Ezhan tergeletak di tanah, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya bergetar oleh rasa sakit yang mengoyak akibat lonjakan energi Sparks di dalam dirinya. Hembusan angin pagi terasa dingin menyentuh wajahnya, namun di dalam benaknya, semua itu seolah tidak ada artinya. Kenangan-kenangan gelap mulai bermunculan, melintasi pikirannya secepat kilatan petir, menggulung seluruh kesadarannya kembali ke masa kecil yang suram.
---
Malam itu dingin dan sunyi. Suara angin yang menderu hanya sesekali terpotong oleh tawa sinis dan suara tembakan.
"**Aaaaaaaahhh! Tolong akuuu!**"
Ezhan, yang masih berusia enam tahun, bersembunyi di bawah meja kayu rapuh di rumahnya. Tubuh kecilnya menggigil, bukan karena udara malam yang dingin, tetapi karena ketakutan yang tak terlukiskan. Di luar ruangan, suara tembakan semakin mendekat.
Duar! Duar!
Suara peluru memecahkan kaca jendela dan menghantam dinding rumah mereka. Ia melihat kedua orang tuanya berusaha melawan, namun takdir sudah menunggu. Sekelompok orang bersenjata masuk dengan kekejaman yang tidak terlukiskan. Ayahnya melindungi ibunya, tapi dengan mudah dilumpuhkan. Tubuhnya roboh, darah menyembur ke lantai, sementara Ezhan hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat, mencegah teriakan yang hendak meledak dari tenggorokannya.
"**Ayah! Jangan! Yah, bangun...**" pikir Ezhan kecil, namun kata-kata itu hanya terucap di dalam hati. Matanya mulai memanas, air mata yang turun tidak terbendung.
Ibunya, yang berteriak meminta pertolongan, pun tak luput. Ia diseret, dipukuli, dan ditembak tanpa ampun.
Duar! Duar!
Suara tembakan itu menjadi akhir dari keluarga Ezhan. Malam itu bukan hanya rumah mereka yang terbakar—seluruh desa hancur. Kelompok itu membantai tanpa belas kasihan. Asap hitam tebal membubung tinggi, sementara api melahap segalanya.
Ezhan yang masih kecil hanya bisa menyaksikan, tak berdaya, diseret oleh orang-orang itu bersama anak-anak lain yang mereka tangkap. Tubuhnya lemah, jiwanya hancur, dan pikirannya kosong. Ia telah kehilangan segalanya.
---
**Pasar Gelap**, tempat terkutuk di mana manusia diperjualbelikan seperti barang dagangan. Di sinilah nasib Ezhan dilanjutkan, terperangkap di sebuah ruangan sempit yang nyaris tak mendapat cahaya. Puluhan anak lain berada di sana bersamanya, wajah-wajah pucat penuh ketakutan, menangis dalam kegelapan. Teriakan minta tolong sering terdengar di tempat itu, namun jarang yang mendapat jawaban.
Setiap hari, mereka diperlakukan seperti hewan, dipasung dan dirantai. Mereka dibawa ke arena, diadu dalam pertempuran brutal untuk hiburan para sultan kaya. Anak-anak seperti Ezhan tidak lebih dari boneka yang dipaksa bertarung demi bertahan hidup.
Suatu hari, di tengah penderitaan yang tak berujung, seorang pria kaya mendekat. **Keluarga Ferron**, keluarga berpengaruh dan ditakuti, datang ke pasar itu. Mereka memilih anak yang tampak kuat, dan matanya tertuju pada Ezhan, bocah yang masih berdiri meskipun hampir semua anak lain sudah terbaring tak berdaya.
Ferron, pemimpin keluarga itu, menatap bocah malang tersebut. "Kau tampak berbeda. Kau tidak seperti yang lain, bocah," gumamnya dengan suara berat. Pasangan muda itu membeli Ezhan dengan harga tinggi, memberinya nama baru—**Ezhan Ferron**. Bagi mereka, Ezhan adalah penakluk yang dilatih untuk mencapai tujuan mereka.
Namun, di balik nama baru itu, Ezhan tidak pernah merasa lebih dari sekadar alat. Seiring waktu, ia dilatih dalam kekerasan, pertempuran, dan taktik brutal. Di bawah keluarga Ferron, ia menjadi mesin penakluk yang tanpa perasaan.
