Saat Sastra merenung dengan pikirannya yang kacau dia teringat sesuatu. Teringat bahwa penampilan band ini adalah permintaan Isabel. Dia membatin, Aku harus kembali lagi ke kelas 12, pasti mereka khawatir kalau aku lama-lama di sini dan belum balik. Aku masih punya sesuatu yang harus kulakukan…
Dia bangkit dari lantai lalu kembali ke kelas dengan wajah yang pucat. Di dalam kelas temannya bertanya, "Kamu kenapa tadi Sas, langsung lari dari kelas aja? Wajahmu juga pucat kayak habis lihat hantu." Sastra menggelengkan kepalanya lalu berkata, "Aku kayaknya salah makan tadi terus muntah. Kalian punya air putih gak?" Mereka pun kaget dan menjawab, "Muntah? Kalau kamu sakit mending istirahat di UKS aja."
"Tapi kan kita harus tampil habis ini, aku cuma butuh minum aja kok, aku juga gak papa." Kemudian temannya memberinya botol air putih. Sastra sendiri tidak membawa air putih untuk ia minum. Dia duduk sambil meminum air itu hingga habis separuh. Meski sudah minum air putih dan beristirahat selama 1 menit, Sastra masih merasa mual dan wajahnya pucat. Namun, saat dia berhenti minum dan melihat ke sekelilingnya, Martin yang menghantuinya sudah hilang, menyisakan ruangan kelas yang cukup luas. "Terimakasih," kata Sastra pada temannya yang akan bermain bass.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu dan ada anak OSIS yang berkata, "Permisi, silakan kelas X.B bisa bersiap-siap ya, 5 menit lagi kalian akan segera tampil." Becca pun menjawab, "Oh iya kak, makasih kami akan segera siap-siap." Saat anak OSIS itu sudah pergi Becca memberikan semangat pada teman-temannya, "Semuanya sudah waktunya kita menampilkan hasil kerja keras kita selama ini. Harusnya lancarlah ya, ayo sekarang kita ke lapangan indoor."
Dua anak sekelasnya membawa bass dan gitar listrik mereka sambil keluar kelas. Dua lainnya yang salah satunya adalah Sastra tidak perlu membawa apa-apa karena drum dan keyboardnya sudah diletakkan di panggung lapangan. Saat mereka berjalan keluar Becca bertanya pada Sastra, "Kamu beneran gak papa Sas?" Sastra menjawabnya dengan tersenyum, "Jangan khawatirkan aku, mending kamu fokus buat nyanyi habis ini. Habis penampilan ini selesai aku pulang mungkin, buat istirahat."
Becca mempercayai Sastra dan tidak menanyainya lagi. Akhirnya mereka sampai di atas panggung di lapangan. Dari atas panggung Sastra bisa melihat kursi-kursi yang sudah ditata rapi menghadap panggung. Di paling depan terdapat sofa yang ditujukan untuk guru-guru. Sastra langsung duduk di belakang keyboardnya sambil menunggu aba-aba dari Becca.
Becca mengatur posisi micnya supaya pas lalu berkata dengan semangat, "Selamat pagi semuanya, yokpo kabare iki? Mestine apik-apik wae lah yo. Ehem, perkenalkan aku Becca dari kelas sepuluh B, akan nyanyikan lagu nih buat kalian. Kira-kira apa ya, pokoknya ada dua. Nah lagu pertama yang akan kami bawakan berjudul Risalah Hati dari Dewa 19. Tiga, dua, satu, musik!"
Gitar listrik dan bass itu langsung dipetik, diikuti dengan suara drum yang ditabuh. Becca menghentak-hentakkan kakinya sedikit sambil menunggu waktu dia mulai bernyanyi. Sastra juga mulai memainkan keyboardnya sesuai dengan yang sudah ia pelajari kemarin malam. Meski kemampuannya dalam memainkan piano atau keyboard sudah berkarat, dia tampak lancar memainkan keyboard itu.
Mereka mengcover lagu itu dan mengganti genrenya ke rock sehingga memiliki nada mayor yang cepat dan bersemangat. Saat Becca mulai berbicara tadi, banyak anak-anak dan guru yang memperhatikannya, sekarang saat lagunya sudah dimulai lebih banyak lagi yang menonton. Isabel dan teman-teman sekelas yang lainnya juga ikut menonton dari stand kelas.
"Itu keren anjay Becca akhirnya beneran nyanyi di band musik kelas, rock lagi. Biasanya dia kan nyanyi yang kalem-kalem gitu kayak pas di gereja," kata Tiana. Isabel menjawab, "Kalau dimulai sama lagu yang tenang dan lembut gak bakalan bisa mencuri perhatian banyak orang. Justru di lagu yang kedua baru lagu yang tenang dinyanyikan." Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan suara yang kecil, "Lagu untuk Martin."
