Chereads / TOMORROWLANDS / Chapter 24 - TOMORROWLAND:THE BEGINNING

Chapter 24 - TOMORROWLAND:THE BEGINNING

Chapter:24

Langkah kaki bergema di lorong yang sepi ketika tiga orang siswa memasuki ruang komite disiplin. Di dalam ruangan itu, Futaro dan Kato sudah duduk lebih dulu.

"Kalian juga, ya? Tiba-tiba saja dibawa ke sini," ujar Tensura, melipat tangan di dada.

Futaro mendengus pelan. "Iya, begitulah. Mereka datang menyergap kami berdua dan menyeret kami ke sini."

"Hah? Disergap? Aku dan yang lain nggak begitu. Cuma dicegat di lorong, terus disuruh ke sini," balas Tensura dengan nada heran.

"Lah, enak banget! Kato dan aku malah diperlakukan kayak penjahat," keluh Futaro.

Futaro menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Waktu itu, kami lagi ngobrol santai di kelas. Tiba-tiba, BRUKKK! BRAKK! pintu kelas dibanting terbuka. Anggota komite masuk, nggak cuma dari pintu, tapi juga dari jendela! Mereka langsung menahan kami, menyita konsol game milik Kato, terus ngiket kami dan nyeret ke sini. Kayak narapidana aja. Sekarang, Kato lagi murung di sana gara-gara konsolnya disita."

Mereka bertiga serempak melirik Kato yang duduk termenung di pojok ruangan, aura negatif mengelilinginya.

"Heh, Kato, lo nggak apa-apa, kan?" tanya Tensura dengan nada prihatin.

Kato menunduk, suaranya lirih. "Dunia ini kejam... kenapa harus konsolku yang diambil..." Wajahnya memelas, nyaris menangis.

"Najis banget, bener-bener," gumam Tensura, merasa geli dan kasihan sekaligus. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan konsol game lain. "Udah lah, pake punyaku aja nih."

"Hah? Serius? Makasih banyak, bro!" seru Kato dengan antusias. Ia langsung meraih konsol itu dan mulai bermain, seolah semua beban hidupnya lenyap.

Suasana kembali hening, hanya terdengar suara tombol ditekan dari konsol Kato. Aoi, ketua komite disiplin, akhirnya membuka suara.

"Aku udah bosan banget, tahu, harus nyeret kalian ke sini terus. Nggak capek apa? Aku aja lelah jadi ketua komite disiplin dua tahun ini. Dan masalah besar selalu, selalu datangnya dari kalian!" Suaranya meninggi. "APA SIH YANG KALIAN MAU?!"

BRAKK! Suara meja dihantam keras membuat semua orang di ruangan terkejut.

Aoi menatap tajam. "Kalian di sini karena ada yang bilang kalian memperbesar keributan. Itu bener?"

Futaro mengangkat tangan, mencoba menjelaskan. "Tunggu dulu. Aku nggak ikut-ikutan, tahu. Kato bilang Tensura menghilang dari Lane, jadi secara harfiah aku nggak terlibat apa-apa. Tapi mereka berdua nih..." Futaro melirik ke arah dua gadis di sampingnya.

Tatapan tajam Aoi langsung beralih ke Sasami dan Yukata.

"Itu cuma bentuk pembalasan, kok! Kami juga dilempar makanan!" bela Sasami cepat.

"Iya, betul!" Yukata mengangguk setuju.

"Membalas? Sampai harus melempar meja?" Aoi memandang tidak percaya.

"Itu... biar para cowok jadi diam aja, hehe," jawab Sasami dengan cengiran canggung.

Aoi berdecak dan beralih menatap Yukata. "Kamikita Yukata, kamu bertanggung jawab atas wajah aneh para siswa dan mengikat mereka, kan?"

"A-anu... aku cuma... ehm... ya... apa ya alasannya..." Yukata tergagap, jelas sedang mencari-cari alasan.

Aoi mendengus pelan. "Kalau nggak ada alasan, nggak usah dipikirin. Lagi pula, kalian nggak akan dihukum kok."

"HAAAAAAHHHH?!" seru mereka berlima serempak.

Aoi menyandarkan tubuhnya di kursi. "Iya. Kepala sekolah lagi seneng, jadi aku nggak ngasih hukuman kali ini. Gitu deh."

"Terima kasih, Ketua! Kamu memang the best!" Mereka berlima spontan memeluk Aoi.

"Astaga, dasar kalian... Nggak berubah sejak tiga tahun lalu," gumam Aoi sambil tersenyum tipis.

Mereka berlima keluar dari ruangan dengan penuh keceriaan.

"Akhirnya nggak dihukum!" seru Futaro lega.

"Kita cuma beruntung kepala sekolah lagi baik. Biasanya, kita pasti dihukum," kata Sasami sambil menghela napas.

"Udah, yuk balik ke kelas. Jajanan kita masih ada nih!" Tensura mengangkat kantong plastik berisi makanan.

"Yey! Ayo!" sahut mereka serempak.

Hujan baru saja reda. Di atap gedung sekolah yang basah, Leena-sensei berdiri di dekat pagar, sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lincah mengetik, tak menghiraukan kabut tebal yang perlahan menyelimuti atap.

Dari balik kabut, sosok pria muncul. Mantel putih panjang membungkus tubuhnya, sarung tangan putih menutupi jemarinya, dan sepatu hitam menginjak lantai atap yang basah. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan mantel.

Ia melangkah perlahan mendekati Leena.

"Tak kusangka kita bertemu di sini," ucap pria itu, suaranya berat namun tenang.

Leena hanya melirik sekilas tanpa melepaskan pandangannya dari ponsel. "Kebetulan saja. Lagi pula, apa urusanmu di dunia yang tenang ini?"

"Aku merasakan luapan energi imaginer yang aneh di koordinat ini. Jadi aku diam-diam datang untuk menyelidiki. Ternyata, kau sudah ada di sini."

Leena mendengus pelan. "Terus? Mau mengkambinghitamkanku?"

"Tidak. Lagipula, dengan kau di sini, aku jadi tidak perlu khawatir tentang dunia ini."

Leena tak menjawab. Jemarinya masih sibuk di layar ponsel.

Pria itu menatapnya sejenak sebelum berbalik. "Aku rasa kau sudah tahu cara menanganinya."

Leena mengangkat kepala, pandangannya tajam menembus kabut. "Yang kuhadapi kali ini... bukan hal biasa."

Pria itu hanya tersenyum samar. "Aku yakin kau bisa mengatasinya."

Tanpa suara, tubuh pria itu perlahan menghilang di balik kabut.

Leena kembali menunduk, fokus pada ponselnya, namun sorot matanya menunjukkan kesadaran penuh akan bahaya yang mengintai.

Langit mendung kembali memayungi sekolah, membawa firasat akan sesuatu yang besar.