"Kami hanya hendak mengonfirmasi berita terbaru. Apakah benar dua dari tukang bangunan itu bukan perokok? Jadi bagaimana mungkin mereka jadi tersangka?" Polisi yang berjaga menggeleng, "Jaksa tidak ada di rumah... Jika dia ada, dia pasti akan keluar menemui kalian. Bukankah dia selalu mau ditemui wartawan?" Wartawan stasiun televisi itu terlihat kecewa. Aku mengangguk dalam hati. Polisi ini tidak berbohong. Aku tidak perlu memeriksa rumah dinas ini. "Di mana Jaksa sekarang?" Wartawan bertanya. "Tidak tahu." Polisi menggeleng. Aku telah berjalan cepat meninggalkan kompleks rumah dinas itu, sambil menghubungi Nina.
"Lokasi kedua juga nihil, Bravo Dua." Nina berseru pelan, kecewa. Sekali lagi minta maaf perhitungannya keliru. "Kirimkan lokasi ketiga, Bravo Dua." "Siap, Alfa Satu." % 3% %k Aku tiba di lokasi ketiga pukul dua belas siang. Rumah itu berada di Kota Tua. Kawasan heritage. Ada banyak bangunan bersejarah di sana. Sebagian besar bukan tempat tinggal. Dijadikan kantor, atau kafe, butik, hotel. Tiga-empat lantai, dengan arsitektur khas peninggalan penjajah. Alamat yang diberikan Nina berada di perempatan jalan, hook. Berdiri sendiri, tidak berdempet dengan bangunan lain.
Aku turun dari taksi, berjalan kaki di trotoar yang rapi dan lapang. Mengamati sekitar. Jalan itu cukup ramai, ada beberapa restoran yang dipenuhi oleh pengunjung yang hendak makan siang. Mobil parkir di depan bangunan, penuh, luber hingga bahu jalan. Aku berdiri sejenak di depan alamat itu. Bangunan empat lantai. Dengan dinding dicat putih. Tiangtiang tinggi. Berbeda dengan bangunan lain yang dibiarkan terbuka tanpa pagar, yang satu ini memiliki tembok tinggi, gerbangnya tertutup rapat. Aku memutuskan masuk ke salah satu restoran di seberang bangunan itu, naik ke rooftop di lantai tiga. Berdiri di pembatas, memerhatikan target. "Mbak mau duduk di mana?" Pelayan mendekat, bertanya. Aku menggeleng. "Atau Mbak mau pesan apa dulu?"
Aku menatapnya. Aku tidak ada niat untuk makan. "Aku hanya lihat-lihat." Pelayan itu bingung. Aku melangkah pergi. Aku telah cukup melihat situasi target. Halaman luas dengan banyak pohon, juga pot-pot bunga di balik tembok itu. Aku juga melihat beberapa mobil parkir, dan yang sangat penting, aku melihat empat-lima orang mengenakan pakaian seperti kontraktor tadi malam. Berjaga di teras rumah. Tidak terlalu pasti berapa jumlah mereka, tertutup pepohonan. Tidak salah lagi, jaksa itu ada di rumah ini. Aku melangkah keluar dari restoran. Itu restoran khusus steak. Tanganku diam-diam meraih pisau dan garpu steak yang ada di atas meja, memasukkannya ke dalam kantong. Aku butuh
senjata, 'meminjam' sebentar dari restoran. Pisau dan garpu ini cukup. Tiba di jalan, menyeberang. Berdiri sejenak di pojokan tembok tinggi itu, memastikan semua orang sibuk sendiri, tidak ada yang memerhatikanku, termasuk tukang parkir, sibuk mengatur jalanan, hup! Aku lompat ke atas tembok, sedetik, mendarat di halaman target. Aku tahu titik awal yang baik untuk menyerbu rumah ini. Bersembunyi di balik sebuah pot besar, merunduk. Diam sejenak, mengambil topeng penutup wajah dari ransel, mengenakannya. Napasku mulai menderu. Jantungku berdetak kencang. Meskipun aku tenang, tetap saja aku tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhku. Otakku memberikan sinyal, adrenalin mengalir deras.
Aku mulai bergerak maju. Menyelinap dari pot besar ke benda lain. Membungkuk. Sesekali berhenti, mengawasi empat kontraktor yang berdiri di teras. Satu di antaranya bergerak menjauh, dia menerima telepon, melangkah menuju ujung teras agar bisa bicara lebih leluasa. Bagus. Itu kesempatan yang aku tunggu, aku mendekatinya. Dia masih asyik berbicara dengan entah siapa di seberang sana, sesekali tertawa. Aku telah berdiri di belakangnya. Kontraktor ini adalah pembunuh terlatih. Tadi malam, teman-temannya menyerang tanpa ampun. Maka aku tidak akan memberinya kesempatan. Tanganku yang memegang pisau steak bergerak. ZAP! Menembus lehernya, tubuhnya hendak roboh, aku menahannya agar tidak mengeluarkan suara, menyeret tubuh itu ke balik salah satu pot.
Lima menit, aku tetap menunggu di sana. "Heh, ke mana temanmu?" Salah satu kontraktor itu bertanya—menggunakan bahasa asing. Temannya mengangkat bahu. "Tadi dia menerima telepon, bukan?" Yang lain menimpali. Satu di antara mereka penasaran, menyusul ke titik terakhir kali temannya terlihat. Dahinya terlipat saat melihat darah berceceran di lantai, tangannya segera mencabut pistol, melangkah cepat memeriksa jejak darah yang terlihat di rerumputan hingga balik pot. Dia tiba di sana, menatap tubuh temannya yang tergeletak. Wajahnya bingung, juga marah, hendak mencari siapa pelakunya. Sedetik kemudian, SLAB!
Tubuhnya ikut tersungkur. Aku telah menunggunya sejak tadi. Lama sekali dia datang. Sisa dua. Lagi-lagi skenario yang sama. Aku menunggu. Hingga dua kontraktor itu curiga, kenapa dua temannya tidak kembali. Bedanya, kali ini mereka maju berdua. Pistol telah teracung siaga. Tapi itu sama saja bagiku, mau satu-satu atau dua sekaligus. Saat mereka tiba di balik pot besar, menyaksikan dua temannya yang tergeletak, aku keluar dari pot satunya. Dua tanganku bergerak sekaligus. Pisau dan garpu steak. Dengan kekuatan penuh, menusuk leher mereka. SLAB! SLAB! Darah segar muncrat membasahi pakaian. Tersungkur di atas rumput. Kali ini aku membiarkan mereka jatuh dengan
suara. Aku telah berlarian maju. Melintasi teras rumah, mendorong pintu—tidak terkunci. Ruang depan lengang. Tidak terlihat kontraktor lain, juga pekerja rumah. Aku melangkah hati-hati, tetap waspada, dua tanganku masih memegang pisau dan garpu yang berlumuran darah. Siapa tahu tiba-tiba muncul kontraktor dari balik lemari, toilet atau tempat lain. Rrrr... Langkah kakiku terhenti. Menatap ke depan, di dekat anak tangga menuju lantai atas. Dua ekor anjing menatapku galak. Itu jenis American Pit Bull Terrier. Anjing paling buas. Tubuhnya besar, dengan tinggi nyaris sepahaku. Mulutnya terbuka lebar, lidah menjulur, siap menerkam kapan pun.
Aku menggeram. Pantas saja tidak ada kontraktor atau polisi yang menjaga ruang depan ini. Dua anjing ini yang menggantikan posisinya. Siap mencabik-cabik siapa pun yang melintasi anak tangga. Aku menatap tajam dua anjing itu. Tetap tenang. Aku tahu bagaimana mengatasi hewan buas. Di hutan Bukit Barisan, bahkan ada harimau yang lebih mematikan. Abu Syik pernah mengajariku trik menghadapinya. Rrrr.... Dua anjing itu menggerung pelan. Aku tetap menatapnya tajam, tidak mundur walau selangkah, sedikit mengangkat dua tanganku, menunjukkan pisau dan garpu steak yang berlumuran darah. Coba saja jika kalian berani, silakan maju. Balas menggertak. Rrrr....
Dua anjing itu berhitung. Kapan pun siap menerkam. Aku mengacungkan pisau dan garpu steak. Jangan coba-coba. Dan mereka tetap nekat menyerang. Astaga! Tidak berhasil trik dari Abu Syik. Aku segera lompat ke atas salah satu sofa, menghindar. Terkaman dua Pit Bull mengenai udara kosong. Dua anjing itu segera memutar badannya, kembali mengejarku. Ikut lompat ke atas sofa. Berlarian, lantas menerkamku dari dua sisi. Aku mendengus, aku tidak mau membunuh anjing ini. Tapi sepertinya mereka telah dilatih untuk membunuh siapa pun yang tidak dikenali. Sekali lagi aku lompat menghindar. Terkaman anjing mengenai udara kosong. Kembali berbalik arah, hendak menyerangku lagi. Dasar menyebalkan, aku tidak mau membunuh anjing ini. Tapi jika aku tidak segera menghabisinya, suara perkelahian ini bisa didengar siapa pun yang ada di atas. Baiklah, pilihannya hanya satu. Anjinganjing itu lompat ke arahku, aku meluncur merebahkan tubuh, menyambut serangan. Pisau dan garpu steak terangkat ke udara. SLAB! SLAB! Menghantam leher anjing itu, lantas merobeknya hingga ke pangkal perut. Darah segar membasahi karpet ruang depan. Dua anjing itu tergeletak, tewas. Aku menghela napas, menatapnya. Anjing-anjing ini tidak tahu terlibat 'pertarungan' apa. Mereka hanya dilatih untuk menyerang. Memiliki majikan yang buruk. Ini menyedihkan.... Tapi tidak ada waktu untuk memikirkannya, aku segera berlarian menaiki anak tangga. * kk
Kulkas Lantai dua kosong. Hanya ruangan-ruangan luas dengan tumpukan berkas. Bangunan ini sepertinya bukan tempat tinggal, tapi kantor, sekaligus gudang arsip. Menyimpan dokumen-dokumen penting milik jaksa itu. Aku membuka beberapa map tebal itu, membacanya. Termangu. Aku sepertinya tahu. Memeriksa map lain, juga menemukan pola yang sama. Aku mengembuskan napas perlahan, aku tahu bisnis apa yang diurus oleh jaksa ini. Lantai tiga juga kosong, tanpa penghuni. Lagi-lagi hanya ruangan dengan tumpukan berkas, dokumen, dan arsip lainnya. Memeriksanya beberapa secara acak, menemukan benang merah yang sama dengan dokumen di lantai dua. Sebagian
dokumen ini tidak lengkap. Mungkin hilang, tercecer. Aku mencoba mengatur napas sejenak, tersisa lantai terakhir. Jaksa itu kemungkinan besar ada di sana. Menyeka pelipis yang berkeringat. Kembali maju. Persis tiba di ujung tangga, gerakanku terhenti. Segera menundukkan kepala. Empat orang kontraktor berjaga di sana. Tepatnya di depan pintu sebuah ruangan paling besar. Mereka tidak membawa pistol, melainkan senjata mesin semi otomatis. Ini adalah 'benteng' terakhir bangunan ini. Bagaimana aku melewatinya? Senjata mesin itu tidak bisa dihindari seperti pistol. Menatap sekeliling, jendela bangunan yang ditutup kaca-kaca tebal. Sepertinya bangunan ini juga kedap suara,
mencegah siapa pun di luar sana mendengar apa pun yang terjadi di dalamnya. Baiklah, saatnya berimprovisasi. Tubuhku bergerak cepat, sambil melemparkan garpu di tangga. Berkelontangan. Suara itu jelas didengar oleh empat orang itu. Mereka saling tatap. Dua di antaranya maju dengan senjata mesin teracung, tiba di ujung anak tangga. Tidak melihat apa pun selain garpu yang tergeletak, dengan darah berceceran. "Heh, apa yang terjadi?" Rekannya bertanya, "Itu garpu milik siapa?" Dia menuruni anak tangga, disusul oleh rekan kontraktor satunya. Persis membungkuk hendak mengambil garpu itu, memeriksanya, aku melenting keluar dari bawah tangga. Sejak tadi aku
bergelantungan di sana. Menunggu momen yang tepat. Cepat sekali pisauku bergerak. SLAB! Menembus leher kontraktor yang membungkuk. Temannya berseru kaget. Senjata mesinnya teracung ke arahku. Sementara dua kontraktor lain di dekat pintu ruangan lantai empat bergegas mendekat. TRAATATATAT.... Kontraktor yang tersisa di anak tangga refleks melepas tembakan. Peluru muntah. Tapi karena jaraknya dekat, aku bisa memegang tangannya, memutar arah tembakan, mengacungkannya ke ujung anak tangga, persis saat dua kontraktor lain datang. TRAATATATAT....
