Sore Berkabut di Dermaga Kota Vallhala
Kabut tipis menyelimuti dermaga tua yang terbengkalai, memberikan kesan suram namun juga penuh kenangan. Ombak pelan menghantam kayu lapuk di tepi dermaga, membawa suara gemuruh yang berbaur dengan tawa dan celotehan lima sahabat yang tengah bersiap untuk perjalanan mereka.
Di antara mereka, Lirien Vael, sang pemimpin tidak resmi, tengah sibuk memastikan perbekalan terangkut dengan benar ke atas kapal kecil yang mereka gunakan. Matanya penuh semangat, tetapi tangannya sedikit gemetar karena udara dingin yang mulai menusuk.
"Persiapkan diri kalian, teman-teman. Ini akan menjadi perjalanan panjang," katanya dengan nada penuh wibawa.
Erik Jashin hanya tersenyum miring, menyandarkan tubuhnya di salah satu tong kosong di dermaga, menikmati betapa seriusnya Lirien mengambil peran sebagai kapten.
"Kau itu selalu saja bertindak sebagai ketua, Lirien. Apa kau tidak lelah terlalu semangat seperti itu?" godanya, lipatan kecil di ujung bibirnya semakin terlihat.
Lirien yang tengah menaikkan sebuah peti hanya bisa menghela napas panjang sebelum mendelik tajam ke arah Erik. "Kau ini selalu saja mengejekku, Erik. Apa tidak lelah kau selalu mengejekku seperti itu?"
Tawa meledak dari sudut lain dermaga. Sylvaine Tsubaki, pemilik tempat ini sekaligus satu-satunya yang tahu cara mengoperasikan kapal dengan benar, menepuk pahanya dengan puas.
"Hahahahaha! Kalian selalu saja begini dari dulu! Meributkan hal yang gak jelas dan sepele!" katanya dengan nada menggoda.
Lirien mendengus kesal. "Cerewet!" teriaknya, yang justru membuat semua orang semakin terbahak-bahak.
Duncan Varo, yang sejak tadi sibuk mengecek senjata dan persediaan air bersih, hanya menggeleng pelan. Ia memang terbiasa melihat Erik dan Lirien bertengkar seperti anak kecil. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa persahabatan mereka lebih kuat dari sekadar adu mulut ringan.
Reiner Falken, yang paling tenang di antara mereka, bersandar di tiang layar kapal sambil mengamati langit yang mulai berubah warna menjadi jingga keemasan. "Kita akan berangkat saat matahari benar-benar tenggelam. Pastikan tidak ada yang tertinggal," ucapnya dengan nada datar, tetapi cukup untuk membuat semua orang kembali fokus.
Lirien menatap ke arah laut yang tampak tenang di kejauhan. "Kalian ingat perjalanan pertama kita ke sini?" tanyanya tiba-tiba.
Sylvaine menyeringai. "Tentu saja. Kau hampir jatuh ke laut karena mencoba melompat ke kapal sebelum tali ditarik."
Erik tertawa. "Dan yang lebih parah, dia berteriak seperti anak kecil ketakutan!"
"Hei! Itu bukan karena aku takut, tapi karena airnya terlalu dingin!" protes Lirien dengan pipi sedikit memerah.
Duncan menepuk bahu Lirien sambil tersenyum. "Ya, ya, kami percaya," katanya, jelas tidak serius.
Suasana kembali dipenuhi tawa. Meski mereka sering bertengkar dan saling menggoda, kelima sahabat ini tahu bahwa mereka selalu bisa mengandalkan satu sama lain.
Ketika akhirnya semua persiapan selesai, Reiner menarik tali layar, dan kapal mulai bergerak perlahan meninggalkan dermaga.
Lirien berdiri di bagian depan kapal, menatap ke depan dengan penuh tekad. "Kita akan menemukan Shazmeen," katanya, lebih kepada dirinya sendiri.
Saat kapal perlahan menjauh dari dermaga, angin laut menerpa wajah kelima sahabat itu. Udara malam mulai menggigit, tetapi semangat mereka tetap membara. Ombak tenang bergelombang lembut, seolah menyambut mereka dalam petualangan yang baru.
Lirien berdiri di ujung kapal, menghadap lautan lepas dengan sorot mata penuh keyakinan. Namun, di balik wajah seriusnya, perutnya mulai berbunyi pelan.
"Grroookkkk..."
Sylvaine yang sedang memeriksa layar kapal langsung menoleh dengan alis terangkat. "Lirien, itu perutmu?" tanyanya dengan tawa tertahan.
