Percuma aku menyebarkan video itu, percuma aku nyuruh Mas Lori minta maaf, percuma aku ngajak balikan Isabel, percuma aku melakukan semua ini… Semuanya hanya menghancurkan hidup temenku, hidupku sendiri, bahkan membuat Isabel semakin menderita…
Selama berjalan menuju parkiran guru Sastra terus memaki dirinya sendiri. Di sekitarnya banyak anak-anak yang tampak bahagia dengan teman-teman mereka. Menikmati kebersamaan dan momen panan karya itu, tetapi Sastra merasa tidak merasa termasuk dengan mereka. Terisolasi dalam kekalutan dan rasa bersalah atas semua tindakannya.
Dia bagaikan ikan yang berada di luar air. Pastinya ikan yang berada di luar air akan merindukan air sebagai tempat tinggalnya dimana semua ikan yang ia kenal berada dan menunggunya. Namun, Sastra tidak merasa demikian, dia merasa enggan untuk kembali kepada teman-temannya. Melihat teman-temannya menganggap bahwa Cecil adalah pelaku penyebar video itu, tetapi sebenarnya pelakunya adalah Sastra, hanya membuatnya terus sengsara. Dia juga ingin mencari pertolongan pada seseorang, namun tidak mungkin dia mengakui semua perbuatannya itu, jika dia melakukannya hidupnya akan hancur. Sastra pun mencoba untuk memendam semuanya dalam hati dan menguburnya hidup-hidup.
Hal yang tak terduga pun terjadi, saat Sastra sedang berjalan menuju parkiran dia mendengar ada suara orang yang bersiul. Kemudian dia melihat Chrono yang duduk di kursi taman kecil. Sebelum parkiran guru terdapat kolam kecil yang di sebelahnya terdapat 2 kursi, 1 meja dan 1 bangku panjang. Dengan penuh senyuman Chrono melambaikan tangannya sambil berkata, "Sastra, sini dulu sebentar, temani aku minum teh sebentar. Penampilan bandmu sudah selesai kan? Kamu bisa istirahat dulu sebentar di sini sebelum pulang, aku juga ada sesuatu yang mau katakan."
Saat melihat wajahnya lagi Sastra merasa ingin menghajarnya sampai mati, tetapi dia tetap tenang lalu bertanya, "Mau katakan apa?" "Sesuatu, ada banyak makannya duduk dulu sama aku. Ada dua cangkir teh, jadi kita minum teh dulu sebentar," jawabnya sambil menunjuk ke arah cangkir teh yang berada di depannya. Tidak ada pilihan lain Sastra menerima ajakan Chrono lalu duduk berhadapan dengannya. Suasana di sana saat itu sangat sepi, kebanyakan anak-anak dan guru sedang menonton penampilan panen karya di lapangan, sehingga mereka bisa berbicara secara pribadi.
Keduanya tampak seperti siang dan malam, Sastra ekspresinya serius sedangkan Chrono ekspresinya tenang, bahkan dia sedang tersenyum. Chrono menyesap tehnya sedikit lalu bertanya, "Gimana Sastra, apa kamu berhasil balikan dengan Isabel? Atau kamu berhasil menyelesaikan masalah dibuangnya origami mawar putih yang dibuat Isabel?" Pertanyaan itu membuat Sastra naik darah sampai menghentakkan meja. Dia berkata, "Semua ini gara-gara kamu lagi kan? Pertama kamu membuat Cecil ditangkep dan sekarang kamu mempermainkan aku dan Isabel, kamu pikir kamu siapa bisa seenaknya melakukan ini?!"
"Aku siapa? Kayaknya gak ada salahnya sekali-kali jujur padamu," Chrono diam sejenak sambil menatap dalam ke mata Sastra lalu melanjutkan, "Dari memorimu aku bisa melihat kalau kamu udah ketemu sama nona Sophia. Hmm, dia juga udah ngasih tau yang sebenarnya ya. Seperti yang kamu tau sekarang kamu adalah Reclaimer, kamu bisa menyimpulkan aku apa dari informasi yang kamu tau."
Dengan nada marah Sastra berkata, "Aku tau Reclaimer itu apa, tapi pertanyaanku siapa kamu? Berani-beraninya mempermainkan hidupku."
