Namaku Reyna. Kudengar guntur yang menggelegar di luar sana. Tetapi papa menyuruhku pergi sekarang juga. Dia menyeretku keluar rumah dengan kasar. Membuatku merasa kesakitan.
"Papa kok tega sih? Aku anak papa lho!" ucapku setelah berhasil melepaskan cengkeramannya.
"Ini hukuman buat kamu! Pergi sekarang! Sopir pribadi papa akan mengantar kamu ke sana." Papa berbicara dengan tone dingin dan sedikit bentakan.
Dia melempar tas dan koperku ke dalam mobil. Dan seorang sopir telah bersiap membuka pintu mobil untukku. Guntur masih terus menggelegar. Awan hitam berputar-putar. Petir menyambar-nyambar. Seolah sudah tak sabar untuk menurunkan hujan.
Aku termenung. Serius papa akan mengirimkan aku ke rumah itu?
Rintik hujan mulai turun. Tes... Tes... Seolah itulah yang memaksaku untuk masuk ke dalam mobil. Tanpa keinginan, tanpa ada harapan, aku melangkahkan kaki memasuki mobil. Sopir pun menutup pintu.
Kaca mobil masih menampakkan bayang-bayang wajah papa yang berdiri di luar sana. Dengan raut wajah menahan amarah. Ia membiarkan hujan mengguyur tubuhnya begitu saja.
Aku tidak mengerti, orang itu menghukumku seenaknya. Apalagi sekarang bukan main-main. Dia akan mengirimkan ke suatu tempat yang bahkan tak ingin didatangi oleh siapapun. Layaknya neraka, dia mengirimku sebagai hukuman dari kesalahanku.
Perjalananku diiringi dengan guyuran hujan. Awan hitam tebal yang tak kunjung memudar. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, semakin dekat dengan lokasi, gumpalan awan hitam itu semakin tebal. Seolah berpusat pada sesuatu.
Aku melihat angin yang berhembus menerpa rintikan hujan. Sepertinya hujan di sini lebat sekali. Kami tiba di tempat itu. Sopir turun dari mobil membawa payung untuk membukakan pintu gerbang tua yang sudah karatan.
Guntur menggelegar seolah memberi peringatan. Firasatku buruk tentang ini. Di hadapan kami, sebuah rumah berlantai tiga berdiri dengan kokoh. Namun cat rumah itu mulai mengelupas. Dinding-dindingnya mulai ditumbuhi tanaman berduri.
Bahkan lantainya sangat kotor. 'Mereka' menyebutnya penginapan. Tetapi bagiku ini lebih seperti rumah terbengkalai. Rumah yang mungkin saja telah dihuni makhluk astral. Seperti rumor yang beredar.
"Silahkan turun dari mobil, Nona." Sopir membukakan pintu untukku. Juga memberikan payung kepadaku.
Sementara dia memindahkan barang-barangku, aku disuruh masuk ke dalam rumah aneh itu sendirian. Kubuka dua pintu yang berdiri sejajar. Kriet...
Lantainya benar-benar kotor. Daun-daun kering berserakan. Masuk dari jendela yang terbuka. Entah siapa yang membukanya. Padahal rumah ini tidak berpenghuni sebelumnya.
Jam antik yang mulai berhenti berdetak. Perabotan kuno yang masih bagus. Juga beberapa alat yang mulai berkarat. Aku kurang tau asal usul rumah ini. Namun melihat keadaan yang mengerikan ini, bagaimana bisa seseorang menyewakannya sebagai penginapan?
Duk! Suara roda koper yang pria itu turunkan membuatku terkejut. Mungkin sebaiknya aku tidak berpikir yang aneh-aneh. Ini tidak baik untukku.
"Ada apa?" tanyaku padanya.
"Saya hanya bisa membawakan barang anda sampai sini saja." Apa katanya? Dia mau pulang meninggalkanku sendirian di sini?
"Bagaimana aku bisa membawanya sampai ke lantai atas?"
"Tuan memerintah saya untuk segera pulang setelah menurunkan barang-barang anda. Sehingga saya tidak bisa melakukan lebih jauh. Permisi, Nona." Dia berpamitan kepadaku. Meninggalkan bongkahan tas dan koper besar di teras rumah.
Aku menutup payung yang sedari tadi kubiarkan terbentang. Padahal hujan masih belum reda. Dia benar-benar pergi meninggalkanku. Mengendarai mobil sedan hitam itu keluar area rumah berhantu ini. Bahkan tidak menutup gerbang dengan benar.
Apakah aku sungguh akan baik-baik saja tinggal di sini?