Dua kontraktor itu berseru, tidak menduga tembakan rekannya terarah ke mereka. Satu langsung tersungkur dihunjami oleh peluru. Satu lagi masih sempat tiarap menghindar. SLAB! Pisau steak telah merobek leher kontraktor yang memegang senjata mesin. Suara tembakan terhenti. Tubuhnya tersungkur di tangga, menyusul rekan satunya yang tewas lebih dulu. Aku merampas senjata mesinnya, segera melenting naik, kontraktor yang tiarap beranjak berdiri, dia siap menembakku. TRAATATATAT.... Aku lebih dulu menembakinya. Peluru menembus seragam taktis yang dia kenakan, tersungkur. Mendengus, aku lebih dari bisa memakai senjata mesin ini—meskipun tidak menyukainya.
Berlarian menuju pintu ruangan, menendangnya terbuka. Siapa pun di dalam sana, apa pun yang menyambut, aku siap menghabisinya. Senjata mesin semi otomatis teracung ke dalam ruangan. Tapi tidak ada tembakan yang menyambutku, lengang sejenak. Tidak ada pengawal di sana. Hanya jaksa itu. Yang duduk di kursinya, di belakang meja kerja. Menatapku. % %k %k "Jangan bergerak!" Aku mendesis. Maju. Dengan senjata mesin membidik kepalanya. Dia tetap diam—dia sepertinya memang tidak berminat melawan.
Aku memeriksa sekilas ruangan besar itu. Perabotan mewah. Sofa besar, tempat menerima tamu. Lukisan mahal tergantung di dinding. Dahiku mengernyit, bukankah itu lukisan yang sangat terkenal, dengan nilai luar biasa? Bagaimana jaksa ini mendapatkannya? Aku menggeram, tentu saja dia punya uang untuk membelinya. Televisi besar tergantung di dinding. Ruang minibar kecil. Kulkas besar tiga pintu, saking besarnya bisa muat orang di dalamnya. Jacuzzi untuk berendam dengan pemandangan melintasi jendela kaca tebal. Ruangan itu memiliki segalanya. Langkah kakiku berhenti dua langkah di depan meja. Menatap jaksa itu. Untuk seseorang dengan senapan mesin teracung sempurna di kepalanya, dia cukup tenang. Wajahnya sedikit pucat, atau kaget, atau apalah, tapi tidak terlihat reaksi panik.
Orang ini pasti terlatih menghadapi situasi ini. Atau dia tahu persis SOP yang harus dilakukan dalam situasi tersebut. Tangannya hendak meraih sesuatu di ujung meja. "Jangan bergerak, Bodoh!" Aku mendesis, "Aku tahu apa yang hendak kau lakukan.... Jangan cobacoba bunuh diri, sebelum aku bertanya dan kau menjawabnya." Jaksa itu kembali menatap wajahku yang tertutup topeng, menyisakan bola mata. Tiga puluh detik lengang. Aku masih awas memeriksa sekitar. "Apakah kau yang menggagalkan serangan di Singapura?" Dia justru bertanya lebih dulu. "Iya." Aku menjawabnya.
"Apakah taipan tua itu yang memberi tahu namaku?" "Iya." Aku menjawabnya lagi. Jaksa itu menghela napas pelan, "Seharusnya aku membunuh taipan itu sejak dulu.... Aku membuat kesalahan kecil. Sama seperti Kombes Polisi... Apakah kau yang mendatangi rumahnya, membuatnya bunuh diri?" "Iya." Untuk ketiga kali aku menjawabnya. Jaksa itu hendak mengusap rambut. "Jangan bergerak, heh!" Aku membentak, "Berapa kali lagi aku harus mengatakannyal" Jaksa itu menatapku, sejenak, lantas tertawa pelan. "Itu percuma saja, aku tetap akan mati.... Aku tahu kau vigilante yang hebat. Setelah bertahun-tahun operasi ini lancar, harus kuakui, kau adalah
ancaman serius bagi kelompok ini. Tapi kami selalu punya cara memotong jaringan yang rusak. Aku akan mati bunuh diri—" "Aku belum mengizinkanmu mati, Bodoh!" Aku mendesis. Jaksa itu berhenti tertawa, menghela napas. Lengang sejenak. "Apakah kau yang menyebabkan kebakaran di gedung Kejaksaan, heh?" Giliranku bertanya. Dia tidak menjawab. "Aku tahu apa yang terjadi di sana. Semua omong kosong itu. Apa yang kau katakan di depan wartawan, 'Kami sangat memahami jika kasus ini menjadi perhatian publik. Tapi terlepas dari itu, sekali lagi, tidak ada berkas, atau dokumen, atau bukti-bukti
kasus yang ikut terbakar." Dan
wartawan percaya. Juga jutaan orang lain. Jaksa yang jujur, lurus, telah bicara, orang-orang mengaminkannya. "Omong kosong! Di lantai itu memang tidak ada dokumen kasus-kasus biasa. Melainkan tumpukan bukti-bukti kasus penting yang sedang diselidiki oleh kelompok jaksa lain. Mereka diam-diam menyelidiki ratusan proses alih lahan konsesi tambang dan perkebunan. Kelompok jaksa lain yang juga sedang menyiapkan amunisi untuk menyingkirkanmu. Mereka tahu, jika kau terlibat dalam ribuan kasus alih fungsi hutan-hutan menjadi tambang, perkebunan kelapa sawit, dan sebagainya. Mereka mendapatkan sebagian dokumen itu dari pejabat daerah, orang-orang yang selama ini membantumu.
"Kau tahu soal itu, lantas memutuskan membakarnya, sekaligus menghabisi kelompok jaksa yang hendak menjatuhkanmu. Sayangnya rencana itu tidak berjalan sempurna. Api lebih dulu menyala, kebakaran terjadi di malam hari. Dokumen-dokumen itu memang habis terbakar, tapi kelompok jaksa lain selamat. Kau tahu situasinya semakin rumit, menggunakan rencana cadangan. Menyewa kontraktor. Serangan di Singapura tadi malam, jika berhasil, tidak hanya membungkam taipan itu, tapi juga pesan kepada kelompok jaksa lain. Jika kau siap menghabisi siapa pun. Taipan yang selama ini memberikan uang ke kelompok jaksa lain itu juga mengetahui siapa kau. "Tapi recanamu telah gagal... Aku bisa menemukanmu, aku tahu sekarang segala omong kosong itu.... Apa katamu di depan wartawan, heh? 'Kami akan memastikan penyelidikan berlangsung
transparan dan akuntabel." Kalian pengecut, hanya bisa mengambinghitamkan tukang bangunan. Mengarang cerita bebas, dan orang-orang percaya...." Jaksa itu tetap diam. "Siapa Kaisar itu, heh?" Jaksa itu menatapku, menggeleng. "Siapa Kaisar yang merekrutmu sejak menjadi staf kejaksaan di luar kota? Menugaskanmu untuk mengurus izin ilegal alih fungsi lahan, heh? Dengan menyuap kepala daerah, pejabat setempat. Hutan itu kalian habisi, kayu-kayunya kalian jual mahal. Lantas kalian ganti dengan perkebunan kelapa sawit. Atau tambang batu bara luas. "Siapa Kaisar yang memberimu perintah, heh! Aku melihat tumpukan dokumen di lantai dua dan lantai
tiga, bukan main, entah berapa juta hektare hutan yang telah kalian kuasai secara ilegal. Entah berapa ratus triliun uang yang kalian hasilkan.... Siapa Kaisar itu?" Jaksa itu tetap menggeleng. "Jawab, atau aku akan menyiksamu habis-habisan, sampai kau memohon lebih baik mati segera." Aku menatap serius—itu sudah kurencanakan. Agar jaksa ini mau bicara. "Percuma saja.... Aku tidak akan menjawabnya. Dan kau.... Kau tidak akan sempat menyiksaku.... Kau terlambat sekali mencegahku bunuh diri." Aku menatap jaksa itu, apa maksudnya? Dia kembali tertawa pelan. "Aku telah bunuh diri sejak kau masuk ke ruangan ini tadi." Dia menatapku, "Dan kali ini kau akan mati bersamaku. Kaisar telah menyiapkan skenario ini sejak Kombes Polisi itu ditemukan bunuh diri. Memotong jaringan, sekaligus menghabisi vigilante yang mengganggu jaringan." Apa maksud jaksa ini, heh? Aku berpikir cepat. Jangan-jangan.... Aku lompat mendekati meja, mengambil laptop yang sejak tadi menyala. Menatap layarnya. Timer. Tersisa 30 detik. Astaga! Bangunan ini telah dilengkapi dengan bom. Setiap dinding dan tiang. Setiap lantai. Itulah teknik bunuh diri yang disiapkan oleh jaksa ini. Bukan racun, atau menembak kepalanya sendiri. Dia memasang bom di bangunan ini, dan dia telah menekan tombol itu, mengaktifkannya. Sekarang tersisa 25 detik.
Jantungku berdetak kencang. Ini serius. Apa yang akan kulakukan? Aku menatap jendela kaca tebal. Lompat kabur dari sana? "Kaca itu sayangnya bahkan tidak bisa dihancurkan oleh senjata mesinmu." Berlari ke lantai bawah? Tidak sempat. Waktunya jelas tidak cukup. 20 detik. Aku menatap sekitar ruangan. Jaksa itu kembali terkekeh. Dia mengangkat tinjunya ke udara, "Hidup Jiwa Korsa! Hidup Kaisar!" Timer tersisa 15 detik. Sekali lagi Jaksa itu berseru, "HIDUP JIWA KORSA! HIDUP KAISAR!" Aku menatap kulkas besar tiga pintu, berlarian ke sana. Membuka pintunya. Mengeluarkan apa pun
yang ada di dalamnya, berserakan di lantai. Lompat masuk ke dalam. Persis di detik terakhir, menutup pintu kulkas. BUM! BUM! BUM! Bom itu meledak satu per satu. Dinding-dinding robek, tiang runtuh, lantai merekah. Meja kerja jaksa itu meledak berkeping-keping bersama pemiliknya. Aku mencengkeram pintu kulkas, menahannya tetap tertutup. Lantai empat jebol. Kulkas itu meluncur deras ke bawah, terbanting ke sana kemari. Aku refleks berteriak. Kulkas menghantam bongkahan dinding, anak tangga, atap rumah, jungkir balik di udara. Kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Melewati lantai demi lantai. Bersama jutaan pecahan benda lainnya.
Bangunan empat lantai, salah satu heritage, warisan bersejarah di kawasan Kota Tua itu runtuh. Disaksikan oleh penduduk lain yang memenuhi jalanan ramai. Sebagian menjerit ketakutan, berlarian menjauh. Sebagian berdiri termangu di atas rooftop restoran. Debu tebal kecokelatan beterbangan menerpa radius ratusan meter di sekitarnya. Mobil-mobil di bahu jalan terenyak. Satu-dua alarmnya aktif mendengking-dengking. Orang-orang di jalanan tiarap. Sejenak, segala aktivitas di Kota Tua itu terhenti. * %k ok
Bertahan Hidup Aku sempat kehilangan kesadaran saat kulkas terbanting di udara, meluncur deras jatuh. Lantas berdebam menghantam lantai bawah. Entah berapa lama. Aku baru terbangun saat telepon genggamku bergetar. Gelap. Tidak ada cahaya di sekitarku, selain cahaya dari layar telepon genggam. Kepalaku terasa pusing. Tapi sepertinya aku baikbaik saja. Kulkas ini berhasil melindungiku dari ledakan bom-bom, juga meredam efek benturan saat bangunan runtuh. Aku menekan tombol.
