Saat suasana kelas mulai tenang, Tyrell masih belum bisa sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi. Setelah semalam menyaksikan peristiwa aneh dan mengetahui dirinya tidak pingsan seperti yang lain, kini ia dihadapkan dengan Status Window yang muncul mendadak di hadapannya.
Awalnya, ia berpikir hanya orang-orang yang semalam pingsan yang akan mendapatkannya. Namun, saat mencoba membuka Status Window seperti yang disarankan Arthur, layar hologram itu benar-benar muncul di depannya.
Tyrell menatap layar itu penuh rasa ingin tahu. Namun, keterkejutannya berubah menjadi kebingungan. "Apa-apaan ini?" gumamnya dalam hati. Statusnya menunjukkan nilai yang nyaris nol di semua atribut. Bahkan, kelasnya tertera sebagai "
"Apa? F1? Kau pasti bercanda, kan?" Arthur mendekat, matanya menyipit seakan memeriksa Tyrell lebih saksama. "Kelas terendah itu F, dan kau malah dapat sesuatu yang bahkan lebih buruk?"
Tyrell hanya mengangkat bahu, tidak tahu harus menjelaskan apa. "Aku tidak bercanda, Arthur," jawabnya singkat.
Arthur menghela napas panjang dan mulai bertanya tentang total
"Hah? Apa?" jawab Ariana, yang saat itu sedang sibuk mengobrol dengan teman-temannya tentang kemampuan baru mereka.
"Berapa total stats mu?" tanya Tyrell tanpa basa-basi.
Ariana berpikir sejenak sebelum menjawab, "Sekitar 115. Memangnya kenapa?"
Tyrell mengangguk, berterima kasih, dan kembali duduk tanpa melanjutkan pembicaraan. Namun, Arthur yang menyaksikan interaksi itu merasa ada sesuatu yang aneh.
"Tyrell, kenapa kau malah bertanya ke orang lain? Jawab dulu pertanyaanku," ucap Arthur.
Tyrell menggaruk kepalanya, lalu akhirnya berkata pelan, "Yah, total stats ku... nol."
Arthur menatap Tyrell, mulutnya setengah terbuka. "Apa? Kau serius? Jangan bercanda, Tyrell."
Tyrell tidak menjawab, hanya membalas tatapan Arthur dengan ekspresi serius. Arthur akhirnya menyadari bahwa temannya itu tidak bercanda. "Tunggu... kau benar-benar berbeda dari kami semua. Ada apa sebenarnya?" tanyanya.
Tyrell melirik sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengarkan, lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga Arthur dan berbisik, "Sebenarnya, semalam saat cahaya itu muncul... aku tidak pingsan."
Arthur yang mendengar itu langsung bereaksi keras. "APAAA?!" teriaknya tanpa sadar, menarik perhatian seluruh kelas.
"Hei, bodoh! Jangan berteriak seperti itu!" kata Tyrell dengan suara keras, wajahnya memerah karena malu.
Arthur menunduk sedikit, mencoba meredakan kekagetannya. "Maaf, aku benar-benar terkejut. Tapi... kau serius? Kau tidak pingsan semalam?"
"Ya, seperti itulah," jawab Tyrell. "Aku tidak tahu kenapa aku berbeda, tapi aku baru bisa membuka Status Window ini sekarang."
Arthur menghela napas dalam. "Oke, kita kesampingkan dulu itu. Jadi, elemen apa yang kau dapatkan dari sistem ini?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Elemen?" Tyrell mengulangi, berpura-pura bingung sejenak. Namun, ia tahu maksud Arthur, kekuatan yang diberikan sistem kepada setiap orang. Ia mengangkat tangannya, memanggil angin yang selalu menjadi bagian dari dirinya. "Angin," jawab Tyrell singkat, sambil menunjukkan kekuatannya.
Dalam sekejap, angin berhembus kuat ke seluruh ruangan. Buku-buku beterbangan, rambut para siswi berkibar tak terkendali, dan jendela yang tadinya tertutup terbuka lebar. Semua mata di kelas langsung tertuju pada Tyrell.
"Apa-apaan itu?" seseorang di belakang berbisik.
"Itu kekuatan Tyrell? Mengerikan sekali!" bisik yang lain.
"Mungkinkah Afinitas elemen nya mencapai 90%?" bisik yang lain juga.