Chrono tersenyum sambil menjawab, "Aku akan memperkenalkan diriku lagi, diriku yang sebenarnya. Akulah Chrono, malaikat yang melampaui batas waktu dan takdir. Mata yang melihat semua yang terjalin dalam benang takdir, jiwa yang bernapas maupun arwah yang membisu. Satu-satunya harapan di balik tirai waktu yang penuh kebohongan. Aku adalah bayangan yang merayap di celah-celah waktu, pembawa kehancuran bagi tuhan di Kayangan. Dalam denyut nadiku bersemayam kutukan masa lalu dan api pemberontakan yang tak pernah padam. Akulah sang penghukum dan penjaga gerbang akhir zaman. Chrono, Angel of Time and Fate."
Sastra hanya terdiam antara percaya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengarkan. Dia berharap semua ini hanyalah mimpi, tetapi yang ia hadapi sekarang adalah kenyataan. Di hadapannya duduklah iblis akar dari segala kejahatan di dunia ini tersenyum padanya. Lalu Chrono bertanya lagi, "Bagaimana Sastra, setelah mengetahui diriku yang sebenarnya apa ada perubahan dalam dirimu? Apa keberadaanku berarti bagimu sebagaimana keberadaanmu tidak berarti bagiku?"
"Kamu pikir aku akan mempercayai semua ucapanmu itu? Bisa saja kamu hanya ilusi dari pikiranku yang sudah mulai gila. Sebenarnya kamu gak nyata dan cuma ada di dalam pikiranku saja kan?"
"Sayang sekali kamu memang bodoh Sastra, aku tidak menghina intelektualmu, tapi aku hanya menghina keberadaanmu. Manusia memang sangat terikat dengan realita yang mereka anggap nyata. Kenyataan yang mereka lihat itu disebut presepsi yang belum tentu benar. Dalam situasi yang seperti ini hanya orang yang bisa beradaptasi saja yang akan bertahan. Orang yang rela merubah presepsi mereka terhadap realita baru yang mereka hadapi. Hmm, mungkin semua ini masih baru dan susah untuk kamu percayai, tapi kamu tidak punya pilihan lain selain untuk percaya, karena ini yang aku mau."
Chrono berhenti sejenak sebelum membahas topik lain, "Aku mau tanya lagi Sastra, apa kamu menikmati waktumu di dunia Astral? Maksudku waktu sebelum kamu bertemu dengan Sophia, dimana kamu mati dan hidup lagi tanpa henti, jadi apa kamu suka itu, heheh?"
"Apa maksudmu suka?! Aku mati hidup berkali-kali di sana, aku bisa merasakan semua tulang-tulangku remuk pas jatuh dari tali yang mencekik leherku. Semua organ tubuhku terasa sakit saat aku mati. Terus tiba-tiba aku hidup lagi, setelah itu aku mati lagi tanpa ada istirahat! Bisa-bisanya kamu tanya apa aku menikmati semua itu?!"
Melihat Sastra yang marah-marah Chrono tidak bisa menahan tawanya. Sambil melambaikan tangannya dia berkata, "Ahahah, dengan mengalami semua rasa sakit itu baru kamu bisa menemukan kenyataan dunia ini, Sastra. Melalui rasa sakit kamu bisa mengetahui apa yang salah serta kebenaran yang tersembunyi di pelupuk mata. Kamu harus belajar menikmati rasa sakit itu, agar kamu bisa membuka matamu dan menyaksikan kebenaran sepertiku."
"Anjing, apa kamu udah gila?!" teriak Sastra. Chrono menyahut, "Santai Sastra, kita ini lagi ngobrol sama ngeteh jaga sikapmu, kamu dari keluarga yang terpandang kan? Harusnya kamu malu karena teriak-teriak dan mengumpat di tempat umum kayak gini." Akhirnya Sastra menenangkan dirinya lalu diam dan menahan amarahnya.
Chrono memalingkan pandangannya ke arah lapangan di belakang Sastra dan melihat keseruan yang ada di sana lalu berkata, "Kamu mau tau rahasia Sastra? Sebenarnya kamu ditakdirkan tertangkap dan dipenjara karena menyebabkan bunuh dirinya Martin, tapi aku mengubahnya. Ada sesuatu yang tuhan tidak memberitau kalian, menurutmu kamu bisa mengubah takdirmu atau tidak, Sastra?"
