Cahaya matahari yang menembus celah-celah kecil di ruang bawah tanah adalah yang pertama menyapa mata Dika. Ia membuka matanya perlahan, dan merasakan tubuhnya yang pegal karena tidur di lantai batu yang dingin. Lalu, saat ini Dina masih terlelap di sudut ruangan, sementara Lestari duduk memeluk lututnya di samping tangga, sambil memandang kosong ke arah pintu kayu yang terkunci rapat.
"Sudah pagi," ujar Dika, lebih kepada dirinya sendiri. Lalu, ia mulai berdiri, meregangkan tubuh, lalu berjalan mendekati Lestari.
"Kak, apa kita aman sekarang?" bisik Lestari tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu.
Namun, Dika tidak langsung menjawabnya. Ia terlebih dahulu menatap pintu itu, dan mencoba mendengarkan suara apa pun yang ada di luar. Semalaman mereka berlindung di sini, bersembunyi dari makhluk mengerikan yang mengejar mereka. Tapi tidak ada yang tahu apakah bahaya sudah berlalu.
"Kita harus keluar dan mencari tahu," jawab Dika akhirnya.
Tapi, Lestari nampak menatap kakaknya dengan ragu, tapi ia tidak membantahnya. Ia tahu, mereka tidak bisa terus bersembunyi seperti ini.
Setelah membangunkan Dina dengan lembut, Dika meraih tongkat kayu yang ia bawa sejak kemarin. "Ikuti aku. Jangan berpisah, apa pun yang terjadi," katanya dengan nada serius.
Ketiganya mulai berjalan pelan menuju pintu kayu tersebut. Dan sesampainya di depannya, Dika langsung membuka kuncinya dengan hati-hati, lalu mendorong pintu itu sedikit demi sedikit.
Ciiiit.
Suara engsel pintu yang berkarat menggema di ruang bawah tanah yang sunyi. Mereka menahan napasnya sejenak, berharap suara itu tidak menarik perhatian apa pun di luar.
Saat pintu tersebut sudah terbuka sepenuhnya, Dika mengintip ke luar dengan hati-hati. Lorong itu kosong. Tidak ada suara langkah berat atau erangan seperti semalam.
"Sepertinya aman," bisik Dika, lalu memberi isyarat pada adik-adiknya untuk mengikutinya.
Mereka berjalan perlahan di lorong yang diterangi oleh cahaya matahari dari jendela kecil di atas dinding. Sementara itu, bau busuk masih tercium di sana, meskipun tidak sekuat semalam.
Namun ketika mereka sampai di aula utama, pemandangan yang menyambut mereka membuat langkah mereka terhenti.
Lantai marmer yang biasanya bersih kini dipenuhi bercak darah yang mengering. Meja-meja kayu yang biasa digunakan untuk jamuan kerajaan terbalik dan hancur. Di sudut ruangan, terdapat bendera kerajaan yang robek, tergantung miring di tiang.
"Apa... apa yang terjadi di sini?" bisik Dina dengan suara gemetar. Kemudian, Dina mencengkeram tangannya Lestari erat-erat, dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.
Namun, Lestari hanya memeluk adiknya dan tak memberikan jawaban apapun, dan sambil terus mencoba menenangkan diri sendiri sekaligus Dina, adiknya.
Dika kemudian melangkah lebih jauh ke dalam aula, untuk memeriksa sekelilingnya dengan hati-hati. "Tidak ada siapa-siapa. Tapi kita harus tetap waspada," ujarnya dengan pelan.
Namun saat mereka hendak menuju pintu utama untuk keluar dari istana, suara langkah berat terdengar dari arah tangga.
Thuk... Thuk...
Mereka semua langsung berhenti di tempat, dan tidak berselang lama, Dika mulai memandang ke atas dengan tegang, sementara Lestari menarik Dina lebih dekat.
Dari balik bayangan tangga, muncul sosok tinggi dengan kulit kelabu dan mata kosong. Mulutnya menganga, memperlihatkan gigi-gigi tajam yang berlumuran darah. Makhluk itu adalah salah satu makhluk mengerikan yang mereka lihat semalam.
"Di-dia ada di sini!" bisik Lestari dengan nada panik.
