Chereads / AMBISI DALAM BAYANGAN / Chapter 2 - BAB 2: Bayangan di Balik Ambisi

Chapter 2 - BAB 2: Bayangan di Balik Ambisi

Hari itu terasa lebih panas dari biasanya. Di kantin sekolah, Sakila duduk di meja yang telah menjadi tempat berkumpulnya mereka—Aiden, Ezra, Stella, dan Liana. Ada tumpukan buku di sampingnya, namun pikirannya tidak ada di situ. Sebagian besar perhatian Sakila tertuju pada satu sosok yang duduk di meja paling ujung, jauh di sudut kantin. Raihan—anak yang selalu terlihat tenang, seperti batu karang di tengah ombak. Semua orang memandangnya dengan hormat, bahkan tanpa dia berkata sepatah kata pun.

"Kau nggak bosan ngeliatin Raihan terus, Sakila?" tanya Aiden sambil mengunyah burgernya. "Sejak tadi matamu nggak pernah lepas dari dia."

Sakila mengalihkan pandangannya dengan cepat, wajahnya merah padam. "Aku... aku cuma mikirin cara buat ngalahin dia di ujian besok. Itu aja, Aiden."

Ezra yang duduk di sampingnya menyeringai. "Kamu nggak bakal bisa ngalahin Raihan dengan cuma mikir doang, Sakila. Kalau mau menang, kamu harus beraksi. Gimana kalau kita kasih dia tantangan?"

"Tantangan? Kayak apa?" tanya Sakila, matanya mulai berbinar, tanda ide itu mulai menggoda.

Ezra menyandarkan diri ke belakang kursi, dengan ekspresi penuh kepercayaan diri. "Mungkin kita bisa ngajak dia untuk... balapan soal matematika. Siapa yang bisa selesai duluan, dia yang menang."

Sakila menatap Ezra dengan cermat. "Balapan soal matematika? Kau serius, Ezra? Raihan itu lebih cepat dari komputer dalam hal soal-soal. Kalau kita mulai balapan kayak gitu, bisa-bisa kita malah jadi bahan tertawaan dia."

Stella, yang dari tadi hanya mendengarkan, akhirnya berbicara. "Sakila, kalau kamu mau menang, bukan soal siapa yang lebih cepat, tapi siapa yang lebih pintar dalam mencari cara. Kamu nggak bisa cuma berharap Raihan kalah begitu saja. Kamu harus cari celahnya, entah itu kelemahan atau cara agar dia jadi nggak fokus."

Liana, yang duduk dengan ekspresi setengah serius, menimpali. "Tapi jangan sampai kamu jadi kayak anak yang terlalu ambisius sampai lupa diri, ya, Sakila. Nggak semua hal harus dikalahkan. Kadang kamu harus bisa terima kalau ada orang yang lebih unggul."

Sakila menatap Liana, sedikit tersinggung. "Aku nggak mau terima itu, Liana! Kalau aku nggak bisa ngalahin dia sekarang, aku nggak akan bisa tidur tenang! Raihan itu musuh bebuyutanku—dan aku nggak akan kalah begitu saja."

Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar, dan tak lama kemudian Leon muncul dari balik pintu kantin, berjalan dengan langkah malas dan ekspresi acuh tak acuh. "Kalian ngomongin soal Raihan, ya?" katanya dengan suara datar.

Sakila mendengus. "Kamu nggak punya ambisi sama sekali, Leon. Kenapa nggak ikutan mikir gimana cara kita bisa ngalahin dia?"

Leon menatap mereka semua dengan malas. "Ngapain pusing ngalahin dia? Kalau kau mau jadi pemenang, Sakila, fokus aja sama dirimu sendiri. Raihan cuma manusia biasa. Dia bisa salah, kok."

Aiden tertawa terbahak. "Lihat tuh, Leon. Kau yang malas banget itu malah punya pendapat bijak."

Leon melipat tangan di dada. "Aku cuma bilang apa adanya. Kalau kalian mau balapan sama Raihan, ya silakan. Aku sih lebih memilih tidur di rumah daripada ngabisin energi buat hal-hal kayak gitu."

Stella dan Liana saling bertukar pandang dan tertawa. "Leon, kamu nggak akan pernah berubah," kata Liana sambil tersenyum.

Sakila menghela napas panjang, merasa sedikit frustrasi. "Aku nggak peduli. Kalau aku nggak bisa ngalahin Raihan sekarang, aku nggak akan berhenti. Dia boleh jadi pemenang sekarang, tapi aku akan jadi pemenang suatu hari nanti."

Kepalanya penuh dengan rencana, ide-ide yang berputar tanpa henti. Di dalam dirinya, ada keinginan besar untuk membuktikan bahwa meskipun dia bukan yang terbaik, dia bisa berjuang dan mengalahkan siapa saja yang meremehkannya. Raihan mungkin sempurna di mata semua orang, tapi Sakila tahu satu hal pasti: setiap orang punya titik lemah. Dan dia akan menemukannya.