Chereads / NECRO PANDEMIC / Chapter 3 - Harapan Di Tengah Bencana

Chapter 3 - Harapan Di Tengah Bencana

Ruangan yang mereka masuki itu gelap dan sunyi. Dan sekarang Dika memimpin kedua adiknya dengan hati-hati, untuk mencari jalan keluar dari kengerian yang terus memburu mereka. Lampu temaram dari sebuah lilin kecil di sudut ruangan menyala, dan memperlihatkan bayangan tubuh mereka di dinding batu yang dingin.

Langkah kaki mereka berhenti ketika suara pelan terdengar dari dalam ruangan yang lebih dalam. Suara itu seperti bisikan lembut namun penuh peringatan.

"Siapa di sana?" tanya Dika dengan suara tegas,dan sambil mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

Dari sudut ruangan yang gelap, muncul sosok seorang nenek tua yang memakai tongkat untuk berjalan. Rambutnya sudah memutih sepenuhnya, dengan wajahnya yang sudah penuh kerutan, namun matanya memancarkan kehangatan yang aneh. Ia kemudian berjalan perlahan ke arah mereka, dengan tongkatnya yang mengetuk lantai setiap kali dia melangkah.

"Kalian bukan makhluk itu, kan?" suara nenek itu terdengar serak namun ramah.

Dengan hati-hati, Lestari menggenggam tangannya Dina lebih erat, sementara Dika memandang nenek itu dengan curiga. "Kami manusia. Siapa kau?" tanyanya, sambil menjaga jarak.

Nenek itu mengangguk pelan, lalu bibirnya membentuk senyum kecil. "Aku? Aku hanya seorang tua renta yang mencoba bertahan hidup di tengah kehancuran yang melanda ini. Tapi kau... aku tahu siapa kalian."

"Kenapa nenek tahu kami?" tanya Dina dengan suara pelan dan gugup, sambil melangkah mundur dan mencoba bersembunyi di balik punggungnya Dika.

Nenek itu kemudian tertawa kecil, suaranya terdengar seperti gumaman angin di malam hari. "Siapa yang tidak tahu wajah para penerus kerajaan ini? Kau adalah anak-anak Raja Indramayu, bukan?"

Dika seketika terdiam lalu matanya langsung membulat. Ia tidak tahu bagaimana nenek itu bisa mengenali mereka, tapi ia tahu orang tua ini tidak tampak seperti ancaman bagi mereka.

"Kami memang anak-anak raja. Tapi apa itu penting sekarang di tengah kekacauan seperti ini?" ujarnya dengan nada datar.

Setelah itu, Nenek itu menatap mereka dengan penuh simpati. "Tentu saja penting. Kerajaan ini butuh harapan, dan harapan itu ada pada kalian. Mari, aku akan membawa kalian ke tempat yang aman," katanya sambil melambaikan tangannya, mengisyaratkan pada mereka untuk mengikutinya.

Meskipun ada keraguan, Dika kemudian mengangguk. "Baiklah. Tapi jika kau mencoba sesuatu yang mencurigakan..." Ia sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya, namun tatapan matanya cukup untuk menunjukkan tekadnya.

"Jangan khawatir, Nak. Aku di pihak kalian," ujar nenek itu sambil berjalan ke arah sebuah lorong kecil yang gelap.

Di sepanjang lorong itu, mereka berjalan dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara ketukan tongkat dari nenek itu di lantai batu. Akhirnya, nenek itu memecah keheningan dengan suaranya yang pelan.

"Kalian tahu apa yang terjadi di sini?" tanyanya, tanpa menoleh ke belakang.

"Kami hanya tahu kalau ada banyak orang berubah menjadi... makhluk mengerikan," ujar Lestari dengan suara lirih.

Nenek itu mengangguk pelan, lalu berhenti sejenak. Ia lalu memutar tubuhnya ke belakang dan menatap mereka dengan wajah serius. "Mereka bukan hanya sekedar makhluk mengerikan. Mereka adalah zombie."

Dika yang mendengar itu langsung mengerutkan keningnya. Kata-kata itu terdengar sangat asing baginya. "Zombie? Apa maksudmu?"

"Makhluk yang mati, namun bergerak lagi dengan jiwa yang telah hilang. Mereka tidak memiliki pikiran, hanya naluri untuk menyerang dan memakan yang hidup," jelas nenek itu.

"Jadi... apa mereka benar-benar tidak bisa disembuhkan?" tanya Lestari, dengan matanya yang melebar penuh ketakutan.

Lalu Nenek itu menggeleng pelan. "Tidak, Nak. Mereka sudah bukan manusia lagi."

Kemudian, Dina yang sejak tadi diam akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Bagaimana... bisa... terjadi?" tanyanya dengan terbata-bata.

Nenek itu menghela napas panjang, lalu mulai bercerita.

"Semua ini dimulai kemarin saat malam hari, di alun-alun kota. Saat itu, kerumunan besar berkumpul untuk merayakan sesuatu. Aku tidak tahu pasti apa, karena aku hanya melihat dari kejauhan. Namun tiba-tiba, suasana berubah dengan derastis. Orang-orang mulai berteriak, saling menyerang, dan... bahkan ada yang menggigit."

Ia berhenti sejenak, kemudian memejamkan matanya seolah-olah mengingat kejadian itu terlalu menyakitkan.

"Ketika seseorang tergigit, mereka akan berubah menjadi seperti mereka yang menyerang. Rasanya seperti wabah yang menyebar lebih cepat daripada yang bisa kita pahami."

Setelah mendengar cerita itu, Dika mengepalkan tangannya, mencoba menahan rasa takut dan marah yang mulai menyelimuti pikirannya. "Lalu, bagaimana nenek bisa selamat?" tanyanya.

"Beruntungnya, aku berada di tempat ini ketika semua itu terjadi. Lorong ini adalah jalur rahasia yang aku temukan bertahun-tahun lalu. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan, tapi kalian adalah harapan terbaik yang tersisa."

Suara nenek itu penuh keyakinan, meskipun wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di sebuah ruangan kecil dengan beberapa tempat tidur darurat dan lilin-lilin yang menyala di sudut-sudutnya. Nenek itu kemudian mempersilakan mereka duduk dan beristirahat di sana.

"Kalian akan aman di sini untuk sementara. Tapi ingat, zombie-zombie itu tahan terhadap cahaya matahari. Mereka bisa muncul kapan saja," ujarnya memperingatkan.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kak?" tanya Lestari pada Dika, sambil menarik napas panjang, untuk berusaha mengendalikan rasa takutnya.

Kemudian, Dika menatap kedua adiknya sebelum menjawab. "Kita harus terus bergerak. Tidak peduli apa pun yang terjadi, kita tidak boleh berhenti."

Nenek itu tersenyum tipis, mengangguk setuju mendengar perkataan dari Dika. "Itulah semangat yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Jika kalian bertahan, kerajaan ini masih memiliki harapan untuk hidup kembali."

Namun suara erangan dari luar ruangan mulai terdengar, dan segera membangkitkan ketegangan yang menakutkan.

"Hati-hati, Nak. Mereka mungkin sudah menemukan tempat ini," bisik nenek itu, sambil mengencangkan pegangan pada tongkatnya.