Makhluk itu perlahan turun dari tangga, gerakannya lambat namun mengancam. Melihat itu, Dika terus memegang tongkatnya erat-erat, sambil berusaha mencari jalan keluar.
Namun sebelum ia sempat bertindak, suara erangan lain terdengar dari sekeliling mereka.
"Da-dari mana… suara itu?" tanya Dina, matanya bergerak liar ke setiap arah di sekelilingnya.
Dari balik pintu-pintu di aula, muncul lebih banyak makhluk mengerikan. Tubuh mereka cacat dan rusak, dengan darah menetes dari luka-luka menganga di tubuh mereka. Mereka semua bergerak menuju Dika dan adik-adiknya.
"Lari! Kita harus keluar dari sini sekarang!" teriak Dika sambil menarik tangan Dina dan Lestari.
Mereka berlari ke arah pintu utama, tapi para makhluk mengerikan itu terus mendekat, dan menghalangi jalan mereka.
"Ke kiri! Lewat lorong dapur!" perintah Dika dengan cepat.
Ketiganya kemudian berlari ke arah yang ditunjuk oleh Dika, sambil terus mencoba menghindari para makhluk mengerikan yang kini mulai mengepung aula.
Brak!
Salah satu zombie menabrak meja kayu yang menghalangi jalannya, membuat suara keras yang menggema di aula.
Dan saat Lestari menoleh ke belakang, dia melihat makhluk-makhluk itu semakin mendekat. "Mereka terlalu banyak! Kita tidak akan bisa lolos!" serunya dengan panik.
"Jangan menyerah! Ikuti aku!" balas Dika tanpa menoleh.
Mereka akhirnya sampai di lorong dapur, yang terlihat tidak kalah berantakannya. Panci-panci berserakan di lantai, dan bau busuk semakin kuat di sini.
Setelah sampai, Dika langsung menutup pintu lorong di belakang mereka, lalu menyandarkan tubuhnya pada pintu itu sambil terengah-engah.
"Kak... apa mereka bisa masuk?" tanya Dina dengan matanya yang basah oleh air mata.
"Mereka akan masuk, tapi kita harus terus bergerak dan keluar dari sini," jawab Dika sambil berdiri lagi.
"Itu pintu keluar ke taman belakang. Kita bisa keluar lewat sana!" ujar Lestari sambil menunjuk sebuah pintu kecil di ujung lorong.
Tanpa ragu, mereka berlari ke arah pintu itu. Namun saat mereka hampir sampai, pintu itu terbuka dari luar, dan dua makhluk mengerikan lain muncul di hadapan mereka.
"Tidak!" seru Lestari dengan ketakutan yang mendalam.
Di saat seperti itu, Dika tidak punya pilihan lain. Ia kemudian mengangkat tongkat kayunya untuk mencoba melawan para makhluk mengerikan itu agar adik-adiknya bisa melewati mereka.
"Aku akan menahan mereka! Kalian lari sekarang!" perintahnya dengan suara keras.
"Tidak, Kak! Kau tidak bisa melawan mereka sendiri!" balas Lestari, namun Dika langsung menatapnya tajam.
"Kalian adalah tanggung jawabku. Pergi sekarang!"
Dengan berat hati, Lestari menarik Dina melewati para mahkluk mengerikan itu sementara Dika masih mencoba menghalangi untuk mereka.
Pukulan pertama dari Dika mengenai kepala salah satu makhluk tersebut, tapi makhluk itu tidak terjatuh. Sebaliknya, ia hanya mundur sedikit sebelum kembali menyerang.
Kemudian, saat makhluk kedua mencoba meraih Dika, tapi ia berhasil menghindar dengan gesit.
Namun Dika tahu, ia tidak akan bisa melawan mereka semua sendirian. Ia harus menemukan cara untuk menyusul adik-adiknya sebelum terlambat.
Di luar, Lestari dan Dina berhasil keluar ke taman belakang, tapi mereka tidak berhenti berlari. Mereka tahu, bahaya masih mengintai di mana-mana.
Di dalam hati mereka, hanya ada satu harapan, yaitu tentang Dika bisa menyusul mereka dengan selamat. Namun di balik itu, ketakutan yang semakin besar mulai menghantui mereka. Apakah mereka benar-benar bisa bertahan di dunia yang kini dikuasai oleh makhluk-makhluk mengerikan ini?
