbunyi di malam hari?" tanyanya dengan nada ragu.
Sebelum menjawab, Dika menatap adiknya sejenak. "Tidak pernah. Lonceng itu hanya berbunyi saat matahari terbenam. Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku hanya... penasaran. Karena... karena aku pernah mendengar... sesuatu yang aneh..." Dina menggantung kalimatnya, dan tak melanjutkan.
Saat Rina yang berjalan di belakang mereka mendengar percakapan itu. Wajahnya seketika berubah menjadi sedikit tegang, namun ia tetap menjaga suaranya agar tetap lembut. "Nona Dina, istana ini aman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua suara yang nona dengar mungkin hanya bayangan di malam hari."
Tidak lama kemudian, mereka akhirnya tiba di pintu belakang istana, di mana suasana jauh lebih gelap dibandingkan taman tadi. Lentera-lentera kecil berjajar di sepanjang lorong, dan memberikan cahaya redup yang menciptakan bayangan panjang di dinding istana.
Malam itu, ketiga anak raja sudah kembali ke kamar mereka masing-masing. Namun di balik tirai malam, ada sesuatu yang bergerak di luar istana.
Brak!
Dina yang sedang duduk di tepi tempat tidurnya mendengar suara itu dengan sangat jelas. Kemudian, ia menoleh ke arah jendela, namun tak berani mendekat. Dalam pikirannya, ia ingin memanggil Dika, kakaknya, tapi tubuhnya terasa kaku.
'Mungkin itu hanya angin,' pikirnya sambil menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Namun suara langkah berat yang mendekat membuatnya semakin sulit bernapas.
Di kamar lain, Dika saat ini sedang berdiri di balkon, menatap langit malam yang dipenuhi oleh bintang. Ia juga merasakan angin dingin yang berembus kearahnya, membawa aroma yang aneh, seperti sesuatu yang membusuk.
"Lestari, apa kau masih bangun?" tanyanya sambil melirik balkon di sebelahnya.
"Aku di sini, Kak! Sedang menghitung bintang!" balas suara ceria dari adiknya, Lestari.
Setelah itu, Dika menghela napas lega, namun pandangannya tetap waspada. Ada firasat buruk yang mengganggu pikirannya malam itu, meskipun ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dan di kejauhan, lonceng istana tiba-tiba berbunyi lagi.
Dong! Dong! Dong!
Bunyi lonceng itu bergema menembus malam yang sunyi, menyelubungi istana dengan suasana yang mencekam. Ketiga anak raja itu mendengarnya dengan sangat jelas, meskipun berada di kamar masing-masing.
Di balkon kamarnya, Dika menatap ke arah menara lonceng. Mata coklat gelapnya menyipit, untuk mencoba mencari jawaban di balik bunyi yang tidak seharusnya terdengar malam ini. Lonceng istana hanya berbunyi pada dua waktu, yaitu pagi dan senja. Malam hari, lonceng itu selalu dibiarkan diam.
"Lestari, kau mendengar itu?" Dika menoleh ke balkon sebelahnya, tempat adiknya masih duduk di lantai sambil menghitung bintang.
"Iya, Kak. Tapi kenapa lonceng itu berbunyi lagi?" tanya Lestari dengan nada bingung, suaranya terdengar lebih lirih dari biasanya.
Dika lalu menggigit bibirnya untuk menahan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya. Ia mencoba berpikir rasional, tapi bunyi lonceng itu seolah memecahkan setiap logika yang ia tahu.
"Aku akan keluar dan memeriksanya sebentar," ujarnya pelan namun mantap.
Belum sempat Lestari menjawab, suara keras lain tiba-tiba terdengar dari arah taman belakang.
Brak!
Lestari langsung berdiri setelahnya. Tubuh kecilnya bergetar, dan matanya melebar karena ketakutan. "Kak, itu suara apa?!"
Akan tetapi, Dika tidak langsung menjawab. Dengan sigap, ia masuk kembali ke kamar, meraih tongkat kayu kecil yang biasa ia gunakan untuk latihan sihir. Meski benda itu tidak sekuat pedang atau senjata lainnya, Dika merasa lebih percaya diri jika menggenggamnya.
"Lestari, tetap di kamar. Jangan keluar sampai aku kembali," perintahnya tegas, tapi adiknya hanya menggeleng keras.
"Tidak! Aku ikut denganmu, kak! Aku bisa membantu!" seru Lestari, matanya berkilat penuh keberanian meski tangannya terlihat gemetar.
"Kau tidak boleh membantahku. Ini bukan permainan," ujar Dika sambil menatap adiknya dengan tatapan tajam. Namun Lestari tetap tidak bergerak dari tempatnya.
Di saat yang sama, di kamar lain, Dina mendengar suara langkah kaki berat yang mendekat di lorong. Ia duduk di tempat tidur dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Tubuh kecilnya kaku,dan jantungnya terus berdegup dengan kencang.
"Ka-Kak... Di-Dika..." Dina berbisik, meskipun ia tahu kakaknya tidak bisa mendengarnya. Langkah kaki itu semakin mendekat, lalu berhenti tepat di depan pintu kamarnya.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan pelan pun seketika terdengar, hingga membuat Dina langsung memejamkan mata erat-erat. Ia tidak ingin melihat siapa pun di balik pintu itu lantaran dia sedang takut.
Namun suara di luar tidak berhenti, dan terus mengetuk pintunya.
"Dina, kau di sana?" dan ternyata itu suaranya Rina, pelayan yang tadi menemani mereka di taman.