Erik yang baru saja duduk santai langsung meledak dalam tawa. "Hahahaha! Sang kapten kita rupanya lebih lapar daripada keberaniannya!"
Lirien langsung membelalak dan menutup perutnya dengan tangan. "T-Tidak! Itu suara ombak!" bantahnya, meski jelas semua orang mendengar.
Duncan menggeleng sambil menyiapkan alat pancing. "Baiklah, sebelum kau memakan tali layar kapal, lebih baik kita cari sesuatu untuk dimakan," katanya santai.
Reiner, yang sejak tadi hanya mengamati bintang-bintang di langit, mengangguk setuju. "Kita akan berlayar semalaman. Lebih baik kita makan sekarang sebelum lapar membuat kita semua bertengkar.
Malam semakin gelap, ombak tenang mengayun kapal perlahan. Duncan yang sedari tadi sibuk memancing akhirnya merasakan tarikan keras di kailnya.
"Heh? Sepertinya ini bukan ikan biasa…" gumamnya sambil menarik joran dengan tenaga lebih.
Sylvaine yang sedang duduk santai mendengar suara itu dan langsung mendekat. "Oi, oi, kalau kau dapat ikan besar, bagi dua denganku!"
Duncan mengerutkan dahi. "Kalau aku berhasil menariknya, tentu saja!"
Namun, tiba-tiba joran itu tertarik begitu kuat hingga hampir membuat Duncan tersungkur. "ASTAGA! Ini bukan ikan, ini monster!"
Reiner yang sedang menikmati teh hangatnya sekilas melirik. "Tarik lebih keras, Duncan. Jangan biarkan ikan menang melawan harga dirimu sebagai pria."
"LAGIAN KENAPA KAU MINUM TEH SAAT ORANG SEDANG BERJUANG?!" Duncan menggeram, tangannya mulai gemetar menahan tarikan.
Erik, yang baru selesai memeriksa layar kapal, mendekat dengan wajah penasaran. "Kau yakin itu ikan? Jangan-jangan makhluk legenda yang ingin membalas dendam karena kau menangkap saudaranya?"
"Tolong jangan membuat ini lebih buruk, Erik!" Sylvaine mendesis.
Duncan dan Sylvaine akhirnya menarik dengan sekuat tenaga. Lirien, yang awalnya tidak peduli, mulai tertarik dan ikut membantu. "Satu... dua... TARIK!!!"
BYURRR!!!
Seketika, sesuatu melompat dari dalam laut dan menghantam mereka bertiga dengan cipratan air asin.
Dan yang muncul di permukaan adalah… seekor ikan tuna raksasa.
Bukan ikan legendaris, bukan monster laut. Hanya seekor tuna dengan ukuran absurd.
Hening.
Mereka bertiga, basah kuyup, hanya bisa menatap ikan itu dengan wajah penuh penderitaan.
Lirien mendengus. "Jadi ini yang membuat kita susah payah?! Aku kira ini harta karun!"
"Tuna ini lebih besar dari anak kuda…" Sylvaine bergumam, tak percaya.
Erik yang melihat kejadian itu akhirnya tak bisa menahan tawa. "PFFFFTTT… HAHAHAHAHAHA!!! Lihat wajah kalian! Hahahaha!!"
Duncan yang masih terduduk di lantai kapal hanya bisa menghela napas. "Aku hampir kehilangan lenganku… demi seekor ikan…"
Reiner menyesap tehnya pelan. "Setidaknya kita tidak akan kelaparan malam ini."
Lirien, yang masih kesal, akhirnya menendang ikan itu pelan. "Dasar ikan tak tahu diri… Kenapa kau sebesar ini, hah?! Mau jadi paus?!"
Sylvaine mengusap wajahnya yang basah. "Sudah lah… Anggap saja ini berkah. Kita bakar ikan ini sekarang juga!"
Tanpa menunggu lama, mereka semua mulai menyiapkan peralatan untuk memasak ikan raksasa itu.
Beberapa jam kemudian, aroma ikan bakar memenuhi udara. Mereka berlima duduk mengitari meja kayu kecil di tengah kapal, menikmati hasil tangkapan yang luar biasa.
Duncan mengangkat potongan ikan dengan bangga. "Aku mempertaruhkan nyawaku untuk ikan ini, jadi aku berhak makan bagian terbesar!"
"Kau hanya menarik joran, kami yang kena cipratan air asin!" protes Lirien.
"Kita semua hampir tenggelam gara-gara ikan ini," tambah Sylvaine.
"Tapi pada akhirnya, aku yang mendapatkannya!" Duncan menyeringai.