"Kak Padma! Kak Padma ada di mana?" Nina bahkan lupa kode kami. Dia langsung berseru panik saat telepon tersambung. Aku terbatuk sebentar. "Aku ada di alamat rumah terakhir, Nina." "Astagal Kak Padma masih di sana? Kak Padma terkubur di sana?" Aku menelan ludah. Nina tahu apa yang terjadi? Nina ternyata bukan hanya tahu, dia telah datang ke lokasi, karena panik. Tiga jam lalu, berita itu muncul di televisi, sebuah bangunan runtuh di kawasan Kota Tua. Wartawan meluncur, berebut menjadi orang pertama yang meliput. Nina menonton berita itu di kamar kosan. Menatap cemas, dia tahu itu rumah yang kutuju, dia mencoba menghubungi telepon genggamku, tidak
dijawab—karena aku masih pingsan. Berkali-kali ditelepon, tetap tidak ada jawaban, dia bergegas bersiap, berlarian menuju gang kosan. Menyetop taksi di jalan raya, menuju lokasi. Tiba satu jam lalu. "Aku baik-baik saja, Nina. Aku berhasil berlindung saat bangunan runtuh. Tapi aku tidak tahu cara keluar." Aku menatap layar telepon genggam, dua baris, sinyal masih bisa menembus reruntuhan. Tapi baterai telepon genggamku sekarat, hampir habis. "Apakah Kak Padma bisa menggeser reruntuhan?" Aku menggeleng. tu mustahil. Entah berapa tebal tumpukan potongan, serpihan, bongkahan di atas. Dan berbahaya, salah menggeser, potongan benda di atas runtuh menimpaku. Aku baik-baik saja sejauh ini, karena masih di dalam kulkas. "Di luar ramai sekali, Kak. Polisi-polisi berdatangan. Pemadam kebakaran, mereka sedang bersiap
melakukan evakuasi. Garis polisi dipasang di depan rumah." "Kau ada di mana, Nina?" "Seberang rumah yang runtuh. Di restoran steak." Aku mengembuskan napas. Nina betul-betul mencemaskanku, dia bahkan nekat datang ke lokasi kejadian. Berita dari Nina kabar buruk, cepat atau lambat mereka akan membongkar reruntuhan dengan alat berat. Aku tidak boleh ditemukan oleh polisi-polisi itu, mereka jelas dikendalikan oleh sang Kaisar. Mereka jelas akan mengarang cerita jika runtuhnya bangunan ini disebabkan karena pipa gas meledak, atau apalah, dan wartawan mentahmentah akan menelannya. Wartawan tidak akan melihat mayat kontraktor, apalagi dokumendokumen itu.
Kaisar itu pasti tahu, simpul penting di jaringannya kembali terekspos. Jaksa itu memilih bunuh diri untuk memutus jaringan. Meledakkan rumah bersama orang yang datang menemuinya. Kaisar itu pasti berusaha mencari siapa pun yang ada di bawah puing. Hidup atau mati. Aku berkejaran dengan waktu, aku harus bisa melarikan diri dari lokasi ini sebelum mereka menemukan kulkas ini. Apa yang harus kulakukan? Apa yang Abu Syik akan lakukan? Situasiku terdesak. Aku butuh jalan keluar—dalam artian yang sebenarnya. "Kak Padma masih di sana?" Terdengar lagi suara Nina. "Iya."
"Aku baru saja memeriksa kawasan Kota Tua. Membuka desain arsitektur kawasan ini." Nina sepertinya membawa laptop, dia terus bekerja sambil meneleponku, "Ada jalan keluar, Kak. Lewat saluran—" "Saluran apa, Nina?" Tidak ada jawaban. "Saluran apa, Nina?" Aku berseru sambil melihat layar telepon genggam. Sial, telepon genggamku kehabisan baterai. Telepon Nina terputus. Menyisakan gelap total. * *k Satu menit, aku beranjak keluar dari kulkas itu. Menggeser pintu perlahan-lahan. Aku tidak ingin membuat puing di atas berjatuhan. Terbuka sejengkal, pintu membentur sesuatu di luar. Aku perlahan mencoba mendorongnya lagi, bongkahan yang menghambat gerakan pintu terdorong. Sepertinya batu yang tergeletak di lantai. Aku bisa keluar. Merangkak hati-hati. Menyentuh sekitarku lebih dulu, memeriksa. Mataku tidak bisa melihat, tapi tanganku bisa. Dan kepalaku bisa membayangkan sekitar. Lima menit, aku tahu situasiku. Ada ruang kosong di depan kulkas ini. Cukup untuk duduk jongkok. Sisanya bongkahan besar—sepertinya dinding salah satu kamar, tertahan oleh kulkas, menahan reruntuhan di atasnya. Aku menghela napas. Dari dalam sini tidak terdengar suara apa pun di luar sana. Ingar-bingar petugas, alat berat, tidak terdengar. Senyap.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana aku keluar? "Besok lusa, kau akan menghadapi situasi seperti ini, Padma. Setiap pertempuran selalu ada risiko. Dan saat kau terluka, atau kehilangan bagian tubuhmu, tidak ada yang akan mengajarimu cara mengatasinya. Tapi sepanjang kau tidak panik, berpikir jernih, kau akan tahu solusinya." Aku teringat Abu Syik saat dia menjahit sendiri luka di pahanya. Kalimat itu terngiang di telingaku. Aku tidak terluka, juga tidak kehilangan bagian tubuh, tapi aku terkunci di sini. Situasiku mungkin lebih buruk. Apa yang harus kulakukan? Tetap tenang. Berpikir jernih. Konsentrasi. Nina tadi bilang apa? Saluran? Apa maksudnya? Konsentrasi, mencoba mendengarkan sekitarku.
Sejenak, telingaku seperti mendengar suara air mengalir. Hei, dari mana asal suara itu? Tidak mungkin dari reruntuhan. Pipa-pipa telah hancur lebur. Dari mana? Aku menelan ludah. Saluran air. ltulah yang hendak disampaikan Nina. Kawasan ini adalah Kota Tua. Dulu sekali, boleh jadi ada banyak saluran air yang dibuat oleh penjajah di bagian bawah bangunan, untuk mengendalikan banjir dan tujuan lain. Beberapa saluran itu masih berfungsi. Ada saluran air di bawahku. Aku mengepalkan tinju. Aku tahu cara keluar dari reruntuhan ini. Lewat bawah sana, menembus lantai ini. Kk PTAK! PTAK!
Suara itu terdengar di ruang sempit tempatku jongkok. [tu menit-menit yang terasa panjang. Suara yang keluar setiap kali aku menghantamkan jariku ke lantai. PTAK! PTAK! ltu bukan kayu, itu keramik tebal. Tapi aku pasti bisa menembusnya. PTAK! PTAK! Jariku terasa sakit, tapi aku tidak akan berhenti. Aku adalah padma. Ratu segala bunga. PTAK! PTAK! Lima belas menit, keramik itu mulai retak rambut. Aku bisa merasakannya saat merabanya. Semangatku membara. PTAK! PTAK! Lupakan jariku yang terasa sakit.
PTAK! PTAK! Satu menit, ditusuk berkali-kali, keramik tebal itu merekah. Yes! Aku menggeram. Menyingkirkan pecahan keramik ke samping. Tapi itu masih terlalu dini untuk merayakannya. Masih ada lapisan adonan semen tebal di bawahnya. PTAK! PTAK! Aku terus menusukkan jariku ke bawah. Tidak ada alat yang bisa membantuku, satu-satunya senjataku adalah jariku. PTAK! PTAK! Perlahan-lahan, seperti remah roti, aku bisa mengikis lapisan adonan semen itu.
Setengah jam, PTAK! Lapisan itu merekah. Aku mengembuskan napas pelan, membongkarnya. Itu bongkahan yang besar, ke mana aku meletakkannya? Tidak ada tempat. Aku menoleh ke kulkas, itu bisa jadi tempat menyingkirkan bongkahan. PTAK! PTAK! Dua jam sejak aku mulai melubangi lantai, akhirnya aku berhasil tiba di lapisan tanah. Dua tanganku seperti gila segera meraup tanabh itu, terus membuat lubang. Kulkas semakin penuh oleh tumpukan tanah. Tiga jam, lubang semakin dalam, hampir satu meter. Aku sudah dekat sekali dengan saluran air itu. Saat PTAK! Jariku mengenai lapisan keras berikutnya. Astaga!l Ini pastilah adonan semen yang menutup saluran air. Kabar buruk. Tidak akan mudah menembusnya. Saluran air ini dibuat ratusan tahun lalu, kokoh, bertahan berabad-abad. Aku berhenti sejenak. Menyeka pelipis. Entah pukul berapa sekarang. Mungkin pukul sembilan atau sepuluh malam. Apakah Nina masih di restoran steak itu? Sudah sejauh mana polisi dan petugas di atas sana membongkar reruntuhan? Karena sesekali aku bisa merasakan sekitarku bergetar, debu tipis berguguran di atasku, sepertinya mereka mulai memindahkan tumpukan di atas sana. PTAK! PTAK! Aku kembali melanjutkan melubangi lantai. Jariku semakin sakit. Mengelupas, berdarah. PTAK! PTAK! Tidak peduli. Tetap fokus. PTAK! PTAK!
Beton sialan. Kuat sekali. Tetap tidak retak. PTAK! PTAK! Jari manisku tidak bisa digunakan lagi, terlalu sakit untuk dihantamkan. Tinggal dua jari, telunjuk dan jari tengah. PTAK! PTAK! Dua jam lagi berlalu, saat dua jari itu bergetar sakit, darah menetes, PTAK! Beton keras itu merekah. Yes! Aku mengembuskan napas. Saatnya hantaman terakhir. PTAK! Beton itu akhirnya jebol. Berjatuhan di saluran air bawah sana. Tidak menunggu lagi, tubuhku meluncur turun, mendarat di saluran air. Basah hingga lutut. Bau busuk khas got tercium. Aku tidak peduli. Saluran itu sempit, hanya bisa dilalui dengan merangkak. Tapi itu lebih dari cukup, bahkan jika hanya bisa dilalui dengan merayap, akan aku lakukan. Aku mulai merangkak maju. Sesekali rambutku tersangkut di langit-langit saluran air. Dua puluh meter, bertemu simpangan. Aku mengambil ke kanan. Terus merangkak. Lima puluh meter, cahaya terlihat di ujungnya. Aku menahan napas, di mana aku akan muncul? Apakah ada yang menunggu di ujung sana? Polisi? Aku merangkak perlahan. Lima menit, akhirnya tiba. Lengang. Tidak ada keramaian. Ujung saluran itu bertemu dengan sungai di kawasan Kota Tua, yang tepi-tepinya telah ditembok. Lubang saluran muncul di tembok itu. Aku beringsut keluar dari lubang. Hampir kehabisan tenaga. Terduduk di air sungai yang hitam pekat
dan bau. Menatap sekitarku, barisan ruko-ruko, gedung. Jalan raya yang lengang oleh kendaraan melintas. Tidak ada yang sempat memerhatikan sungai. Itu pukul satu dini hari. Sebagian besar penduduk telah tidur. Melupakan sejenak berita heboh, rumah empat lantai runtuh. Aku mengembuskan napas. Aku berhasil keluar setelah berjuang empat jam lebih. Apa yang akan dikatakan Abu Syik? "Tidak n buruk, Padma." Atau apa yang akan dikatakan monyet itu? Aku tersenyum, menyeringai. Wajah anak laki-laki itu melintas di kepalaku. Entah ada di mana monyet itu sekarang. Dia pasti tertawa melihatku, yang kotor, bau, duduk di sungai yang dipenuhi sampah.
Aku selamat. Tapi urusan ini kembali buntu. Jaksa itu telah bunuh diri. Dia berhasil memotong jaringan yang telah diketahui. Tapi... Aku menyeringai. Enak saja, tidak semudah itu, aku punya sesuatu. Tadi saat keluar dari kulkas, meraba-raba lantai, aku menemukan sesuatu. Flash disk yang sedang tergenggam erat di tanganku. Benda kecil ini boleh jadi penting. &% ok
Tahun Ke-4 Kuliah Lima belas menit terduduk di aliran sungai, setelah tenagaku mulai pulih, aku naik ke atas bantaran sungai. Menuju jalan raya, melambaikan tangan ke taksi yang lewat. Sopir taksi agak takut, ragu-ragu melihat kondisiku. Dia mungkin mengiraku gelandangan, atau malah orang gila. Aku melemparkan uang dari ransel. Meskipun uang itu ikut bau dan basah, tetap saja itu uang, simbol universal yang diterima siapa pun. Tidak perlu kusuruh, taksi itu mengebut menuju kosan. Mungkin sopirnya ingin segera terbebas dari penderitaan membawa penumpang bau got. Tiba di sana pukul satu dini hari. Nina dan Sapti— yang juga ada di sana—berseru tertahan. Nina sudah sejak pukul sepuluh pulang, restoran itu tutup, dan dia tidak bisa berdiri sendirian menatap alat-alat berat bekerja, itu mengundang perhatian. Sapti juga datang sejak Nina tiba. Mereka sejak tadi menunggu di kosan, dengan cemas. Persis melihatku masuk ke kamar kosan, tidak peduli dengan kondisiku yang bau, Nina memelukku eraterat, menangis. Sapti menepuk-nepuk bahuku, ikut senang. "Aku tadi cemas sekali. Telepon genggam Kak Padma tidak bisa dihubungi. Bagaimana.... Bagaimana Kak Padma bisa keluar?" Nina menyeka pipinya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku yang berdarah. Nina dan Sapti menatap jerih. "Aku harus mandi, berganti pakaian, Nina." Nina mengangguk. Melepas pelukannya.
