Chereads / UnbrokenChain / Chapter 3 - Malam Yang Menyebalkan

Chapter 3 - Malam Yang Menyebalkan

Shazmeen berjalan sendiri di gelapnya rembulan malam menuju kedalam hutan, tanpa ia sadari sekarang Kael yang bersembunyi mengikutinya dari dalam bayangan kegelapan malam.

Shazmeen mulai menggerutu karena ini pengalaman seumur hidupnya, untuk berkenala sendiri dan terlebih lagi dia mengalami hal yang benar-benar tidak terduga. Dimulai penyerangan sosok misterius dengan berjubah hitam dan kehilangan pengawalnya di laut.

"Ahh....rasanya aku sangat lelah sekali malam ini ditambah lagi orang aneh tadi, kurasa aku harus mencari tempat istirahat untuk bermalam disekitar sini."

Shazmeen berjalan menuju gelapnya hutan dan akhirnya menemukan Goa yang cukup untuk ditinggalinya sementara karena ada sumber mata air didekat situ, tetapi perjalanan ke desa yang ingin tuju masih terlampau sangat jauh.

"Malam yang Menyebalkan" gerutu Shazmeen 

Shazmeen duduk di dalam goa, menghela napas panjang dengan wajah penuh penderitaan. Ia melirik gaunnya yang sudah penuh debu dan sedikit kusut, lalu menggerutu sendiri.

"Hah… Ini benar-benar di luar dugaan. Aku, seorang Shazmeen Daneena, harus tidur di tempat seperti ini? Di hutan? Dengan udara dingin dan… astaga, aku bahkan tidak punya bantal!"

Ia menepuk-nepuk tempat duduknya, seolah berharap menemukan sesuatu yang lebih nyaman. Tapi yang ada hanya tanah dan bebatuan kecil yang semakin membuatnya kesal.

Sementara itu, dari balik bayangan, Kael tetap mengawasi. Ekspresinya tetap dingin, tanpa sedikit pun perubahan.

Tiba-tiba, perut Shazmeen berbunyi keras.

"GRROOOOKK!!"

Ia langsung membeku. Matanya berkedip cepat, lalu buru-buru berdeham dan duduk lebih tegak, berusaha mempertahankan martabatnya.

"Hmph! Aku tidak lapar! Aku hanya… hanya butuh minum! Ya, itu saja!" katanya, meyakinkan dirinya sendiri.

Tapi beberapa menit kemudian, ia sudah mondar-mandir di sekitar goa, menatap ke arah hutan dengan ekspresi penuh pertimbangan.

"Seberapa sulit sih mencari makanan? Aku hanya perlu… ah! Mungkin ada buah-buahan di sekitar sini!"

Tanpa ragu, ia melangkah keluar dan mulai "berburu."

30 menit kemudian…

Shazmeen kembali ke dalam goa dengan ekspresi bangga, membawa… segenggam daun dan ranting kecil.

"Hah! Aku berhasil!" katanya dengan penuh kemenangan.

Tapi begitu melihat hasil buruannya, senyum di wajahnya perlahan menghilang.

"Tunggu… apa ini?"

Ia memegang daun di tangannya, lalu menatapnya dengan ekspresi datar.

"…Aku… aku barusan berburu… daun?"

Keheningan pun menyelimuti goa.

Di kejauhan, Kael yang mengamati sejak tadi, hanya menutup mata sebentar dan menghela napas pendek.

Shazmeen, di sisi lain, menatap ranting di tangannya lalu membantingnya ke tanah dengan kesal.

"Aku tidak bisa hidup seperti ini! Aku butuh makanan sungguhan! Aku butuh—"

"GRROOOOKK!!"

Perutnya kembali berbunyi—kali ini lebih keras.

Shazmeen langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, wajahnya merah padam karena malu. Ia buru-buru melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang mendengar.

Tapi Kael sudah mendengarnya sejak tadi.

Dan ia tetap tidak peduli.

10 menit kemudian…

Shazmeen duduk dengan ekspresi menyerah, tangannya menopang dagu.

"Hah… Ini benar-benar menyebalkan," gumamnya.