Saat menonton Becca yang menyanyi, Isabel juga dapat melihat Sastra yang sedang memainkan keyboard. Tatapannya berubah menjadi melankolis seolah-oleh mengenang sesuatu. Kemudian dia membatin, Aku gak bisa sama Sastra lagi, mau seberapapun dia membantuku atau minta balikan, tapi aku… Aku gak mau melibatkanmu dalam hidupku, aku gak mau dia bernasib sama kayak Martin, Kristi atau yang lainnya. Aku sudah cukup kehilangan orang-orang yang kukenal… Aku gak akan lagi.
Lalu saat lagunya selesai Becca berkata di depan micnya, "Nah, itu baru lagu pertama dari kami, buat lagu yang kedua, kami akan menyanyikan lagu Melukis Senja dari Budi Doremi. Sebelum kita lanjutkan ke lagu kedua aku ingin menyampaikan sesuatu." Seketika suasana lapangan yang tadinya ramai berubah menjadi hening. Semua orang di sana memperhatikan apa yang Becca akan katakan.
Lalu dia melanjutkan, "Kalian semua pasti tau tentang kasus yang menimpa Martin sampai dia akhirnya bunuh diri… Martin itu teman sekelas kami, dia selalu membantu temannya dan selalu ceria. Memang dia sudah melakukan hal yang buruk dan aku tidak membenarkan perbuatannya, tapi dia juga diperlakukan tidak adil. Maksudnya gak ada yang membantunya sehingga akhirnya dia memutuskan untuk bunuh diri. Dari semua ini aku mau nyampaikan kalau kita seharusnya peduli dengan teman kita dan membantunya kalau ada masalah. Tapi, masalah ini sudah berlalu dan pelakunya juga sudah diadili… Yang kita bisa lakukan sekarang adalah berdoa untuknya dan menjaga agar masalah ini gak terulang lagi. Untuk mengenang sekaligus perpisahan dengan Martin, aku akan menyanyikan lagu ini, tiga, dua, satu musik..."
Untuk lagu yang kedua ini nadanya lebih lambat dan tenang. Anak-anak yang bermain gitar dan bass diam dulu dan yang terdengar hanya suara dari keyboard yang Sastra mainkan. Sastra menekan tuts di keyboard itu dengan tangan yang gemetaran. Dia sama sekali tidak merasa senang, yang ada hanyalah perasaan bersalah karena dia harus menggantikan posisi Martin sebagai keyboardist. Meski begitu, Sastra masih berusaha menjaga ketenangannya selama lagu itu dinyanyikan. Sesekali dia menengok ke arah penonton yang ada banyak sekali. Dia bisa melihat Isabel dan teman-teman sekelasnya yang menonton dari stand kelas.
Namun, Sastra melihat sesuatu yang lain di dalam barisan penonton itu. Di karpet merah depan stand-stand, Sastra bisa melihat Martin yang berlumuran darah yang merah dan kering. Dia langsung mengembalikan tatapan matanya ke arah keyboard dan menganggap hal itu tidak ada. Tetap saja, Sastra tidak dapat memungkiri bahwa dia terus dihantui oleh Martin serta rasa bersalahnya yang juga terus menggerogoti hatinya.
Becca menyanyikan lagu kedua ini dengan sangat merdu yang dapat menyejukkan jiwa pendengarnya. Ekspresinya juga tampak melankolis saat melafalkan setiap lirik lagu itu. Melodi dari keyboard yang dimainkan Sastra menambah kesedihan lagu itu. Mereka yang mendengarkan lirik lagu itu dapat merasakan ironi karena Martin meninggal sendirian, tidak ada yang menemaninya atau membantunya maupun melukis senja untuknya.
Sastra juga merasakan ironi lain yang mengingatkannya pada Isabel. Seseorang yang dulu terus melukis senjanya menjadi indah telah hilang. Namun, Sastra masih tidak ingin kehilangannya. Di sana dia memutuskan untuk mengajak Isabel untuk kembali ke sisinya lagi. Dia berpikir mungkin saja dengan membuat Mas Lori minta maaf pada Isabel maka Isabel akan memaafkannya juga.
Saat lagunya selesai Becca berkata, "Sekian lagu dari kami, terima kasih bapak ibu guru dan temen-temen yang udah mendengarkan." Penampilan band musik mereka ditutup dengan tepuk tangan dari para penonton. Mulai dari guru atau murid-murid yang ada di sana mengapresiasi penampilan mereka. Mereka dapat bersenang-senang sekaligus menyampaikan pesan perpisahan kepada Martin melalui lagu yang tadi dibawakan.