Di tengah malam yang sunyi, saat ia tidur di ranjang dingin, suara itu selalu berbisik dalam mimpinya, suara yang penuh dengan kehampaan dan kekejaman:
"Kau itu hampa, kosong tidak bernilai... Kekosongan dalam dirimu itu tidak akan pernah bisa diisi... Kau hanyalah alat, Ezhan... Garis takdirmu sudah ditentukan."
---
Kembali ke masa kini, di tengah rasa sakit yang menyiksa tubuhnya, Ezhan tersadar dari kenangan buruk itu. Matanya terbuka perlahan, wajahnya penuh luka dan darah. Meskipun terluka parah, ia menolak menyerah pada kekosongan yang terus menghantuinya.
Bessara juga duduk disebelahnya, didampingi oleh seorang tabib ajaib yang mampu menyembuhkan yang jauh lebih dahsyat dari Bessara.
"Aku bukan alat... Aku adalah aku... Aku akan bertahan... Aku akan hidup!"
Ezhan terbaring di atas ranjang dengan rasa sakit yang masih menggeliat di setiap serat otot tubuhnya. Seluruh tubuhnya terasa seakan terkoyak, seperti badai yang merusak segala yang ia miliki di dalam. Pandangannya buram, namun ia masih bisa mendengar suara tawa kecil dan aneh dari seseorang yang tidak ia kenali.
"Cih… aku benar-benar tidak bisa bergerak!" gumam Ezhan sambil mencoba menggerakkan lengannya yang terasa mati rasa.
"Tenanglah, kau akan baik-baik saja khek," suara itu terdengar lagi, kini lebih dekat. Seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan dan mata yang tampak penuh dengan rahasia mendekat. Tubuhnya bungkuk dan rambutnya hampir seluruhnya beruban, namun ada sinar kecerdasan yang jelas terpancar dari sorot matanya.
'Siapa lagi orang ini?' pikir Ezhan dalam hati, pandangannya mengikuti sosok tua itu yang sedang sibuk memeriksa luka-lukanya.
"Syukurlah kau sudah sadar," suara lain menyusul, dan kali ini Ezhan mengenalinya. Itu adalah Bessara, kaisar Byzantium yang baru saja mengajaknya bertarung. "Pertarungan sebelumnya benar-benar membuatmu sekarat," lanjut Bessara, duduk di dekat tempat tidur Ezhan.
"Tapi jangan khawatir. Dia adalah tabib istana, salah satu yang terbaik yang kami miliki. Mungkin dia tampak aneh, tapi kemampuannya dalam menyembuhkan jauh lebih hebat daripada yang bisa kau bayangkan. Bahkan, dia sudah lebih tua dari apapun yang kau kira saat ini," tambah Bessara, tersenyum ke arah tabib tersebut.
Ezhan, meskipun masih kesakitan, tak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Siapa kau sebenarnya, orang tua?" tanyanya dengan suara serak.
Tabib itu tertawa lagi, suaranya serak dan agak nyeleneh. "Aku? Aku hanyalah penjaga pengetahuan yang sudah sangat tua… lebih tua dari tanah tempat kerajaan ini berdiri," katanya dengan mata berkilauan. "Namaku tidak penting, tapi orang-orang di sini memanggilku 'Trevak.' Aku sudah menyembuhkan ratusan, mungkin ribuan orang sepertimu, yang hampir binasa karena mencoba melawan takdir mereka sendiri."
Ezhan meringis mendengar kalimat itu. "Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" tanyanya sambil mencoba duduk, meski rasa sakitnya masih sangat nyata.
Bessara menatap tabib itu, memberi isyarat untuk menjelaskan. Trevak menghela napas, lalu duduk di samping ranjang Ezhan. "Kau sudah tahu tentang kekuatan yang mengalir dalam dirimu, bukan? **Aura Sparks**—itulah yang kau miliki, bocah. Tapi Aura Sparks milikmu berbeda. Aku bisa merasakannya saat pertama kali kau bangun dari koma. Kau bukan hanya memiliki Sparks biasa; kekuatanmu terhubung dengan sesuatu yang lebih besar."