Arthur yang berdiri di dekat Tyrell ikut terkejut. "Kau gila, Tyrell! Kau harus mengendalikan kekuatanmu dengan lebih baik. Ini sangat berbahaya."
Tyrell mengangguk cepat, wajahnya penuh rasa bersalah. "Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku pikir ini akan sama seperti saat aku melakukannya di luar tadi malam," katanya pelan.
Namun, dalam hati, Tyrell merasa janggal. Ia sudah terbiasa mengendalikan angin sejak kecil, tetapi entah kenapa, kali ini angin yang ia panggil terasa jauh lebih kuat. "Sepertinya ada sesuatu yang berubah sejak cahaya itu muncul," pikirnya dalam hati.
Arthur mendekati Tyrell, menatapnya dengan serius. "Dengar, Tyrell. Kau mungkin berbeda dari kami, tapi itu bukan berarti kau tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Kalau kau ingin selamat di dunia yang baru ini, kau harus belajar mengendalikan semua kemampuanmu dengan baik."
Tyrell mengangguk, tetapi hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Mengapa ia berbeda? Mengapa ia tidak pingsan seperti yang lain? Dan apa sebenarnya yang akan terjadi dengan dunia ini ke depannya?
Saat Arthur berdiri di depan Tyrell, ia menutup matanya dengan tenang. Kedua telapak tangannya terbuka, dan ia mulai memusatkan pikirannya. "Perhatikan baik-baik," katanya singkat. Dalam hening, udara di sekitar tangannya mulai berputar. Embun yang sebelumnya tak terlihat mulai terkondensasi, membentuk tetesan air kecil yang berkumpul di atas telapak tangannya.
Perlahan, tetesan-tetesan itu bersatu, membentuk bola air yang berputar dengan kecepatan konstan. Bola itu tampak hidup, berkilauan saat sinar matahari dari jendela kelas mengenai permukaannya. Tyrell yang menyaksikan proses itu tampak kagum, tetapi rasa penasarannya mengalahkan logikanya. Ia mengulurkan tangan, berniat menyentuh bola air itu.
"Jangan sentuh- " Arthur belum sempat memperingatkan, tetapi ujung jari Tyrell sudah menyentuh permukaan bola tersebut. Tyrell merasakan gesekan tajam pada kulitnya, seolah bola air itu berputar seperti bilah pisau. Dalam hitungan detik, darah keluar dari ujung jarinya.
"Wah... ternyata ini lebih tajam dari yang kukira," kata Tyrell dengan nada santai, meski jarinya terluka.
Arthur menghela napas panjang. "Astaga, Tyrell. Kau benar-benar sembrono. Itu bukan air biasa. Kau harus lebih hati-hati!" katanya, sambil melirik luka kecil di tangan temannya.
Sebelum Tyrell sempat menjawab, Nara, teman sekelas mereka yang kebetulan mendekat, melihat apa yang terjadi. "Hei, ada apa ini?" tanyanya, matanya tertuju pada luka di tangan Tyrell.
"Oh, ini? Bukan apa-apa, cuma luka kecil," jawab Tyrell, mencoba mengabaikannya.
Nara tersenyum kecil. "Kebetulan sekali. Aku baru saja mencoba elemenku. Kau tahu? Elemen cahayaku bisa menyembuhkan luka. Mau kucoba?"
"Boleh juga," balas Tyrell antusias.
Nara mengangkat tangannya, lalu mulai merapal mantra sederhana. Cahaya lembut muncul dari telapak tangannya, hangat dan menenangkan. Saat cahaya itu menyentuh jari Tyrell, luka yang tadinya terbuka langsung sembuh dalam hitungan detik. Kulitnya kembali seperti semula, tanpa bekas sedikit pun.
Tyrell memandangi jarinya dengan takjub. "Wow, benar-benar sembuh! Terima kasih, Nara."
Nara tersenyum puas. "Tentu saja. Ini juga jadi kesempatan bagiku untuk mencoba kemampuan baru ini."
Arthur menatap keduanya dengan ekspresi datar, sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke bola air di tangannya. "Hati-hati lain kali, Tyrell. Aku tidak selalu ada untuk memperingatkanmu."
Tyrell hanya terkekeh kecil.
