Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 53 - Mawar Putih

Chapter 53 - Mawar Putih

"Kapan terjadinya ini?" tanya Sastra dengan khawatir. Levin menjawab, "Barusan, tadi pas dicek di kelas, dekorasi yang dibuat sama Isabel udah gak ada. Ternyata sudah di dalam tempat sampah dan semuanya rusak…" "Yang origami mawar itu?" lalu Levin menjawab, "Ya, sama gua juga udah lihat sendiri semuanya rusak. Padahal dia udah buat dari tadi sore." Sastra melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 05.43 sore, namun matahari sudah mulai tenggelam. Hanya segelintir cahaya saja yang tersisa di langit. 

"Terus mau gimana kita ini? Pakai dekorasi yang dah ada aja gitu?" keluh Levin. Sastra melihat Isabel yang tangisannya sudah mereda, tetapi masih tampak murung. Becca berada di sampingnya menenangkan dan menghibur Isabel supaya dia tenang. Hatinya terasa tersayat oleh belati, bahkan lebih sakit daripada siksaan yang ia rasakan saat di dunia Astral tadi. Dia pun berkata, "Aku akan buatkan lebih banyak origami mawar lagi di kelas… Kamu mau bantu?" "Lu mau buat origaminya semua lagi? Hmm, kalau gitu mending gue bantu juga. Fatih, ayo ikut ke kelas sebentar," ucap Levin. Fatih yang berada agak jauh dari mereka menoleh dan bertanya, "Mau ngapain?" "Buat origami mawar lagi," jawabnya. 

Tanpa pikir panjang Fatih setuju dengan mereka lalu ikut ke kelas bersama-sama. Sastra mengambil kertas-kertas origami yang tersisa di atas meja Isabel lalu melihat isinya. Tidak banyak kertas yang tersisa, apalagi kertas yang berwarna putih. Kertas yang berwarna putih kira-kira hanya tersisa 3 lembar saja, tetapi itu bukan masalah karena mereka masih memiliki kemasan kertas origami lain yang belum dibuka. Mereka juga hanya perlu secukupnya saja untuk menghias pot-pot buatan di stand mereka. 

"Kita pakai ini aja, semoga cukup. Kalau gak cukup yasudah, kita pakai sisanya." Sastra menaruh lagi kertas itu di meja. Levin dan Fatih duduk bersebelahan di bangku mereka sambil mengambil 1 kertas per orang. Lalu Sastra bertanya, "Kalian ada yang tau cara buat origaminya gak? Aku gak ngerti beginian…" Fatih dan Levin menatap satu sama lain lalu menggelengkan kepala. 

Meski mereka bertiga sama sekali tidak tau caranya, Levin tidak diam saja, dia mengeluarkan HPnya sambil berkata, "Gue cariin di Youtube, pasti ada tutorialnya." Kemudian dia mencari video yang sesuai dengan origami mawar itu. Sastra yang kehilangan 5 hari beserta ingatan tentang 5 hari itu berpikir untuk menanyakannya pada mereka. Dia pun bertanya, "Selama 5 hari terakhir sejak hari Senin ada yang aneh gak?" "Maksudnya?" tanya Fatih. "Yah, mungkin ada yang aneh di sekolah atau di kelas sejak kasusnya Martin…" 

"Gak ada tuh," kata Fatih, tetapi Levin menceletuk, "Ada deh kayaknya, gue lihat kemarin postingan-postingan tentang chat Martin sama Cecil jadi lumayan viral gitu. Juga ada berita di Radar Malang sama berita-berita lainnya kalau dia udah dipenjara. Kenapa ya kok ada skandal di sekolah kita sampai ada yang bunuh diri? Martin pula yang kena."

