***Di kota Msohawk Hamdan kebingungan atas menghilangnya Ezhan yang begitu cepat dia sangat ketakutan dan berniat membuat berita palsu tentang kematian Ezhan, bahwa Ezhan telah ia bunuh.
Hamdan berbisik dengan gemetar
"Tidak mungkin... bagaimana bisa dia menghilang begitu saja?"
Sejak peristiwa di penjara, Hamdan merasa ada sesuatu yang salah. Segalanya terlalu cepat, terlalu bersih. Tidak ada perlawanan, hanya kematian yang membekas. Ezhan seharusnya mati. Tapi kenapa dia menghilang? Siapa yang bisa mengalahkan mereka? Siapa yang bisa membebaskan Ezhan dengan begitu mudah?
Tanpa berpikir panjang, Hamdan meninju meja kayu di depannya dengan penuh amarah. Kayu itu pecah, berantakan. Malam itu, dia memutuskan untuk bertindak dengan cara yang jauh lebih drastis.
Hamdan bergegas menghampiri kelima temannya untuk ia bantai karena ia tidak ingin rahasia ini terbongkar dan salah satu diantara mereka diubah menjadi Ezhan, untuk membuktikan bahwa Ezhan berhasil ia bunuh.
**Malam yang Memecah Keheningan**
Kota Msohawk masih diliputi kegelapan malam, meskipun langit perlahan mulai memerah. Di dalam sebuah ruang yang terisolasi, lima tubuh teman Hamdan tergeletak tanpa nyawa. Darah menggenang di lantai dingin, menambah kesan suram di ruangan yang penuh dengan bau darah. Hamdan berdiri di tengah-tengahnya, pedang masih berlumuran darah, tubuhnya gemetar namun tatapannya dingin dan penuh kebencian.
Di sekitar ruangan, Kerrigan, pria bertato besar yang selalu menjadi teman dan pelindung Hamdan, tergeletak pertama kali. Tubuhnya penuh luka, napasnya terengah-engah seolah berusaha mencari udara yang semakin sulit dijangkau. Hamdan memandanginya dengan tatapan kosong. Matanya berkilat, namun ada kebingungan yang menggerogoti.
Kerrigan dengan suara yang tertahan mencoba berbicara, "Hamdan... kenapa? Apa yang kau lakukan... kami hanya mengikuti perintahmu..."
Hamdan mengangkat pedangnya, tangan gemetar namun kuat, matanya berkilat tajam, berusaha menenangkan dirinya.
"Semua ini harus selesai, Kerrigan," jawab Hamdan, suaranya penuh ketegangan. "Aku... aku harus menutupi semuanya. Aku gagal!"
Dengan satu gerakan cepat, pedang Hamdan menembus dada Kerrigan. Darah mengalir deras, menyembur ke sekeliling, tapi Hamdan hanya berdiri diam, tak mengindahkan tubuh yang terjatuh begitu saja. Kerrigan menghembuskan napas terakhirnya, tubuhnya membeku begitu saja.
Hamdan menatapnya, kosong. "Kau terlalu banyak bertanya," gumamnya pada diri sendiri. Tanpa memberi waktu untuk memproses apa yang baru saja ia lakukan, dia berbalik ke arah Jaden, pria bertubuh besar yang kini tergeletak dengan tubuh penuh luka. Jaden masih berusaha bergerak meskipun jelas tubuhnya sudah tak kuat.
Jaden, dengan suara terengah-engah, berbicara pelan, "Hamdan... kami hanya... mengikuti perintahmu. Kenapa... kenapa harus seperti ini?"
Hamdan menatapnya dengan mata penuh kebencian. "Karena aku tidak bisa gagal lagi. Karena aku harus melindungi rahasia ini. Tidak ada yang boleh tahu tentang Ezhan!"