Setelah percakapan mereka tentang portal dan kekuatan masing-masing, Arthur tiba-tiba memotong pembicaraan dengan serius, "Baiklah, kalau begitu, setelah ini kita ngapain, Tyrell? Kalau kau nggak ada urusan lain sepulang sekolah, gimana kalau ikut denganku ke portal yang diidentifikasi oleh pemerintah?" Arthur berkata dengan nada yang mengandung sedikit keraguan.
Tyrell yang mendengarnya langsung mengernyitkan dahi. "Portal? Apa yang maksudnya itu?" tanyanya, penasaran.
Arthur melanjutkan, "Setelah munculnya Status Window itu, pemerintah mengatakan ada portal antardimensi yang muncul di beberapa tempat acak. Ada yang muncul di rumah, stadion, bahkan di tengah jalan. Tapi mereka belum membiarkan siapa pun masuk ke dalamnya. Pemerintah hanya menjaga itu dengan ketat dan mengatakan itu atas nama Klan atau semacamnya. Tapi, tadi pagi aku dengar kalau ada satu portal yang muncul di hutan belakang rumah kita. Itu yang ingin kucoba lihat."
Tyrell terdiam sejenak. "Hmm... boleh juga. Aku juga penasaran tempat seperti apa itu," jawabnya, terlihat tertarik dengan tawaran Arthur.
"Sepakat kalau begitu, kita akan pergi sepulang sekolah ini," kata Arthur, terlihat agak gugup.
Hari berlalu dengan cepat hingga bel berbunyi tanda jam pelajaran selesai. Mereka berdua berjalan menuju hutan belakang rumah mereka, lewat jalur yang lebih sepi dan jarang dilalui. Tyrell melihat suasana sekitar, tapi pikirannya tetap tertuju pada apa yang akan mereka temui.
Di tengah perjalanan, Arthur mengingatkan sesuatu dengan nada serius. "Sebelum itu, kita harus mengerti betul konsekuensi yang bisa terjadi kalau kita masuk ke portal itu, kan?"
Tyrell menanggapi dengan santai, "Ya, aku tahu. Kita bisa saja mati karena nggak tahu apa yang ada di dalam sana."
Arthur menundukkan kepala, tampak khawatir. "Aku khawatir dengan ibuku kalau terjadi sesuatu padaku. Kau pasti akan memberi kabar kalau ada apa-apa, kan?"
Tyrell tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Santai aja, kita berdua yang masuk kok. Kalau kau mati, mungkin aku juga mati, hahaha," jawabnya sambil tertawa.
Arthur yang sedikit kesal mendengarnya hanya bisa menggelengkan kepala. "Apalah, kau ini Tyrell..."
Mereka berdua melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya tiba di tempat yang dimaksud Arthur. Di depan mereka terbentang sebuah portal yang berkilauan, memancarkan cahaya biru samar. Arthur yang melihatnya mulai ragu, "Seperti yang kuduga, nggak ada satupun penjaga di sini."
Tyrell yang tidak merasakan kekhawatiran apa-apa langsung mendekat dan mengamati portal itu lebih dekat. "Bentuknya sama seperti yang aku bayangkan, persis seperti yang ada di dalam game," ujarnya dengan penuh rasa penasaran.
Arthur masih tampak ragu. "Aku pikir dua kali sebelum masuk. Sepertinya kita nggak seharusnya ke sini tanpa informasi yang jelas tentang apa yang ada di dalam," katanya, mulai mempertimbangkan untuk melaporkan portal ini ke pemerintah.
Tyrell yang merasa kesal mendengarnya berkata, "Kalau ujung-ujungnya kita lapor ke pemerintah juga, ngapain kita ke sini coba?"
Arthur menghela napas panjang. "Maksudku, aku benar-benar khawatir kalau terjadi sesuatu yang buruk kalau kita masuk sekarang."
Tyrell mulai merasa frustrasi. "Ya baiklah, terus apa? Kalau nggak ada yang berani masuk, ini cuma buang-buang waktu aja. Aku malah ingin latihan kemampuan anginku di rumah," jawabnya.
Tanpa memberi kesempatan bagi Arthur untuk menjawab, Tyrell melangkah lebih dekat ke portal itu. Arthur yang melihat itu langsung menarik lengan Tyrell, berusaha menghentikannya.
Namun, dalam kejadian yang tak terduga, lengan kanan Tyrell yang sedikit terhempas saat Arthur menariknya, menyentuh portal itu.