Sastra menjawab, "Bisa, ada takdir yang bisa kita ubah dan ada yang tidak bisa kita ubah. Yang bisa kita ubah adalah pilihan-pilihan yang kita buat selama masih hidup dan yang tidak bisa kita ubah adalah kematian, di mana dan dengan siapa kamu dilahirkan."
"Kurang tepat, tidak ada takdir yang bisa kita ubah. Semuanya sudah tertulis mulai dari yang sekecil atom sampai seluruh alam semesta. Permulaan bintang dan layunya sepucuk daun, tidak ada yang terlepas dari takdir yang telah dituliskan. Terus kamu tau bagaimana aku bisa mengubah takdirmu? Jawabannya adalah dengan menjadi Reclaimer, dengan begitu kamu bisa bisa mencurangi takdir dan melawan hukum fisika maupun hukum dunia ini. Sayangnya, kamu tidak bisa mengubah takdirmu untuk kembali berpacaran dengan Isabel, heheh."
"Jangan bahas Isabel di depanku, kamu gak berhak untuk menyebut namanya. Dia itu suci gak kayak kamu yang menghina tuhan dan melawannya. Semua yang kamu lakukan adalah hal yang salah."
"Benarkah? Aku penasaran kriteria apa yang manusia gunakan untuk menentukan mana yang benar dan salah. Karena yang kamu katakan sangat egois, Sastra. Kamu benar-benar tidak bisa melihat ya? Kita berdua ini sama-sama pembohong yang menyebabkan kehancuran."
Sastra meninggikan nada suaranya dan berkata, "Apa maksudmu kita ini pembohong?!"
"Sastra, tidakkah kamu anggap semua ini ironis, seorang pembohong menganggap dirinya benar dihadapan dirinya sendiri? Jawab pertanyaanku ini, apa alasanmu menyebarkan video Martin?"
Sastra agak ragu sebelum menjawab, "Aku lakukan semua itu buat melindungi Isabel, biar kelakuan buruknya Martin diketahui orang-orang dan dia gak bisa melecehkan Isabel lagi. Semua ini kulakukan soalnya aku cinta sama Isabel, aku gak bisa melihatnya terluka atau menangis kayak yang kamu lakukan tadi!"
"Oh, sekarang kamu menyalahkanku, bukankah Mas Lori bilang kalau kamu yang memerintahkannya untuk melakukan itu? Artinya kamulah yang menyebabkan Isabel sengsara. Sampai sekarang kamu masih saja menganggap dirimu benar, delusimu itu terus menggerogoti seperti rayap yang tak kenal rasa kenyang. Tapi pada akhirnya apa kamu berhasil?"
Sastra semakin terguncang dan keraguannya semakin memuncak. Dia menjawab, "Aku... Gagal." Chrono tersenyum lalu berkata, "Benar sekali, semua kesengsaraanmu dan kesengsaraan orang di sekitarmuu adalah produk dari benag-benang takdir. Kehendak tuhan yang sama sekali tidak mencegah kehancuran manusia. Itulah sebabnya Sastra, dunia ini sedang membusuk."
"Kamu salah, dunia ini indah karena ada yang namanya cinta. Jika semua mahluk saling menyayangi dan mencintai maka tidak akan ada yang namanya kehancuran."
"Tapi apakah itu yang terjadi di dunia ini?" tanya Chrono.
"Enggak, tapi gak ada salahnya kita berharap. Aku bisa melihat sendiri kalau dunia ini penuh kebohongan dan diisi dengan orang-orang yang seperti itu. Tapi, aku coba melihat dunia ini dengan presepsi lain. Dunia yang dilihat oleh Isabel, dunia yang indah dan penuh cinta, aku tau hidupnya Isabel banyak masalah, tapi karena aku melihat semua itu aku jadi kagum padanya. Kagum, dengan semua masalah yang ia hadapi dia tetap bisa positif dan memandang dunia ini dengan cerah."
"Mungkin jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin menjadi sepertimu, bersamamu dan melihat dunia yang kamu impikan," kata Sastra seakan dia berbicara pada Isabel.