Kemudian mereka turun dari panggung lalu kembali lagi ke kelas. Penampilan panen karya dilanjutkan oleh penampilan-penampilan dari kelas lain. Di kelas ternyata pengambilan raport sudah selesai dan banyak orangtua yang sudah pulang. Termasuk ibu tiri Sastra yang tidak bisa ia temukan. Kelasnya dapat digunakan kembali dan kebanyakan anak-anak beristirahat di kelas. Ada banyak pula anak-anak yang berada di luar kelas untuk menyaksikan penampilan-penampilan lainnya.
Sastra memutuskan untuk mencari Mas Lori saja yang menurut perkiraannya dia sudah kembali ke sekolah. Kebetulan saat Sastra keluar kelas dia menemukan Mas Lori yang sedang menata peralatan kebersihan di sebelah kamar mandi lantai dua. Sastra berkata dengan nada tegas, "Mas Lori, kemarin sore mas ya yang buang hiasan origami yang ditaruh di lantai kemarin?" Mas Lori langsung menoleh dengan wajah yang agak takut. Tatapannya membuat Sastra merasa aneh karena pertanyaan yang disampaikan tadi tidak mengandung intimidasi dan hanya agak tegas sedikit. Mas Lori menjawab, "Iya sudah saya lakukan semuanya sesuai perintahmu, kamu mau apa lagi?"
Sastra yang bingung balik bertanya dengan marah, "Apa maksudmu aku yang nyuruh kamu buang bunga-bunga itu? Aku baru ketemu sama mas sekarang dan mas nuduh aku nyuruh mas melakukan itu." Mas Lori juga tampak bingung mendengar jawaban Sastra. Dia menjawab, "Kalau bukan kamu siapa lagi, beberapa hari yang lalu kamu kan yang ngancam saya buat ngelakuin ini. Kalau kamu memang punya sesuatu yang lain yang kamu mau saya lakukan bilang aja, tapi yang penting kamu harus tutup mulut soal arak yang saya sembunyikan di sekolah."
"Aku masih gak paham sama maksud mas, tapi aku memang punya permintaan yang lain, yaitu mas harus minta maaf ke Isabel," kata Sastra yang langsung dijawab, "Sekarang? Itu aja kan?" "Iya, yaudah langsung aja ke kelas dan minta maaf ke dia," ucap Sastra sambil berjalan ke kelas. Mas Lori mengikutinya dari belakang dengan wajah yang masih khawatir. Hingga dia bertanya lagi, "Kamu beneran akan menyimpan rahasia tentang minuman arak saya kan? Jangan sampai ada murid, bahkan guru-guru yang tau nanti saya bisa dipecat." Dengan perasaan risih Sastra menjawabnya, "Iya-iya terserah kamu."
Saat masuk kelas mereka mendapati kalau suasana kelasnya lumayan sepi, kurang lebih ada 5 sampai 10 anak yang ada di dalam kelas termasuk Isabel dan Becca. Isabel sedang berdiri di belakang kursi Becca dan mengepang rambutnya. Entah mengapa dia mengepang rambutnya saat penampilan bandnya sudah selesai, yang pasti mereka berdua sedang melakukan itu sambil mengobrol.
Obrolan mereka berdua terhenti saat melihat Sastra dan Mas Lori yang datang ke dalam kelas. Tampang mereka yang serius membuat Isabel menghentikan kepangan rambut Becca. Isabel maju ke samping meja lalu bertanya, "Ini ada apa yah?" "Bel, aku bawakan mas OB yang kemarin ngerusakin bunga-bungamu," dia berbalik ke Mas Lori lalu melanjutkan, "Mas Lori silakan minta maaf ke Isabel tentang yang mas lakukan kemarin."
Dengan ekspresi yang canggung Mas Lori meminta maaf, "Ehhh, mbak Isabel saya minta maaf karena sudah secara gak sengaja membuang bunga-bunga yang kemarin. Saya kira itu sampah dan gak dipakai, saya waktu itu juga sudah lelah jadi saya kurang peka, oleh karena itu saya minta maaf."
Isabel hanya tersenyum seperti menganggapnya bukan masalah besar. Kemudian dia menjawab, "Gak papa kalau gak sengaja, kita semua juga buat kesalahan, yang penting udah minta maaf." Setelah meminta maaf pada Isabel dia kembali menatap Sastra sambil bertanya, "Sudah minta maaf aja kan?" Sastra tidak sepenuhnya merasa puas dengan hanya melihatnya minta maaf, tetapi saat itu hanya itu saja yang ingin ia perintahkan. "Yasudah itu saja, mas bisa pergi sekarang," kata Sastra dengan tidak puas.