Setelahnya, Dina membuka matanya dengan perlahan. Ia ingin percaya kalau suara itu benar-benar berasal dari Rina, tapi sesuatu dalam nada suara itu terdengar aneh. Biasanya suara Rina lembut dan penuh kasih, namun kali ini terdengar datar dan kosong.
"Dina, buka pintunya. Ini aku, Rina," panggil suara itu lagi.
"Aku... aku di sini..." jawab Dina dengan nada bergetar, tapi ia tidak bergerak dari tempatnya.
Sementara itu, Dika dan Lestari sudah meninggalkan kamar mereka. Dika berjalan di depan, sambil melangkah hati-hati di sepanjang lorong yang diterangi cahaya lentera redup. Di belakangnya, ada Lestari yang terus berusaha menyamai langkah dari kakaknya sambil memeluk bola kain yang tadi mereka mainkan di taman.
"Kak, apa mungkin ada penyusup di istana?" bisik Lestari, sambil mencoba menekan suaranya serendah mungkin.
"Entahlah. Tapi kita harus segera ke kamar Dina," jawab Dika tanpa menoleh.
Saat mereka hampir sampai di depan kamar adik bungsu mereka, suara lain terdengar dari arah bawah istana.
Kriiiik.
Pintu besar yang mengarah ke aula utama tiba-tiba terbuka dengan gerakan yang perlahan, lalu diikuti oleh bunyi langkah berat yang menyeret di lantai batu.
"Kak Dika, apa itu?" bisik Lestari lagi, kali ini suaranya hampir pecah karena takut.
"Diam. Jangan bersuara," jawab Dika sambil mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Lestari berhenti melangkah. Sesaat, ia memperhatikan lorong yang ada di depan mereka dengan penuh waspada. Setelah memastikan tidak ada apa apa, mereka berdua lanjut berjalan.
Mereka akhirnya sampai di depan pintu kamar Dina. Dan setelah itu, Dika langsung mengetuk pelan. "Dina, ini aku. Kau baik-baik saja?"
Tidak ada jawaban.
Kemudian Dika mencobanya lagi, kali ini lebih keras. "Dina, buka pintunya. Ini aku dan Lestari."
Setelah beberapa saat, pintu terbuka sedikit, dan wajah pucat Dina muncul dari celahnya. Mata hitamnya membesar, dengan penuh ketakutan.
"K-kak Dika... ada sesuatu di luar..." bisiknya dengan suara hampir tak terdengar.
"Aku tahu. Itulah kenapa kami ke sini," jawab Dika sambil menarik Dina keluar dari kamarnya.
Namun sebelum mereka sempat pergi, suara langkah dari arah aula semakin mendekat. Bau busuk mulai tercium, membuat ketiga anak itu menutup hidung mereka.
"Lestari, pegang Dina. Jangan lepaskan dia," perintah Dika sambil memegang tongkat kayunya lebih erat.
Dari balik lorong, sesosok makhluk tiba-tiba muncul. Tubuhnya tinggi, kulitnya kelabu dan rusak, dengan mata yang kosong dan mulut menganga lebar. Suara erangan pelan keluar dari tenggorokannya, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"Makluk apa itu..." bisik Lestari, suaranya hampir hilang.
Makhluk itu perlahan berjalan ke arah mereka, dengan menyeret kakinya yang tampak cacat. Kemudian, Dika mundur perlahan sambil menarik kedua adiknya untuk menjauh.
"Kita harus pergi ke ruang bawah tanah," ujarnya dengan nada mendesak.
Dina yang tidak pernah menghadapi hal semacam ini sebelumnya, mulai menangis pelan. Tubuh kecilnya gemetar hebat, hingga membuat Lestari harus memeluknya erat-erat.
"Kak Dika, aku takut..." ujar Dina, suaranya tercekat oleh tangis.
"Aku tahu. Tapi kau harus kuat. Percayalah padaku," jawab Dika sambil menatap adiknya dengan tegas.
Semakin lama, makhluk itu semakin dekat, namun langkahnya lambat dan terseret. Dika tahu ini kesempatan mereka untuk melarikan diri dari situasi ini.
"Ayo, kita lari sekarang!" serunya sambil menarik tangan kedua adiknya.
Ketiganya berlari melewati lorong-lorong istana yang semakin gelap. Suara langkah dari makhluk itu terdengar di belakang mereka, meskipun tidak terlalu cepat. Namun bau busuknya tetap terasa, hingga membuat mereka merasa seolah makhluk itu ada di dekat mereka.
Sesampainya di tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah, Dika berhenti sejenak untuk memastikan jalan di depan mereka aman.
"Dina, kau harus tetap dekat denganku. Lestari, jangan lepaskan tangan adikmu," katanya dengan nada serius.
Dina mengangguk pelan setelahnya, meskipun air mata masih mengalir di pipinya.
"Kak, apa di ruang bawah tanah aman?" tanya Lestari sambil melirik ke arah tangga gelap di depan mereka.
"Setidaknya kita bisa bersembunyi di sana sementara," jawab Dika, meskipun ia sendiri tidak terlalu yakin.
Namun sebelum mereka sempat turun, suara erangan lain terdengar dari arah belakang. Kali ini terdengar lebih banyak, seperti ada beberapa makhluk yang mendekat sekaligus.
"Kita harus cepat. Turun sekarang!" ujar Dika sambil mendorong kedua adiknya untuk bergerak lebih cepat.
Mereka mulai menuruni tangga dengan tergesa-gesa, meninggalkan lorong istana yang kini dipenuhi suara langkah berat dan erangan para makhluk aneh dan mengerikan.
Di dalam kegelapan ruang bawah tanah itu, Dika hanya bisa berharap mereka menemukan tempat yang aman.