Erik tertawa kecil. "Kau bisa berbangga, Duncan. Mulai sekarang, kau adalah 'Penakluk Tuna Raksasa'."
Duncan mengangkat dagu dengan angkuh. "Benar, aku akan dikenang dalam sejarah!"
Reiner, yang tetap tenang, hanya menyuapkan ikan ke mulutnya. "Makan saja sebelum aku menghabiskannya," ucapnya datar. Mereka semua tertawa.
Oke, gua bakal kasih cerita yang lebih fresh, lebih absurd, dan pastinya bakal bikin lo ngakak!
Malam Penuh Tawa di Lautan Lepas
Di bawah langit penuh bintang, lima sahabat Lirien, Erik, Duncan, Sylvaine, dan Reiner duduk melingkar di geladak kapal setelah makan malam yang luar biasa. Piring kosong berserakan, dan tulang ikan raksasa yang mereka tangkap tadi tergeletak sebagai bukti kemenangan mereka atas makhluk laut itu.
Lirien bersandar santai. "Gua udah kenyang banget, kayak ular piton abis makan kambing."
Duncan mendesah puas. "Serius, itu ikan tadi kayaknya ikan terlezat yang pernah kita makan."
Erik mengangguk. "Iya, tapi sayang nggak ada sambel…"
Sylvaine memutar matanya. "Kita lagi di laut, Erik. Lo kira ada warung padang?"
Mereka tertawa. Suasana malam itu terasa hangat, damai, dan… tentu saja, saat seperti ini selalu berakhir dengan cerita absurd.
Cerita Epik: "Pertarungan Legendaris Erik vs. Angsa Mafia"
Lirien menyeringai licik. "Gua punya cerita keren. Kalian tahu nggak, Erik ini punya musuh bebuyutan yang bukan manusia?"
Erik langsung panik. "LIRIEN, JANGAN!"
Tapi terlambat. Lirien sudah mulai bercerita.
"Jadi waktu itu, kita lagi di sebuah desa kecil di tepi sungai. Erik, dengan gaya sok jagonya, jalan-jalan ke taman desa sambil ngemil roti. Nah, ada satu angsa di situ. Biasa aja kan?"
"Tapi entah kenapa, angsa ini langsung liatin Erik kayak preman pasar yang baru lihat orang asing di wilayahnya."
Duncan langsung ngakak. "Jadi… angsa ini semacam gangster?"
Sylvaine ikut nyengir. "Kayak bos mafia di film-film?"
Lirien mengangguk dramatis. "BETUL! Dan Erik… malah natap balik!"
Erik menutup wajahnya dengan tangan. "GUA SALAH APA COBA?"
Lirien melanjutkan, matanya berbinar-binar.
"Tiba-tiba, angsa itu mulai mendekat. Erik mundur. Angsa itu makin mendekat. Erik makin mundur. Sampai akhirnya, Erik terpojok di tembok!"
"Angsa itu berhenti. Tatapannya dingin. Tegangnya kayak duel koboi."
"Lalu tiba-tiba..."
"SI ANGSA NYERANG!"
Duncan langsung tertawa keras. "ASTAGA, SERIUSAN?"
Sylvaine menepuk paha saking ngakaknya. "Bayangin Erik duel sama angsa!"
Lirien mengangguk heboh. "Dan lo tau yang Erik lakukan? DIA LARI KAYAK ORANG KESURUPAN!"
Semua orang langsung terbahak-bahak.
Duncan terjatuh ke geladak. "GUA NGGAK TAHAN!!!"
Sylvaine sambil menahan tawa. "Jadi… lo kalah lawan angsa?"
Erik mengangkat tangan. "Gua nggak kalah! Gua… cuma taktik mundur teratur!"
Reiner, yang biasanya diam saja, akhirnya berkomentar dengan wajah datar. "Jadi intinya, kau takut angsa."
Erik menatap Reiner tajam. "Bukan takut. Cuma… gua respek. Itu angsa bukan sembarang angsa. Itu angsa mafia."
Duncan menggeleng. "Nggak, Erik. Lo resmi kalah lawan seekor angsa."
Erik menyerah. "Terserah. Tapi kalau suatu hari kalian lihat angsa, kalian bakal ngerti betapa menakutkannya mereka."
Mereka semua tertawa lagi.
Momen Kehangatan dan Persahabatan
Setelah tawa mereka reda, mereka kembali menikmati suasana laut yang tenang.
Sylvaine tersenyum. "Serius, momen kayak gini yang gua suka. Ketawa bareng, cerita-cerita absurd… rasanya kayak keluarga."
Lirien mengangguk. "Iya. Seaneh-anehnya kita, ini yang bikin kita kuat."