Melihat Sastra yang mulai mendapatkan harapan Chrono menjadi jengkel. Dia berkata, "Kayaknya pembicaraan kita sudah cukup, ngomong-ngomong aku punya kejutan di rumah untukmu, Sastra. Ibu tirimu baru pulang kan? Menurutmu apa yang terjadi padanya? Maksudku apa yang terjadi pada semua anggota keluargamu?"
Pertanyaan simpel itu langsung membangkitkan amarah Sastra yang sejak tadi ia tahan. Dia langsung berdiri dan mencengkram kerah baju Chrono. Dia berkata dengan lantang, "Kamu apakan keluargaku?!" "Cari tau sendiri dan saksikan dengan kedua matamu apa yang terjadi pada mereka, hehe," ucap Chrono sambil tertawa. Dia tampak menikmati setiap kali Sastra menderita atau ketakutan. Sastra yang mengkhawatirkan keluarganya langsung lari ke sepeda listriknya. Lalu mengendarainya ke rumah meninggalkan Chrono yang masih menyeruput tehnya.
Secepat-cepatnya sepeda listrik itu melaju, Sastra baru sampai di rumah setelah 7 menit. Sesampainya di rumah Sastra langsung berlari masuk dengan jantung yang masih berdebar kencang. Anehnya keluarganya ada di dalam rumah semua dan semuanya tampak normal. Wajahnya yang kalut perlahan rileks dan jantungnya juga mulai tenang. Namun, Sastra melihat ada yang aneh, yakni mereka sudah mengenakan pakaian yang mahal seperti akan pergi ke suatu tempat. Sastra pun bertanya, "Kalian mau kemana? Oh ya, sudah mau berangkat ke bandara kan? Sebentar aku mau ganti baju dulu…"
Endah menghentikannya dengan berkata, "Gak perlu Sas, kamu tinggal di rumah dan gak ikut ke Paris." Sontak Sastra kaget dan bertanya, "Huh, maksudnya apa? Aku tetep di rumah gitu dan hanya kalian yang pergi. Memangnya ada apa kok sampai aku gak diajak pergi?"
Endah meletakkan tangannya di pinggang sambil berkata, "Sudah berapa kali aku bilang kalau kamu harus mendapatkan nilai yang bagus. Ini, lihat sendiri nilai raportmu." Kemudian dia melemparkan buku raport yang berwarna hitam ke arah Sastra. Buk itu mendarat di kakinya dalam keadaan terbalik. Kadang Sastra ingin menghajar Endah karena dia sering tidak menjaga mannernya dengan melemparkan buku sembarangan.
Saat Sastra melihat isinya dia hanya menemukan 1 nilai jelek yang ada di kolom bahasa Indonesia. Nilainya adalah 78, nilai itu sendiri sudah berada di atas kkm meski kelihatannya jelek. Namun, Sastra merasa sangat gagal karena itu pertama kalinya dia mendapatkan nilai sejelek itu dan dia juga tidak tau alasannya apa. Lalu dia berkata, "Seumur-umur aku baru pertama kali dapet nilai sejelek ini, tapi nilai 78 itu ada di atas kkm jadi gak terlalu jelek juga. Aku gak tau kenapa gurunya ngasih segitu, tapi aku sudah berusaha biar dapetin nilai yang bagus."
Endah yang duduk di sofa ruang tamu tetap tidak mempercayainya dan bertanya, "Itu yang kamu bilang bagus? Aku mintanya berapa hmm? 100 minimal kalau gak seratus 90, kenapa ini 70 nilainya? Selama ini kamu di sekolah itu ngapain aja? Pasti cuma main sulap sama buang-buang uangmu sampai nilai jeblok kayak gini."
"Itu gak jeblok, cuma 1 aja gak papa, lagian nilainya di atas kkm. Kamu gak tau apa yang aku lalui selama ini di sekolah, aku gak cuma main-main aja di sekolah selama ini aku…" Endah menyelanya, "Oh, kalau kamu gak main-main aja selama ini kenapa nilaimu jelek hah? Dan jangan panggil aku kamu, aku ini ibumu."