Ezhan menatap mereka dengan mata yang menyipit. "Lebih besar? Seperti apa maksudmu?"
"Kekuatan yang ada di dalam tubuhmu itu, Sparks, sebenarnya berasal dari sesuatu yang sangat purba—sesuatu yang lebih tua dari kerajaan ini, bahkan lebih tua dari dunia yang kita tinggali," lanjut Trevak. "Hanya sedikit yang bisa mengendalikan Sparks, dan biasanya, itu diwarisi atau dilatih seumur hidup. Tapi kekuatanmu… kekuatan itu terlalu besar untuk tubuh manusia biasa."
Bessara yang sedari tadi diam mulai bicara, "Kau ingat saat pedangku patah? Itu bukan karena kau terlalu kuat. Itu karena Sparks-mu mencoba melepaskan sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kau kendalikan. Dalam pertarungan kita, aku sadar bahwa kau berbeda."
Ezhan mencoba mencerna apa yang sedang dibicarakan. "Jadi… apa maksud kalian? Bahwa kekuatan ini bisa membunuhku?"
"Ya, jika tidak dikendalikan dengan benar," jawab Trevak, tatapannya serius. "Sparks yang kau miliki bukan milikmu sepenuhnya. Ada sesuatu yang terikat di dalamnya—sebuah entitas purba. Kekuatan ini bukan hanya untuk menghancurkan, tapi juga memiliki kehendak sendiri."
"Entitas?" Ezhan semakin bingung. "Apa yang kalian bicarakan? Apa aku sedang dirasuki atau apa?"
Bessara menatap Ezhan dengan tenang, namun serius. "Bukan kerasukan. Ini lebih seperti… kau adalah wadah bagi kekuatan yang lebih besar. Entitas itu telah lama tertidur di dalam garis keturunanmu. Dan entitas itu Sparks-mu sedang berusaha keluar, dan jika kau tidak bisa mengendalikannya, kau akan dihancurkan oleh kekuatan itu sendiri."
Ezhan terdiam, mencoba meresapi kata-kata mereka. Ia selalu merasa berbeda, tetapi ini… ini jauh di luar bayangannya. "Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, suaranya terdengar lemah.
Trevak menghela napas. "Satu-satunya cara untuk mengendalikannya adalah dengan memahami siapa dirimu dan dari mana Sparks itu berasal. Tapi untuk saat ini, kau harus belajar mengendalikan kekuatanmu secara perlahan, atau kau akan menjadi mangsa bagi entitas itu."
"Namun," Bessara menyela, "Kita tidak punya banyak waktu. Aku ingin kau mulai berlatih sesegera mungkin. Jika entitas itu bangkit sepenuhnya sebelum kau siap… tak hanya kau yang akan binasa, tetapi mungkin seluruh kerajaan ini."
Tiba-tiba, ruangan itu terasa lebih sunyi, dan udara seolah-olah menjadi lebih berat. Ezhan mengertakkan giginya, mencoba menahan rasa frustrasi dan ketakutannya. "Jadi, aku tidak hanya melawan takdirku sendiri, tapi juga sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang pernah kubayangkan," gumamnya.
Bessara berbisik 'sepertinya masa depan dunia ini benar-benar bergantung pada apa yang ada didalam dirinya saat ini'
Tabib tua itu tertawa kecil lagi. "Benar, bocah. Kau adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan itulah bagian takdirmu, bukan? Ternyata, hidupmu bukanlah milikmu sepenuhnya."
Saat luka-luka Ezhan sembuh dengan sempurna, dia berbaring di kamarnya di istana Byzantium, merenung. Pikirannya terperangkap dalam kebingungan dan rasa frustrasi. Tubuh yang ia kenali selama ini sebagai miliknya ternyata menyimpan rahasia yang lebih kelam dari apa yang pernah ia bayangkan. Kekuatan Sparks di dalam dirinya bukanlah miliknya sepenuhnya—dan sekarang, bahkan nasibnya terasa seperti bukan berada di tangannya.
'Jika tubuhku ini bukan milikku… jika kekuatan ini terlalu besar untukku… lalu apa yang harus kulakukan?' gumamnya dalam hati, merasa semakin terasing.