Reiner, dengan nada datar, menambahkan, "Dan kita harus tidur. Besok perjalanan panjang."
Duncan berdiri sambil meregangkan badan. "Bener. Sebelum Lirien mulai cerita horor dan bikin gua gak bisa tidur."
Lirien terkikik. "Besok aja lah ya, cerita horornya."
Malam semakin larut. Gelombang tenang berdesir lembut di sekitar kapal, menciptakan simfoni alami yang menenangkan. Di dalam kabin, Erik sudah mendengkur pelan, Duncan meringkuk di sudut dengan wajah damai, dan Lirien tidur dengan posisi aneh yang entah bagaimana tetap nyaman.
Namun, di geladak kapal, dua sosok masih terjaga.
Sylvaine duduk di atas tong kayu, memandangi langit berbintang, sementara Reiner berdiri bersandar di pagar kapal, diam seperti biasanya.
"Jadi, kau juga belum bisa tidur?" Sylvaine bertanya sambil melirik Reiner.
Reiner hanya menghela napas. "Pikiranku terlalu penuh."
Sylvaine tersenyum tipis. "Tentang perjalanan ini atau... sesuatu yang lain?"
Reiner terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab. "Tentang Shazmeen."
Sylvaine terkejut, tapi tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. "Oh?"
Reiner masih menatap lautan. "Aku memikirkan bagaimana dia sekarang. Dia selalu menjadi yang paling kuat di antara kita... tapi aku bertanya-tanya, apakah dia baik-baik saja di tempatnya sekarang?"
Sylvaine menghela napas panjang. "Iya... kadang aku juga kepikiran. Shazmeen selalu terlihat tegar, selalu punya jawaban untuk semua masalah kita. Tapi mungkin, selama ini dia juga ingin seseorang untuk mendengarkannya."
Reiner mengangguk pelan. "Dia terlalu banyak memikul beban sendirian."
Keheningan menggantung di antara mereka. Lautan terasa lebih luas dari biasanya.
Kemudian Sylvaine melirik Reiner, menyeringai kecil. "Ngomong-ngomong, kau jarang sekali membicarakan perasaanmu, Reiner. Aku harus mencatat momen ini."
Reiner meliriknya tajam. "Jangan."
Sylvaine tertawa pelan. "Santai. Aku nggak akan menyebarkan ini ke Erik, meskipun itu pasti akan sangat menyenangkan."
Reiner mendengus. "Kalau Erik tahu, aku tidak akan mendengar akhir dari ini."
"Kau tahu," Sylvaine berucap pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Aku selalu merasa kita seperti ini selamanya… mengarungi lautan bersama, bertualang, bertengkar dengan Erik, menertawakan Duncan, dan menenangkan Lirien saat dia marah."
Reiner menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Dan menurutmu itu buruk?"
Sylvaine tertawa kecil. "Tidak. Aku hanya berpikir… bagaimana kalau suatu hari kita berhenti? Bagaimana kalau semuanya berubah?"
Reiner diam sejenak sebelum menjawab. "Maka kita akan menghadapi perubahan itu bersama."
Sylvaine menatapnya, sedikit terkejut dengan jawaban sederhana itu. Tapi ada sesuatu dalam nada suaranya—sesuatu yang membuat dadanya sedikit berdebar.
"Selalu sesederhana itu bagimu, ya?" katanya pelan, setengah bergumam.
Reiner menatap balik, matanya yang tajam memerangkap Sylvaine dalam keheningan sejenak. Lalu, dia berkata dengan nada yang lebih dalam.
"Aku tidak butuh rencana panjang atau jawaban rumit. Aku hanya tahu… aku tidak akan membiarkanmu menghadapi perubahan sendirian."
Sylvaine terdiam. Seketika, suara ombak seolah menghilang, udara terasa lebih hangat, meskipun angin laut masih berembus pelan.
Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Lalu, dia tertawa kecil, mengalihkan perasaan yang mulai muncul dalam dirinya. "Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab kalau aku bosan nanti."
Reiner menatapnya lama sebelum akhirnya—untuk pertama kalinya—dia tersenyum kecil. "Aku akan mengurusnya."
Sylvaine mengayunkan kakinya ke udara, menatap bintang-bintang di atas mereka. "Kau tahu, aku selalu bertanya-tanya… bagaimana kau bisa begitu tenang sepanjang waktu? Maksudku, kita semua kadang meledak-ledak, tapi kau selalu tenang, selalu rasional."
Reiner menoleh padanya. "Dan aku selalu bertanya-tanya… bagaimana kau bisa tetap ceria bahkan di saat-saat sulit?"