Saat tengah melawan kedua makhluk mengerikan itu, Dika terlihat terpojok di lorong dapur. Dua makhluk mengerikan itu semakin mendekat dengan langkah berat namun pasti. Mata mereka yang putih tanpa kehidupan hanya tertuju padanya, sementara napas mereka mengeluarkan suara serak seperti desis ular.
Tongkat kayu di tangan Dika mulai retak setelah beberapa kali ia gunakan untuk menyerang. Tapi ia tahu, jika tongkat kayunya itu tidak akan bertahan lama lagi. Namun tubuhnya menolak untuk menyerah, meskipun ketakutan mulai menggigilkan tangannya dia terus berusaha untuk bertahan.
"Mereka terlalu kuat... aku tidak bisa melawan mereka terlalu lama," pikirnya sambil menatap kedua makhluk itu yang semakin mendekat.
Saat salah satu dari makhluk itu melompat ke arahnya, Dika berusaha menangkis dengan tongkatnya, tapi kekuatan dari makhluk itu jauh lebih besar. Tongkat kayunya patah menjadi dua, dan Dika juga terlihat terdorong ke belakang, lalu menabrak meja di belakangnya.
Brak!
Tubuhnya jatuh terduduk seketika, dan makhluk kedua segera mendekatinya sambil mengulurkan tangannya yang berlumuran darah.
"Ini bukan akhirnya!" gumam Dika dengan napas berat.
Ketika makhluk itu hampir mencengkeram lehernya, tiba-tiba tubuh Dika memanas. Ia merasakan sesuatu yang asing namun kuat meresap ke seluruh tubuhnya, seolah-olah sebuah kekuatan besar terbangun di dalam dirinya.
Kilatan cahaya muncul di telapak tangannya. Semakin terang hingga hampir menyilaukan.
Dika tidak tahu dari mana kekuatan itu berasal, tapi ia tidak punya waktu untuk berpikir. Dengan dorongan naluri yang dimilikinya, ia mengangkat tangannya ke arah kedua makhluk itu.
"Pergi!" teriaknya.
Dalam sekejap, cahaya itu meledak.
BANG!
Ledakan cahaya putih terang memenuhi seluruh ruangan. Makhluk-makhluk itu mengerang keras, sambil mengangkat tangan mereka untuk menutupi wajah mereka yang mulai terbakar oleh sinar itu.
"Aaaarghh!"
Mereka berputar-putar tanpa arah, buta oleh kilatan cahaya yang muncul secara tiba-tiba. Kemudian, Dika mulai berdiri dengan gemetar, dan merasakan kalau energi itu perlahan menghilang dari tubuhnya.
Namun ia tidak membuang-buang waktu untuk memikirkannya. Dengan cepat, ia mengambil bagian tongkat kayu yang masih tersisa dan berlari keluar dari dapur, melewati kedua makhluk itu yang kini hanya bisa menggapai-gapai tanpa arah.
Di luar, Dika melihat kedua adiknya bersembunyi di balik semak-semak di taman belakang. Saat Lestari yang pertama melihatnya, matanya langsung melebar karena lega.
"Kak! Kau selamat!" teriaknya sambil berlari mendekat kearahnya Dika. Setelah itu, Dina mengikuti dari belakang, meskipun langkahnya goyah karena ketakutan.
Kemudian, Dika memeluk kedua adiknya itu dengan erat, dan merasakan dadanya yang sesak mulai mereda.
"Maaf membuat kalian menunggu. Ayo kita pergi dari sini," ujarnya dengan lembut.
Namun, nampaknya taman belakang itu tidak memberikannya perlindungan lama. Dari kejauhan, terdengar suara erangan yang semakin mendekat. Para makhluk mengerikan lain tampaknya mulai menyadari keberadaan mereka.
"Kita harus melewati jalan utama," ujar Dika sambil memimpin kedua adiknya ke gerbang taman.
Namun ketika mereka sampai di gerbang, pemandangan yang menunggu mereka membuat mereka terpaku.