Sekejap, Tyrell merasa tubuhnya seperti terhisap oleh sebuah kekuatan yang sangat besar. Ia mulai merasa pusing, seolah dunia di sekitarnya mulai memudar. Dalam sekejap, ia terjatuh ke dalam ruang yang tak terlihat, seolah memasuki alam bawah sadar.
Kejadian-kejadian dari masa lalu mulai muncul di kepalanya, memori yang seolah-olah baru saja ia alami, meskipun semuanya terasa sangat asing.
Di depan matanya, muncul garis-garis energi yang bergerak seperti atom, mengelilingi elektron, proton, dan neutron. Tyrell merasa seakan-akan dirinya berada di tengah ruang angkasa yang tak terbatas, tanpa ada batas atau penghalang.
Semua itu tidak pernah ia alami sebelumnya di dunia nyata, namun ia merasa seolah itu adalah petunjuk yang mengarah pada kemampuannya yang baru muncul.
Kepalanya terasa sakit, dan seketika itu, tubuhnya terbang dengan kecepatan luar biasa. Ia melayang melalui ruang angkasa, melewati planet-planet yang jauh, bintang-bintang yang menyala terang, hingga akhirnya berhenti di suatu tempat yang tampak seperti pusat pengamatan alam semesta. Tyrell menyadari bahwa apa yang ia lihat adalah sesuatu yang pernah ia pelajari di sekolah.
Namun, meskipun ia tahu itu adalah pengamatan alam semesta, perasaan dan pengalaman yang ia rasakan begitu nyata, terasa seperti perjalanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebuah pemandangan yang tak terjangkau oleh pikiran manusia biasa, dan dalam sekejap, segala pertanyaan tentang dirinya dan kekuatan yang ia miliki mulai sedikit bermunculan di benaknya.
Saat Tyrell merasa dunia sekitarnya berputar dan akhirnya terjatuh ke dalam ketidaksadaran, tak lama kemudian ia terbangun. Begitu membuka mata, ia langsung menyadari bahwa ia berada di tempat yang sama sekali berbeda. Pandangannya kabur sejenak, tetapi setelahnya ia melihat Arthur terbaring di sampingnya. Pakaian Arthur tampak robek, seolah ada hal yang terjadi pada mereka sebelum mereka tiba di tempat ini. Tyrell mencoba mengguncang tubuh Arthur, berusaha membangunkannya.
Arthur perlahan membuka matanya dan segera melirik sekitar. Ia terkejut melihat keadaan mereka. "Aduuuhhh, kan! Apa yang kubilang? Kita nggak tahu apa yang terjadi, sekarang kita ada di mana coba?" Arthur menggerutu, masih merasa bingung dan kesal.
Tyrell mengangkat bahu, tampak bersalah. "Eh, maafkan aku, tapi tadi bukan salahku. Kau yang menarik tanganku sampai tangan aku yang satunya menyentuh portalnya..." jelas Tyrell, mencoba menjelaskan kejadian yang terjadi.
Arthur berkata, "Seperti nya baju ku sobek karena nyangkut di ranting itu", ucap Arthur melihat keatas pohon
Arthur menghela napas panjang dan dengan nada kesal berkata, "Sudahlah, kau diam dulu, Tyrell." Arthur mulai mengamati lingkungan sekitar mereka.
Mereka berada di tengah hutan yang dipenuhi pohon besar, mirip dengan Oak, namun ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini. "Tempat ini… sama, tapi berbeda. Pola pohon dan jalan setapak ini sepertinya sama, tapi tanah dan pohon di sini jelas berbeda," ujar Arthur, tampak berpikir keras.
Tyrell yang juga merasakan keanehan itu mengangguk. "Jadi, kau pun merasakannya?" tanyanya.
Arthur mengangguk perlahan. "Ya, dan aku merasa ada kehidupan lain di sekitar sini."
Setelah diam sejenak, Tyrell menambahkan, "Untuk sekarang, lebih baik kita diam dulu. Aku akan membuat pelindung angin sementara untuk kita."
Arthur yang mendengar hal itu langsung terkesima. "Oh, jadi kau bisa membuat pelindung angin? Ternyata kamu punya bakat pengendalian yang bagus," puji Arthur dengan rasa kagum.
..... Bersambung