"Ibuku? Sejak kapan kamu jadi ibuku, satu-satunya ibuku sudah meninggal. Kamu hanya istri dari papa bukan berarti kamu adalah ibuku." Endah langsung berdiri lalu menampar Sastra.
Plak…
"Bilang kalau aku bukan ibumu lagi, kamu itu sudah remaja dan sebentar lagi dewasa harusnya punya rasa hormat sama yang lebih tua. Oh, aku tau kenapa nilaimu jelek. Pasti kamu sibuk pacaran sama cewek kristen itu kan? Kamu pikir aku gak tau gitu? Bisa-bisanya kamu pacaran sama anak yang beda agama."
Sastra merasa ingin balik menamparnya atau lebih buruk menghajarnya, tetapi dia hanya bisa menggenggam tangannya dengan erat di samping paha. "Memang iya aku pacaran sama yang beda agama, tapi hanya sebatas itu dan dia juga butuh dukunganku, banyak masalah dalam hidupnya."
Endah tidak dapat menahan tawanya dan berkata, "Ahahah, sekarang kamu jadi white knight pelindung pacarmu ya, pasti itu penyebabnya kamu jadi kayak gini. Kasih kamu pengaruh buruk. Udah nilai jelek, sikapmu kurang ajar, terus kalau kamu sampai kayak gini pastaskah kamu ikut liburan ke Paris? Jawabanya no, kamu stay di sini aja, tiketmu kukasihkan ke Bella aja, dia sopan dan banyak membantu di rumah."
"Aku gak terlalu peduli kalau aku memang gak diajak, tapi jangan sekali-kali kamu bicara buruk tentang Isabel. Dia bukan cewek yang kayak gitu, selama ini dia selalu mendukungku juga dan dia orangnya baik," ucap Sastra dengan geram. Endah mendekat ke Sastra hingga berjarak sejengkal lalu menantangnya, "Memangnya kalau aku bilang gitu kenapa? Kamu mau ngapain? Kamu mau pukul aku?"
Sialan dasar lonte, kenapa papa harus nikah sama cewek yang kayak gini? Bahkan aku dipaksa menganggapnya sebagai ibu sendiri, tapi kelakuannya kayak gini. Untung ada papa di sini kalau gak ada siapa-siapa sudah kehajar dia.
Novel yang sudah tidak tahan melihat mereka berdua pun berdiri dan melerai, "Sudah sayang, kamu sudah janji gak akan terlalu mempermasalahkan ini sama Sastra kan? Kalau memang kamu mau dia biar tetap di rumah gak papa, tapi jangan terlalu keras padanya." Endah yang sejak tadi berlagak seperti macan langsung berubah menjadi kucing. Dia menjawab, "Maaf sayangku, aku cuma mau ngajarin dia tata krama, masa dia gak anggep aku sebagai ibunya. Padahal aku sudah berusaha sebaik mungkin, tapi dia terus kayak gitu."
Sastra tidak tau harus bilang apa melihat situasi ini, ibu tirinya yang tadinya galak sekarang menjadi wanita jalang yang pandai menjilat. Ayu, kakak perempuannya juga tidak terlalu peduli dengan drama yang sedang terjadi, dia hanya bermain HPnya sejak tadi. Lalu Novel berkata, "Lebih baik kita berangkat sekarang aja, habis ini jadwal terbang pesawat kita." "Oke, Bella sini kita berangkat sekarang, Ayu ayo bangun kita berangkat," kata Endah yang kemudian keluar menuju mobil seakan tidak terjadi apapun.
Novel menghampiri Sastra lalu berkata padanya, "Maaf Sas, kamu kali ini di rumah dulu aja ya. Nanti akan kutransfer uang ke rekeningmu, jadi kamu bisa melakukan apa aja selama sendiri di rumah." Kemudian dia menepuk pundak Sastra dan juga meninggalkannya sendirian. Bella membungkuk saat berjalan di samping Sastra, sedangkan Ayu hanya berkata, "Dadah Sastra, jaga rumah ya."
Sastra berdiri mematung di sana sampai suara mobilnya menghilang. Bahkan, saat suasana kembali hening dia tetap diam dan berusaha memproses apa yang terjadi. Di benaknya hanya ada 1 kenyataan yang harus ia hadapi, yakni dia ditinggal sendirian di rumah, sedangkan keluarganya berlibur dan bersenang-senang di Paris tanpanya. Bagaimana bisa mereka tega melakukan itu? Hanya karena alasan nilai jelek dan berpacaran dengan yang berbeda agama, semua itu tampak seperti alasan yang bodoh.