Tanpa memberi kesempatan untuk Jaden berbicara lebih lanjut, Hamdan menunduk dan pedangnya dengan cepat menebas leher Jaden, darah menyembur keluar, menciprat ke seluruh ruangan. Tubuh Jaden jatuh terkulai dengan ekspresi terkejut, tak ada lagi kehidupan di dalamnya.
Merva, pria ramping yang selalu curiga terhadap Hamdan, kini hanya bisa merintih. Tubuhnya terluka parah, darah mengalir dari perut dan dadanya. Dia berusaha berkata, namun suara yang keluar terputus-putus. "Hamdan... kenapa... kamu... tidak bisa... menghindari ini..."
Hamdan hanya mengerutkan alisnya, tatapannya penuh amarah. "Kau tidak mengerti, Merva... Aku yang mengendalikan semuanya!"
Dengan satu gerakan cepat, pedang Hamdan menyambar dan menembus tubuh Merva, darah memercik begitu deras. Merva hanya bisa menghembuskan napas terakhirnya, tubuhnya terjatuh dengan lambat, meninggalkan jejak darah yang membekas di lantai.
Kini, hanya ada dua orang yang tersisa. Seth, pria tinggi besar yang terlihat lebih tenang dan rasional, dan Teto, pria pendiam yang jarang berbicara. Mereka tergeletak di lantai, masing-masing terluka parah namun masih bisa bernafas. Hamdan mendekati mereka dengan langkah yang semakin mantap, pedangnya masih terlumuri darah.
Seth, meskipun tak bisa bergerak, mencoba berbicara dengan suara terengah. "Hamdan... ini... tidak akan berakhir seperti yang kau harapkan... Kau tidak bisa... menghindari takdirmu..."
Hamdan mendekat, matanya yang penuh ketegangan terfokus pada tubuh Seth yang semakin lemah. "Aku tidak akan membiarkan takdir mengalahkan aku! Aku harus menutupi semuanya!"
Dengan satu gerakan yang cepat, pedang Hamdan kembali menyambar, menembus tubuh Seth. Darah mengalir deras, dan tubuh Seth jatuh terkulai. Hamdan berdiri dengan tangan gemetar, namun ekspresi wajahnya semakin dingin dan kosong. "Semuanya harus berakhir di sini," gumamnya, pedang masih berlumuran darah.
Sekarang hanya tinggal Teto, pria yang lebih pendiam dan hampir tidak pernah menunjukkan ekspresi. Teto mencoba berbicara dengan suara berat, darah mengalir dari mulutnya. "Hamdan... kau tahu kan... ini tidak akan berakhir seperti ini... kau tidak bisa... melarikan diri dari takdir."
Hamdan mendekatinya dengan langkah yang tegas. "Aku tidak punya pilihan, Teto. Semua harus berakhir sekarang!"
Tanpa ampun, Hamdan menebas leher Teto, darah menyembur keluar, dan tubuh pria itu terjatuh tanpa suara. Hamdan berdiri di tengah-tengahnya, melihat lima tubuh teman-temannya yang tergeletak tak bernyawa.
Hamdan memandang tubuh-tubuh itu dengan tatapan kosong, pedangnya yang terlumuri darah masih digenggam erat. "Aku akan pastikan dunia percaya bahwa Ezhan sudah mati. Tidak ada yang akan tahu bahwa aku gagal. Aku yang mengendalikan segalanya."
Namun di dalam hatinya, ada ketakutan yang mendalam, rasa kosong yang tak bisa diisi. Dia merasa semakin terperangkap dalam kebohongan dan pembunuhan yang telah ia lakukan. Tak ada kebahagiaan, hanya kehampaan. Semua ini hanya permulaan, namun tak ada jalan keluar. Hamdan tahu, dunia tak akan pernah sama lagi.