Tiba-tiba, terdengar suara *tlinggg*, seperti bel samar yang memantul dalam pikirannya. Seketika, dunia di sekitarnya mulai memudar, dan pandangan matanya berubah drastis.
Ezhan terkejut, seolah ditarik keluar dari tubuhnya sendiri. Dalam penglihatan itu, dia bisa melihat dunia tempatnya berasal—Msohawk, tanah yang lama ia tinggalkan. Namun yang dilihatnya jauh lebih mengerikan daripada yang pernah ia bayangkan.
Msohawk berada dalam keadaan kritis. Kota-kota terbakar, kehancuran meluas ke setiap sudut tanahnya. Orang-orang berteriak, ketakutan, dan kepanikan terlihat jelas di mana-mana. Ezhan melihat sekelompok pemberontak yang tampaknya menguasai situasi, meneror seluruh rakyat.
Salah satu sosok yang paling mengejutkannya adalah Daneena, yang ia lihat memimpin sekelompok orang dalam perlawanan, wajahnya penuh tekad. Di sampingnya ada Ayumi, yang tampak terluka, namun tetap berdiri kuat di barisan depan. Mereka berdua bertarung, berusaha mempertahankan diri dari serangan tak henti-hentinya.
'Daneena? Ayumi? Kenapa mereka terlibat dalam ini? Apa yang terjadi dengan Msohawk?' pikir Ezhan, hatinya bergemuruh dengan kekhawatiran.
Namun yang paling mengejutkan adalah apa yang mereka perangi bukan hanya pemberontak biasa. Pasukan yang menyerang mereka tampaknya didorong oleh rasa dendam terhadap satu keluarga: Keluarga Ferron, keluarga yang pernah mengadopsi Ezhan. Orang-orang menginginkan kehancuran total atas keluarga itu. Mereka menyerukan hukuman mati, tak hanya untuk pemimpin keluarga Ferron, tetapi juga seluruh keturunannya termasuk Ezhan.
'Keluarga Ferron… mereka… mereka membenci keluarga itu. Tapi kenapa? Apa yang terjadi di sana?' pikir Ezhan, semakin bingung dan khawatir.
Saat itu, sebuah kilasan lain datang ke dalam pikirannya adegan yang lebih suram dan lebih dalam. Ayah angkatnya, kepala keluarga Ferron, tampak berlutut di sebuah lapangan yang terbuka. Di hadapannya, ribuan orang berkumpul, menuntut keadilan. Tapi apa yang dilihat Ezhan bukanlah keadilan itu adalah pembalasan dendam yang buta.
Kepala keluarga Ferron melakukan kekejaman selama bertahun-tahun, menggunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk memperbudak, merampas, dan menindas rakyat kecil. Seluruh kota kini menuntut darah sebagai balasan atas apa yang telah mereka lakukan.
Ezhan tiba-tiba merasakan denyutan di mata kirinya. Ketika ia melihat ke cermin, ia sadar bahwa mata kirinya kini bersinar biru terang, seakan-akan terhubung dengan penglihatan ini. Pemandangan yang ia lihat di mata kirinya begitu nyata, seperti dia ada di sana bersama mereka.
"Penglihatan ini… apa ini sebenarnya? Kenapa aku bisa melihat mereka semua? Daneena, Ayumi… apa yang sebenarnya terjadi di sana?" ucap Ezhan, suaranya penuh dengan ketidakpastian.
Mata kirinya terus memantulkan gambar-gambar kehancuran di Msohawk. Di dalamnya, Ezhan juga melihat sosok misterius yang tidak dikenalnya seorang pria berpakaian gelap, berdiri di balik kerumunan massa. Dia tidak berpartisipasi dalam kekacauan, tetapi tatapannya tertuju langsung ke Ezhan, meskipun mereka berada di dunia yang berbeda.
Pria itu tersenyum dingin, dan Ezhan merasakan getaran tak menyenangkan di tubuhnya. 'Siapa dia? Kenapa dia bisa melihatku? Apakah dia terkait dengan semua ini?'
Ezhan terbangun dengan terengah-engah dari penglihatan itu. Namun perasaan takut dan panik tidak hilang. Msohawk berada di ujung kehancuran, dan orang-orang yang dia pedulikan sedang berada dalam bahaya besar.