Lalu, entah dari mana, sebuah apel merah segar tiba-tiba jatuh tepat di pangkuannya.

Matanya membesar, lalu dengan penuh kecurigaan, ia menoleh ke kiri dan kanan.

"…Hantu?" bisiknya pelan.

Dari balik bayangan, Kael tetap berdiri diam. Sejak tadi, ia hanya melempar apel tanpa berniat memperlihatkan diri.

Shazmeen menatap apel itu, lalu mengangkat bahu.

"Yah, siapa pun yang memberikannya, terima kasih," katanya, lalu mulai makan dengan lahap.

Shazmeen menggigit apel di tangannya dengan puas. Manis, segar, dan yang paling penting—ini makanan sungguhan, bukan daun atau ranting konyol yang tadi ia kumpulkan.

Tapi setelah beberapa gigitan, sesuatu mengganggunya.

Ia menatap apel itu dengan curiga.

"Tunggu… dari mana apel ini datang?"

Ia memutar bola matanya, mencoba mengingat. Tidak ada pohon apel di dekat goa. Tidak ada tanda-tanda apel jatuh secara alami.

Shazmeen langsung memasang ekspresi horor.

"Jangan-jangan… ini ulah makhluk gaib?!"

Ia buru-buru memeriksa apel itu, mencari tanda-tanda apakah ada bekas gigitan makhluk tak kasat mata atau… sesuatu yang lebih buruk.

Lalu tiba-tiba

"Kau terlalu berisik."

Suara dingin itu muncul dari kegelapan.

Shazmeen langsung membeku.

Ia menoleh perlahan, dan di sana—di antara bayangan, Kael berdiri dengan tatapan datar, bersandar di pohon.

"KYAAAHHHH!!"

Shazmeen hampir melempar apelnya ke arah Kael. Hampir. Untungnya, otaknya masih cukup cepat untuk menyadari bahwa pria itu bukan hantu, melainkan… ya, pria menyebalkan yang menyelamatkannya tadi.

Kael menatapnya tanpa ekspresi, seolah sudah memperkirakan reaksi lebay itu sejak awal.

Shazmeen mengambil napas dalam, lalu menaruh satu tangan di pinggangnya.

"Jadi itu kau yang melempar apel ini?" tanyanya dengan alis terangkat.

Kael tidak menjawab. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu kembali menutup mata, seperti tidak tertarik melanjutkan percakapan.

Shazmeen mendengus.

"Dasar pria aneh!"

Kael, seperti biasa, tidak merespons.

Shazmeen melipat tangannya, menatap Kael dengan ekspresi kesal bercampur penasaran.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya lagi. "Jangan bilang… kau mengikutiku?"

Kael membuka matanya sedikit, lalu menatapnya dengan datar.

"Jangan berpikir terlalu tinggi tentang dirimu sendiri."

Shazmeen langsung tersentak.

"Apa maksudmu?!"

Kael menghela napas.

"Aku hanya memastikan kau tidak mati konyol di sini," katanya, lalu kembali bersandar pada pohon.

Shazmeen membuka mulutnya, ingin membalas, tapi… ia sadar kalau pria itu benar.

Sejujurnya, kalau bukan karena apel tadi, mungkin dia sudah mulai menggigiti ranting yang dia bawa sebelumnya.

Tapi tentu saja, dia tidak akan mengakuinya.

"Hmph!" Shazmeen berbalik, memasang ekspresi angkuh. "Seolah aku membutuhkan bantuanmu? Aku bisa bertahan sendiri!"

Kael hanya meliriknya sebentar sebelum menutup mata lagi.

Lalu—

"GRROOOOKK!!"

Perut Shazmeen berbunyi untuk ketiga kalinya malam itu.

Keheningan pun menyelimuti mereka.

Wajah Shazmeen langsung merah padam.

Kael tetap tidak berkata apa-apa, tapi sudut bibirnya sedikit—sedikit saja—naik dalam senyum tipis yang hampir tidak terlihat.

Shazmeen buru-buru mengambil gigitan besar pada apelnya, seolah ingin menutupi rasa malunya.

"Sudahlah! Aku hanya sedikit lapar!" katanya dengan suara yang terdengar sangat defensif.

