"Urk--"
Kamu tahu kan rasanya makan tanpa berpikir sampai kenyang dan mual? Yeah... itulah yang aku rasakan.
Berbeda dari sebelumnya, polusi mana di awan badai ini lebih besar, dan aku tidak yakin aku bisa mempertahankan bentuknya kalau aku keluarkan. Jadi, aku memutuskan untuk menyimpan polusi itu di dalam sistem tubuhku.
Tapi sekarang aku merasa ingin muntah.
"Sayang--"
"Aku oke--hanya...ugh, terasa menjijikkan," aku cepat-cepat berkata agar Natha tidak khawatir. "Seperti--uhh--makan sesuatu yang pahit dan busuk," aku bergidik.
[Jade tidak suka. Jijik]
Burung kecil itu, yang sekarang sudah mendapatkan kembali energinya setelah udara dibersihkan, berkicau keras dari bahu aku. "Kamu bukan yang 'makan' itu," gumamku sambil mencubit pipi tembamnya.
"Aku pikir akan lebih baik kalau kamu memuntahkannya, Tuan Muda," kata Lesta, dan seperti anak buah kanan yang kompeten--ehh, setan?--yang dia adalah, dia sudah memegang pot kosong atau kendi atau apa pun itu di tangannya.