"Dipenjara?" tanya Sastra. Dengan suara yang lebih kecil Levin menjawab, "Iya, kabarnya sih gitu, tapi belum ada anak yang tau pasti. Kita kan gak bisa ngunjungi ke penjaranya langsung gitu, mungkin. Lagian kalau bisa gak akan ada yang mau." Mendengar informasi itu Sastra bisa menebak siapa pelaku dibalik hal ini. Kemudian muncul pertanyaan di benaknya, Jika memang sudah sampai begini apa yang bisa kulakukan? Membiarkan Cecil dipenjara karena tuduhan palsu? Gimana aku bisa hidup kayak gini, mengingat ada orang-orang yang gak bersalah bunuh diri dan dipenjara gara-gara aku… Kalau aku menyerahkan diri ke polisi gimana ya? Tapi aku takut dipenjara...

Namun, Sastra menyadari sesuatu yang ia lewatkan, Mereka gak merasa ada yang aneh denganku? Selama 5 hari ini apa aja yang kulakukan? Diem aja gitu atau ada sesuatu yang mengendalikan tubuhku? Kalau memang ada yang bisa begitu… Siapa? 

Kemudian Sastra bertanya lagi, "Guys, aku ngapain aja minggu ini ada yang tau?" Mereka berdua tampak bingung dan pertanyaan itu dijawab oleh Fatih, "Kamu kenapa Sas, dari tadi tanya ada yang aneh apa enggak. Setauku kamu ya kayak biasanya kalau gak ngobrol sama kita ya baca buku di bangkumu dan pas pulang kamu biasanya latihan sama Becca dan yang lainnya."

Sastra menunjukkan wajah yang lega dan sedikit tertawa sambil menjawab, "Oh gitu, aku cuma mau nginget-inget belakangan ini ada apa. Kayaknya aku gugup buat tampilan band besok." "Lupakan aja itu kan masih besok, nih gue udah nemu video yang pas dan mirip sama origami mawarnya," kata Levin. Meski Sastra menunjukkan wajah yang lega ditambah dengan tawanya yang tampak canggung, dia sebenarnya masih merasa bingung. Lebih tepatnya dia merasa gelisah karena siapapun yang mengendalikan tubuhnya saat jiwanya disiksa di dunia Astral bisa mereplikakan dirinya dan kepribadiannya dengan akurat. Sampai-sampai tidak ada siapapun yang tau kalau itu bukanlah dia.

Rasa gelisah itu perlahan berubah menjadi rasa takut dan Sastra bisa merasakan di belakang lehernya yang terasa dingin. Meskipun begitu, Sastra berusaha berakting normal dan melipat kertas itu sesuai langkah-langkah yang ada di dalam video. Mereka bertiga pun melipat kertas itu menjadi origami bersama-sama. Tiba-tiba datanglah Lily dan Lulu ke dalam kelas sambil membawa Popmie. Kemudian Lulu bertanya, "Kalian pada ngapain dah?" "Buat origami, lu gak mau bantu?" jawab Levin. 

"Males ah, lagian kan masih ada hiasan lain. Mending makan kan, laper udah malem lagi. Ya kan, Lily?" lalu Lily menjawab, "Iya betul." Fatih menggelengkan kepalanya dan agak tidak peduli, "Udah biarin aja, suka-suka mereka berdua." Satu per satu origami bunga pun selesai dibuat. Meski mereka tidak tampak sempurna dan banyak lipatan yang salah dan tidak simetris, mereka tetap terlihat indah. Jika dilihat dari jauh. 

Origami mawar putih yang terakhir diselesaikan oleh Sastra. Dia menaruhnya di meja lalu berkata, "Sekarang tinggal kasihkan ke Isabel aja, udah jam berapa ini?" Kali ini Levin yang menjawab, "Jam 6 lebih 10, lumayan kita cepet selesainya." Sastra pun berdiri dengan senyuman yang menyembunyikan rasa sakit dan rasa takutnya. Dia berkata, "Aku punya ide, aku mau coba trik sulap siapa tau Isabel nanti seneng kan, gak sedih lagi." Mereka berdua tampak tidak keberatan dengan ide itu dan menyetujuinya. "Terserah kamu Sas, yang penting kita udah bantu buatin ulang origaminya." Sastra mengangguk sambil berkata, "Makasih semuanya, kalau begitu akan kusiapkan." 

