Chereads / UnbrokenChain / Chapter 4 - Seseorang Yang Bodoh

Chapter 4 - Seseorang Yang Bodoh

Di pagi yang cerah, Shazmeen dan Kael melanjutkan perjalanan mereka di Pulau Hikani. Kabut tipis masih menggantung di udara ketika mereka menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rimbun."Hei... Kael, apa kau sudah terbiasa seperti ini?" tanya Shazmeen dengan suara lembut, matanya menerawang ke langit biru yang bersih.

Kael tidak menanggapinya, hanya berjalan dengan langkah pasti. Namun, Shazmeen tetap berbicara, seolah menikmati keheningan yang hanya dia sendiri yang bisa pecahkan.

"Kau tahu, selama aku di Valhalla, aku selalu menuntut diriku untuk menjadi tuan putri yang sempurna. Aku lelah harus berpura-pura anggun dan elegan di hadapan semua orang."Burung-burung beterbangan di atas mereka, berkicau seperti alunan musik dari alam.

"Melihat burung-burung itu bebas terbang tinggi sepertinya mengasikkan tanpa harus terkekang oleh masalah hukum yang berlaku bukan?" sambung Shazmeen.

Kael hanya menatap ke arah aliran air yang tenang, bibirnya tertutup rapat seolah melindungi rahasia yang jauh lebih dalam. Setelah beberapa saat, dia menjawab dengan suara datar:

Kael sama sekali tidak menunjukkan antusiasnya kepada Shazmeen. Dia terus berjalan hingga mereka menemukan seorang kakek tua yang sedang kesusahan mendorong gerobak miliknya. Kael segera menghapiri kakek itu dengan cepat serta membantunya mendorong gerobaknya.

Shazmeen yang melihat itu sontak terkejut melihat apa yang dilakukan Kael pada kakek itu. 

"Hah, si kulkas itu ternyata mempunyai rasa kemanusiaan juga ya, Kael pemberontak dan penghianat negeri Vallhala dan pembantai Clannya sendiri? apa itu yang sebenarnyanya terjadi?" gumam dalam hati.

Tanpa sadar Shazmeen meneteskan air mata karena melihat Kael seseorang yang selama ini di incar oleh kepemerintahan ayahnya di incar untuk dibunuh atau ditangkap hidup-hidup memperlakukan dia dengan baik, tidak seperti rumor yang berada diluar sana.

Langkah Shazmeen terhenti melihat itu semua, Kael menyadari ada sesuatu pada Shazmeen.

"Hei kau, kenapa kau diam saja kemana ocehanmu itu? ayo pergi perjalanan masih sangat jauh."

Shazmeen menatapnya dari kejauhan, hatinya bergemuruh oleh perasaan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

"Bagaimana mungkin seseorang yang tampak serba dingin seperti itu bisa memiliki kelembutan hati?" pikirnya pelan, seiring matanya mengikuti setiap gerakan Kael yang hampir seperti tarian, tenang namun penuh arti. 

Shazmeen merasa tergerak. Dalam kebisuan Kael, ia menemukan sesuatu yang lebih kuat daripada kata-kata; ada ketulusan yang tersembunyi di balik sikap dingin dan sikapnya yang seolah selalu menjaga jarak. "Mungkin, di balik kebisuannya itu, tersimpan kekuatan yang tak terhingga," gumamnya dalam hati, merasakan setiap momen perjalanan sebagai pelajaran tentang arti keberanian dan kasih sayang yang sesungguhnya.

"Ehh...kenapa?....kenapa aku menjadi sensitif seperti ini tidak biasanya seorang cowo yang berpenampilan seperti homeless ini bisa membuatku sensitif, sebenarnya siapa yang bermasalah disini sialan."

Setibanya mereka di sebuah desa dibalik gunung batu yang ramai akan hiruk pikuk dan jauh dari kata modern disana. mereka berkeliling untuk mencari makan dan istirahat sejenak. 

Shazmeen sangat heran masih ada desa yang sama sekali tidak menyentuh modernisasi seperti di Vallhala.

"Heeeeee, ternyata masih ada desa yang seperti ini ya?" 

