Cahaya lembut matahari yang menyusup melalui jendela kecil membangunkan Johan dari pingsannya. Rasa nyeri masih terasa, tetapi pikirannya mulai lebih jernih. Ia memandang ke sekeliling, mencoba memahami di mana ia berada. Ruangan itu tetap sama—kecil, dingin, dan suram—namun kali ini ia tidak sendiri.
Pria tua yang sebelumnya ia lihat duduk di kursi dekat tempat tidur, mengaduk-aduk cairan di sebuah cangkir. Ketika menyadari Johan telah bangun, pria itu tersenyum tipis.
"Bagaimana perasaan Anda, Tuan Hermits?" tanyanya sambil mendekat.
Johan mencoba merespon, tetapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia merasa perlu berpura-pura, setidaknya sampai ia memahami apa yang sedang terjadi.
"Cukup... lebih baik," jawab Johan dengan nada hati-hati. "Apa yang terjadi padaku?"
Pria tua itu meletakkan cangkir di meja kecil di samping tempat tidur. "Anda ditemukan di gang belakang distrik pabrik, pingsan dan hampir mati. Beberapa preman menyerang Anda. Beruntung, saya menemukannya tepat waktu dan membawa Anda ke sini."
Johan mengangguk pelan, mencoba mencerna informasi itu. Hermits, nama yang disebut pria ini, tampaknya bukan orang sembarangan. Tapi mengapa ia diserang?
"Siapa mereka?" tanya Johan.
Pria tua itu menundukkan kepala sejenak, seperti ragu untuk menjawab. "Tuan, musuh Anda bukan orang yang mudah dihadapi. Banyak yang iri dengan keberhasilan Anda di dunia industri. Tapi... mungkin itu sudah Anda ketahui."
Dunia industri? Johan mencoba menghubungkan informasi itu dengan apa yang ia tahu. Hermits tampaknya seseorang yang cukup berpengaruh di dunia ini. Namun, sebagai seorang pekerja kantoran dan novelis dari Indonesia, ia tak memiliki pengetahuan tentang teknologi di era mesin uap, apalagi dunia industri yang rumit.
"Ya, tentu saja," jawab Johan, berusaha mempertahankan wibawa. "Namun, aku perlu waktu untuk mengingat semuanya. Luka ini membuat pikiranku agak kabur."
Pria itu mengangguk dengan pengertian. "Istirahatlah, Tuan Hermits. Anda butuh kekuatan untuk kembali ke kehidupan Anda. Dunia di luar sana... tidak akan menunggu."
Ketika pria tua itu keluar dari ruangan, Johan menghela napas panjang. Ia memandang kembali tangannya, tubuh ini, luka-luka ini. Ia telah terlempar ke kehidupan seseorang yang penuh bahaya dan intrik, jauh dari kenyamanan kehidupannya di dunia modern.
Tapi satu hal pasti. Jika ia ingin bertahan, ia harus memahami siapa Hermits sebenarnya.
Dengan susah payah, Johan bangkit dari tempat tidur. Ia mulai mencari di sekitar ruangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberinya petunjuk tentang identitas pria ini. Di sebuah meja kayu kecil di sudut, ia menemukan selembar kertas dengan tulisan tangan rapi:
"Hermits. Manajer Pabrik Besi Westbridge. Utang sebesar 500 pound kepada Lord Waltham. Waspada terhadap kelompok Red Gear."
Johan meremas kertas itu di tangannya. Ini bukan hanya kehidupan asing. Ini adalah kehidupan yang penuh dengan utang, musuh, dan bahaya.
"Hebat," gumamnya pahit. "Aku terjebak dalam cerita yang bahkan aku sendiri tak ingin tulis."