Dengan semangat yang kembali menyala, Arif berusaha mencari cara untuk memperluas usahanya. Setelah berhasil mengatasi tantangan sementara dan membayar biaya rumah sakit ibunya, ia menyadari bahwa untuk mencapai impian besarnya, ia perlu berpikir lebih besar. Satu malam, saat duduk di meja belajar sambil memeriksa catatan keuangan dan merencanakan langkah selanjutnya, Arif teringat pada suatu acara yang sering ia lihat di televisi: bazaar makanan.
"Apa jadinya jika aku bisa ikut serta dalam bazaar itu?" pikirnya. Ia membayangkan bagaimana suasana ramai dan banyaknya pengunjung yang bisa menjadi pelanggan baru. Dengan tekad bulat, Arif mulai merencanakan segala sesuatunya.
Pertama-tama, ia menghubungi penyelenggara bazaar melalui media sosial. "Permohonan untuk mengikuti bazaar makanan. Nama usaha saya 'Dapoer Arif'. Saya ingin menawarkan makanan khas Indonesia dan makanan yang saya ciptakan sendiri." Ia mengirimkan pesan itu dengan harapan besar.
Tak lama setelah itu, Arif mendapatkan balasan positif. "Kami senang menginformasikan bahwa Dapoer Arif diterima untuk ikut serta dalam bazaar akhir pekan ini. Silakan siapkan semuanya!"
Arif hampir melompat kegirangan. Dia tahu ini adalah kesempatan emas untuk memperkenalkan usaha kulinernya kepada lebih banyak orang. Namun, persiapannya bukanlah hal yang mudah. Ia perlu mengumpulkan modal untuk membeli bahan-bahan, menyewa tenda, dan peralatan yang diperlukan untuk bazaar.
Dengan sisa tabungannya dan beberapa bantuan dari Rina dan Doni, Arif mulai membeli bahan-bahan segar. Ia berencana untuk menawarkan menu spesial, seperti nasi goreng spesial, mie goreng, dan beberapa jajanan tradisional yang telah ia pelajari.
Di malam sebelum bazaar, Arif tidak bisa tidur. Ia merasa gugup dan bersemangat sekaligus. Dalam pikirannya, ia membayangkan bagaimana semua orang akan mencicipi masakannya dan memberikan ulasan positif. Namun, bayang-bayang Andi dan persaingannya tetap menghantuinya. "Apa yang akan mereka lakukan untuk menjatuhkanku kali ini?" pikirnya, khawatir.
Hari bazaar pun tiba. Arif tiba lebih awal untuk menyiapkan segala sesuatunya. Ia melihat tenda-tenda lain yang didirikan oleh pesaingnya dan merasa sedikit tertekan. Namun, ia tidak membiarkan rasa cemas itu mengalahkan semangatnya. Bersama Rina dan Doni, ia mulai mengatur stan dan menyusun makanan dengan apik.
Ketika bazaar dibuka, orang-orang mulai berdatangan. Suasana ramai dan penuh energi membuat Arif merasa lebih tenang. Ia tersenyum kepada setiap orang yang lewat, menawarkan sampel kecil dari hidangannya. "Ayo, coba nasi goreng spesial kami!" teriaknya dengan antusias.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang berhenti untuk mencicipi masakannya. Beberapa dari mereka terkesan dan mulai memesan. Arif merasakan kepuasan yang luar biasa saat melihat senyum di wajah pelanggan. "Saya ingin satu porsi mie goreng dan dua porsi nasi goreng, ya!" teriak seorang pengunjung.
Namun, di tengah kesibukan itu, Arif mendengar suara yang tidak asing. "Hah, jadi ini yang kau lakukan, Arif?" suara itu datang dari Andi, yang berdiri di samping stan mereka dengan senyum sinis. "Kau pikir usaha kecilmu ini bisa bersaing dengan yang lain?"
Arif menatapnya, berusaha tidak menunjukkan bahwa ia terganggu. "Saya hanya melakukan yang terbaik," jawabnya tegas, berusaha menjaga profesionalisme. "Dan ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepada orang lain betapa enaknya masakan saya."
Andi hanya tertawa, mencoba mencari cara untuk menjatuhkan kepercayaan diri Arif. "Baiklah, kita lihat saja nanti," ujarnya sambil beranjak pergi.
Meskipun Arif merasa sedikit terintimidasi, ia memfokuskan diri pada pelanggan yang ada. Di tengah kesibukan, Rina dan Doni memberikan dukungan luar biasa. Mereka membantu melayani pelanggan dan menjaga suasana tetap ceria. "Ayo, Arif! Kau bisa lakukan ini!" teriak Rina.
Hari itu, Arif berhasil menjual hampir semua makanan yang ia siapkan. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat menghitung uang hasil penjualannya. "Saya berhasil! Ini semua berkat kerja keras dan dukungan teman-temanku," pikirnya, merasa bangga.
Namun, saat ia pulang, Arif tidak bisa menghilangkan pikiran tentang Andi. Ia tahu bahwa kompetisi akan semakin ketat. Sebelum tidur, ia membuka tablet tua dan merenung. Ia ingin membeli keterampilan baru yang bisa membantunya menghadapi semua tantangan yang akan datang.
"Saya harus menjadi lebih baik," bisiknya pada dirinya sendiri, menatap layar yang bersinar.
Dengan tekad yang semakin kuat, Arif bersiap untuk menghadapi hari-hari yang lebih menantang. Ia sadar bahwa meskipun jalan menuju kesuksesan tidaklah mudah, ia tidak sendirian. Dengan dukungan teman-teman dan keberanian yang baru ditemukan, ia siap untuk melangkah maju dan mengejar impian yang telah ia impikan selama ini.