Saat dia menyadari realita itu Sastra tidak dapat menahan tawanya. Di wajahnya terukir senyuman yang tampak seperti orang gila. Kemudian dia mulai tertawa, "Ahahahaha… Hehehehheheh, ahahahahhahah." Sambil tertawa dia berjalan ke kamarnya menaiki tangga spiral. Hingga saat berada di kamar dia terpukul dengan rasa kekosongan, seperti ada sesuatu yang hilang dari dadanya. Kepalanya terasa sangat berat hingga ia menghentikan tawanya.
Tiba-tiba Sastra mencium bau tidak sedap dari dalam ruangannya, tetapi ia tau kalau dia sendirian di rumah itu. Karena penasaran Sastra membalikkan badannya dan melihat Martin yang berdiri dengan kondisi tubuh yang berlumuran darah tepat di belakangnya. Dia tampak persis seperti terakhir kali Sastra melihatnya saat dia bunuh diri. Sontak Sastra kaget dan jatuh ke tempat tidur. Dia berteriak, "Kenapa kamu terus ngikuti aku Martin?! Apa yang kamu mau?! Biarkan aku sendiri, apa aku gak cukup merasa bersalah? Aku akui aku yang menyebarkan video itu oke, jadi tolong tinggalkan aku!"
Martin hanya menjawab, "Tolong aku… Sakit rasanya sakit, tolong aku…" "Aku harus bantuin apa? Kamu mau apa Martin, mau pertolongan apa? Katakan padaku!" Martin tidak meresponnya dengan jawaban yang jelas, dia terus berkata tolong dan tolong yang membuat Sastra merasa semakin tertekan. Hingga akhirnya Martin mendekat lalu mencekik leher Sastra. Entah kenapa cekikan tangannya sangat kuat hingga pukulan dan usaha Sastra melepaskan diri tidak cukup kuat. "Aghh, eughhh tunggu… Martin aku… Akan menolongmu…" Sastra yang tidak berdaya akhirnya pingsan di atas tempat tidurnya.
Entah berapa lama dia tidak sadarkan diri saat Sastra bangun dia menemukan sesuatu yang membuat hatinya semakin hancur. Di sudut kamarnya Sastra melihat sangkar burung merpati yang sudah remuk. Di sampingnya terdapat Sasbel, yakni burung merpatinya yang sudah mati. Bulu-bulu putihnya ternodai dengan darah yang berwarna merah. Darah-darah itu juga tampak masih segar. Lalu Sastra melihat kedua tangannya yang ternyata juga ternodai dengan darah.
Aku melakukan semua ini? Aku membunuh burung merpatiku? Aku membunuh Sasbel, burung yang selalu menemaniku…
Dengan mata yang berkaca-kaca Sastra bangkit lalu memungut jasad Sasbel. Paruh Sasbel masih terbuka dan matanya juga terbuka yang menandakan dia tersiksa sebelum mati. Dengan telapak tangannya Sastra menutup paruh dan mata Sasbel lalu membawanya keluar kamar. Saat berada di lantai satu dia memanggil, "Bella, aku butuh bantuan…" Namun, tidak ada jawaban, di situ Sastra mengingat bahwa dia sendirian di rumah itu. Tidak ada pilihan lain Sastra harus membuang Sasbel ke tempat sampah karena dia sudah mati.
Saat dia membuka tutup tempat sampah, Sastra terhenti tatkala dia teringat akan sesuatu. Dia teringat akan janji yang telah ia buat kepada Isabel saat mereka menguburkan mayat Snowy di sekolah. Saat itu hujan dan mereka sampai basah-basahan, tetapi yang jelas Sastra ingat adalah kata-kata Isabel yang berbunyi, "Hal-hal yang kita cintai memberitahu siapa diri kita. Makannya kita harus mencintai semua makhluk sebagaimana mereka mencintai kita dan kita harus peduli pada dunia sebagaimana dunia peduli pada kita."