"hei kulkas, kamu gamau istirahat dulu sejenak disini, sepertinya makanan disini enak-enak" ucap Shazmeen sambil tersenyum lebar. Kael yang melihat itu menyetujui dengan nada sama seperti biasanya dingin tanpa ekspresi 

"terserah kau saja!"

Lalu Shazmeen membeli beberapa tusuk Gurita bakar dan Kue Pie yang bisa untuk perbekalan mereka berdua nanti disaat Shazmeen sibuk mencari jajanan, Kael merasakan sesuatu yang tidak beres di ujung hiruk pikuk pasar di desa itu.

"apa ini ? tidak bukan ini bukan hawa yang sama seperti saat aku melawan Exile dan kawanannya itu?"

Seorang Bandit bernama Mugiso sedang merampok wanita cantik di ujung pasar, dia berniat menculik wanita itu untuk dijadikan wanita malamnya untuk melayani nafsu para pria.

"hahahaha, sepertinya kau wanita yang cocok untuk kujadi budak se*sku di tempatku malam ini hahahaha" 

"tidakk....tidakk" 

Wanita itu menolak dengan penolakan yang keras, tetapi semua orang yang mendengar itu tidak bereaksi apapun terhadap itu seolah tidak ada yang terjadi.

Dari atas atap bangunan Kael menendang tengkuk leher Mugiso dengan sangat epic hingga dia terjatuh ke tanah.

Kael memberikan barang yang sudah diambil oleh Mugiso kepada Wanita itu, "Pergi dan berhati hatilah!"

"Tee....ttt..terimakasih..." wanita itu lalu pergi dari situ.

Mugiso bangun dari jatuhnya, mengusap debu dari pakaiannya. Dengan ekspresi kesal, dia menatap ke sekeliling.

"Kru-kru! Siapa di sini? Siapa yang berani menggangguku?" suaranya menggema di udara, penuh percaya diri.

Namun, saat matanya bertemu dengan seorang pria bertubuh tegap yang berdiri tak jauh darinya, rasa percaya dirinya perlahan terkikis. Kael, dengan tatapan tajam dan dingin, mengeluarkan katananya perlahan. Suara logam beradu terdengar nyaring, menciptakan atmosfer yang semakin mencekam.

"Semua orang di dunia yang berjalan di jalur kejahatan pasti mengenal namaku." Suaranya datar, nyaris tanpa emosi, namun mengandung tekanan yang luar biasa.

Mugiso terbelalak, tubuhnya menegang seketika. "Ta…ta…tak mungkin… Kau?! Kael?!" Bibirnya bergetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Pucuk dicinta ulam pun tiba! Aku tidak perlu bersusah payah mencarimu di Valhalla, dan ternyata kau justru berada di desa terpencil seperti ini!"

Dengan penuh keyakinan, Mugiso mengambil ancang-ancang, lututnya menekuk, siap menyerang. "Bersiaplah, bocah! Aku datang! Hahahahaha!"

Namun, di balik tawanya yang lantang, Kael tetap diam. Tidak ada perubahan raut wajah, tidak ada tanda panik. Ia hanya berdiri di sana, menatap Mugiso seperti seorang eksekutor yang melihat mangsanya.

"Aetheris."

CLACK!

Sekejap, udara berubah mencekam. Angin berhenti berhembus, dedaunan yang melayang di udara membeku di tempatnya. Mugiso merasakan sesuatu yang aneh—tubuhnya tak bisa bergerak. Matanya membelalak ketakutan.

"Hah?! Apa yang terjadi?!" ia mencoba menggerakkan tangannya, namun sia-sia. 

Langkah kaki terdengar di tanah yang berdebu. Kael berjalan perlahan mendekat, katananya tergenggam dengan mantap di tangannya. Mata dinginnya menatap langsung ke dalam jiwa Mugiso, membuat bandit itu merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Aku sudah lelah mengurusi orang-orang bodoh seperti kalian." Suaranya tenang, tapi mengandung ancaman mematikan.

Saat jaraknya semakin dekat, mata Kael menangkap sesuatu—sebuah tanda berbentuk wajik yang terukir di leher Mugiso. Seketika, ekspresinya berubah. Tangannya terulur, mencengkeram dagu Mugiso dengan kuat, memaksa bandit itu menatap langsung ke matanya yang seperti jurang tanpa dasar.

