Karina diam dalam pojokan dapur sambil memainkan layar ponselnya. Pandangan matanya kosong menatap cerita Wattpad yang sedang dibacanya, hanya untuk mengalihkan rasa yang tak kunjung hilang—hampa. Setiap kali berkumpul dengan keluarga besar, ia merasa seperti seorang bayangan yang tak terlihat, tak terdengar, dan tak diinginkan. Cemoohan dan sindiran sering kali menjadi satu-satunya perhatian yang didapatkan.
Setiap kali nama Karina muncul dalam percakapan, isinya hanya kritik pedas yang tak ada habisnya. "Anak itu cuma bisa membebani keluarga," atau "Lihat Kerina, begitu sempurna, beda jauh sama kembarannya." Karina telah terbiasa mendengar itu, tetapi terbiasa bukan berarti tak sakit.
....
Pagi Pun tiba Karina sudah siap dengan seragam sekolah barunya. Hari ini adalah hari pertama Karina sekolah di Shooll Gantara.
Keluarga Karina baru pindah kekota ini seminggu yang lalu, karena kedua orang tua Karina memiliki urusan di kota ini dan juga perintah dari nenek keluarga Papa dan Mamanya yang tinggal di kota ini itulah sebabnya, selain itu sekolah yang Karina masuki adalah sekolah yang terkenal di Indonesia.
Shooll Gantara ini terkenal banget dengan wajah - wajah yang terpahat dengan indah. Selain itu sekolah ini juga memiliki bad boy yang luar biasa banyaknya dan juga ice boy.
Eh.... Tapi jangan salah bad boy nya itu bukan recek - recek, wajah mereka saja bikin kaum wanita klepek - klepek apa lagi ice boy yang memiliki geng yang bernama geng black.
Karina menatap bayangannya di cermin. Seragam Shooll Gantara melekat rapi di tubuhnya, namun perasaan di dalam dirinya jauh dari siap. Hari ini adalah hari pertama sekolahnya di kota baru. Harapan? Hampir tidak ada. Namun, di balik semua itu, Karina menaruh satu keinginan sederhana: ingin dianggap.
"Tok... Tok... Tok..."
"Ka, ayok kita berangkat! Nanti telat," suara Kerina terdengar di luar pintu, menggedor dengan keras.
Karina membuka pintu dengan senyum lebar yang penuh kepalsuan. "Iya, iya. Aku ambil tas dulu."
Mereka turun bersama. Kerina langsung menjadi pusat perhatian saat sampai di meja makan. Papa dan Mama menyambutnya dengan kehangatan seperti biasa.
" Pagi Mah Pah " sapa Karina dan Kerina serentak.
" Pagi honey " jawab Gifran, Papa Karina dan Kerina.
" Ayok duduk sini sayang " Grazel menepuk meja di samping kiri dan kanannya.
" Baik Mah " jawab Karina, lalu duduk di samping kanan Grazel.
" Kerina ada apa sayang, ngapain berdiri di situ aja " tanya Grazel dengan wajah khawatir.
" Itu Mah Kerina jadi tenggang dan takut untuk masuk sekolah Mah "
Sungguh jantung Kerina sudah berdetak kencang seperti orang habis maraton.
" Aduh Honey Papa , nggak usah tenggang gitu, jika ada masalah di sekolah bilang aja sama Papa dan Mama nanti kita bereskan. Betul kan Mah " ujar Gifran menenangkan Kerina.
" Tegang Pah, Papa gimana sihh? kesal deh kaya Keke nakal aja jika Papa ngomong gitu "
Kerina cemberut, namun berjalan menuju meja makan tepat di sebelah Grazel.
" Aduh sayang Mama jangan ngambek dong, nanti Mama jewer telinga Papa yang udah ledekin kesayangan Mama " ucap Grazel sambil menyiapkan piring dan juga roti dengan selai nutella.
" Nggak usah Ma, Keke bercanda doang kok " ujar Kerina setelah itu memakan - makanannya yang sudah di siapkan Grazel.
Sedangkan Karina seperti biasa menjadi penonton dari percakapan hangat keluarganya yang setiap hari Karina lakukan.
Sebagai manusia Karina pasti juga punya perasaan, pasti sedih lah dan juga kepengen berada di posisi itu juga.
Iri tentu saja ada...
Kalau nggak ada iri bukan manusia namanya.
Karina sungguh iri pada kembarannya yang bernama Kerina itu, sejak kecil Karina itu seperti anak tiri bahkan lebih tepatnya anak buangan yang tidak di anggap.
Tanpa menyentuh makanannya, Karina berdiri lalu menggeser kursi lalu berpamitan pada kedua orang tuanya.
"Semua, Karina berangkat dulu," pamit Karina tiba-tiba, tak menyentuh makanan di piringnya
Karina hanya bisa diam, memperhatikan dari jauh. Tak ada satu pun kata untuknya. Bahkan saat dia berpamitan, suasana seolah menolak kehadirannya. Mereka hanya berbicara dengan Kerina. Lagi-lagi.
...
Brak....
Karina menutup pintu mobilnya dengan keras, melewati siswa siswi yang menatapnya dengan berbagai pandangan.
" Ruang kepala sekolah dimana?" tanya Karina pada perempuan yang ada di depannya.
Siswi itu menunjuk ke arah lantai tiga dengan tatapan setengah malas. "Di sana, pintu putih di samping ruang guru. Cari saja papan namanya."
Tanpa basa-basi, Karina bergegas menuju lantai tiga. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menghilang dari pandangan semua orang.
....
" Pa... Keke bisa sendiri Pa...nggak usah pakai penjaga - penjaga segala " rajuk Kerina sambil menggoyangkan lengan baju Gifran.
" Lo pikir gue babu lo "
Kerina menatap laki - laki yang menatapnya dengan tajam, tepat berada di depannya.
Kerina akui laki - laki yang berada di depannya sangat tampan, bahkan dari bentuk tubuhnya dan wajahnya adalah laki - laki idamannya. Sungguh itu tipe idealnya, namun Kerina tidak ingin melihat seseorang itu hanya dari wajahnya ataupun bentuk tubuhnya, tapi lebih ke sifat.
Bagi Kerina untuk apa tampan kalau sifat jahanam. Namun Kerina tidak ingin munafik jika Kerina masih sangat memimpikan mempunyai pacar tampan.
" Iss apaan sih lo, lo aja yang menganggap diri lo babu, berarti lo beneran babu dong " ejek Kerina dengan wajah songong ya.
"Lo....."
Jika ini dunia fantasi, Kerina pasti bisa melihat api yang keluar dari tubuhnya terutama wajahnya yang sudah memerah menahan marah.
" Pers... "
" Hahahhahaha "
" Mantul "
Kerina menatap heran orang - orang yang tertawa itu, namun belum sempat membuka suara untuk menanyakan keadaan mentalnya, keburu Gifran angkat bicara.
" Honey nggak boleh gitu ini teman rekan Papa "
Gifran menjewer Kerina tidak menggunakan tenaganya.
" Maafnya nak, anak saya ini emang nggak bisa di saring saat bicara "
" Papa "
Kerina dengan tajam menatap Gifran yang menggatainya.
" Kalau gitu Papa pergi dulunya honey"
" Jagain anak saya yah nak, kalau anak saya nakal, jewer aja telinganya. Kalau gitu saya pamit dulu "
Gifran mengecup dahi Kerina dengan lembut, setelah itu masuk kedalam mobil meninggalkan Kerina yang masih cemberut.