"Sepertinya kau harus mandi yang lama, Padma. Biar baunya hilang." Sapti bergurau. Aku tertawa, melemparkan flash disk ke Nina sebelum beranjak ke kamarku, "Kau bisa memeriksa ini?" Nina menatap flash disk itu, kotor, basah, tapi sepertinya masih bisa dipulihkan, "Lima menit." Nina menjawab. Aku tersenyum, dia selalu bisa diandalkan. *® KE ¥ Apakah flash disk itu berisi informasi yang kuharapkan? Tidak. Aku menghela napas kecewa saat Nina menunjukkan layar komputer. Tapi Nina sebaliknya, dia bersorak. Jaksa itu hati-hati sekali menyimpan informasi di komputer atau laptopnya.
Dia disiplin tidak menyimpan data rahasia secara digital. Kecuali flash disk itu yang selalu dia kantongi. Tapi itu bukan berisi informasi jaringan kelompoknya, melainkan akses. Flash disk itu kunci membuka sesuatu, yang hanya dia yang bisa membukanya. Masukkan flash disk itu ke colokan komputer, masukkan kata sandinya—yang susah payah ditembus oleh Nina, dia ternyata butuh lima jam menaklukkan enkripsinya. Maka kunci itu membuka sesuatu. Aplikasi dijalankan oleh flash disk. Apa isinya? Daftar semua rekening bank luar negeri yang dikelola oleh Jaksa. Tempat dia menyimpan uang hasil bisnis tambang, perkebunan yang menggunakan izin ilegal. Rekening bank itu tersebar di berbagai negara 'surga pajak', yang tidak peduli dari mana uang berasal. Tempat-tempat yang melindungi nasabah perbankan, surga para pengemplang pajak. Sekali flash disk itu
tersambung dengan internet, akses ke bank-bank tersebut diberikan. "Kita super kaya, Kak!" Nina masih bersorak. Sapti menepuk dahi, tidak percaya dengan apa yang dia lihat di layar. Aku mengembuskan napas. Aku menginginkan daftar nama, bukan daftar rekening. "Kita apakan rekening ini, Kak? Tidak ada yang punya akses kecuali kita sekarang. Aku bisa mengirim perintah agar uang ini ditransfer. Kak Sapti dan Kak Padma mau berapa triliun?" "Uang itu bukan milik siapa pun, Nina. Itu uang ilegal." Aku menyergah. Sapti mengangguk—setuju. "Yaaa... terus diapakan? Mubazir, Kak!" Nina kecewa.
Tidak diapa-apakan, biarkan saja di rekeningnya. Seperti uang di dalam minivan, teronggok bisu di dalam gudang. Nina melepas flash disk, mengembalikannya padaku. Kami kembali stuck. Kelompok itu tetap rahasia. Entah siapa pemimpinnya, siapa Kaisar tersebut. * %k *k Minggu-minggu UAS selesai, nilai-nilai semester diumumkan. Sebagian mahasiswa wajahnya cerah setelah melihat nilai IP semester itu, sebagian lagi kusut. Minggu-minggu liburan kembali tiba. Kosan berubah sepi, gang juga sepi. Sebagian besar mahasiswa pulang ke rumah, mudik. Aku dan Nina tidak. Juga Sapti.
"Sebenarnya, apa sih pekerjaan orang tuamu?" Aku bertanya kepada Nina. Kami bertiga sedang duduk menikmati ramen di mall. Mengisi liburan dengan aktivitas lain. Aku sengaja bertanya lebih dulu, sebelum Nina sibuk melihat cowok-cowok di sekitar kami. "Ayahku chief officer kapal pesiar. Dia bisa |." berbulan-bulan di kapa "Ioumu?" "Juga bekerja di kapal pesiar itu, kepala koki pastry. Mereka berdua bertemu dan jatuh cinta di kapal itu. Romantis, bukan? Aku lahir di kapal pesiar, lantas mereka pulang ke kota ini, cuti setahun, kemudian bergantian kerja di kapal. Hingga usiaku SD, aku bisa dititipkan dengan keluarga dekat, mereka kembali berlayar berdua."
Aku mengangguk-angguk. Pantas saja Nina tidak pulang. Orang tuanya entah berlayar ke mana. "Eh, lihat, arah jam dua." Nina telah sibuk meliriklirik. Aku menepuk dahi. Sapti menoleh ke arah jam dua. "Tampan tidak, Kak Sapti?" "Wah, kau benar, tampan." Sapti balas berbisik. "Lihat, Kak Padma." Nina menyuruhku. Tidak mau. Sapti mengangguk. lkut menyuruhku, Tidak mau. "Betulan tampan, Padma." Baiklah, aku menoleh. Mendengus kesal. Hah? Apanya yang tampan? Ini seperti yang dulu,
rombongan bocah dengan pakaian sok fashion, tapi bahkan padu padan warna saja mereka tidak paham. Pakaian serba kebesaran, tidak jelas konsepnya, semua ditumpuk, ditimpa, yang penting ngejreng, beda sendiri. Fashion itu memang seni, ekspresi bebas, tapi tetap saja ada selera yang berkelas, ada yang norak. Nina dan Sapti tertawa terpingkal melihat wajah masamku. Aku melotot ke arah Sapti. Ternyata dia sengaja ikutan mendukung Nina agar aku menoleh tadi. "Kalau arah jam empat, Kak, gimana?" Nina berbisik lagi. "Aduh, bahas yang lain, Nina." Aku berseru ketus. "Okay. Kita bahas yang lain." Nina mengangkat bahu, mengalah.
Nah, begitu. Tidak harus membahas cowok setiap kami jalan-jalan. "Jadi siapa cowok di talang itu, Kak?" Nina mencomot 'topik lain'. Aku mendengus. Itu sih sama saja. "Cowok di talang? Siapa?" Sapti menyambar—dia memang belum tahu. "Siapa lagi? Cowok yang ditaksir oleh Kak Padma. Yang dia berjanji akan menjadi teman satu sama lain selama-lamanya." "What? Hanya teman?" "Awalnya sih teman dulu, Kak Sapti. Nanti baru mesra. Teman hidup gitu, deh. Tapi kasihan, Kak. Entah di mana cowok itu sekarang. Lenyap tidak berbekas, padahal jerawat saja ada bekasnya.
Makanya ada yang sensitif sekali setiap bahas cowok lain. Dikit-dikit ngomel, dikit-dikit—" PLAK! Aku menimpuk Nina dengan bola bakso kecil. Telak, masuk ke dalam mulutnya yang lagi asyik berceloteh. "Aduh!" Nina berseru kaget, gelagapan. Nyaris tertelan baksonya. Sapti tertawa. * Kk ¥ Sebulan kemudian, tahun ajaran baru tiba. Kosan kembali ramai, gang-gang, tempat makan, fotokopian, toko buku bajakan, toko CD/DVD bajakan, kampus dan sebagainya. Aktivitas mahasiswa kembali aktif. Sebulan lebih, selama libur, kami meneruskan kegiatan 'ekstrakurikuler' itu. Sayangnya, tetap buntu. Kasus kebakaran gedung itu telah dilupakan. Juga kasus hilangnya jaksa yang dikenal jujur, lurus. Tidak ada yang tahu. Hasil penyelidikan polisi menyatakan bahwa rumah itu runtuh karena terlalu tua. Titik. Bagaimana dengan ledakan? Wartawan bertanya saat konferensi pers. tu bukan suara ledakan, itu efek suara dari lantai, dinding yang berjatuhan. Apakah ada korban? Wartawan bertanya lagi. Tidak ada. Sama sekali tidak ditemukan korban di bawah reruntuhan bangunan. Satu minggu berita tentang bangunan itu ramai di media, BUM! Terjadi serangan teroris di pusat perbelanjaan, asap mengepul tebal, pengunjung mall berlarian. Sangat dramatis. Polisi sigap memburu teroris, wartawan punya berita yang lebih seru. Orang-orang melupakan kasus bangunan runtuh. Juga kabar jaksa wanita yang tak kunjung pulang. Apa kabar buronan pengemplang uang
negara? Itu jelas lebih tidak penting lagi. Entah ada di mana dia sekarang. Tidak pernah dicari oleh aparat. Stuck. Aku memutuskan melanjutkan aktivitas kuliah seperti biasa. Tahun keempat. Jika merujuk mahasiswa resmi, yang sebagian lulus di tahun keempat, maka ini juga tahun terakhirku. Aku siap lulus dari dua belas fakultas sekaligus. Seharusnya aku punya banyak ijazah, tapi itu tidak penting. Aku semangat kuliah. Seperti pagi ini, berlarian menuju gedung Fakultas Hukum, nyaris terlambat. Menaiki tangga, lompat dua-tiga anak tangga sekaligus. Tiba di kelas persis dosen memulai materi kuliah, aku bergegas duduk di kursi belakang, tanpa suara.
Aku sebenarnya telah mengkhatamkan membaca materi kuliah ini, juga semua buku referensinya, tapi aku tetap tertarik datang. Profesor yang mengampu mata kuliah ini adalah salah satu favoritku, dan diskusi di kelas selalu berjalan seru. Benar saja, setengah jam berlalu, diskusi tentang kasus klasik itu berlangsung hangat. "Aku tetap setuju jika perjanjian utang piutang itu sah." Seorang mahasiswa bicara. "Itu tidak sah." Timpal yang lain. "Sah. Karena secara substansi, uang itu telah dipinjamkan. Terlepas uang itu dari rentenir, pihak yang meminjam telah menerima dan menikmati uangnya. Dia tetap harus mengembalikan." "Bagaimana mungkin perjanjian itu sah?" Balas mahasiswa lain, "Dia meminjam dari rentenir, yang keberadaannya ilegal. Belum lagi tingginya suku
bunga, juga cara-cara mereka menagih, pihak yang meminjamkan bahkan bisa kena pasal pidana." "Tetap sah. Peminjam sudah tahu risikonya sejak awal. Peminjam tahu persis jika dia akan menanggung bunga yang tinggi. Dia juga tahu persis dia akan ditagih dengan kasar, paksa. Dia tahu sejak awal semua situasi itu, dan dia tetap memutuskan meminjam." Yang lain ikut bicara. "Iya, karena dia terdesak. Jadi meminjam ke rentenir." "Aku tidak setuju. Tidak semua peminjam melakukan pinjam ke rentenir karena terdesak." Dosen berdiri di depan kelas menyimak diskusi. Aku yang duduk di belakang juga menyimak. Kasus ini klasik sekali.
Apa hukum saat seseorang meminjam uang pada rentenir? Apakah utang itu tetap harus dilunasi? Bagaimana jika seorang pejabat negara menyatakan, 'Utang ke rentenir tidak perlu dikembalikan."? Diskusi langsung hangat sejak menit pertama. "Saya setuju jika perikatan utang itu bermasalah. Ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi. Tapi masalahnya di sini adalah pejabat negara menyatakan jika utang itu tidak perlu dikembalikan. Maka itu sama saja melegalkan para peminjam untuk mengemplang utang." "Tapi kan rentenir itu ilegal. Itu risiko dia sebagai pihak ilegal. Dengan pernyataan pejabat itu, mereka akan berhenti melakukan usaha meminjamkan uang ke pihak lain." Kelas itu nyaris terbelah dua. Sebagian setuju utang itu ilegal dan tidak perlu dikembalikan, setuju dengan pernyataan pejabat negara. Sebagian lain tidak setuju, utang itu tetap legal, harus
dikembalikan, otomatis menolak pendapat pejabat negara. Mahasiswa berambut tebal yang sejak tadi diam akhirnya mengangkat tangan. "lya, Zaman, apa pendapatmu?" Profesor mengangguk Mahasiswa lain menoleh—sejak tadi mereka juga penasaran dengan pendapat Zaman. "Aku setuju dengan semua pendapat teman-teman tadi. Itu saja." Dia bicara singkat. "Hanya itu?" Profesor memastikan. "Kau jadinya mendukung pendapat siapa, Zaman?" Rekan mahasiswa lain mendesak. "Iya, kau setuju jika utang itu ilegal?" "Atau setuju utang itu legal?"