"Tanda ini… Dari mana kau mendapatkannya?"

Mugiso bergetar, matanya dipenuhi ketakutan. Tubuhnya berusaha berontak, tapi tetap terkunci oleh kekuatan Kael. "A-aku... a-aku..."

Kael mendekatkan wajahnya, membisikkan ancaman yang membuat darah Mugiso membeku. "Aku hanya akan bertanya sekali lagi. Jika kau masih membungkam mulutmu... aku akan memotong seluruh alat gerakmu satu per satu."

Mugiso tercekat. Lututnya bergetar begitu hebat hingga... CROT! Bau anyir menguar di udara. Mugiso baru saja mengencingi dirinya sendiri.

Kael mendesah pelan, menatapnya dengan jijik. "Oh... jadi kau tetap ingin diam, ya?"

SLASH!

Tanpa peringatan, kedua tangan Mugiso terputus dalam satu tebasan. Darah menyembur ke udara seperti air mancur. Bandit itu menjerit dalam diam, tubuhnya menggigil tak terkendali. Namun, sebelum Kael bisa menghunuskan katananya ke arah kakinya, Mugiso akhirnya berteriak.

"A-Aku akan bicara! Aku akan bicara! Kelompok itu... mereka adalah Nyth..."

DUARRR!

Tiba-tiba, kepala Mugiso meledak berkeping-keping. Cipratan darah dan serpihan tengkorak menghujani tanah, meninggalkan tubuh besar tanpa kepala yang roboh seperti boneka rusak. Kael tetap diam, hanya menatap mayat itu dengan dingin.

"Cih... Sialan itu. Aku bahkan belum menginterogasinya lebih dalam."

Di kejauhan, seorang pria berjubah hitam bersembunyi di balik reruntuhan. Matanya menyipit, memperhatikan kejadian itu dengan ekspresi serius. Dia berbisik pelan, suaranya nyaris tertelan oleh angin.

"Kode shutdown darurat. Siapa pun yang mencoba membocorkan keberadaan organisasi ini... harus mati. Sialan, Mugiso! Apa yang kau pikirkan berurusan dengan Kael?!"

Kael melirik ke arah suara samar itu, tapi pria berjubah hitam sudah menghilang dalam bayang-bayang. Dia mendesah pelan, lalu dengan santai melepaskan bajunya yang berlumuran darah. Dia mengambil pakaian bersih dari rumah di dekatnya, mengenakannya dengan ekspresi tenang.

Saat dia merapikan kerahnya, bibirnya melengkung tipis.

"Nyth...., huh...? Si badjingan Ankara itu dia benar-benar bisa melihat masa depan."

Kael keluar dari ujung gang tersebut. "heiii Kael..."aku sudah membelikan banyak jajanan untuk perjalanan ini, heh tapi tunggu dulu pakaianmu?"

"Ya, aku menggantinya, ayo hari sudah mulai sore!"

Di bawah langit senja, Kael dan Shazmeen akhirnya tiba di puncak bukit setelah perjalanan yang penuh dengan keluhan dari Shazmeen. 

"Aku capek! Kenapa kita harus naik sejauh ini cuma buat makan cumi bakar?" protes Shazmeen sambil menjatuhkan dirinya ke atas batu besar. 

Kael, seperti biasa, hanya diam. Dia menyalakan api kecil, menusukkan cumi ke tusukan bambu, lalu memanggangnya dengan tenang. 

Shazmeen mengendus aroma asap yang bercampur dengan bumbu bakaran. "Ugh… baunya enak banget. Udah, cepetan matang!" 

Kael tetap diam, membalikkan cumi-cumi itu. Setelah beberapa menit, dia menyerahkan satu tusuk ke Shazmeen. 

Mata Shazmeen berbinar. "Akhirnya! Aku duluan ya!" Dia menggigit cumi itu dengan rakus. "AH! PANAS! SIAL!" 

Kael menatapnya sebentar, lalu menggigit bagiannya tanpa ekspresi. 

Shazmeen meniup lidahnya yang kepanasan, lalu bersandar ke batu besar di belakangnya. "Kael, kadang aku iri sama kamu." 

Kael tetap makan tanpa reaksi. 