**Malam di Mansion Tan Salax**
Suasana mansion Tan Salax sangat mencekam. Ruangan utama yang luas itu dipenuhi dengan cahaya temaram dari lampu minyak. Tan Salax, sang kepala keluarga mafia terbesar, duduk dengan sikap tenang di kursi besar di ujung ruangan. Di hadapannya, Hamdan berdiri, wajahnya penuh darah dan lelah. Tubuhnya gemetar, meski usahanya untuk tetap terlihat tenang jelas terlihat rapuh.
Tan Salax menatap Hamdan dengan tatapan yang tak terbaca. Suasana hening, hanya suara detakan jam yang menggema di seluruh ruangan. Tanpa berkata-kata, dia menunggu laporan dari putranya.
"Beritakan padaku, Hamdan... apakah benar kau telah menyelesaikan urusan dengan Ezhan?" suara Tan Salax akhirnya memecah keheningan, tegas dan penuh wibawa.
Hamdan menundukkan kepalanya, napasnya terdengar berat. Ada kegelisahan yang sulit disembunyikan meski dia berusaha keras untuk tetap berpura-pura kuat.
"Ya, Ayah... Ezhan sudah mati," Hamdan menjawab, suaranya serak dan penuh penyesalan. "Tapi... bukan tanpa biaya besar. Teman-temanku... mereka semua... mereka tewas."
Tan Salax terdiam sejenak, wajahnya tetap datar, namun ada rasa berat yang mencengkeram hatinya. Dia menilai Hamdan, mencoba melihat apakah ada kebohongan yang tersembunyi di balik kata-kata itu.
"Kau mengorbankan teman-temanmu? Mereka yang telah ikut bersamamu selama ini?" suara Tan Salax mengalir dengan tenang, namun nada itu penuh ketegasan. "Kau yakin Ezhan sudah mati? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Hamdan menggenggam tangannya erat, mencoba untuk tetap tenang meskipun ketakutan mulai merasuki dirinya. "Ezhan sangat kuat, Ayah. Lebih kuat dari yang ku kira... dia bisa menghindari serangan kami semua dengan mudah, bahkan mampu bertahan meski sudah dihujani oleh pedang dan serangan beracun." Hamdan menelan ludahnya, wajahnya semakin gelap. "Teman-temanku yang terbaik... mereka berjuang mati-matian untuk menghentikan Ezhan, tapi dia seperti monster... aku harus membunuh mereka semua untuk memastikan dia tidak lolos."
Ada keheningan yang menyesakkan di antara mereka. Tan Salax menatap Hamdan dengan mata yang tajam, seolah mencari kebohongan di balik kata-kata putranya. "Ezhan... dia lebih dari yang kita duga, Ayah. Aku... aku merasa seperti telah kehilangan bagian dari diriku sendiri."
Tan Salax berdiri dari kursinya, langkah kakinya keras dan penuh kekuatan, seolah menantang Hamdan untuk mengatakan sesuatu yang lebih meyakinkan. "Menjadi pemimpin berarti harus membuat pilihan yang sulit, Hamdan. Kadang-kadang, itu berarti mengorbankan mereka yang kita cintai demi tujuan yang lebih besar." Wajah Tan Salax terlihat semakin serius. "Tapi jika kau gagal dalam misimu, jika Ezhan benar-benar masih hidup, maka ini bukan hanya kegagalanmu, itu adalah kegagalan keluarga kita."
Hamdan merasa tubuhnya semakin terhimpit oleh kata-kata ayahnya. Keringat dingin mulai menetes di dahi. "Tapi, Ayah... aku pastikan dia sudah mati. Aku... aku yang menghabisinya dengan tanganku sendiri!" Hamdan mencoba untuk meyakinkan ayahnya, meskipun dia sendiri mulai merasa tidak yakin dengan apa yang terjadi.
Tan Salax menatap Hamdan dengan penuh rasa tak puas. "Kau yakin? Tidak ada yang bisa lolos dari keluarga Salax. Jika benar Ezhan mati, maka tidak ada lagi yang perlu kau khawatirkan. Tapi jika dia masih hidup, maka kita akan menghadapi masalah yang jauh lebih besar."
