Kelas pagi itu lebih sunyi dari biasanya. Hanya terdengar suara dentingan pena yang diukir di atas kertas, serta deru kipas angin yang seakan tak pernah cukup untuk mengusir panas yang menyelimuti ruang. Sakila duduk di bangkunya, menatap papan tulis kosong dengan ekspresi frustrasi. Matanya beralih ke Raihan yang duduk di depan, duduk tegak dan tak tergoyahkan, seperti selalu. Senyum samar menghiasi wajahnya, tapi hanya mereka yang mengenalnya yang tahu betapa seriusnya dia dalam segala hal.
"Eh, Sakila," seru Aiden yang duduk di sampingnya, mengganggu konsentrasinya. "Kamu tuh selalu melamun, ya? Udah saatnya kamu mikirin cara buat ngalahin Raihan di ujian matematika besok."Sakila mengerutkan kening, menoleh ke Aiden dengan tatapan bingung. "Kau ngomong apa? Emangnya kau pikir bisa ngalahin Raihan? Pikirkan dulu sebelum ngomong, Aiden! Kalau aku bisa ngalahin dia, berarti aku udah masuk surga duluan, tau!"Ezra yang duduk di depan mereka, langsung menoleh dengan senyuman nakalnya. "Sakila, kamu ini terlalu serius. Kalau kamu bisa ngalahin Raihan, aku akan rela pindah sekolah ke tempat yang lebih jauh biar gak perlu liat wajahmu yang penuh ambisi itu tiap hari."Sakila melirik Ezra dan tertawa keras. "Kau pikir bisa kabur dari aku? Jangan mimpi!" jawabnya sambil menunjuk ke depan kelas tempat Raihan duduk, yang kini mulai menulis di bukunya tanpa ragu. "Lihat tuh, dia udah mulai ngerjain soal-soal di depan kelas. Tanpa nyentuh buku pun bisa jawab semua soal, kayaknya dia bisa jadi robot!"Aiden menyandarkan kepalanya di meja dan pura-pura menangis dramatis. "Aku udah menyerah, Sakila! Jadi kenapa kita nggak bikin rencana aja? Kita pancing Raihan supaya jatuh ke dalam jebakan kita. Cuma butuh sedikit keberuntungan."Sakila mengangguk, matanya berbinar, namun hanya sekejap. "Tapi kita harus berhati-hati. Jangan sampe kita malah jadi bahan tertawaan dia. Aku nggak mau dipermalukan!" Dia kemudian menambahkan, "Tapi kalau kita berhasil... kita bakal jadi legenda di sekolah ini, kan?"Stella, yang tiba-tiba muncul di belakang mereka, ikut bergabung dalam percakapan dengan senyum nakal. "Jangan terlalu percaya diri dulu, Sakila. Saya rasa, kalian cuma perlu berharap Raihan tiba-tiba kena flu berat, deh. Itu baru kesempatan kita."Liana, yang duduk di samping Stella, menimpali dengan sarkasme, "Ya, atau kita bikin dia makan makanan pedas super gila yang bisa bikin dia nangis. Itu baru namanya kekalahan yang epik."Sakila, yang selalu siap dengan komentar lucu, menimpali dengan gelak tawa. "Makanan pedas? Kalau gitu, aku aja yang makan makanan pedas, biar Raihan nggak nyangka aku bakal jadi musuh bebuyutannya. Siapa tau dia malah kasih aku medali kehebatan buat bertahan hidup setelah makan itu!"Di tengah-tengah percakapan mereka yang penuh canda, suara bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran. Sakila buru-buru bangkit dari kursinya, berusaha mempersiapkan diri untuk pelajaran berikutnya. Meski penuh lelucon dan godaan, dia tahu satu hal pasti: kompetisi ini belum berakhir. Raihan, si OSIS tampan yang selalu sempurna, akan menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya—dan mungkin juga jalan menuju kemenangan. Tapi untuk saat ini, yang dia pikirkan hanyalah bagaimana bisa lolos ujian besok dengan cara yang paling absurd.