Sastra pergi ke bangkunya lalu mengambil topi sulap miliknya. Saat kembali di depan lagi dia memungut semua origami mawar putih itu dan memasukkannya ke dalam topi. Kemudian dia menyembunyikannya di dalam topi itu sehingga saat dibolak-balikkan tidak jatuh ke bawah kecuali Sastra menghendakinya. Setelah semuanya sudah siap Sastra langsung meninggalkan kelas menuju ke stand kelasnya di lapangan. Dia memegang topi sulapnya di samping pinggangnya melewati kerumunan orang yang ada di sana. Hingga akhirnya ia sampai di stand milik kelasnya. Di stand itu sudah dipasang hiasan sesuai tema panen karya, meja dan kursi juga sudah ditata sedemikian rupa. Hanya saja pot buatan yang sudah dibuat tidak ada bunga mawar. 

Saat itu Isabel tengah merapikan hiasan di atas meja dan masih tampak murung. Tanpa ragu-ragu Sastra langsung menghampirinya lalu menyapa dulu, "Hai Isabel, kamu udah baikan gak?" Menyadari kehadiran mantannya itu Isabel hanya menatapnya sekilas lalu memalingkan pandangannya lagi. Dia menjawab, "Aku udah gak papa, bener kata Lulu paling aku cuma lebay aja, padahal aku masih punya hiasan lain." "Lulu lagi, pasti dia bilang begitu. Emang anak kembar itu kurang empati sama temennya sendiri. Kamu gak usah pikirkan apa yang mereka katakan, Bel." 

"Maski begitu, yang mereka katakan ada benernya juga. Aku cuma cewek yang lemah dan gak bisa apa-apa." Sastra langsung memotong kata-katanya, "Sudah kubilang Bel, jangan terlalu kamu pikirkan. Kamu kan sudah membuat semua hiasan ini, bahkan kamu juga udah buat semua oirigami itu. Walaupun akhirnya dibuang sia-sia. Yang pasti kamu sudah berusaha." 

Isabel diam saja dan tidak merespon kata-katanya sehingga Sastra melanjutkan, "Yaudah lupakan aja, aku punya trik buat kamu, Bel. Mungkin ini bisa buat kamu merasa lebih baik dan seneng." "Trik apa emangnya?" tanyanya. Sastra kemudian memperlihatkan topi sulapnya yang berwarna hitam. "Kamu liat dulu, gak ada apa-apa di dalamnya, kan?" kata Sastra sambil membolak-balikkan topi itu, tetapi dia tidak membiarkan Isabel untuk menyentuhnya. Karena trik itu akan terbongkar jika diotak-atik topinya. 

"Sekarang buka matamu dan saksikanlah," sambil mengatakan itu Sastra langsung membalik topi itu dan dari dalamnya berjatuhan origami mawar putih yang indah. Pemandangan ini mengingatkannya akan kencan terakhirnya di saat bunga-bunga sedang bermekaran. Sayangnya, bunga-bunga ini hanyalah origami dan sudah tidak nyata lagi. Saat origami itu berjatuhan Sastra mencuri pandang ke wajah Isabel. Dia bisa melihatnya sedikit tersenyum dan mungkin tertawa sesaat, namun tidak lama. 

Akhirnya semua origami itu sudah jatuh di lantai dan membuat seisi stand itu berantakan. Untungnya saat itu hanya ada Isabel di dalam stan, jika ada teman-teman lainnya mereka akan langsung protes dan memarahi Sastra. Kadang Isabel juga akan memarahinya, tetapi Sastra tidak keberatan jika itu dilakukan oleh orang yang ia cintai. 