Sylvaine tersenyum. "Karena kalau aku tidak ceria, siapa yang akan membuat kalian tertawa?"
Reiner terdiam, lalu menggeleng pelan. "Itu jawaban yang sangat khas darimu."
Sylvaine menatapnya dengan tatapan jenaka. "Dan kau, Reiner, kau juga punya rahasia lain yang tidak kau bagikan, kan?"
Reiner mengangkat alis. "Rahasia apa?"
Sylvaine menyeringai. "Kau menyukaiku."
Reiner menatapnya tanpa ekspresi. "Hah?"
Sylvaine tertawa pelan. "Aku nggak butuh jawaban, Reiner. Aku cuma mau lihat reaksimu."
Reiner menghela napas, lalu akhirnya tersenyum kecil—sangat jarang terjadi. "Dan kau? Kau menyukaiku?"
Sylvaine berpura-pura berpikir. "Mungkin. Mungkin juga tidak. Aku suka melihatmu kebingungan."
Reiner menatapnya, lalu tanpa peringatan, mengacak-acak rambutnya dengan tangannya.
"Hei!" Sylvaine langsung menepis tangannya sambil tertawa.
"Kau terlalu percaya diri," kata Reiner singkat.
Sylvaine mendengus. "Dan kau terlalu misterius."
Pagi yang Terasa Berbeda
Fajar mulai menyingsing, menciptakan semburat jingga keemasan di cakrawala. Laut tampak tenang, dengan riak kecil yang berkilauan diterpa sinar mentari. Angin pagi membawa hawa sejuk, membelai wajah mereka yang masih terlelap di geladak kapal.
Lirien adalah yang pertama terbangun. Ia meregangkan tubuhnya, menguap panjang, lalu menatap sekeliling. Erik tidur dalam posisi yang aneh, Duncan mendengkur pelan, Sylvaine menyandarkan kepalanya ke bahu Reiner yang masih terlelap. Lirien tersenyum kecil melihat pemandangan itu.
Ia lalu berdiri dan berjalan ke pinggir kapal, menatap laut yang seolah tak berujung. "Hari ini akan menjadi hari yang panjang…" gumamnya.
Tak lama, suara langkah terdengar di belakangnya. Reiner, yang sudah terjaga, mendekat dan berdiri di sampingnya. Matanya masih terlihat sedikit mengantuk, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya—sebuah ketenangan yang langka.
"Kau tidak tidur dengan nyenyak?" tanya Lirien.
Reiner hanya mengangkat bahu. "Banyak yang kupikirkan."
Lirien mengangguk pelan. Ia tahu semua orang merasakan hal yang sama—tentang Shazmeen, tentang perjalanan ini, dan tentang kemungkinan bahwa hidup mereka tidak akan pernah sama lagi setelah ini.
Satu per satu, yang lain mulai bangun. Duncan meregangkan tubuhnya sambil menggerutu, Erik mengacak rambutnya dengan malas, dan Sylvaine menguap sambil melihat ke sekeliling, matanya bertemu dengan Reiner sebentar sebelum ia buru-buru mengalihkan pandangannya.
Hening.
Lalu, Erik tiba-tiba berbicara dengan suara seraknya yang baru bangun tidur, "Kenapa suasana terasa seperti kita akan mati saja?"
Duncan menepuk punggungnya. "Jangan dramatis. Kita hanya sedikit… lebih sadar akan segala hal."
Lirien menarik napas panjang dan menoleh ke teman-temannya. "Kita sudah melalui banyak hal bersama. Dan kita tahu, setelah ini, semuanya akan berbeda. Tapi, aku ingin kalian tahu…"
Ia berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar.
"Aku bersyukur kita melakukan ini bersama."
Sylvaine menunduk, Erik memasang senyum miring untuk menyembunyikan emosinya, dan Duncan mengusap tengkuknya dengan canggung.
Reiner, yang biasanya tidak banyak bicara, akhirnya berucap, "Apa pun yang terjadi, kita akan tetap bersama."
Keheningan menyelimuti mereka sebentar. Lalu, tiba-tiba Erik bertepuk tangan. "Oke, oke, cukup melodrama di pagi hari. Aku belum makan, dan aku yakin Duncan juga setuju denganku."
Duncan langsung mengangguk. "Seratus persen setuju."
Mereka tertawa, meski beberapa dari mereka masih menyembunyikan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Matahari mulai naik, menerangi kapal mereka yang berlayar menuju sesuatu yang tidak pasti. Tapi satu hal yang mereka tahu pasti—mereka akan menghadapinya bersama.