Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh ladang jagung dan pemandangan pegunungan, Arif terperangkap dalam kemiskinan. Setiap harinya, ia bangun sebelum fajar untuk membantu ibunya menjajakan makanan di pasar. Mereka berjualan nasi goreng dan berbagai jajanan tradisional di sudut pasar yang ramai, tetapi pendapatan mereka pas-pasan, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Impian Arif untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan memperbaiki keadaan keluarganya sering kali terasa hanya angan-angan belaka.
Suatu pagi, setelah berjuang menghadapi hari yang melelahkan, Arif kembali ke sekolah menengahnya. Dengan langkah berat, ia memasuki ruang kelas yang ramai. Suara tawa dan candaan teman-teman sekelasnya menggema di sekelilingnya, tetapi Arif merasa seperti seorang pengamat. Ia bukan siswa yang buruk, tetapi kehidupan kerasnya membuatnya sering merasa rendah diri. Teman-teman sekelasnya berasal dari latar belakang yang lebih beruntung, dan ia sering merasa terasing di tengah mereka.
Di waktu istirahat, Doni, sahabatnya yang ceria dengan rambut keritingnya, memanggilnya. "Ayo, Arif! Bergabunglah dengan kami!" katanya sambil melambaikan tangan, menarik Arif ke kantin.
Di tengah kebisingan, Rina, teman dekatnya yang selalu membantu, mengajak Arif untuk belajar bersama. "Jangan khawatir, kita bisa bantu kamu dengan ujian nanti!" Arif tersenyum kecil, berterima kasih atas dukungan mereka. Namun, di dalam hati, ia merasa berat; saat melihat mereka bersenang-senang, ia tidak bisa menahan rasa cemburu akan kehidupan yang mereka jalani.
Saat bel berbunyi dan pelajaran kembali dimulai, pikirannya melayang jauh. Bagaimana cara ia bisa mengubah nasibnya? Ketidakberdayaan dan kemiskinan terasa membelenggunya. Saat pelajaran berlangsung, ia bertekad untuk menemukan cara.
Setelah sekolah, Arif memutuskan untuk mencari barang bekas di tempat pembuangan. Di sanalah ia menemukan sesuatu yang mengubah hidupnya—sebuah tablet tua yang bersinar di bawah sinar matahari. Tertarik, ia mengambilnya dan menyentuh layar. Sebuah pesan muncul:
"Selamat datang di Sistem Keahlian. Pembelian pertama Anda gratis. Anda dapat membeli keterampilan dan pengetahuan menggunakan Rupiah."
Arif terkejut. Sebuah sistem keahlian? Rasa skeptisnya segera sirna saat ia menyadari bahwa ini mungkin kesempatan yang dia cari. Dalam kegembiraannya, ia memutuskan untuk mencoba. Dengan berani, ia menekan tombol dan memilih keterampilan memasak dasar, berharap bisa membantu ibunya di rumah.
Begitu keterampilan itu diaktifkan, Arif merasakan aliran energi dalam dirinya, seolah sesuatu yang besar baru saja dimulai. Ia pulang dan segera mencoba memasak. Makanan yang dihasilkan ternyata jauh lebih enak daripada biasanya. Ibunya tertegun, memuji kemampuan baru putranya. "Arif, ini enak sekali! Kamu bisa jadi koki handal suatu hari nanti," kata ibunya sambil tersenyum bangga.
Namun, saat ia mengeksplorasi lebih dalam, Arif menyadari bahwa keterampilan yang lebih hebat dan berguna harganya selangit. Keahlian memasak yang ingin ia miliki selanjutnya, seperti memasak hidangan gourmet atau membuat kue yang rumit, jauh di luar jangkauan keuangannya. Ia melihat di layar sistemnya:
Memasak Gourmet: Rp 15.000.000
Membuat Kue Spesial: Rp 3.000.000
Manajemen Keuangan: Rp 8.000.000
Arif menggigit bibirnya, menyesal saat melihat kemampuan lainnya dan untuk asal memilih tanpa melakukan eksplorasi lebih jauh tentang sistem ini. Rasa bodohnya membanjiri pikiran—seberapa banyak kerja keras yang harus ia lakukan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu? Dalam benaknya, ia merencanakan bagaimana cara mendapatkan uang. Pekerjaan paruh waktu, menjual barang bekas, bahkan memanfaatkan keterampilan barunya untuk membuka usaha kecil—semua ini harus dipertimbangkan.
Dengan tekad baru, Arif mulai mencari pekerjaan sambilan setelah membantu ibunya. Ia menawarkan jasa memasak untuk acara kecil di sekitar lingkungan. Mulanya, tidak banyak yang mempercayainya, tetapi ia berusaha keras menunjukkan keterampilan barunya. Dalam beberapa minggu, Arif mulai mendapatkan reputasi. Ketika berita tentang masakannya yang lezat menyebar, banyak warga yang mulai memesan jasanya.
Hari demi hari, Arif bekerja keras, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Ia juga menggali informasi tentang kemiskinan dan bagaimana banyak orang berjuang untuk mengubah nasib mereka. Dari artikel yang dibacanya, ia belajar bahwa kemiskinan bukan hanya tentang kekurangan uang, tetapi juga kurangnya akses terhadap pendidikan, peluang, dan jaringan sosial yang kuat.
Malam-malamnya dihabiskan untuk belajar sambil terus berusaha meningkatkan keterampilan memasaknya. Teman-temannya di sekolah mulai menyadari perubahan dalam dirinya. Rina dan Doni pun memberi dukungan lebih, ikut membantu dalam usaha kecilnya. Rina bahkan mengajak teman-teman sekelas lainnya untuk mempromosikan usaha Arif.
Tetapi, dengan keberhasilan yang mulai terlihat, Arif merasakan bayang-bayang ancaman yang mengintai. Pesaing-pesaing di sekitar yang tidak ingin melihatnya berhasil mulai muncul. Salah satu pesaingnya, Andi, seorang siswa dari sekolah lain, berusaha merendahkan usaha Arif, "Kamu kira kamu bisa berhasil hanya dengan memasak nasi goreng? Jangan mimpi!" ungkap Andi dengan sinis. Ancaman ini menandakan bahwa jalan menuju kesuksesan tidak akan semudah yang ia harapkan.
Arif tahu bahwa ini baru permulaan. Ia bertekad untuk terus berjuang, membuktikan bahwa dengan kerja keras dan sedikit keberanian, ia bisa mengubah takdir hidupnya, meskipun jalan yang harus dilaluinya penuh dengan rintangan. Dengan setiap keterampilan yang dibeli, Arif berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak hanya mengubah hidupnya, tetapi juga hidup ibunya dan memberi harapan bagi orang-orang di sekitarnya.