Hamdan menelan ludahnya, wajahnya semakin memucat. Dia tahu bahwa kata-kata Tan Salax penuh dengan ancaman dan ketegasan yang tak bisa dibantah. "Jangan khawatir, Ayah, semuanya sudah beres. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu sudah kami bunuh. Tidak ada yang akan tahu tentang kegagalan ini."
Tan Salax memandang Hamdan lama. "Kau benar. Kalau benar dia mati, maka ini selesai. Tapi jika tidak, kita akan menghadapi bencana besar. Kegagalan lebih dari sekali akan membuat kami semua jatuh."
Ada ketegangan yang menyelimuti ruangan itu, begitu mencekam, sampai Hamdan merasa seolah-olah napasnya terhenti. Namun, Tan Salax akhirnya mengangguk pelan, masih dengan tatapan tajam. "Baiklah, Hamdan. Kau masih punya waktu untuk memastikan bahwa Ezhan benar-benar telah terhapus. Jika tidak... kita akan menghadapinya bersama-sama."
Hamdan merasa beban di dadanya semakin berat. "Ezhan sudah mati, Ayah. Aku pastikan ini. Aku akan menanggung semua akibatnya."
Tan Salax menatapnya satu kali lagi, lalu berbalik, berjalan ke arah pintu dengan langkah pasti. "Pastikan kau mengurus segalanya. Jangan sampai ada yang terlupakan."
Hamdan menatap pedangnya yang masih berlumuran darah. Matanya kosong, namun pikirannya dipenuhi dengan keraguan dan ketakutan yang semakin mendalam. Dia merasa seperti terperangkap dalam perangkap yang dibuatnya sendiri.
Ezhan... apakah benar dia sudah mati? Atau dia akan kembali, menuntut balas?
Sejak saat itu Hamdan benar-benar menjadi pria berdarah dingin dan menuntut balas dendam terhadap Ezhan.
**Di rumah Daneena, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Ayumi duduk di sofa, matanya terfokus pada layar televisi yang menyiarkan berita terbaru tentang kerusuhan di sekolah. Berita itu terus mengulang kejadian-kejadian yang melibatkan Ezhan, dan semakin memperlihatkan bagaimana dunia luar memandangnya. Banyak orang yang tidak bisa menerima bahwa Ezhan hanya membela kebenaran, malah menjadikannya kambing hitam atas semua masalah.
Daneena duduk di kursi sebelahnya, wajahnya tampak letih dan cemas. Ia menatap layar dengan matanya yang kosong, seolah mencerna setiap kata yang terucap dari layar itu. Rasanya, dunia yang ia kenal begitu berbeda—semuanya berubah seiring dengan hilangnya Ezhan.
Ayumi, yang sudah cukup lama memperhatikan temannya, akhirnya membuka suara.
"Apa mereka tidak melihat kebenaran, Daneen? Ezhan hanya mencoba untuk memperbaiki semuanya, dan malah mereka memusuhinya," kata Ayumi, nada suaranya penuh dengan kecemasan.
Daneena menggigit bibir bawahnya, tak bisa menjawab langsung. Semua yang terjadi di luar sana terasa seperti pukulan berat baginya. Bukan hanya karena Ezhan yang hilang, tetapi juga karena dia merasa terasing. Semua orang tampaknya membencinya, dan dia bisa merasakan betapa besar beban yang harus dipikul Ezhan, meski dirinya sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
"Aku... aku merasa seperti... mereka semua tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan mereka yang dekat dengan Ezhan pun," kata Daneena, suaranya bergetar. "Aku merasakan apa yang dia rasakan. Mereka semua tidak tahu apa yang benar."
Ayumi menatap temannya dengan mata penuh pengertian, lalu perlahan berkata, "Kamu harus percaya, Daneena. Ezhan itu tidak seperti yang mereka kira. Mereka akan tahu kebenarannya suatu saat nanti."