Kael tidak menanggapi. Ia hanya berbalik, berjalan menjauh dengan tenang.

Melihat itu, Shazmeen mengerutkan dahi.

"Hei! Kau mau ke mana?"

Kael tetap berjalan tanpa menoleh.

"Jangan ikuti aku," katanya dingin.

Shazmeen langsung tersenyum kecil.

Dan tentu saja, ia mengikutinya.

Shazmeen terus melangkah di belakang Kael, mengunyah apel terakhirnya sambil melirik pria itu dengan penuh rasa ingin tahu.

Kael berjalan dengan kecepatan konstan, tanpa memperdulikan dirinya yang mengikuti. Seperti tidak ada gunanya berusaha mengusir Shazmeen, karena entah kenapa wanita itu punya tekad sekeras baja… atau mungkin hanya terlalu keras kepala.

Beberapa menit berjalan dalam keheningan, akhirnya Shazmeen tidak tahan.

"Kau ini selalu seperti ini ya?"

Kael tidak menjawab.

"Tidak bicara, tidak bereaksi… seperti es batu berjalan," Shazmeen melanjutkan, matanya menyipit menatap pria itu.

Kael tetap diam.

Shazmeen mendecak. "Oh, baiklah, baiklah. Kalau kau tidak mau bicara, aku yang bicara. Kau tidak keberatan, kan?"

Kael akhirnya berhenti berjalan.

Shazmeen tersenyum kecil. Aha! Akhirnya dia merespons!

Tapi kemudian—

Kael berbalik perlahan. Tatapannya masih sama, datar dan tak bernyawa.

"Kau mengganggu."

Shazmeen langsung tersentak. "Hah?!"

"Aku lebih memilih suara jangkrik daripada ocehanmu," lanjut Kael, kemudian berbalik lagi dan melanjutkan jalannya.

Shazmeen terdiam sejenak, sebelum akhirnya menutup mulutnya dengan satu tangan, berpura-pura tersinggung. "Wow. Kasar sekali."

Kael tetap berjalan.

Shazmeen menghela napas panjang. "Kau ini tidak punya kepribadian ya? Aku tidak bisa membayangkan seseorang sepertimu punya teman."

Kael berhenti lagi, kali ini menoleh sedikit.

"Aku memang tidak butuh teman."

Shazmeen menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Serius? Kau tidak pernah punya teman?"

Kael mengangkat bahu, lalu kembali berjalan.

Shazmeen terdiam beberapa saat, lalu menyeringai.

"Oke, oke. Kalau kau tidak punya teman… berarti aku bisa jadi yang pertama!" katanya dengan nada riang, mempercepat langkahnya agar bisa sejajar dengan Kael.

Kael menatapnya sebentar, lalu menghela napas pelan. "Jangan buang waktumu."

Shazmeen mengangkat bahu. "Tidak masalah! Aku suka tantangan."

Kael tidak menanggapi lagi.

Namun, entah bagaimana, kini Shazmeen berjalan di sampingnya tanpa ada niat untuk pergi.

Sepuluh menit kemudian.

"Apa kau tidak lelah berjalan terus begini?" Shazmeen bertanya sambil merentangkan tangannya, tampak bosan.

Kael tetap melangkah tanpa mengubah ritmenya.

Shazmeen berdecak. "Dengar, awalnya kau merupakan pemberontak dan penghianat negara yang tak memiliki hati sepanjang aku mendengar berita di surat kabar tapi ternyata kau tidak seburuk yang ku kira, hmm tapi bisakah kita setidaknya istirahat dulu? Kaki-ku pe-gal."

Kael tidak menjawab, tapi ia memang mulai memperlambat langkahnya sedikit.

Melihat itu, Shazmeen tersenyum kecil. Aha! Aku menang satu poin!

Namun.....

BLUGH!

Tanpa aba-aba, Kael duduk begitu saja di atas batu besar di tepi jalan setapak, bersandar dengan mata terpejam.

Shazmeen berkedip.

"Oh. Jadi kau juga bisa lelah, ya?"

Kael tetap diam.

Shazmeen melipat tangan di dadanya, menatap pria itu dengan penuh pertimbangan.

Kemudian...

