"Ini merah sekali..."
Aku bergumam pelan sambil memandangi kondisi paha dalamku. Mereka merah bagai bunga yang sedang mekar, menciptakan garis akibat gerakan intens yang menimpa kulitku semalaman.
Berapa kali dia melakukannya semalam? Aku tidak menghitung, dan kepalaku yang kacau tak bisa berpikir dengan benar.
"Maaf," aku mendengar permintaan maafnya yang tak tulus, disertai tawa ringan saat ia memelukku dari belakang, mengusap daerah dekat bagian yang merah.
"Jangan!" aku memperingatkannya dengan bibir yang terkatup, yang dijawabnya dengan ciuman di pipiku. Namun dia tidak memindahkan jarinya lebih jauh, hanya terus memegang bagian luar pahaku.
Sebenarnya bukan mengomel--aku hanya ingin mencoba sesuatu.
Kuamati bagian yang merah dan kuletakkan tangan di atasnya dengan ringan. Terasa perih sebentar, bagai rasa sakit yang tertinggal dari memar. Tapi aku mengalirkan mana, memanggil regenerasi kayu dan peremajaan air, mengumpulkannya di telapak tangan dan pahaku.