Mahasiswa itu memperbaiki sejenak posisi duduknya, "Diskusi ini sia-sia, Kawan. Karena masalah kasus ini bukan pada legal atau ilegal. Masalahnya ada di negara. Kenapa negara tidak sejak awal menegakkan hukum dengan benar? Memberantas para rentenir, bukan sebaliknya, dibiarkan hidup di mana-mana. Besok lusa bahkan rentenir bisa meminjamkan uang secara online. "Dan kacaunya, saat negara tidak mampu mengatasinya, impoten, mereka malah menyuruh rakyat tidak membayar utangnya. Mengambil jalan pintas, seolah itu solusi. Itu sebenarnya ironi. Karena hukum adalah tindakan, bukan kata-kata indah." Mahasiswa terdiam. Benar juga. "Saya keberatan, Prof." Salah satu mahasiswa tidak terima, "Pendapat Zaman di luar konteks diskusi."
"Memang di luar konteks. Karena diskusi kita siasia." Zaman segera menimpali, "Kalaupun kita punya kesimpulan atas situasi ini, misal, utang itu memang ilegal, tidak perlu dikembalikan, apakah masalahnya selesai? Tidak. Rentenir itu tidak kapok, tetap punya cara menagih, mencari peminjam berikutnya. Atau kalaupun kita sepakat jika utang itu legal, tetap harus dikembalikan. Apakah peminjamnya akan berhenti? Juga tidak, peminjam tidak kapok, dia tetap meminjam lagi ke rentenir. Lagi, lagi, dan lagi." "Kalau begitu, itu bukan negara yang jadi penyebabnya, Zaman. Itu karena rakyatnya yang susah diatur. Sebagus apa pun hukum, jika rakyatnya begitu, juga tetap sama." Mahasiswa lain mengangguk-angguk setuju dengan rekannya.
pulpennya yang jatuh. "Apakah kau lulus tahun ini, Zaman?" Aku basa-basi bertanya. Kami berdua berjalan keluar dari kelas, menuju anak tangga. "Iya. Semester ini. Skripsiku hampir selesai." "Wah, itu pasti menarik isinya." "Apakah kau juga lulus tahun ini, Padma?" Zaman balik bertanya, "Maksudku, lulus dengan definisi versimu. Karena jangan-jangan kau juga diam-diam
datang di kelas S2 atau S3? Tidak ada ruang kelas yang bisa mencegahmu masuk, bukan?" Aku tertawa pelan, "Mungkin aku ikut lulus tahun ini. Aku mulai bosan soalnya." Kami tiba di lantai bawah gedung. "Bye, Zaman, aku ada kuliah lain." Aku berlari-lari kecil meninggalkannya. "Bye, Padma." * xk
Supermodel Pagi hari kesekian di kosan. Aku melemparkan gelang besi. Tiga, empat, bertumpuk. Keluar, meneriaki Nina di kamar sebelah, "Kau mau titip gado-gado, Nina?" "Iya, Kak. Pedas. Dan traktir." Nina balas berteriak. Aku mengangguk, menyeka sisa keringat di leher. Melintasi teras rumah, ibu kos menyapa, sedang menyapu. Anaknya tambah besar, sudah bisa berlarian. Aku mengangguk sopan. Berjalan di gang. Lima menit tiba di deretan warung. Bi Atun sudah lama berjualan lagi. Bahkan Mang Dedi juga telah keluar penjara sebulan lalu. Sesuai perkiraanku, dia hanya dituntut pasal kelalaian, vonis penjara satu tahun. Karena masa tahanannya
lebih dari itu, dia langsung bebas. Tidak ada proses banding, Mang Dedi menerima hukuman. Bagi rakyat kecil, meskipun mereka tidak tahu apa kesalahannya, mereka memilih segera cepat selesai saja. Melanjutkan hidup. "Pedas, Neng?" Bi Atun bertanya, aku mengangguk. Itu pertanyaan basa-basi, ini hari ke-534 aku selalu membeli sarapan di lapaknya. Terputus hanya ketika Bi Atun tidak jualan. Soal konsistensi makanan sarapan, Nina juara. Tangan Bi Atun sibuk bekerja. Di sebelahnya, Mang Dedi membantu. Lima menit, pesananku jadi, menerima kantong plastik berisi dua bungkusan daun pisang berisi gado-gado. Aku menyerahkan uang. "Tidak usah dikembalikan, Bi." Dan aku bergegas kabur, sebelum Bi Atun drama memanjatkan doa. Ada banyak mahasiswa lain yang antre di sana. Itu lebih penting diurus. UTS telah lewat, semester itu segera berakhir, tanpa terasa. Aktivitasku masih sama, kuliah dan 'ekstrakurikuler' itu. Kuliah berjalan lancar, tapi penyelidikan kelompok penguasa bisnis gelap itu tersendat. Sejauh ini tidak ada petunjuk apa pun. Sepertinya kejadian rumah runtuh itu membuat mereka lebih hati-hati. Aku tahu, Kaisar itu pasti mendapatkan laporan tentang kulkas berisi tanah dan bongkahan beton. Juga lubang menuju saluran air. Dia tahu vigilante yang mengganggu bisnisnya berhasil lolos, selamat dari ledakan bom.
Nina terus berusaha mengumpulkan informasi. Aku juga terus menyimak berita, menemukan detail yang mungkin luput dari perhatianku. Juga Sapti, dia sering datang ke kosan Nina, ikut berdiskusi. "Ini semakin menarik." Itu komentar Sapti, di hari berikutnya. Saat kami bertiga berkumpul di kamar Nina, menatap kertas cokelat besar di dinding. Semakin banyak benang merah di kertas itu. Titiktitik baru. Karena sejak jaksa itu bunuh diri, aku meminta Nina mengumpulkan semua informasi tentang jaksa itu. Menyelidiknya mundur ke belakang. Kapan dia mulai bekerja, di kantor mana, siapa atasannya pertama kali. Juga promosi, pindah ke mana, siapa atasan barunya. Saat disambungkan informasi itu dengan pejabat kepolisian, beberapa titik benang merah itu membentuk pola menarik. Jaksa yang bunuh diri itu misalnya, ternyata pernah bertugas satu kota dengan Kombes Polisi. Juga ada atasan dari Kombes Polisi, pernah bertugas satu kota dengan jaksa tersebut. "Aku yakin orang ini adalah anggota kelompok." Aku menunjuk sebuah foto, seorang jenderal polisi bintang satu. Namanya dua kali bertemu dengan benang merah Kombes Polisi dan Jaksa, sebelum dia menjadi jenderal. Kariernya melesat cepat. "Benar, posisinya sangat mencurigakan. Tapi tanpa bukti, atau petunjuk, kau tidak bisa mendatanginya, lantas menuduhnya, Padma." Sapti mengingatkan. Aku mengembuskan napas. ltulah masalah kami. Tidak ada petunjuk. Aku memang seorang vigilante, tapi aku tidak bisa tiba-tiba mendatangi jenderal ini, memaksanya bicara. Tanpa pemicu, dia akan menolak bicara, dan tidak akan panik bunuh diri. Hanya menganggapnya tuduhan kosong.
"Apa yang kita lakukan sekarang, Kak Padma?" "Apalagi? Terus berusaha, Nina." Aku menjawab cepat. "Kau bisa menambahkan jaringan para hakim, Nina?" Sapti usul, "Siapa saja hakim yang bertugas saat Kombes Polisi dan Jaksa itu bekerja di tempat sebelumnya. Juga pejabat daerah, tentara, tokohtokoh lain. Meskipun ini hanya hipotesis, atau lebih mirip 'tuduhan', setidaknya kita terus berusaha." "Siap, Kak Sapti." Aku mengangguk, setuju dengan Sapti. Peta jaringan ini semakin meyakinkan. Hanya soal waktu, besok lusa, saat satu nama tersingkap lagi, aku bisa membongkar seluruh bisnis gelap yang mereka kuasai. Di mana pun Kaisar itu, siapa pun dia, aku akan menemukannya.
Minggu-minggu UAS tiba. Wajah kusut mahasiswa kembali bermunculan. Fotokopian kembali ramai, kisi-kisi ujian, atau soalsoal tahun lalu menjadi pegangan wajib mahasiswa. Tahun-tahun itu, telepon genggam semakin canggih. Layar sentuh bermunculan, juga kamera dengan kemampuan megapixels. tu berarti, mahasiswa yang malas mencatat, atau malas menunggu antrean fotokopian, dia cukup jepret, jepret memfoto materi ujian. Pagi hari kesekian di kosan. Cahaya matahari menyiram lembut halaman. Aku melemparkan gelang besi, membiarkannya berantakan. Mengganti kausku yang basah kuyup, lantas beranjak memasuki kamar sebelah.
"Kau tidak ada UAS hari ini, Nina?" "Ada." Aku menatap Nina yang santai, "Kenapa kau malah sibuk bermain komputer?" Nina tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Aku menyeringai, "Kau mau titip gado-gado?" "Ilya, Kak. Pedas. Dan traktir." Aku mengangguk, menyeka sisa keringat di leher. [tu seperti kaset yang diputar berulang-ulang. Sebenarnya aku tidak perlu bertanya lagi Nina mau sarapan apa. Aku meninggalkan Nina dan komputernya. Melintasi teras kosan, ibu kos sedang menemani anak bungsunya. Aku basa-basi menyapa. Berjalan di gang. Lima menit, tiba di barisan warung kecil.
Ya ampun, alangkah panjang antrean Bi Atun. Baiklah, aku akan menunggu dengan sabar. Sambil melihat sekitar. "Bu, Mang Agus tidak jualan?" Aku bertanya ke penjual nasi uduk di dekatku, mengisi waktu antre. Sambil melihat lapak paling ujung, tempat penjual jus dan es buah, yang kosong, "Dia sakit atau memang libur?" "Oh, Mang Agus berhenti jualan, Neng." "Oh ya? Kenapa?" "Anaknya kan jadi polisi, Neng. Terima gaji tiap bulan, jadi dia tidak perlu jualan lagi... Lagian, kasihan, Mang Agus itu kan sudah tua, sering sakitsakitan sejak istrinya meninggal sepuluh tahun lalu, masa' disuruh kerja terus. Syukurlah anaknya sudah
sukses, bisa bantu-bantu membiayai keluarga dan adik-adiknya sekolah." Aku mengangguk-angguk. Aku ingat, setahun lalu anak sulung Mang Agus memang diterima masuk polisi. Baguslah, dia bisa menjadi tulang punggung keluarganya. Lima belas menit, tiba di depan Bi Atun. Pesanan seperti biasa. Bi Atun dan Mang Dedi gesit menyiapkannya. * kk Setelah minggu-minggu UAS, libur semester tiba. Nilai-nilai telah diumumkan. Akhir semester itu, aku kehilangan dua teman kuliah. Thomas, mahasiswa Fakultas Ekonomi itu, dia telah lulus. Juga Zaman, mahasiswa Fakultas Hukum.
Menyenangkan melihat mereka akhirnya selesai kuliah. Sepertinya aku akan kehilangan selera hadir di kuliah dua fakultas itu. Tidak ada lagi tontonan seru melihat mereka berdebat dengan mahasiswa lain. Tapi tidak masalah, aku sebenarnya juga mulai memikirkan serius, kapan aku akan berhenti kuliah. "Apa yang akan kau lakukan setelah lulus, Padma? Maksudku, kau tidak akan terus-menerus menjadi mahasiswa gadungan, kan?" Itu juga pertanyaan Sapti. Saat kami berkumpul makan-makan di mall, mengisi libur semester. "Belum tahu." Aku menjawab singkat. Mungkin aku akan tetap tinggal di kosan, banyak mahasiswa lain yang telah lulus juga tetap tinggal di sana. Aku juga masih punya teman di kosan, Nina masih setahun lagi—asumsi jika dia mau menamatkan kuliahnya.
profesi vang langka. Menegakkan kebenaran dan keadilan, mengungkap kejahatan. Aku memainkan sendok sejenak. tu mulai berlebihan. Lama-lama aku mirip Sapti. "Alangkah banyaknya kau makan, Nina?" Sapti menatap piring di depan Nina. Baru saja dia memesan makanan lagi. "Aku masih lapar." Nina menjawab pendek. "Badanmu itu tambah melar setahun terakhir, Nina. Orang-orang itu tumbuh ke atas, kau malah ke samping. Percuma kau hanya sarapan gado-gado kalau makan malamnya seperti kesurupan." Nina melotot, "Body shaming." "Heh, aku teman baikmu. Obesitas itu penyakit. Aku bilang itu karena aku peduli, bukan sedang mengolok-olok tubuhmu." Sapti menepuk dahi pelan. Makan malam terus berlanjut, hingga piring-piring kosong, pelayan membereskannya. Pukul sembilan malam, kami beranjak pulang. Menunggu taksi di halte depan mall. Ada kejadian kecil di sana. Halte itu mulai lengang. Satu-dua orang berdiri di dekat kami. Jalanan lengang, sesekali kendaraan melintas. Lampu halte menyinari sekitar, terang. Saat aku hendak melambaikan tangan, menyetop taksi di kejauhan, sebuah motor melaju cepat. Dua orang. Satu mengemudi, satu duduk di belakang. Tangan yang duduk di belakang terjulur hendak menyambar tas kecil yang aku bawa.