Dengan sangat anggun dan dramatis, ia menjatuhkan diri ke tanah di samping Kael, berbaring sambil menghela napas keras.

"ASTAGA, akhirnya!" katanya dengan berlebihan. "Aku pikir kau akan menyiksaku dengan perjalanan tanpa akhir!"

Kael tidak bereaksi.

Shazmeen mengangkat satu alis.

"...Apa kau tidur?"

Kael tetap diam.

Shazmeen menyipitkan mata, lalu perlahan mendekatkan wajahnya ke arah pria itu.

Satu sentimeter lagi…

Tiba-tiba, Kael membuka matanya dan menatapnya tajam.

Shazmeen langsung terlonjak mundur. "HAAH?!"

"Apa yang kau lakukan?" kata Kael dingin.

Shazmeen berkedip beberapa kali, lalu mendengus.

"Aku cuma ingin memastikan apakah kau masih hidup!" katanya, bersedekap.

Kael hanya menghela napas dan kembali menutup matanya.

Shazmeen mengerutkan dahi.

Ia menatap Kael yang duduk di sana dengan tenang, lalu…

Dengan santai, ia merebahkan kepalanya di paha Kael.

Kael langsung membuka matanya.

"...."

"Apa?" Shazmeen menatapnya dengan polos.

Kael menatapnya lama, seakan sedang mempertimbangkan apakah ia harus melempar wanita ini ke semak-semak terdekat.

Tapi akhirnya—

Ia hanya menutup matanya lagi dan menghela napas pelan.

"...Terserah."

Shazmeen tersenyum kecil. Shazmeen tersenyum puas sambil merebahkan kepalanya di paha Kael. Rasanya nyaman—tidak terlalu empuk, tapi cukup untuk dijadikan bantal dadakan.

Kael hanya diam, tapi dari hembusan napasnya yang sedikit lebih berat, jelas ia sedang menahan diri untuk tidak membuang wanita ini ke jurang terdekat.

Beberapa menit berlalu.

Hening. Damai.

Nyaris seperti momen yang tenang dan penuh kedamaian… jika saja Shazmeen benar-benar diam.

"Kael."

Kael tidak bereaksi.

"Kael."

Kael tetap tidak bergerak.

Shazmeen menyipitkan mata, lalu menusuk pinggang Kael dengan jari telunjuknya. "Hei, es batu berjalan, aku tahu kau masih bangun."

Kael menghela napas, akhirnya membuka matanya sedikit.

"Apa?"

Shazmeen mengangkat wajahnya sedikit. "Kenapa kau terus mengikutiku tadi?"

Kael menatapnya sebentar, lalu kembali memejamkan mata. "Aku tidak mengikutimu."

Shazmeen mendengus. "Oh, ayolah. Kau tiba-tiba muncul dari bayangan seperti siluman, lalu berjalan di belakangku sepanjang waktu. Itu namanya menguntit, tahu, ya untuk seorang pemberontak seperti mu itu hal biasa bukan?"

Kael tidak menjawab.

Shazmeen menyipitkan mata, lalu kembali menusuk pinggang Kael dengan jarinya.

"Hei." Tusuk.

"Hei." Tusuk.

Kael akhirnya menatapnya lagi, kali ini dengan ekspresi penuh kesabaran yang menipis. "Aku hanya memastikan kau tidak mati konyol di hutan ini."

Shazmeen berkedip. "Hah?"

Kael mendesah. "Kau berjalan masuk ke hutan tanpa melihat sekeliling. Kau hampir menginjak jebakan binatang, hampir tersandung akar pohon, dan hampir disergap oleh sesuatu yang mengintai dari balik semak-semak."

Shazmeen terdiam sebentar, lalu mengerutkan dahi. "Hah? Maksudmu ada yang mengintai aku?"

Kael menutup matanya lagi. "diamlah."

Shazmeen kembali terdiam.

Kemudian....

Ia langsung bangkit dari pangkuan Kael dengan ekspresi penuh horor. "KAU TIDAK BISA MENGATAKAN HAL SEPERTI ITU DENGAN SANTAI, BODOH!"

Kael hanya mengangkat bahu. "Kau aman sekarang, jadi tidak perlu panik."

