Natha tersenyum--lebar, bahkan...ngeledek. Seperti dia bangga karena langsung jatuh cinta padaku pada pertemuan pertama itu.
"Astaga--" Aku menutupi wajahku yang memerah dengan telapak tangan. "Aku bahkan tidak ingat pernah berkata begitu!"
"Yah, sejujurnya, kamu memang sedang delirium dan dalam kondisi kritis," dia mengangkat bahu.
Aku terkejut, menatap dari antara jemariku. "Ah, ya, aku dimarahi banyak sekali waktu itu,"
"Kamu memang ceroboh dari awal," dia menggelengkan kepalanya dan menghela napas tanda putus asa, seolah-olah aku anak nakal yang membuatnya serangan jantung berkali-kali.
Tunggu...Sepertinya dia juga begini saat mengunjungiku lagi setelah itu. Dia adalah salah satu orang yang memarahiku, tapi aku ingat merasa senang karena dia memarahiku karena khawatir, bukan karena aku menjadi beban karena pingsan.
