Chereads / AMBISI DALAM BAYANGAN / Chapter 3 - BAB 3: Ujian yang Menguji

Chapter 3 - BAB 3: Ujian yang Menguji

Pagi itu, langit terlihat lebih mendung dari biasanya, seakan merasakan ketegangan yang meliputi seluruh sekolah. Di ruang kelas, suasana sudah mulai memanas. Setiap meja penuh dengan siswa yang bersiap menghadapi ujian matematika yang telah mereka nantikan—atau lebih tepatnya, yang mereka takuti. Sakila sudah duduk di tempatnya sejak bel pertama berbunyi, matanya tertuju pada lembar soal yang baru saja dibagikan oleh guru mereka.

"Apa ini?" keluh Sakila, hampir berteriak. "Soalnya nggak ada yang gampang!"

Aiden yang duduk di sampingnya menahan tawa. "Aku udah bilang, kan, Sakila, soal-soal ini tuh buat bikin kita stres. Kamu malah kelihatan kayak mau pingsan aja."

Sakila mengerutkan dahi, memandang Aiden dengan wajah kesal. "Jangan cuma bisa ngomong doang, Aiden! Kalau kamu bisa jawab soal-soal ini, aku bakal traktir kamu makan sushi semalam suntuk!"

"Deal!" jawab Aiden tanpa ragu. "Tapi kalau aku yang kalah, jangan harap aku bakal makan sushi dari kamu, deh."

Sakila mencibir dan kembali fokus pada soal di hadapannya. "Aku nggak akan kalah, Aiden. Kalian semua jangan ganggu aku! Ini soal hidup dan mati!"

Ezra, yang duduk di belakang mereka, melemparkan kertas jawaban ke udara dengan santai. "Kalau soal hidup dan mati, aku lebih memilih tidur aja, sih. Lebih nyaman."

Sakila hampir tersedak mendengar komentar Ezra yang ringan itu. "Kamu... jangan bikin aku makin bingung, Ezra! Aku udah cukup stres, tahu nggak!"

"Jangan panik, Sakila," ujar Stella yang duduk di samping Liana, sambil menulis dengan cepat. "Tapi kalau kamu mau ngalahin Raihan, kamu harus lebih dari sekadar panik. Kamu harus berpikir cerdas. Gunakan otakmu yang penuh ambisi itu."

Sakila melirik ke arah Raihan, yang duduk di meja paling depan, tenang seperti biasa. Semua orang di sekitar Raihan tampak gugup, sementara dia justru menulis dengan cepat, seolah soal itu tidak lebih sulit daripada menulis tugas matematika sehari-hari. Sakila menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri.

"Raihan itu nggak manusia!" serunya pelan. "Dia kayak punya superpower buat jawab soal-soal kayak gini."

Stella menyeringai. "Ya udah, kalau kamu merasa dia nggak manusia, berarti kamu harus cari cara buat jadi lebih dari manusia biasa."

Liana yang duduk di dekat mereka mengangguk setuju. "Betul, tapi jangan sampai kamu jadi obsesif. Kalau nggak, kamu malah nggak bisa mikir jernih."

Di tengah kecemasan yang melanda seluruh kelas, Leon yang selalu santai, terlihat hanya menyandarkan diri di kursi, menatap lembaran soal dengan mata setengah tertutup. "Mau gue bantuin jawab?" tanya Leon dengan nada malas.

Sakila langsung melotot. "Kamu malah nggak ngerjain soal, Leon! Apa yang kamu bantuin?"

Leon hanya mengangkat bahu, terlihat tidak terlalu khawatir. "Ngapain ngerjain soal kalau nanti juga bakal dikoreksi sama guru, kan? Gue lebih baik tidur dulu aja."

Ezra menatap Leon dengan jijik. "Leon, kamu tuh aneh banget. Tapi, kadang kamu bener juga, sih."

Sakila mendengus keras, berusaha menenangkan diri, dan kembali menatap soal-soalnya. Dia bisa merasakan tangannya mulai berkeringat, pikirannya berputar-putar mencari cara untuk menaklukkan soal yang ada di depannya. Semua orang di kelas itu tampaknya sibuk dengan dunia mereka sendiri. Namun, Sakila tahu—ini adalah momen yang menentukan. Jika dia ingin mengalahkan Raihan, jika dia ingin membuktikan sesuatu, maka sekarang adalah saatnya.

Pukul peluit berbunyi, menandakan waktu ujian yang tersisa hanya beberapa menit lagi. Sakila menatap jawaban yang sudah ia tulis, dan hatinya berdegup kencang. Pikirannya melayang, teringat perkataan Stella tentang berpikir cerdas, tentang menemukan celah di dalam soal-soal yang kelihatannya tak terjangkau.

Saat bel terakhir berbunyi, hampir seluruh kelas sudah selesai mengerjakan soal. Sakila menutup buku ujian dengan napas panjang. Dia tak tahu apakah jawaban-jawabannya benar, tapi satu hal yang dia tahu: dia sudah berusaha sekuat tenaga.

"Berapa skor kamu?" tanya Aiden sambil tersenyum nakal, menunggu Sakila keluar dari ruang ujian.

Sakila menatapnya, lalu tersenyum sinis. "Bentar, Aiden. Kita lihat siapa yang bakal ketawa terakhir."