"TIDAK PERLU PANIK?!" Shazmeen membelalak. "Bisa saja itu monster raksasa yang siap menelanku hidup-hidup!"

Kael mendengus. "Bukan monster. Hanya serigala lapar."

Shazmeen berkedip. "Serigala?"

Kael mengangguk. "Serigala… dan dua orang pemburu."

Shazmeen langsung melompat berdiri. "KAU TIDAK BISA MENGATAKAN HAL-HAL MENGERIKAN SEPERTI ITU DENGAN EKSPRESI DATAR BEGITU, KAEL!"

Kael tetap tenang. "Aku sudah membunuh mereka."

Shazmeen langsung terdiam.

Ia menatap Kael lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan duduk kembali.

"Astaga… hidupku sejak bertemu denganmu jadi seperti mimpi buruk."

Kael tidak menanggapi.

Shazmeen mengusap wajahnya, lalu melirik Kael dengan tatapan curiga.

"Tunggu… kalau kau dari tadi membuntutiku, berarti kau juga melihat aku—"

Kael memotong cepat. "Ya."

Shazmeen menegang. "Melihat aku—"

"Ya."

"Saat aku—"

"Ya."

Shazmeen langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. "ASTAGA MALUNYA!"

Kael tetap tidak bereaksi.

Tapi kali ini… sudut bibirnya sedikit terangkat, nyaris tidak terlihat.

DI PAGI HARI

Fajar mulai sudah semakin merekah, sinar matahari perlahan merayap. Udara pagi yang sejuk menyelimuti tempat itu.

Kael sudah bangun lebih dulu. Ia duduk di dekat sumber mata air kecil, membersihkan pedangnya dengan tenang, ekspresi dinginnya tetap sama seperti sebelumnya.

Di belakangnya, Shazmeen masih tertidur pulas dan dengan pose yang benar-benar tidak elegan.

Kepalanya menyandar di dinding goa, mulutnya sedikit terbuka, dan sedikit iler mulai mengalir di sudut bibirnya.

Kael melirik sekilas dan langsung mengalihkan pandangan, seolah apa yang baru saja dilihatnya terlalu menyedihkan untuk diperhatikan lebih lama.

Namun, beberapa saat kemudian....

"NGGHHH...!?"

Shazmeen tiba-tiba terbangun dengan gerakan yang sangat dramatis, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi buruk.

Ia langsung merapikan rambutnya dengan panik, lalu menoleh ke Kael dengan tatapan curiga. "K-Kau! Kau tidak melihat sesuatu yang aneh, kan?!"

Kael tidak mengatakan apapun

Shazmeen memperhatikannya dengan tatapan menyipit. "Hmmm... Kau pasti melihat sesuatu. Aku bisa merasakannya."

Kael tidak menjawab dan hanya mengambil katananya kembali .

Shazmeen menghela napas panjang, lalu menggerakkan tubuhnya sedikit, mencoba merenggangkan otot-ototnya yang kaku.

Dan saat itu juga—

"GROOOKK!"

Sebuah suara nyaring terdengar dari perutnya.

Hening.

Shazmeen langsung membeku di tempat, ekspresinya berubah drastis. "..."

Kael menoleh perlahan dengan tatapan datarnya.Shazmeen tertawa kaku sambil memegang perutnya dengan canggung.

"Eh-hehe... Sepertinya aku masih sedikit lapar..."

Kael menghela napas panjang. "Menyusahkan." Tanpa berkata banyak, ia bangkit dan melangkah melanjutkan perjalanan

Shazmeen menatapnya dengan penuh harapan. "Jadi kau akan mencari makanan untukku?"

Kael berhenti sejenak, menoleh, lalu berkata...

"Tidak."

Kael menatap Shazmeen dengan ekspresi yang menunjukkan betapa tidak pedulinya dia. "Lalu?"

Shazmeen melipat tangan, bersikap sangat anggun seperti seorang putri yang sedang menuntut sesuatu dari bawahannya.

"Kau laki-laki, jadi kau harus melakukan sesuatu. Pergilah berburu atau cari makanan."

Kael menatapnya lama, lalu meninggalkannya.

Shazmeen memelototinya. "Astaga! Aku berbicara padamu!"