"JAMBRET!!" Teriak salah satu orang yang menyaksikan kejadian. Nina juga refleks ikut berseru. Kaget. Aku tidak. Aku tetap tenang, memegang tasku. Tanganku terentak sejenak, tas yang kupegang sempat ditarik, tapi jemariku kokoh memeganginya. Yang menarik tasku kalah tenaga. BRAK! Jambret itu terbanting jatuh dari motornya. BRAK! Motor itu menyusul menabrak trotoar. BRAK! Pengemudinya terkapar di sana. Aku menatap mereka, masih memegang tasku dengan baik. Santai. Aku tidak memedulikan dua penjambret yang berdarah, tanganku yang lain masih melambai ke taksi yang mendekat. Taksi itu berhenti. Aku naik. "Ayo, Nina." Aku berseru.
Nina masih menatap dua penjambret. Juga motor mereka yang ringsek. "Nina!" Sapti ikut berseru. Nina bergegas naik ke dalam taksi. Taksi mulai melaju, meninggalkan keramaian di halte. Beberapa pejalan kaki berkerumun, menonton penjambret yang malang. "Kasihan sekali penjambret itu, Kak. Berdarah." Nina menoleh ke belakang. "Kau harusnya kasihan denganku, Nina." Aku menimpali. "Apanya yang perlu dikasihani? Penjambret itu harusnya membawa tank, baru dia bisa merebut tas Kak Padma." Nina berseloroh. Sapti tertawa.
"Ini sedikit menyebalkan. Aku sudah dua kali mengalami kejadian ini." Aku bicara. "Dua kali, Kak? Sebelumnya pernah?" "Iya, pernah ada dua orang yang mencoba memalakku di dekat stasiun kereta.... Kenapa sih orang-orang ini, memangnya mereka tidak bisa memilih korban lain?" "Itu karena tampilanmu, Padma." Sapti bicara. Tampilanku? Memangnya tampilanku mengundang penjambret? "Kau itu tinggi, cantik, dengan selera pakaian yang baik, Padma. Kau mungkin tidak menyadarinya, saat berada di gang, jalan, atau halte tadi, kau itu terlihat seperti supermodel, loh." Wajahku sedikit merah. Senang dipuji oleh Sapti.
"Makanya tukang jambret atau tukang palak memilihmu. Terlihat seperti sasaran empuk. Punya uang. Mereka tidak akan memilih Nina yang pendek, gendut, keriting. Miskin pula." Sapti sengaja jahil menggoda Nina di sebelahnya. "Memang. Apalagi memilih Kak Sapti. Orang-orang itu kalau lihat Kak Sapti lewat, kurus, tinggi, pakai topi, menunduk-nunduk, malah menyangkanya Kak Sapti yang tukang jambret atau tukang palaknya." Nina membalas sakit hati. "Tidak sopan." Sapti melotot. "Benar, kan?" Nina tidak peduli. Kami bertiga tertawa di kursi belakang taksi. Membiarkan sopirnya bingung memerhatikan sejak tadi. * %k k
Polisi Muda Itu Semester baru tiba. Berjalan dengan cepat, tidak terasa. Aku sekarang lebih banyak menghadiri kuliah Fakultas Sastra. Memperlancar bahasa asingku. Beberapa bahasa sekaligus. Rusia, Jepang, China, Arab, tidak terbayangkan aku akan antusias mempelajarinya. Dulu bahasa yang aku kuasai hanyalah bahasa yang digunakan penduduk talang. Semester delapan, tahun terakhirku. Hari kesekian tiba di kosan. Aku melemparkan gelang besi. Pakaianku basah kuyup. Latihan pagi ini berjalan menyenangkan. Aku berhasil mengejar KRL itu hingga stasiun kedua. Nina ada di luar kamarnya, melemaskan tubuh.
"Kira-kira kalau Kak Padma ikut Olimpiade, bisa menang emas tidak?" Dia bertanya, nyengir. "Mungkin." Aku ikut nyengir. "Kalau begitu, Kak Padma ikut saja. Lari seratus meter putri, dua ratus meter, empat ratus meter, delapan ratus meter—" "Heh!" Aku memotong. Nina tertawa, "Bahkan Kak Padma juga bisa ikut lari seratus meter putra, dua ratus meter—" "Heh." Aku melotot. Sambil masuk kamar, berganti pakaian, lantas keluar lagi. "Titip sarapan, Kak." Nina berseru melihatku menuju pintu pagar kosan. "Tidak mau." "Aduh?" Nina mengangkat tangannya.
"Sapti benar, kau harus banyak-banyak olahraga, Nina. lkut aku ke ujung gang. Tidak cukup dengan menari-nari tidak jelas di depan kamar. Itu bukan olahraga." Aku berseru. "Aduh, kenapa Kak Padma jadi ikut menyebalkan?" "Ayo!" Aku menunggu di halaman kosan. Nina mengalah, dia berjalan mendekatiku, sambil memperbaiki kacamata tebalnya. Kami sempat menyapa ibu kos yang sedang menyapu bersama anak bungsunya. Tiba di deretan warung kecil lima menit kemudian. Masuk antrean. Lima belas menit—saat Nina mulai mengeluh terlalu lama berdiri, giliran kami tiba. "Biasa, Neng?" Bi Atun bertanya. "Satu, pedas." "Eh, bukannya biasanya dua?"
"Buat saya, Bi, satu lagi. Pedas." Nina ikut bicara. Bi Atun mengangguk-angguk. Tangannya segera gesit bekerja. "Mang Dedi tidak ikut bantu, Bi?" Aku bertanya, mengisi waktu menunggu. "Mang Dedi dapat pekerjaan, Neng." "Bukan renovasi kantor pejabat, kan?" Nina yang bertanya, kepalanya melongok ke depan. "Bukan, Neng. Yang ini aman." Bi Atun menggeleng. Mang Dedi sejak keluar dari penjara, hampir enam bulan tidak berani mengambil pekerjaan tukang bangunan, masih trauma. Syukurlah dia mau bekerja lagi. Semoga kali ini lancar. "Memangnya kerja di mana, Bi?" "Mang Agus. Dia lagi bangun rumah."
Dahiku sedikit terlipat, "Bangun rumah di kampungnya?" "Bukan, Neng. Di tanah kosong dekat sini, yang di belakang sekolahan. Sudah dibeli tanahnya, kontan." Aku terdiam. Aku tahu lokasi tanah itu, luasnya lebih dari lima ratus meter. Dari mana Mang Agus dapat uangnya? "Anaknya yang bangun rumah, Neng. Yang jadi polisi." Instingku mulai berdenting. Ini ganjil. Dari mana anak Mang Agus punya uang untuk membeli tanah, lantas membangun rumah di sana? Sebesar apa gaji polisi? Nina menyikutku. Aku menoleh.
"Sudah selesai gado-gadonya, Kak." Nina memberi tahu, dia yang menerima kantong plastik yang dijulurkan Bi Atun. Aku mengangguk, segera menyerahkan uang kepada Bi Atun. % % *k Siangnya, sepulang kuliah, aku memutuskan melihat tanah kosong di belakang sekolahan. ltu tidak jauh dari kosan. Bi Atun benar, tanah lapang itu sedang dibangun. Ada delapan tukang bangunan, sibuk bekerja. Mulai menyiapkan pondasi bangunan. Mang Dedi salah satunya. Aku melihat Mang Agus berdiri di bawah pohon mangga, mengawasi pembangunan. Juga ada anak keduanya, yang SMA kelas satu. Aku memutuskan
mendekat. Mereka menoleh saat mendengar langkah kakiku. "Siang, Mang Agus." Aku menyapa sopan. "Eh, Neng. Siang." "Ternyata Mang Agus betulan bangun rumah." Aku basa-basi memulai percakapan. "Bukan rumahku, Neng. Rumah si sulung." "Mang Agus pasti bangga." Aku basa-basi memuji. "lya, Neng. Si Sulung kerja keras. Nabung selama setahun, akhirnya bisa bangun rumah." Aku mengangguk-angguk, menoleh ke anak kedua Mang Agus, sejak tadi bermain telepon genggam di samping kami. ltu jenis telepon genggam paling canggih tahun-tahun itu, layar sentuhnya besar, dengan kamera terbaik di kelasnya.
"Bagus telepon genggamnya?" Aku lagi-lagi basabasi memuiji. Anak Mang Agus nomor dua tersipu, mengangguk, "lya, Kak. Dibelikan Aa." "Si sulung teh bageur pisan, Neng. Adik-adiknya dibelikan barang bagus-bagus. Bapak bersyukur banget." Aku mengangguk-angguk—demi sopan santun. Tapi di kepalaku, banyak sekali pertanyaan, teori-teori. Dugaan. Dan itu cukup untuk membuatku khawatir. * kk Malam harinya, di kamar Nina. Kami bertiga rapat darurat. "Itu mustahil. Dengan gaji seorang jenderal pun, tidak ada rumusnya dia bisa membangun rumah di lahan seluas itu hanya dengan menabung setahun Untuk membeli telepon genggam seperti itu saja boleh jadi tidak cukup." "Atau boleh jadi dia menang undian atau menemukan tumpukan uang, Kak Padma." Aku menatap Nina. Ini serius, bukan waktunya bergurau. Sapti menghela napas, "Aku setuju, Padma. Anak Mang Agus terlibat di kelompok itu. Tapi bagaimana kita membuktikannya?" ltu yang sedikit rumit. Tidak mungkin aku menginterogasi langsung. "Siapa nama anaknya Mang Agus? Biar aku cari di internet." Nina menawarkan solusi. Benar juga. Aku mengangguk. Lantas terdiam, aku lupa bertanya nama anak sulung Mang Agus. Nina
tidak bisa mencari informasi jika tidak ada namanya. "Aku akan bertanya besok ke Bi Atun. Boleh jadi dia tahu." Nina mengangguk. Lengang sejenak kamar Nina. Aku menatap kertas cokelat besar di dinding. "Ini menyedihkan.... Kelompok itu, mereka pasti menyiapkan anggotanya sejak awal. Semakin dini berhasil direkrut, semakin loyal kepada kelompok. Anak Mang Agus cocok sekali. Dari keluarga serba kekurangan. Dijanjikan uang mudah, segala mudah." Sapti ikut menatap kertas itu. Aku mengangguk. Inilah ironinya. Mang Agus mungkin bangga sekali melihat anaknya, tanpa menyadari jika anaknya bagian dari sesuatu yang
sangat jahat. Bertahun-tahun, kelompok ini beroperasi tanpa ketahuan siapa pun, entah sudah berapa dalam virus yang mereka sebar. Seberapa rusak para aparat penegak hukum, hingga polisi muda seperti anak Mang Agus, bisa memiliki kekayaan seperti itu. Lengang lagi sejenak kamar Nina. "Kita pasti bisa membongkarnya, Padma... Tepatnya, kau yang akan membongkar jaringan ini. Kau adalah padma." Sapti menepuk bahuku, memberi semangat. & kk Kabar buruk. Esok pagi-pagi, setelah latihan lari, saat aku dan Nina menuju deretan warung kecil di ujung gang itu, kabar buruk itu datang tiba-tiba.
Aku menatap tetangga.
