Berdiri di depan jendela, Sintia memandangi langit biru, mataharinya yang terang membuat matanya buta.
Mengambil napas dalam, dia bergegas menuju lemari pakaiannya, membuka laci terakhir dengan sembrono dan mengaduk pakaian-pakaiannya. Saat jarinya menyentuh objek logam yang dingin, dia mengambil liontin bundar tersebut.
Dia menggosoknya dengan hati-hati, berbisik beberapa kata lalu kembali ke tempatnya di dekat jendela.
"Kau seharusnya memanggilku dengan benar dari sekarang. Aku bukan pelayanmu, tahu," suara pria yang dalam itu berbicara, seekor elang muncul dari portal ungu.
"Tentu, tentu. Tapi pertama-tama urusan," Sintia mengulurkan kepalanya ke arah burung yang memekikkan sayapnya.
Binatang itu memiliki tubuh cokelat dengan sayap putih dan cakarnya memegang sebuah tas.
Dalam sekejap mata, binatang itu berubah menjadi seorang pemuda berkulit cokelat, bermata biru tajam, dan berambut putih.
Pria itu melompat melalui jendela sebelum menaruh wadah itu di tangan Sintia.
Wanita muda berambut perak itu mengaduk-aduk di dalam plastik dan senyum terbentuk di bibirnya.
"Sempurna! Eh, sebelum itu, apakah kau membawa ramuan yang kupinta sebelumnya?" Sintia menuntut.
Dengan anggukan, pria berambut putih itu mengulurkan botol transparan kecil yang berisi cairan hijau di dalamnya.
"Butuh waktu lama untuk membuat ini. Tapi... untuk apa kau memerlukannya?"
"Kita ada kesepakatan, Arlot. Tanpa pertanyaan," tatapan Sintia mempertajam saat dia menatapnya.
Menggelengkan kepalanya, Arlot duduk di tempat tidur Sintia.
"Benar. Juga, gaunmu itu tidak terlalu cantik."
Sintia mendengus, mengabaikan komentarnya.
Arlot adalah pria yang diselamatkannya di medan pertempuran. Dia adalah penyihir yang berkelana tetapi terluka selama perang antara Selvarys dan Eldoria.
Saat dia kembali sadar, dia berjanji untuk melayani Sintia dan tetap setia padanya seumur hidup. Lagi pula, dia mempunyai utang nyawa padanya karena telah menyelamatkannya.
Meski awalnya ragu, Sintia lama-kelamaan setuju. Dia membutuhkan seseorang yang dapat menggunaakan sihir karena dirinya sendiri tidak bisa.
"Kau sempurna sebagai budak pesuruh. Sayang sekali kau mengelola akademi sihir," Sintia menggigit sepotong roti di tangannya, duduk di samping Arlot.
"Hah! Hanya karena kau menyelamatkan nyawaku bukan berarti kau bisa mengejekku, Yang Mulia," pria berambut putih itu menghela nafas.
Ada ketukan di pintu dan Sintia bergegas menyembunyikan paket makanan di bawah tempat tidurnya.
"Cepat pergi. Dan jangan lupa apa yang kuperintahkan padamu!" Dia berbisik.
Cahaya ungu muncul dan pria itu menghilang tepat sebelum pintu berderit terbuka.
"Yang Mulia, Adipati sedang menunggu Anda. Pangeran Mahkota ada di aula audience," seorang pelayan berbicara.
"Baiklah. Tunjukkan jalan," Sintia menggenggam botol di tangannya, memegangnya erat agar pelayan tidak menyadarinya.
Dengan anggukan, pelayan itu berjalan di depan, diikuti oleh Adipatni besar.
Sintia dengan hati-hati mengamati sekelilingnya. Koridor itu kosong, tidak seperti di kehidupan sebelumnya. Apakah ini sebelum Adipati hadir di rumah besar?
Mungkin, mereka sedang mempersiapkan makanan yang layak untuk Pangeran Mahkota dan Adipati besar.
Saat dia berpikir demikian, dia membuka tutup botol dan meminum cairan di dalamnya. Kemudian, dia melemparkan wadah itu melalui jendela.
Tidak mendengar suara dari aula kaca, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.
Kerja bagus, Arlot.
Saat dia semakin dekat ke ruang audience, detak jantung Sintia bertambah.
Gugup? Aneh... Aku pikir aku telah lupa akan perasaan ini.