Kael tetap diam.

Shazmeen menghela napas panjang, berdiri, dan mulai melangkah dengan dramatis. "Baiklah, kalau kau tidak mau membantu, aku akan mencari sendiri! Seorang wanita mandiri tidak butuh laki-laki yang dingin seperti es!"

Kael tidak bereaksi sama sekali.

Shazmeen mendengus, lalu melangkah ke arah hutan yang lebat.

Tapi setelah tiga langkah, ia berhenti.

Ia melirik sekeliling. Pepohonan tampak seperti sosok-sosok gelap yang mengintainya, dan suara-suara samar dari binatang membuat bulu kuduknya berdiri.

Shazmeen menggigit bibir, berdiri di tempatnya, mencoba tetap tenang.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Lalu

"KAELLL!"

Ia langsung berlari balik ke arah Kael dengan ekspresi panik dan memeluk erat Kael.

Kael masih dengan ekspresi datarnya, menatapnya heran. "Kau sudah dapat makanan?"

Shazmeen memalingkan wajah dengan sangat angkuh, seolah tidak ingin mengakui kekalahannya. "Aku... hanya sedang memastikan bahwa kau baik-baik saja."

Kael menghela napas panjang. "Hmph. Menyusahkan."

Namun, setelah beberapa detik, ia akhirnya mengambil kantung kecil dari ikat pinggangnya.

"Makan." Kael melemparkan sebuah roti kering ke Shazmeen.

Shazmeen menatap roti itu, lalu melirik Kael. "Huh? Kau sudah punya makanan?"

Kael duduk kembali dan menutup matanya. "makanlah atau tidak sama sekali."

Shazmeen menyipitkan mata. "Jadi tadi kau cuma membiarkanku panik dan hampir mencari makanan sendiri, padahal kau sudah punya ini?"

Kael tidak menjawab.

Shazmeen memandangnya lama, lalu mendecak pelan. "Dasar pria menyebalkan."

Namun, perutnya keroncongan lagi, jadi ia terpaksa menerima nasibnya dan mulai memakan roti itu.

Saat ia menggigitnya....

KRAK!

Shazmeen langsung mengerutkan dahi. "Astaga, ini roti atau batu bata?! Kau ingin aku kehilangan gigi?!"

Kael membuka mata sebentar dan meliriknya. "Makan atau biarkan saja."

Shazmeen menghela napas, mencoba menahan harga dirinya, lalu kembali menggigit roti itu dengan hati-hati.

Saat ia sibuk berusaha tidak kehilangan gigi, Kael meliriknya sekilas.

Untuk pertama kalinya sejak awal perjalanan mereka—

Sebuah senyum kecil, hampir tidak terlihat, muncul di wajahnya.

Di suatu tempat yang tersembunyi dari dunia, organisasi Nythragael berkumpul dalam keheningan yang menekan. Cahaya samar dari obor biru berpendar di sepanjang dinding batu, menciptakan bayangan-bayangan gelap yang seolah memiliki nyawa sendiri.

Unknown 1 menghela napas pendek sebelum berbicara, suaranya dingin dan penuh otoritas.

"Hmph... Kael Thalrune ya? Tak disangka masih saja eksis di dunia ini Clan Thalrune. Berarti dia satu-satunya yang tersisa, bukan begitu, Levian?"

Levian, bersedekap. "Ya. Pembantaian itu menghapus semua jejak mereka. Tidak ada yang tersisa… atau setidaknya, itulah yang kita yakini selama ini."

Unknown 5 berbicara dengan nada meremehkan. "Kau yakin ini bukan hanya rumor belaka? Seseorang mengaku sebagai Thalrune, lalu tiba-tiba kau menganggapnya ancaman?"

Unknown 1 berbicara dengan tenang dan penuh intimidasi "Ya, sejauh ini kita belum mengetahui kebenarannya, tapi penghianatan yang dilakukan Shagzi Thalrune benar adanya."

"Coguku (Unknown 8) Kau kuutus dengan Exile dan Ensha untuk memburu dan menyelidiki kebenaran dari anak pemberontak itu dan untuk mu levian aku ingin berbica empat mata denganmu"