Jalan utama yang biasanya ramai oleh pedagang dan penduduk kini dipenuhi oleh orang-orang yang sudah berubah menjadi makhluk-makhluk mengerikan itu. Mereka berjalan terseok-seok, beberapa di antaranya juga nampak menyeret tubuh mereka yang rusak, sementara yang lain berdiri diam dengan mata kosong, seolah-olah sedang mencari mangsa.
"Kak, bagaimana kita bisa melewati mereka?" tanya Lestari, suaranya hampir berbisik.
Untuk sejenak, Dika memandangi kerumunan itu dengan perasaan cemas. Ia tahu, mereka tidak punya pilihan lain selain melewati jalan ini. Jalan utama adalah satu-satunya cara untuk keluar dari kerajaan ini.
"Kita harus bergerak dengan tenang dan cepat," jawabnya, meskipun ia sendiri tidak yakin dengan rencana itu.
Mereka mulai berjalan perlahan di sisi jalan, dan berusaha menghindari perhatian dari para zombie. Mereka terus bergerak dengan Dika yang berada di depan, sambil memegang tongkatnya yang retak, sementara Lestari menggandeng Dina di belakangnya.
Setiap langkah yang mereka bertiga pijakan terasa seperti berjalan di atas es tipis. Lalu, erangan para makhluk mengerikan itu terdengar seperti suara kematian yang membayangi mereka dari segala sisi.
Namun, mereka berhasil melewati beberapa meter tanpa menarik perhatian. Dan di saat itulah, harapan tentang mereka yang akan keluar dari kerajaan ini hidup-hidup mulai tumbuh di hati mereka.
Namun ketika Dina tidak sengaja menginjak pecahan kaca yang berserakan di jalan, suara itu terdengar cukup keras untuk menarik perhatian beberapa makhluk di dekatnya.
Krekk!
Dika langsung memutar kepala ke belakang, dan tepat di saat itulah dia melihat dua makhluk yang berbalik dan mulai berjalan ke arah mereka.
"Mereka melihat kita! Lari!" serunya tanpa ragu.
Ketiganya langsung berlari untuk menyelamatkan diri, dan meninggalkan kehati-hatian yang sudah mereka rencanakan. Suara langkah kaki mereka menggema di jalanan yang kosong, dan terus menarik lebih banyak makhluk mengerikan untuk mengikuti mereka.
Para makhluk mengerikan itu mulai bergerak lebih cepat, beberapa di antaranya bahkan berlari dengan gerakan yang menyeramkan.
Saat Lestari menoleh ke belakang ia langsung berteriak, "Mereka semakin banyak! Kak, apa yang harus kita lakukan?"
Walaupun saat ini Dika mencoba tetap tenang, jantungnya terus berdetak dengan keras. Tidak berselang lama, ia melihat ada sebuah gang sempit di sebelah kiri dan langsung menunjuk ke arahnya.
"Lewat sini! Cepat!"
Mereka langsung berlari ke dalam gang itu, berharap bisa menghindari pengejaran dari para makhluk mengerikan tersebut. Namun suara langkah berat dan erangan terus mendekat kearah mereka tanpa ada henti-hentinya.
Ketika mereka sampai di ujung gang, mereka menemukan pintu kecil yang setengah terbuka. Dan dengan cepat, Dika segera mendorong pintu itu, lalu segera memimpin kedua adiknya untuk masuk ke dalam ruangan gelap di baliknya.
Duk!
Ia kemudian langsung menutup pintu itu sekuat tenaga dan mengganjalnya dengan tongkat kayunya.
"Aku tidak tahu berapa lama ini akan menahan mereka," gumamnya sambil terengah-engah.
"Apa kita aman sekarang, Kak?" tanyanya dengan suara kecil sambil memeluk Dina yang mulai menangis karena ketakutan.
Lalu, Dika menatap mereka dengan tatapan penuh tekad. "Aku tidak tahu. Tapi kita harus terus bergerak. Kita tidak bisa berhenti di sini."
Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menjelajahi ruangan gelap itu, untuk mencari jalan keluar lain yang ada. Dika tahu, ini baru awal dari perjuangan mereka. Dunia yang dulu mereka kenal sudah berubah menjadi neraka, dan satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah terus melangkah maju.