"Kamu tuh selalu cool, kayak nggak peduli sama dunia. Aku? Aku harus selalu jadi yang dituntut untuk menjadi anggun dan elegan, orang-orang di Vallhala selalu saja memanngilku tuan putri atau bahkan 'putri kecantikan'." 

Kael mengunyah perlahan. "Hmph." 

"Aku serius! Kamu nggak ngerti gimana rasanya selalu dikontrol sama harapan orang lain." 

Kael menatapnya sebentar. "berhentilah pura-pura." 

Shazmeen terdiam. Kael memang selalu seperti itu—dingin, to the point, tapi ucapannya selalu menusuk ke tempat yang tepat. 

Setelah beberapa saat, Shazmeen menghembuskan napas panjang. "Yah… mungkin suatu saat aku bisa kayak kamu." 

Kael kembali menggigit cuminya tanpa komentar. 

Malam mulai turun, dan angin bertiup sejuk. Shazmeen melihat Kael dari ekor matanya, lalu tersenyum kecil. 

"Hey, Kael." 

"Apa?" 

"Aku pengen cumi bakarnya lagi." 

Kael menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke tusukan terakhir di tangannya. Setelah hening beberapa detik, dia menyodorkan itu ke Shazmeen. 

Shazmeen terkejut. "Wah, serius? Biasanya kamu kan—" 

"Sebelum ku berubah pikiran." 

"BAIK, TERIMA KASIH!" Shazmeen langsung merebutnya dan menggigit dengan penuh kemenangan. 

Kael menghela napas dan menatap langit malam yang mulai bertabur bintang. Setidaknya, perjalanan mereka tidak seburuk yang dia kira.

Di tengah kegelapan dan dinginnya malam, api unggun berkedip-kedip, sesekali menyemburkan percikan kecil ke udara. Di sampingnya, Shazmeen tertidur lelap, wajahnya tampak tenang, beralaskan dedaunan kering dengan tas sebagai bantal. Sementara itu, Kael duduk bersandar pada sebongkah batu, tatapannya kosong menatap kobaran api.

Tiba-tiba, suara mekanis dari alat komunikasi kecil di pergelangan tangannya bergetar pelan.

"Kael, ini aku. Jangan menunjukkan ekspresi apa pun dan jangan mengucapkan sepatah kata pun. Percakapan kita sedang diawasi. Ini tentang dia."

Suara Ankara Nara terdengar jelas, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Nada bicaranya lebih tegang dari sebelumnya.

Kael menyipitkan matanya. Pikirannya berputar, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

"Apa? Kau tidak sedang mencoba menipuku, bukan?" bisiknya pelan.

"Dengar baik-baik. Mereka sudah tahu siapa dirimu. Kau sekarang adalah target utama mereka. Seperti yang kukatakan sebelumnya, di semua kemungkinan masa depan, peluangmu bertahan sangat kecil. Namun... saat ini kau telah menjadi salah satu dari Tiga Pusat Takdir."

Kael merasakan sesuatu merayapi tulang punggungnya. Tiga Pusat Takdir? Apa lagi omong kosong ini?

"Apa maksudmu?"

Hening sesaat. Ankara menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

"Pemimpin mereka, Zankoku… dia memiliki kekuatan yang sama denganku, tetapi lebih kuat. Aku bisa melihat masa depan, tapi dia… dia bisa merobeknya, membentuknya ulang sesuai keinginannya. Setiap kali aku mencoba melihat kemungkinan yang melibatkan dirinya, energiku seperti diserap habis olehnya… kheek"

Suara Ankara mendadak terdengar berat, seperti sedang kesakitan.

Kael mengepalkan tangannya.

"Oi! Jangan main-main denganku, Ankara! Apa sebenarnya yang kau sembunyikan?"

Suara Ankara terdengar semakin lemah. "Kael, dengarkan aku baik-baik. Jika kau bertemu dengannya… jangan bertarung. Pergilah sejauh mungkin. Untuk saat ini, kau tidak boleh mati!"

Sambungan tiba-tiba terputus.