"Tadi malam ramai sekali polisi datang," timpal tetangga lain. Aku menatap sekitar, bahkan sepagi ini, polisi masih terlihat di mana-mana. Ini sangat mengherankan. Bukankah putra sulung Mang Agus itu hanya level Tamtama, pangkatnya ada di baris terbawah? Lihat, bahkan perwira menengah terlihat di sini. Apa urusan mereka datang? "Iltu teh kenapa anaknya Mang Agus bisa meninggal?" tanya tetangga lain. "Katanya terjadi tembak-menembak di kantor polisi. Anaknya Mang Agus sedang menginterogasi penjahat. Tiba-tiba penjahat itu merebut pistol, menembak anaknya Mang Agus. Polisi lain langsung balas menembak, penjahat itu mati. Tapi anaknya Mang Agus juga mati."
tidak ada yang bermain telepon genggam.
Ada Bi Atun dan Mang Dedi yang juga duduk di ruang depan. "Turut berduka cita, Mang Agus." Aku menyalami tuan rumah. Mang Agus hanya mengangguk lemah. Foto putra Mang Agus berseragam polisi, dengan nama lengkap, diletakkan di atas meja. Aku sempat tinggal sejenak di sana—seperti pelayat lain. Mendoakan, mengobrol, atau sekadar basabasi dengan yang lain. Bi Atun melambaikan tangan, menyuruhku duduk di dekatnya. Itu memang yang kurencanakan. "Takdir memang tidak bisa ditebak, Neng." Bi Atun menghela napas pelan, setelah aku duduk di sebelahnya. "Iya, Bi." Aku mengangguk.
Diam sejenak. "Anaknya Mang Agus kerja di bagian apa, Bi?" Aku bertanya. "Bibi kurang tahu, tapi katanya ajudan pejabat polisi." Aku terdiam. Ajudan? Kenapa ikut menginterogasi penjahat? "Tadi pagi sempat ada ramai-ramai di dalam, ada apa, Bi?" "Oh itu, Mang Agus minta tolong untuk melihat jenazah anaknya sebentar. Polisi menolaknya, bilang tidak enak dilihat, banyak bekas Iluka tembakan. Sempat ramai memang. Akhirnya dibuka. Tapi mau bagaimanalah, anaknya sudah meninggal. Ditutup lagi, dibawa ke pemakaman." "Bibi lihat jenazahnya?"
"Tidak boleh. Hanya Mang Agus dan anak-anaknya yang lihat. Tadi sepertinya anak Mang Agus yang nomor dua sempat memfoto." "Oh ya?" Mataku membesar. ltu informasi menarik. Aku sempat mengobrol lima-enam menit lagi dengan Bi Atun, tetangga terus berdatangan ikut melayat. Aku izin beranjak ke dalam, hendak menemui anak Mang Agus yang nomor dua, dia duduk di pojokan, aku mendekatinya. "Tadi Teteh sempat foto jenazah Aa?" Anak SMA itu mengangguk. "Bisa aku lihat sebentar foto-fotonya?" "Telepon genggamnya diambil polisi, Kak." Heh? Aku terdiam. "Katanya buat penyelidikan. Atau apa. Semua telepon genggam diambil polisi, termasuk punya
Aa." Wajah anak Mang Agus nomor dua itu terlihat sedih. Aku mengembuskan napas. Pantas saja tidak ada yang bermain telepon genggam sejak tadi. Tapi untuk apa benda itu disita? Semakin banyak yang mencurigakan. Lima menit lagi, aku izin pamit kepada Mang Agus, yang hanya menatap kosong. * kk
Seniman Brilian "Terlalu banyak yang mencurigakan." Itu komentar Sapti, saat kami bertemu lagi sore itu. Rapat darurat yang kesekian. "Polisi mati saat bertugas itu biasa terjadi. Di negara kita hampir tiap bulan ada. Di negara lain, setiap minggu ada polisi yang mati, bahkan setiap hari ada yang mati. Ditembak penjahat, ditabrak, dikeroyok, atau bentrokan dengan sesama polisi. Berangkat kerja masih segar bugar, pulang di dalam peti mayat. ltu risiko setiap polisi. Tapi yang satu ini, mencurigakan. Tidak wajar." Aku ikut mengangguk. "Telepon genggam diambil, jenazah tidak boleh dilihat, polisi yang berjaga-jaga, mereka sepertinya berusaha menutupi sesuatu. Atau minimal, mereka mencegah berita kematian ini tersebar." Aku mengangguk lagi. Sapti benar, nyaris tidak ada wartawan yang memberitakan kejadian ini. Hanya dianggap kematian biasa. Tahun-tahun itu, pengguna media sosial masih terbatas, masyarakat bahkan belum mengenal istilah viral. "Simsalabim!" Nina yang sejak tadi sibuk di depan komputer tiba-tiba berseru. "Berhasil?" Aku menoleh, bertanya. "Tentu saja." Nina menunjuk layar komputer. Tadi dia mencari informasi tentang anak Mang Agus, dengan nama yang kuberikan. Dia meretas jaringan, mencari tahu posisinya sebagai apa. "Jika melihat informasi ini, dia memang ajudan."
"Ajudan siapa?" Aku mendesak. "Jenderal bintang satu itu." Aku terdiam. Juga Sapti. Ini adalah momen yang aku tunggu-tunggu selama ini. Aku menoleh, menatap kertas besar di dinding. Nama jenderal ini, berkali-kali muncul di jaringan. Bertemu dengan benang merah Kombes Polisi, juga Jaksa. Sejak lama aku mencurigainya. Dan anak Mang Agus yang tewas ditembak adalah ajudannya. [tu bukan kebetulan. "Jangan-jangan, anak Mang Agus dibunuh oleh mereka." Sapti bicara setelah lengang sejenak. Aku masih menatap kertas besar itu. Ada banyak catatan di dekat foto jenderal itu. Bisnis gelap yang kemungkinan besar terkait dengannya. Riset kami tentang jaringan ini sudah sangat detail. Hipotesis
kami tidak akan meleset. Hanya soal membuktikannya. Dan kejadian ini, bisa jadi pemicunya. "Tapi jika anak Mang Agus terlibat dalam kelompok itu, dikader sejak awal, kenapa dia dibunuh?" Nina bertanya. "Banyak kemungkinannya, Nina. Anak Mang Agus melakukan kesalahan, atasannya marah. Atau dia tidak bisa dikendalikan, membahayakan kelompok, lagi-lagi atasannya marah. Skenario tembakmenembak di kantor polisi itu bohong." Nina mengangguk-angguk. "Atau kemungkinan lain, dia mendadak berubah pikiran." "Berubah pikiran bagaimana, Kak Sapti?"
"Anak Mang Agus masih muda sekali, labil. Meskipun dia jahat, dia tetap punya nurani. Biasanya semakin jahat seseorang, semakin gelap hatinya, semakin kecil nurani yang tersisa. Tapi anak Mang Agus, dia baru setahun bergabung. Mungkin saat melihat adik-adiknya, atau saat bertemu teman-temannya, atau saat teringat L." ibunya yang telah meninggal, nurani itu muncu Sapti menjelaskan. "Anak Mang Agus memutuskan bicara, jujur. Atasannya tahu, dia dihabisi di tempat. Dibuat cerita jika terjadi tembak-menembak di kantor polisi. Penjahat yang sedang diinterogasi merebut pistol. Padahal boleh jadi, dia dihabisi oleh polisi lain atas perintah atasannya. Sayangnya anak itu telah mati. Kita tidak bisa bertanya ke orang yang telah mati. Orang mati tidak bisa membela diri."
Sapti mengusap wajahnya. "lika orang mati tidak bisa ditanya lagi, aku bisa bertanya ke orang yang masih hidup." Aku akhirnya ikut bicara. Sapti menatapku, "Kau akan mendatangi jenderal bintang satu itu, Padma?" "Iya. Kita punya petunjuk." Aku menjawab tegas. Yes! Nina mengepalkan tinju. Ini mulai seru. "Kita memang punya petunjuk, Padma. Kematian ajudannya bisa jadi bahan konfrontasi, itu bisa dilakukan. Tapi itu sangat berbahaya." Sapti mengingatkan, "Dengan kematian ajudannya, mereka siaga satu. Waspada penuh. Tidak mudah menemui jenderal itu. Keamanannya berlapis. Rumahnya dijaga. Bagaimana kau akan menemuinya?"
"Aku akan menemuinya di kantornya. Malam ini." "Kantor polisi?" Sapti memastikan tidak salah dengar. "Iya, di mana lagi, Sapti? Aku akan mendatangi markas besar polisi itu. Mengetuk pintu ruangannya. Masuk, memaksanya bicara." "Aduh. Tempat itu berbahaya, Kak Padma." Nina memotong, wajahnya cemas. "Justru itu, Nina. Karena berbahaya, mereka tidak akan menduganya aku datang. Tempat paling berbahaya, boleh jadi tempat yang paling aman. Aku bisa pura-pura menjadi wartawan, hendak melakukan wawancara atau apalah. Polisi itu tidak akan curiga, mereka akan membukakan pintu." "Tapi wajah Kak Padma akan diketahui."
selubung peralatan di atas meja. "Waaah!" Nina berseru takjub. Mataku juga membesar.
Itu adalah printer 3D yang sangat canggih. "Dari mana kau mendapatkannya?" Aku bertanya heran. "Seseorang mengirimkannya dari Eropa. Hadiah. Tidak sekarang, besok-besok aku jelaskan." Sapti segera bekerja, dia duduk di depan komputernya. Klik klik, membuka fotoku yang digunakan untuk membuat paspor aspal. "Kau mau wajah seperti apa?" Aku menatapnya, belum mengerti apa yang akan dia lakukan. "Baiklah. Terserah aku saja." Sapti menyeringai. Klik klik. Dia mulai mempermak gambar wajahku di layar komputer. Memancungkan hidung, meniruskan pipi, menebalkan bibir, kursor bergerak lincah. Aku dan Nina menonton.
Lima menit, wajah itu sama sekali tidak aku kenali lagi. Sapti menekan tombol klik, mengirim perintah 'cetak'. Printer 3D di atas meja pojokan mendesing pelan. Sedetik kemudian, mulai mencetak sehelai wajah dari bahan lateks. Dahi, mata, hidung, perlahan terbentuk di printer 3D itu. "Wooow." Mulut Nina terbuka, "Ini seperti di filmfilm aksi." Sapti tertawa. Aku akhirnya tahu apa yang dilakukan Sapti. Dia membuat samaran untukku. Wajah baru. Printer 3D itu terus bekerja, mulut, hidung, dagu, hingga wajah itu sempurna dicetak. "Duduk, Padma." Sapti menunjuk kursi satunya.
Aku pindah ke sana. Kursi itu bisa dibaringkan. Sapti dengan hati-hati mengambil helai lateks dari printer 3D. Membawanya mendekatiku. "Kau siap?" Aku mengangguk. Sapti memasang helai lateks itu di atas wajahku. Sisi dalamnya persis sama, karena memang dipermak dari gambarku sebelumnya, tapi lapisan luar lateks itu berbeda. Lateks itu terasa dingin. Kenyal. Sedikit berair. Tapi aku segera terbiasa, helai lateks itu menempel erat, mulai mengering. "Ambilkan kotak itu, Nina." Sapti berseru. "Siap, Charlie Tiga." Nina berlarian mengambil kotak besar di dekat printer 3D. Sapti belum selesai, masih ada satu tahap lagi yang jauh lebih penting, membuat helai lateks itu benar-
benar seperti wajah manusia. Dan itulah keahlian miliknya. Sapti adalah seniman. Dia tidak hanya bisa meniru dokumen resmi apa pun. Dia juga bisa meniru wajah siapa pun. Tangannya segera bekerja. Mengambil peralatan 'makeup' dari dalam kotak. Konsentrasi penuh, menyulap wajah baruku. Nyaris satu jam dia bekerja tanpa henti. Hingga wajah baru itu selesai. Semua detail telah dikerjakan, termasuk bulu-bulu halus, kerutan, lubang pori-pori super kecil. Dan saat Sapti meletakkan peralatan kerjanya, menyuruhku bangun, duduk. Karya seni itu telah selesai. "Astagal" Nina berseru. Menatap wajahku. "Ambilkan cermin, Nina." n "Siap, Charlie Tiga." Nina berlari lagi mengambil cermin di atas meja, menyerahkannya.
Aku termangu menatap wajahku di cermin. tu bukan wajahku lagi. Itu wajah seorang pembawa berita terkenal, yang sering muncul dalam wawancara di televisi. "Ini menakjubkan, Sapti." Aku memujinya. Sapti tertawa lebar, "Aku tahu." "Dari mana Kak Sapti belajar membuat samaran seperti ini?" Nina bertanya. "Suster di panti asuhan. Dia mengajariku. Dia jago sekali. Bahkan tanpa mesin cetak 3D... dia pernah menyulap wajahnya menjadi wajah seorang penyanyi ternama, datang ke panti asuhan. Untuk merayakan ulang tahun seorang anak panti yang menderita kanker. Anak itu senang sekali bertemu dengan idolanya. Anak itu dua minggu kemudian meninggal, dengan bahagia."