"Maaf, aku malah buat kotor stand nya, kuambilin lagi semuanya kok," Sastra pun membungkuk lalu memungut lagi semua origami itu. Namun, Isabel tidak tinggal diam saja dia juga ikut membantu. "Sini kubantu," katanya sambil memungut origami itu. Kemudian secara tidak sengaja jari-jari mereka saling bersentuhan, tetapi Isabel langsung menarik tangannya. Seakan hal itu tidak terjadi mereka berdua menaruh bunga-bunga itu di atas meja dengan rapi. Lalu Isabel berkata dengan nada yang masih agak sedih, "Makasih Sas, udah bantuin buat semua ini. Bunga-bunga ini sangat berarti buatku, meski cuma origami aja…" "Sama-sama aslinya aku juga dibantu sama Levin dan Fatih kok, yang penting kamu udah gak sedih lagi," ucap Sastra. 

Mata mereka saling bertemu untuk sesaat, tetapi Sastra dapat merasakan ada sesuatu yang hilang. Saat pertama kali bertemu Isabel, setiap kali ia menatap matanya Sastra dapat melihat ada semacam spark setiap kali mereka bertatapan mata. Sastra juga dapat merasakan sesuatu di hatinya ketika melihat spark itu. Mata yang bersinar dan penuh riang itu sekarang digantikan oleh mata yang melankolis. Sudah tidak ada lagi spark itu saat Sastra menatap matanya. Sebelum memalingkan wajahnya Isabel berkata, "Tetep aja kamu kan udah bantu aku, bahkan ngasih sulap. Meski ngotori standnya…" "Yah, maaf dong." 

"Udah kamu pergi aja, soalnya gak akan membantu juga di sini," kata Isabel. Sastra pun terkejut dan berkata, "What, aku baru dateng dan ngasih kamu origami mawar yang susah buatnya malah diusir." "Iyaa, kan aku uda bilang makasih tadi, tapi sekarang kamu pergi aja. Atau pulang udah malem kamu kan mau tampil band besok, aku bagian dekorasi stand jadinya pulang agak telat." Sekarang Isabel tidak menunggu Sastra untuk keluar secara suka rela, dia langsung mendorongnya sendiri. Sastra tidak melawan dan hanya berkata, "Iya-iya, aku pergi, yaudah selamat ngedekorasi standnya." 

Saat berada di kelas Sastra bertemu dengan Becca yang tampak sedang mencari seseorang. Dia tampak senang saat melihat Sastra dan berkata, "Akhirnya ketemu kamu Sas, kucariin dari tadi. Kita harus nyiapin barang-barang yang dibutuhin buat penampilan besok. Tuh, gitar sama bassnya bantu bawa ke ruang musik." Sastra yang enggan melakukannya bertanya, "Kenapa gak ditaruh kelas aja, kan mau dipakai besok. Biar kita langsung main aja, gak usah ke ruang musik. Siapa tau besok ruangannya kekunci dan kita gak bisa buka." 

Namun, Becca tetap ngeyel, "Udahlah, bantu aku bawa ini semua ke ruang musik daripada nanti dibuang sama OB." "What, ngapain OB buang gitar sama bass segede ini? Alasanmu gak masuk akal emang, yang ada ya…" Sebelum Sastra bisa melanjutkan ucapannya Becca langsung memberikan alat musik itu padanya. Karena takut Sastra menjatuhkannya Becca membawa bass, sedangkan memberikan gitarnya kepada Sastra. 

Seperti biasa Becca bersikap bossy dan langsung memaksanya ikut ke ruang musik. Saat mereka berdua berjalan Sastra bertanya, "Kenapa gak anak-anak yang punya ini yang bawa ke ruang musik?" "Mereka udah pulang gitu aja dan ninggalin alat musik mereka di kelas. Aku gak sempet minta mereka mindahin ke ruang musik soalnya lagi nemenin Isabel tadi, huhh dasar mereka itu," jawab Becca. 