Namun, kepergian Mas Lori masih belum mengakhiri apa yang Sastra akan katakan. Saat Sastra menatap Isabel dia tidak bisa mempertahankan sikap tegasnya. Hatinya luluh begitu saja membuat tatapan matanya berubah menjadi lemah lembut. Dia pun berkata, "Bel, ada sesuatu yang mau aku sampaikan…" "Apa lagi?" tanya Isabel. Sastra belum menyiapkan kata-katanya dengan matang dan baru tadi malam ia memikirkan untuk mengatakan ini. Meski rasanya seperti ide yang buruk, tetapi Sastra tetap ingin mengatakannya.
Dia pun menumpahkan seluruh perasaannya, "Isabel Magdalena, aku mau mengajak kamu balikan lagi sama aku. Kita bisa mengulang semuanya dari awal, aku akan memperbaiki kesalahanku selama ini, lebih peduli lagi padamu dan beliin kamu lebih banyak barang biar seneng. Aku juga mau minta maaf kalau selama ini aku ada salah sama kamu yang aku gak tau, tapi kalau kamu bisa bilang aja sama aku alasan kita putus mungkin aku bisa memperbaikinya lagi. Aku akan jadi lebih baik lagi yang penting ada kamu, yang penting kita bersama. Kalau aku ada salah kamu bisa ingatkan dan begitu sebaliknya. Meski kita beda agama, tapi dulu sebelum putus baik-baik aja dan gak jadi masalah, makannya kita bisa mencoba lagi."
"Gak bisa Sas, semuanya sudah selesai di kafe itu. gak ada kesalahan yang perlu kamu perbaiki, gak ada hal yang perlu kumaafkan, seperti yang aku bilang dulu kamu harus cari yang lain Sas, cari yang seagama."
"Tapi gimana kalau aku gak bisa menemukan yang kayak kamu? Yang kayak kamu cuma ada kamu aja." Isabel menatapnya dengan mata yang melemah seperti akan menangis. Dia hanya menjawab, "Pasti ada yang lebih baik dari aku, cari yang lebih cantik lebih cocok sama kamu."
"Gak ada yang lebih cocok selain kamu Isabel, aku sudah melakukan ini… Semua ini terjadi gara-gara aku, tapi setidaknya aku bisa kembali sama kamu. Kita bisa ngulang dari awal lagi kayak dulu pas di kafe, pas aku ngungkapin perasaanku."
"Udah cukup Sas, udah kubilang kita gak bisa balikan lagi, kalau kita bersama nanti malah tambah banyak masalah," kata Isabel dengan nada agak tinggi. Sekarang dia menundukkan kepalanya menatap ke bawah dan mengharapkan Sastra segera pergi.
Perlahan Sastra mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh bahu Isabel sambil berkata, "Masalah apa? Yang sama kakakmu itu tah? Kasih tau aku Isabel biar bisa kubantu. Mungkin aku bisa…" Kata-katanya langsung terpotong saat Isabel menangkis tangan Sastra sambil berteriak, "SUDAH KUBILANG AKU GAK MAU SAS, kenapa kamu gak mengerti…" Seketika dia langsung jatuh ke bawah dengan posisi berlutut. Dia langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu mulai menangis. Tangisan itu membuat Sastra mundur, dia tidak mau mengambil tindakan lain yang akan memperburuk masalah ini.
Hati sangat sensitif terhadap rasa sakit. Terutama ketika hati ditempatkan dalam situasi dimana dia menjadi rentan. Situasi dimana kita terpaksa melepaskan seseorang yang kita cintai untuk kebaikannya dan kebaikan hati itu. Hati akan mengharapkan untuk tetap bersamanya, namun otak dapat berkata lain. Berpikir dengan logis dan mendikte mana yang baik dan buruk untuk hati. Bisakah hati menolak itu? Bisakah hati terlepas dari belenggu konflik internal dan eksternal? Saat ini hati hanya bisa meratapi takdirnya, takdir yang tidak pernah ia harapkan.
Melihat Isabel seperti itu Becca langsung datang ke sisinya. Memeluknya lagi sama seperti waktu itu saat bunga-bunganya hancur. Hingga muncullah pertanyaan di benak Sastra, Apakah aku yang menyebabkan semua ini? Kenapa aku menyebabkan semua ini? Apa yang kulakukan gak cukup untuk membuat semua permasalahan ini berakhir? Aku cuma ingin Isabel bisa bahagia, tapi tampaknya aku hanya membuat semuanya semakin buruk.
Becca pun berkata, "Mending kamu pulang aja Sas, kamu juga udah capek kan? Biar aku yang sama Isabel, untuk saat ini jangan ngomong sama dia dulu." Dengan murung Sastra menjawab, "Oke, aku minta maaf lagi… Yaudah aku sekarang pulang dulu." Dengan perasaan yang penuh kegagalan Sastra mengambil tas selempangnya serta kamera yang ia pinjamkan pada Levin lalu meninggalkan kelas.