"Kita sampai," pelayan itu mengumumkan, menggeser diri memberikan ruang untuk wanita muda itu masuk.
Pintu-pintu terbuka lebar, dan meski samar-samar, Sintia bisa melihat sosok wajah suaminya dan punggung Pangeran Mahkota dengan rambut biru gelapnya.
Mengambil napas dalam, Sintia masuk.
"Salam, Kebawah Duli," dia membungkuk, mempertahankan nada lembut saat dia berdiri di hadapan Pangeran Mahkota.
"Oh sayang. Kau memang cantik sekali," Valen tersenyum cerah, mengangkat tangannya ke arahnya.
Sintia duduk di sofa di seberang Pangeran Mahkota, duduk di samping suaminya.
Lucian menegang dan cepat-cepat menjauh darinya, memastikan ada cukup jarak antara mereka.
Wanita muda berambut perak itu melirik ke suaminya yang memperjelas hubungan jarak mereka kepada orang luar.
"Saya senang melihat bahwa saudaraku mendapatkan wanita elegan seperti Anda, Adipatni," Valen berkata, melihat ke arah Lucian.
Kata-katanya dipenuhi dengan ejekan. Tidak ada yang tidak tahu tentang reputasi buruk Sintia di seluruh negara setelah pernikahannya dengan Pangeran Lucian.
Selalu mencoba bertingkah seolah-olah dia berniat baik.
Lucian mengambil napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Dia tahu bahwa saudara tirinya datang untuk mencemooh dia, namun, dia tidak mengerti bagaimana dia berencana untuk melakukannya. Mungkin, dengan mempermalukan dia di depan istri barunya?
Tak peduli apa yang dia pikirkan tentang saya.
Saat dia tenggelam dalam pikiran, dia mengamati Sintia dengan teliti. Dia tampak agak berbeda dari sebelumnya.
Wanita yang terlihat tak kenal takut itu kaku, otot-ototnya hampir tidak bergerak meski dia tersenyum.
"Mau makan siang?" Lucian menyarankan, bangkit dari kursinya.
"Tentu saja! Saya membawa beberapa makanan dari istana untuk kalian berdua. Ratu khusus mengirimku ke sini untuk memberikan kalian beberapa hadiah," Valen bangkit dari sofa dan berpaling ke arah pintu keluar, mengikuti Lucian.
Lucian menegang saat mendengar Ratu disebutkan. Jika dialah yang menyiapkan hadiah untuknya, pasti itu bukan karena niat baik.
Namun, mengapa dia melakukan itu?
Lucian telah mengatakan padanya berulang kali bahwa dia tidak bermaksud menjadi raja, dan dia tidak akan pernah menghalangi jalan Valen. Jadi mengapa dia mengganggunya sekarang saat dia jauh dari keluarga kerajaan dan semua politik mereka?
Sebelum Lucian sadar, dia duduk di sebuah kursi di samping Sintia di meja makan.
Pangeran Mahkota Valen menghadap mereka dengan senyum cerah dan meraih garpu di meja.
"Ayo makan."
Tepat saat Lucian hendak menggigit dagingnya, Sintia menarik tangannya, mengganggunya.
Mengerutkan alisnya, Lucian menatapnya dengan tajam. Dia mencoba menghindar dari genggamannya, tapi dia memegangnya dengan erat, membuatnya bingung. Dia tidak terlalu keras berusaha untuk tidak menyakitinya, tapi bagaimana dia berani menyentuhnya tanpa izinnya?
"Yang Mulia, izinkan saya makan terlebih dahulu. Kau harus memberi makan istri, kadang-kadang, tahu," Sintia berkata dengan senyum.
"Apa yang—" Lucian terpotong saat dia menarik tangannya ke mulutnya dan memakan potongan daging tersebut.
Lucian mendorong tangannya pergi dan menatapnya dengan tajam.
Namun, wanita di sampingnya itu terlihat darah mengalir dari mulutnya.
Matanya yang zamrud melebar karena kaget. Dia tidak bisa berpikir. Apa yang terjadi?! Mengapa ada darah yang menetes dari mulutnya?
Meski tubuhnya terbakar, Sintia memandangi pria muda berambut gelap di sampingnya. Seulas senyum lembut terbentuk di bibirnya saat dia menonton ekspresi bingungnya.
Benar. Ini tatapanmu…
Sebelum dia bisa memikirkan apapun, semuanya memudar menjadi hitam.