Sastra pun bertanya lagi kali ini dengan nada khawatir, "Kamu tau OB yang mana yang membuang origami-origami Isabel ke tempat sampah?" Becca menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Gak tau, pas itu kita semua lagi ada di lapangan kamu pas itu juga ada di lapangan kan Sas? Baru pas kamu ke atas yang pertama kali nemukan kalau bunga-bunganya dibuang. Habis itu kamu ngasih tau ke semua orang di bawah, tapi kita udah lapor ke guru kok. Semoga aja OBnya dihukum, ngeselin soalnya." 

Aku yang ngasih tau mereka kalau bunga-bunganya udah dibuang? Tapi pas itu aku bangun di kelas habis tidur. Tunggu, pas aku bangun itu semua orang sudah tau, berarti kejadiannya sebelum aku tidur. Baru setelah semua orang tau aku tidur lagi sebelum aku akhirnya benar-benar bangun sampai saat ini. 

Akhirnya mereka berdua pun sampai di ruang musik yang lampunya masih menyala. Mereka berdua menaruh bass dan gitar itu bersebelahan di dekat keyboard milik sekolah. Untuk sejenak Sastra menekan beberapa tutsnya. Keyboard itu mati sehingga tidak ada suara yang keluar darinya. Becca yang melihat itu berkata, "kamu udah gak sabar mau main buat besok?" Mendengar pertanyaan itu Sastra membatin, Heheh, aku belum pernah latihan sama sekali. Hmmm, aku bisa latihan malam ini mungkin…

Sastra tidak takut maupun panik, dia menjawab dengan jujur, "Jujur, aku ragu bisa main dengan baik besok." "Jangan ragu, besok itu udah hasil dari latihan kita selama ini. Aku tau aku minta kamu gabung dan bantu kita mendadak, bahkan kurang dari 1 minggu yang lalu. Tapi, setidaknya kita bisa membuat suatu perpisahan yang indah untuk Martin." 

"Penampilan kita buat Martin dan semua ini idemu?" tanya Sastra. Becca tertawa sedikit dan menjawab, "Enggak aku gak mungkin mau melakukan hal kayak gini buat Martin. Apalagi setelah apa yang dia lakukan kepada Isabel." "Terus kenapa kamu melakukan ini?" 

"Jujur, semua ini permintaan Isabel," dia berhenti sejenak sambil menatap Sastra lalu melanjutkan, "Pasti kamu kaget kan, kenapa Isabel sebagai korbannya memintaku melakukan ini? Aku sampai sekarang masih inget kata-katanya… Dia berkata kayak gini, "Martin sebenarnya gak jahat atau buruk, tapi tindakan yang dia lakukan itu memang tercela. Meskipun begitu, seharusnya dia gak bunuh diri melainkan tobat dan menjadi lebih baik lagi. Aku menganggapnya sebagai teman sama seperti kamu Becca, sama seperti semua temen di kelas atau semua orang yang kukenal, setidaknya kita sebagai teman bisa memberikannya perpisahan yang layak." Itu yang dia katakan, dia memang selalu kayak gini percaya kalau orang bisa berubah atau percaya kalau sebenarnya semua orang itu baik…" 

"Semenjak temennya dulu meninggal karena Covid, dia jadi kayak takut kehilangan temennya sendiri atau orang yang ia kenal," Sastra langsung menyala, "Temennya dulu meninggal?!" "Ah, aku keceplosan, dia udah bilang jangan kasih tau ke siapa-siapa. Yaudah lagian kamu juga udah pernah jadi pacarnya pasti kamu tau Isabel kayak gimana. Ya gitulah dia kadang juga curhat kalau dia merasa bersalah atas semua yang terjadi dengan orang di sekitarnya, apalagi setelah meninggalnya Martin. Dia pernah bilang kalau dia lah penyebab Martin bunuh diri, tapi ya aslinya gak gitu. Yang nyebarkan video itu kan Cecil bukan dia." 