Mencintai makhluk hidup, hah? Mungkin kali ini aku bisa melakukannya, setidaknya kulakukan untukmu…
Sastra mengurungkan niatnya untuk membuang mayat Sasbel lalu dia pergi keluar rumah menuju kebunnya. Dia mengambil sekop yang tertancap di pot lalu menggunakannya untuk menggali lubang. Dia gali lubang itu di dekat pohon dan memastikan lubangnya cukup dalam untuk Sasbel. Selama menggali lubang itu napas Sastra lama-kelamaan semakin cepat. Dia coba menahan air matanya agar tidak mengalir dan tetap mempertahankan ketenangannya.
Namun, saat menurunkan jasad Sasbel ke dalam lubang itu Sastra tidak bisa menahan rasa tangisnya lagi. Air matanya menetes ke tanah seraya dia menutup lubang itu. Satu per satu tanah itu jatuh menutupi Sasbel hingga akhirnya tertutup sepenuhnya. Lalu Sastra terjatuh ke belakang sambil melepaskan sekopnya. Semua bagian tubuhnya terasa lemas serta dia merasa keringat dingin mengucur dari dahi dan seluruh tubuh.
Sastra memeluk kedua kakinya dengan tangan yang gemetaran lalu mengubur kepalanya di antara lututnya. Tangannya yang berlumuran darah Sasbel sekarang semakin kotor dengan noda tanah yang menempel. Kemeja putihnya juga ikut ternodai dengan tanah dan darah. Dia sendirian di sana, dia baru saja menguburkan satu-satunya teman yang ia punya. Sekarang dia tidak memiliki apa-apa selain dirinya yang ia benci. Cahaya matahari yang mulai terbenam menambah kesepiannya dan suasana dingin yang dia rasakan.
Sambil terisak tangis Sastra mencerca dirinya sendiri, "Kenapa semua yang kulakukan selalu berujung gagal? Semua yang kulakukan sudah benar, tapi semuanya tidak pernah berakhir baik. Martin meninggal karenaku, Cecil dipenjara karenaku, Isabel menderita karenaku, Sasbel juga mati karenaku, semua hal buruk yang terjadi di sekitarku itu semua salahku. Sasbel cuma satu-satunya yang bisa menemaniku juga ikut mati. Merpati pertama yang kuanggap spesial karena Isabel memberinya nama sekarang sudah mati.
Semua orang juga tetap menganggapku sebagai Sastra si pesulap yang baik hati dan keren, padahal akulah yang menyebabkan semua ini. Berapa lama aku harus berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja? Berapa banyak rasa sakit yang harus aku sembunyikan mengetahui bahwa aku penyebab semua hal buruk yang terjadi? Hal buruk apa lagi yang akan terjadi padaku dan orang di sekitarku yang disebabkan olehku? Aku… Aku minta maaf semuanya, aku bener-bener minta maaf… Aku gak pernah berniat untuk semua ini terjadi…
Aku bisa saja menyalahkan semua hal buruk ini pada Chrono, tapi bukankah itu hanya akan menjadi alasan supaya aku merasa lebih baik? Membohongi diriku sendiri sama sekali tidak akan menghilangkan dosa-dosaku dan rasa sakit di hatiku. Justru karena Chrono merasuki tubuhku untuk melakukan semua itu, dosanya kembali lagi padaku. Secara tidak langsung aku yang melakukan semua ini.
Bagaimana orang sepertiku bisa hidup kayak gini? Aku pantas mati… Tidak, aku harusnya disiksa, mati aja gak akan menghilangkan dosa-dosaku. Gak akan membawa kembali Martin dan gak akan membebaskan Cecil. Tapi disiksa juga tidak akan memperbaiki semuanya... Lagipula siapa yang peduli jika aku mati? Isabel? Atau keluargaku? Aku yakin mereka semua juga membenciku, meski mereka tidak mengatakannya. Semua ini… Semua ini salahku dan aku benci diriku sendiri!!!"
"Apakah semua yang kulakukan salah karena cintaku padamu? Ataukah semua ini terjadi karena kebodohanku, yang menghancurkan orang-orang di sekitarku dan diriku sendiri? Yang kutahu hanyalah, semua usahaku berujung sia-sia."
TO BE CONTINUED IN THE NEXT VOLUME