Chapter:22
"Hmm, anu... Sensei, kenapa ke sini?" tanya Tensura dengan nada bingung.
Leena Sensei tersenyum tipis. "Oh, kebetulan Sensei menang undian, jadi mau bagi-bagi hasil. Nih, makanan buat kalian." Ia mengulurkan kantong plastik yang penuh dengan makanan dan camilan.
"Wah, makasih, Sensei!" seru mereka berdua dengan antusias.
"Iya, sama-sama. Kalau begitu, Sensei mau pergi dulu ya. Permisi."
Leena Sensei berbalik dan mulai melangkah pergi, meninggalkan mereka di bawah rintik hujan. Pandangannya kosong menatap ke depan, pikiran-pikirannya berputar di kepala.
"Orang-orang hilang, energi negatif, Ghoul, pertengkaran... dan kantin. Hanya itu yang baru bisa aku kumpulkan. Tapi, kenapa semua ini hanya terjadi saat sore menjelang malam?"
Suara hujan yang jatuh di atap sekolah seakan menjadi latar bagi pikiran Leena yang gelisah. Kakinya terus melangkah hingga tiba di ujung gedung sekolah, di depan sebuah pintu tua yang nyaris terlupakan. Dengan perlahan, ia membuka pintu itu.
Di dalamnya, debu beterbangan di udara. Ruangan itu penuh dengan alat-alat rekaman yang sudah berkarat, membuktikan bahwa tempat ini sudah lama tidak terpakai. Ini adalah ruang rekaman dan penyiaran lama, saksi bisu dari masa lalu yang terkubur.
Leena melangkah pelan, matanya meneliti tiap sudut ruangan. Ia menarik kursi kayu di depan meja rekaman dan duduk. Dengan tenang, ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sebuah nomor.
Di tempat lain, di sebuah kamar sempit yang remang-remang, sebuah ponsel berdering. Seorang pria berkacamata yang mengenakan jaket tebal mendekati ponsel itu, wajahnya berubah panik.
"Siapa yang menelepon hujan-hujan begini? Tunggu… ini kan nomornya Nona? Kenapa dia menelepon?" gumamnya cemas.
Dengan tergesa, ia menjawab panggilan itu. "Halo, Nona. Ada apa menelepon saya?"
"Halo juga, Rikardo," suara Leena terdengar datar namun tegas. "Aku meneleponmu karena ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu dan Monica. Dua hari lagi, aku ingin kalian berdua datang ke Aomori."
"A-apa? Dua hari? Nona, apartemenku saja di Kagoshima, dan Anda di Aomori. Dua hari tidak cukup untuk sampai!" protes Rikardo.
Leena terkekeh kecil. "Terserah kamu. Yang penting aku ingin melihat wajahmu dan Monica dalam dua hari. Oh ya, jangan lupa jemput Monica. Dia pasti sedang bermalas-malasan. Dan kalau kalian telat, gaji kalian kupotong. Hehe."
"Tunggu dulu, Nona! Nonaaa—"
BIP... BIP... BIP...
Sambungan terputus.
Rikardo menatap layar ponselnya dengan putus asa. "Astaga... dia selalu membuatku repot. Tapi… demi gaji, aku harus berangkat."
Dengan cepat, ia mencari nomor Monica dan mencoba meneleponnya. Tapi tak ada jawaban.
"Kenapa sih, di saat penting begini dia malah nggak jawab?" gerutunya.
Sementara itu, di tempat lain, Monica sibuk di depan PC gaming-nya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, matanya terpaku pada layar.
"Ayo... ayo... sedikit lagi! 9999... dan... 10000! Yes! Akhirnya rekor tertinggi!" teriaknya penuh kemenangan.
Monica menyandarkan tubuhnya di kursi gaming dan melirik ponselnya yang berkedip. "Eh? Siapa yang nelpon? Rikardo?" Ia mengangkat alis, lalu menghubungi balik.
Di sisi lain, Rikardo yang sudah hampir putus asa sembari memasukkan barang ke dalam koper, mendengar ponselnya berdering.
"Ah, akhirnya!" serunya. Ia segera menjawab.
BIP.
"WOI, GAMER NOLEP! SUDAH BERAPA KALI AKU TELEPON HAH?!" teriak Rikardo hingga hampir memecahkan gendang telinga.
Monica menjauhkan ponselnya. "Ack! Ada apa sih? Sepenting apa sampai harus telepon aku 134 kali? Nggak habis pulsamu?"
"Ini soal hidup dan mati! Aku doakan akun gamemu kena banned permanen!" geram Rikardo.
"Ya, ya, terserah. Apa sih sebenarnya yang mau kamu bilang?" tanya Monica malas.
"Nona Leena nyuruh kita kumpul. Dia mau bicara soal sesuatu. Dan kalau kita telat, dia bakal potong gaji kita!"
"A-Apa?! Potong gaji?! Di mana dia sekarang?!" Monica langsung panik.
"Di Aomori. Kau di mana? Sekalian kujemput."
"Aku di Kyoto. Tepatnya di perbatasan Kyoto dan Osaka."
"Oke, tunggu di sana. Cepat bereskan barangmu!"
Telepon ditutup. Monica menghela napas berat, menatap layar gamenya.
"Yah, selamat tinggal dunia game. Ini soal gaji."
Sementara itu, di ruang rekaman yang sunyi, Leena Sensei masih duduk diam. Di luar, hujan terus turun, membasahi bumi.
"Waktu kita tidak banyak," pikirnya. "Malam akan segera datang."