"Jadi, aslinya Isabel gak pernah suka sama Martin?" tanya Sastra. Becca langsung tertawa dan berkata, "Hah, mana ada kayak gitu. Katanya loh Martin itu kayak genderuwo sampai Isabel takut, sumpah gak goro aku. Kenapa Sas, kamu masih cemburu a" Sastra menutupi rasa malunya dengan berkata, "Enggak-enggak aku cuma tanya aja…" 

Aku ngapain cemburu sama orang yang sudah mati.

Melihat Sastra yang mulai diam dan tampak merenung Becca berkata, "Ayo kita balik ke kelas, udah malem ini aku juga harus ngunci ruang musiknya." "Oke," jawab Sastra singkat. Kemudian mereka berdua keluar kelas dan Becca mengunci pintunya. Setelah itu mereka berdua berpisah dan Sastra mengendarai sepeda listriknya untuk pulang ke rumah. 

Sesampainya di rumah Sastra menemukan koper-koper yang akan dibawa untuk pergi ke bandara besok. Mereka akan terbang ke Jakarta dulu kemudian ke Paris. Berada di samping mobil, Novel yang melihat Sastra baru pulang langsung menyapanya, "Gimana tadi persiapan buat panen karyanya Sastra?" Sastra salim terlebih dahulu kepada ayahnya baru menjawab, "Baik pah, semoga besok acaranya lancar dan menyenangkan. Papa lagi mengemas koper-koper ke dalam mobil?" 

"Ya, memang kelihatannya lagi ngapain kalau bukan itu. Barang-barangmu juga udah ditaruh di dalam mobil, kamu mending makan sama istirahat aja dulu besok kan kamu sibuk." Sastra mengangguk lalu masuk ke dalam rumah. Dia segera menghabiskan makan malamnya supaya bisa berlatih piano untuk besok. Kemudian dia mandi sebentar dan berganti ke pakaian rumah. Setelah itu dia pergi ke ruang piano dan duduk di depan piano. Perlahan dia membuka keylids piano itu. Namun, ketenangannya diganggu dengan suara perempuan yang memanggilnya, "Sastra kamu ngapain?" 

Saat Sastra menoleh ke belakang dia melihat Endah yang sedang bersandar di pintu. Rasa benci Sastra terhadapnya langsung mencuat dan wajahnya berubah dingin. Dia menjawab, "Aku mau latihan buat besok, kan aku bagian main keyboard." "Beneran, malem-malem gini?" tanyanya. "Ya, kalau gak sekarang mau kapan?" jawabnya. 

Lalu Endah berkata, "Yaudah kamu latihan aja, tapi jangan sampai tengah malem dan awas kalau sampai berisik." Setelah mengatakan itu dia meninggalkan ruang piano begitu saja. Saat dia sudah tidak ada Sastra baru bisa menghela napasnya dan tekanan darahnya perlahan turun menjadi normal lagi. Kemudian dia membuka HPnya dan masuk ke dalam grup WA khusus penampilan band besok. Dia membuka file yang berisikan not-not piano untuk lagu yang akan dibawakan besok. 

Setelah itu dia meletakkan HPnya di atas piano dengan posisi vertikal menghadap ke arahnya. Sastra mulai meletakkan tangannya di atas keyboard piano seraya semua muscle memorinya mulai bekerja. Dalam sekejap dia langsung mengingat dimana letak setiap tuts beserta nadanya. Semua memori tentang latihan-latihan pianonya semasa SD kembali lagi dan siap digunakan. Dia membatin, Meski piano agak berbeda dengan keyboard yang digunakan besok, setidaknya aku latihan sekali ini. Aku gak akan mengacaukan rencana dan keinginan Isabel.

Kemudian Sastra mulai memainkan piano itu. Terdengar melodi yang indah yang sesuai dengan lagu yang dimainkan besok. Ruangan yang agak gelap itu disinari oleh cahaya bulan dan bintang membuatnya seakan berada di dalam sebuah adegan film.