Kael menatap api unggun di hadapannya, cahaya oranye keemasan menari di matanya yang dipenuhi pertanyaan. Pikirannya berputar liar. Zankoku…

Nama itu terdengar seperti racun, perlahan meresap ke dalam pikirannya. Mereka ingin dia mati. Kael mencengkeram tanah di bawahnya. Selalu seperti ini…

Hidupku selalu dipenuhi pemburuan. "aku tumbuh di dunia yang hanya mengenal kebencian, dikelilingi orang-orang yang ingin melihatnya mati sejak dia masih kecil. Tidak ada keluarga. Tidak ada rumah. Tidak ada tempat untuk kembali."

Namun sekarang…

"Vallhala, Para Bandit itu, Para Pembunuh bayaran itu mereka selalu saja menghantui setiap kali di tidurku, bahkan bukan hanya kepolisian dari Vallhala semua negara mengincar nyawaku cihh..."

Kael menatap langit malam. Awan gelap menggantung, menutupi bintang-bintang. Suara Shazmeen yang tertidur terdengar pelan, napasnya teratur.

"Aku bahkan belum bisa memikirkan masa depan, tapi mereka sudah mencoba menuliskannya untukku?" gumamnya pelan.

Tiba-tiba, suara napas Shazmeen berubah sedikit berat. Kael melirik ke samping. Gadis itu menggeliat dalam tidurnya, keningnya sedikit berkerut seperti sedang mengalami mimpi buruk.

"Kael..."

Kael sedikit tersentak. Suara itu keluar begitu lirih dari bibir Shazmeen.

"Dia menyebut namaku dalam tidur?"

Kael menghela napas dan memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin berpikir terlalu dalam.

"Aetheris."

CLACK.

Dunia tiba-tiba membeku. Hanya dalam radius tertentu, sekelilingnya berubah menjadi stagnan, seperti kaca yang memantulkan gerakan sebelumnya. Angin berhenti berhembus. Pepohonan tak lagi bergoyang.

Tapi ada sesuatu yang aneh.

Biasanya, saat dia menggunakan Aetheris, dia bisa langsung merasakan semua kehadiran di dalam area tersebut. Tapi kali ini… ada sesuatu yang lain.

Sesuatu yang tidak bisa dia rasakan. Kael mengernyit.

Dan tiba-tiba—

DUARRR!

Sebuah ledakan terjadi dari dalam penghalang Aetheris-nya sendiri, sesuatu yang seharusnya tidak mungkin.

Kael langsung mundur, matanya membelalak.

"Apa?"

Sebuah sosok muncul dari balik ledakan itu.

Dari dalam kabut abu-abu yang menguar, seorang pria berambut putih panjang melangkah keluar dengan tenang. Pakaiannya hitam, berlengan panjang dengan ornamen emas di bagian dadanya berbentuk wajik. Matanya berwarna merah gelap, seperti bara api yang redup.

Tapi yang paling membuat Kael merasakan sesuatu yang aneh adalah…

Dia tersenyum.

"Akhirnya kita bertemu, Kael."

Kael langsung mengangkat pedangnya, tapi pria itu mengangkat satu jari.

"Tenang."

Dan dalam sekejap

Dunia kembali bergerak.

"Apa Aetheris-nya… dinonaktifkan?"

Kael terkejut Aetherisnya bisa di gagalkan oleh seseorang, bahkan selama hidupnya dia tidak ada yang bisa menggagalkan jurusnya itu.

Kael menggertakkan giginya.

"Siapa kau?" tanyanya dengan nada dingin.

Pria itu menyipitkan matanya, seolah menilai sesuatu dari Kael. Lalu dia tersenyum tipis, menundukkan kepalanya sedikit sebagai sapaan.

"Namaku… Zankoku."

Kael terbangun dengan napas tersengal. Matanya melebar, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Itu hanya mimpi.

Namun, rasanya terlalu nyata.

Tangannya gemetar saat meraih gagang katananya yang tergeletak di sampingnya. Dadanya naik turun dengan cepat, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Api unggun masih menyala redup, menciptakan bayangan yang menari di pepohonan. Shazmeen masih tertidur di sampingnya, wajahnya damai, tidak terganggu sedikit pun.

Kael menelan ludah.

Zankoku.

Nama itu masih terngiang jelas di kepalanya, seolah ada seseorang yang berbisik langsung ke dalam pikirannya.

Ia mengusap wajahnya, mencoba mengembalikan ketenangannya.

"Mimpi sialan..." gumamnya pelan.