Di meja makan, Glogi yang sejak tadi sibuk dengan snack-nya, menanggapi dengan santai. Sambil menggigit keripik, dia menoleh ke arah Daneena dan Ayumi.
"Ya, ya, tenang saja. Semua ini akan berakhir dengan kebahagiaan. Ezhan itu tidak akan terjatuh begitu saja," katanya sambil melanjutkan makan dengan penuh kenikmatan. "Dia hanya butuh sedikit waktu untuk mengatur semuanya. Pahlawan kan memang selalu tampak aneh sebelum akhirnya mereka kembali dengan kemenangan."
Daneena menatap Glogi dengan ekspresi campur aduk, kesal dan sedikit bingung.
"Bagaimana bisa kamu begitu santai? Ini bukan waktu untuk bercanda, logi," kata Deneena dengan nada agak tajam. "Ezhan hilang, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Glogi hanya terkekeh, menggoyang-goyangkan keripik di tangannya.
"Tenang, neena, kamu terlalu khawatir. Kamu lupa, Ezhan itu seperti kucing. Dia selalu mendarat dengan kaki yang benar. Nggak pernah jatuh dan nggak bisa dikalahkan begitu saja," jawab Glogi dengan senyum nakal, seakan mencoba mengurangi ketegangan di ruangan itu.
Ayumi ikut tersenyum, meski senyum itu lebih menyiratkan pemahaman. "Tapi Glogi benar, neena. Kamu terlalu khawatir. Ezhan itu pasti tahu caranya untuk keluar dari masalah. Dia tidak akan tinggal diam."
Daneena menunduk, memikirkan kata-kata itu. Meski hatinya penuh dengan kecemasan, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin percaya pada kata-kata Glogi dan Ayumi. Meski begitu, dia tak bisa menipu perasaannya sendiri.
"Bagaimana jika dia tidak kembali? Bagaimana jika dia benar-benar hilang dan kita tidak bisa melakukannya apa-apa?" tanya Daneena pelan, matanya basah.
Ayumi menyentuh bahu Daneena, memberikan ketenangan dalam keheningan yang menghantui. "Kita harus percaya, Daneena. Ezhan selalu memperjuangkan yang benar. Kalau ada satu orang yang bisa menghadapi semua ini, itu dia."
Namun, Glogi, yang sepertinya selalu bisa melihat sisi ringan dalam situasi berat, kembali melontarkan komentar ringan.
"Yah, kalau Ezhan nggak balik dalam waktu dekat, mungkin kamu harus coba cari orang lain untuk dipikirkan. Mungkin dia bisa ngajarin kamu gimana caranya gak jadi paranoid terus," Glogi bercanda dengan gaya santai, meski dia tahu betul bahwa Daneena sedang berjuang keras dengan perasaannya.
Daneena memandang Glogi dengan sedikit kesal, meskipun dia bisa merasakan bahwa Glogi sedang berusaha menghiburnya. "Kamu ini, Glogi," jawabnya, suara sedikit tegang namun senyum kecil mulai terbentuk di bibirnya. "Kadang-kadang kamu membuat aku kesal, tapi... terima kasih."
Ayumi tertawa pelan, ikut merasa sedikit lebih lega karena Daneena mulai bisa sedikit tertawa. "Lihat? Glogi itu memang bodoh, tapi dia bisa bikin kamu sedikit lebih tenang, kan?"
Daneena menghela napas, berusaha mengesampingkan kecemasan dalam dirinya. "Mungkin, ya. Aku hanya berharap Ezhan baik-baik saja."
Di tengah keheningan yang menyelimuti ruangan itu, mereka bertiga tetap duduk bersama, berbicara tentang hal-hal lain yang mencoba mengalihkan pikiran dari kenyataan pahit yang ada. Namun, di dalam hati Daneena, ada satu harapan yang tak pernah padam bahwa suatu saat nanti, Ezhan akan kembali.