"Apakah wajahku juga bisa diubah, Kak Sapti? Lebih cantik?" "Bisa." Sapti menatap Nina jahil. "Sungguh? Jerawatnya, bercak-bercak hitamnya? Bisa dibuat mulus?" "Bisa. Tapi sebaiknya tidak usah, Nina. " "Kenapa tidak usah?" "Karena nanti jadi aneh, Nina. Atasnya cantik, bawahnya melebar ke mana-mana." "Heh, dasar tukang jambret. Tidak lucu!" Nina melotot. Aku tertawa—sambil menatap wajahku yang tertawa di cermin. Wajah samaran ini... Seperti bukan aku yang sedang tertawa. * kk
Kantor Polisi Dengan wajah 'baru', rencanaku berjalan mulus. Pukul lima sore aku berangkat dari ruko dempet itu, naik taksi. Sopir menyapaku, lantas sibuk mengajak bicara, membahas semua isu sosial, ekonomi, politik terkini—dia mengenaliku sebagai pesohor. Aku menjawab pendek, menyuruhnya konsentrasi mengemudi atau nanti aku beritakan di televisi— sopir itu diam. Jalanan padat, jam pulang kerja, taksi baru tiba di markas besar polisi pukul setengah tujuh malam. Berhenti persis di lobi utama. Aku turun dengan tenang. Apa yang harus kucemaskan? Orang-orang ini 'sangat ramah' dengan wartawan. Mereka ingin terlihat lurus, jujur, terbuka di depan media. Aku melintasi lobi, tiba di ruang depan. Beberapa polisi masih seperti sebelumnya, tapi baik-baik saja." Polisi wanita mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong, Mbak kayaknya juga perlu istirahat, siang-malam mengejar berita. Nanti sakit seperti si kecil. Suara Mbak terdengar berbeda dari biasanya." Aku mendengus dalam hati—dasar amatiran. Aku sebenarnya telah berpikir dua langkah di depan, tadi sebelum berangkat, sempat mempelajari suara wartawan terkenal itu, meniru suaranya, tapi latihan itu terlalu singkat. Suaraku tetap sumbang. Polisi wanita ini meskipun tidak curiga, dia tahu suaraku berbeda. Dan soal si kecil sakit, itu benarbenar luput diperiksa oleh Nina. Beruntung polisi wanita itu tidak bertanya lagi. Lift terbuka di lantai empat, kami melintasi lorong dan ruangan kerja lain. Itu lantai yang diisi oleh jenderal-jenderal. Hampir pukul tujuh malam, masih terlihat ramai. Masalah keempat. Aku bertemu rombongan wartawan lain yang sedang mengejar berita dari jenderal lainnya. Tentang teroris. Penyergapan teroris tepatnya. "Hai, Najwa." Salah satu wartawan menyapa, "Bukannya kita ada acara makan malam dengan narasumber setengah jam lagi?" "Iya?" "Kenapa kau malah kembali ke sini? Aku saja mau berangkat." Aku menatap wartawan itu. Dilihat dari pakaiannya, dia kameramen satu stasiun denganku, melirik nama di dadanya, "Ada informasi baru yang harus
aku konfirmasi, Bambang. Aku akan segera ke sana. Bilang ke narasumbernya jika aku agak terlambat." "Baiklah." Wartawan itu melambaikan tangan. Tidak ada waktu untuk mencemaskan hal lain. Diurus nanti-nanti. Paling juga wartawan ini bingung saat melihat 'aku' telah ada di sana bersama narasumber. Aku harus fokus. Misiku harus tuntas. Akhirnya, tiba di depan ruangan jenderal bintang satu itu. Polisi wanita mengetuk pintu. "Masuk!" Terdengar seruan. Polisi wanita itu mengangguk, menyuruhku masuk, lantas dia meninggalkanku. Jenderal itu duduk di kursinya, di belakang meja, dekat dinding. Ruangan itu luas. Dengan kursi
penerima tamu dan perabotan lain. Aku melangkah melintasi ruangan. "Apa yang kau lakukan di sini, Najwa?" Jenderal bintang satu itu sedikit terkejut melihatku datang, juga sedikit kesal, "Harus berapa kali aku menjelaskannya, tadi siang kau juga sudah bertanya. Ajudan itu tewas karena ditembak penjahat yang dia interogasi. Kalian juga telah melihat kondisi penjahatnya. Kasus ini sangat sederhana, dan telah selesai." Aku masih diam, menatap sekitar, melihat lantai, ada bekas sesuatu di sana. "Dan berapa kali lagi aku harus bilang, jangan bertemu di ruangan kerjaku. Kau tahu persis aku tidak suka wartawan masuk ke ruangan ini. Kita bisa bertemu di lobi, lorong, atau ruangan konferensi pers."
mengancam. Kapan pun dia terlihat bergerak, aku akan melemparkannya. Jenderal itu menggeram, wajahnya merah padam. Separuh menahan rasa sakit di telapak tangan, separuh lagi karena marah. "Siapa kau, hah?" "Duduk!" Aku menyurubh. Dia menolak, ZAAP! Aku melemparkan pisau kedua, menembus dadanya. "Itu hanya dua senti dari jantungmu, Jenderal." Aku mendesis, mencabut pisau ketiga, "Aku bisa membunuhmu. Seketika. Aku tahu, kalian memang
siap mati saat jaringan kalian diketahui, bunuh diri. Tapi tidak sekarang. Ada hal penting yang hendak kusampaikan kepada Kaisar-mu." Jenderal itu terdiam. Aku telah menyebut pemimpinnya. Ini tidak main-main. Aku mengambil selembar kertas dari balik pakaian. Tadi Nina sempat memfoto kertas di dinding kamarnya, lantas mencetaknya, itu versi kecil dari peta jaringan yang kami buat. Aku meletakkan kertas itu di atas meja. "Lihat kertas ini, Jenderal!" Aku menyergah, "Aku tahu semua jaringan kalian.... Kombes Polisi itu, dengan atasannya, mengurus bisnis penyelundupan barang elektronik, juga barang bajakan, ilegal. Kombes itu mati bunuh diri saat aku mendatanginya." Aku menunjuk satu simpul di atas kertas.
"Jaksa itu, mengurus bisnis tambang legal, perkebunan ilegal. Hebat sekali, jutaan lahan milik rakyat dibagi-bagikan seperti milik keluarganya. Apa kabar jaksa itu sekarang? Mati meledakkan diri." Aku menunjuk simpul lain di atas kertas. "Dan kau, Jenderal, ada di sini. Bisnis perjudian, dengan kode 303. Mengelola semua judi di seluruh negeri. Besok lusa, termasuk judi online. Berapa uang yang kalian kelola? Triliunan. Bukankah ini wajahmu, heh?" Aku menunjuk simpul berikutnya di atas kertas. "Apakah peta jaringan ini akurat, heh? Aku tahu semua bisnis gelap kalian, termasuk minuman keras, narkoba. Ah, narkoba, aku pernah membakar ladang kalian. Menghabisi konvoi mobil kalian. Ingat kejadian itu? Akulah yang melakukannya. Vigilante yang akan membongkar kelompok Jiwa Korsa. Aku
tahu semuanya sekarang. Bahkan aku tahu siapa pemimpin kalian." Aku diam sejenak, tanganku bergeser, menunjuk bagian atas kertas, wajah seorang jenderal polisi bintang tiga, "Dialah kaisarnya. Dialah yang sejak lima belas tahun lalu membangun kerajaannya, menyatukan semua polisi jahat. Menyingkirkan kelompok, geng, faksi lain. Dia mengajakmu bergabung saat kalian bertugas di kota kabupaten sepuluh tahun lalu, bukan? Kau tertarik dengan visi hebatnya, sukarela menjadi orang kepercayaannya. Kariermu naik cepat." Aku menatap wajah jenderal polisi di depanku yang terlihat semakin marah. Tapi dilihat dari ekspresi wajahnya, dia jelas mengakui semua tuduhanku. Peta jaringan ini akurat. Termasuk jika ajudan itu dibunuh di ruangan ini.
hendak menemuinya.... Silakan tentukan tempat, waktu yang dia inginkan, lantas hubungi telepon ini. Aku
akan meminjam telepon genggam ini. Boleh?" Aku menyeringai, tersenyum sinis. Jenderal itu mendengus lagi. Tapi dia mendengarkan. "Tentukan tempat dan waktunya, aku akan datang menemuinya, menyelesaikan semuanya untuk selama-lamanya. Jika dia bisa membunuhku, maka kelompok kalian bisa bebas melanjutkan operasinya. Tapi jika dia mati dalam pertemuan itu, kelompok kalian selesai. Paham?" Jenderal itu masih terdiam. Aku mencabut dua pisau di telapak tangan dan dadanya. Dia berseru kesakitan. Aku mengantongi telepon genggam miliknya, lantas melangkah menuju pintu ruangan. Melambaikan tangan, meninggalkannya sendirian.
Masalah kelima, jenderal bintang satu ini bisa saja berseru memberi tahu anak buahnya. Seluruh gedung ini boleh jadi adalah anggota kelompok mereka. Tapi itu tidak perlu dicemaskan, masalah keempat sebelumnya menyelesaikan masalah kelima. Lorong-lorong kantor polisi masih dipenubhi oleh wartawan lain yang membawa kamera. Sedang mengerubungi jenderal polisi yang menangani terorisme. Senekat apa pun kelompok ini, mereka tidak akan berani membunuh 'Najwa' di depan siaran langsung. Aku masuk lift dengan tenang. Tiba di lobi setengah menit kemudian, terus melangkah, menuju gerbang keluar. Setiba di sana, melambaikan tangan, naik ke sebuah taksi. Sementara itu, di belakangku, di lantai empat. Jenderal polisi itu baru saja menarik pelatuk
pistolnya. Moncong pistol menyalak, peluru menembus kepalanya. Dia tersungkur di atas meja. Dengan gagang telepon tergeletak. Dia telah melapor ke Sang Kaisar, sebelum bunuh diri. % 3% k
Menunggu Satu jam kemudian, di kosan. "Aku tidak tahu, apakah itu termasuk langkah berani, atau malah bodoh, Padma." Itu komentar Sapti saat aku tiba di kosan Nina. Pukul sepuluh malam. Dia membantuku melepas lapisan lateks, menyeka 'makeup' di dagu, juga di pinggir-pinggir wajah palsu tadi. Menyusul melepas wig, rambut palsu. "Menantang Kaisar itu bertemu langsung. Memberikan dia kesempatan memilih tempat dan waktu. ltu sama saja memberikan dia semua keuntungan, Padma." Aku mengembuskan napas. Aku tahu, itu memang tidak terencana. Aku emosional, menatap wajah menyebalkan jenderal polisi itu, teringat wajah Mang Agus yang menangis memeluk peti mayat. Tidak sempat memikirkan strategi lain yang lebih aman, justru menawarkan 'duel'. DAC Chen benar, aku memang masih minim pengalaman. "Tenang saja, Kak Sapti. Tidak ada yang bisa mengalahkan Kak Padma. Dia bisa lompat setinggi atap kosan ini, bisa bergerak nyaris tidak terlihat, belum lagi jari-jari tangannya." Sapti mengusap wajahnya sejenak, "lya, aku percaya sekali dengan kemampuan Padma. Dia bertahun-tahun berlatih menghadapi situasi pertarungan terburuk sekalipun. Tapi Kaisar itu bisa merencanakan apa pun sebelum pertemuan. Kita memang tahu siapa orangnya, tapi kita tidak tahu apa kekuatannya. Bagaimana jika dia menyewa
ratusan kontraktor? Pembunuh bayaran. Sniper. Memilih tempat terbaik untuk menghabisi Padma." Nina terdiam. Benar juga. "Belum tentu juga dia akan menerima tawaran itu, Kak Sapti." Nina mencoba menghibur diri. "Dia akan menerimanya, Nina. Itu seperti memberikan kartu As kepadanya. Kesempatan emas mengalahkan vigilante yang mengganggunya selama ini." Sapti menggeleng. Aku menatap telepon genggam milik jenderal itu yang diletakkan di atas meja. Benda itu masih teronggok bisu. Tapi hanya soal waktu, seseorang akan menghubunginya. Dan kali ini, boleh jadi Kaisar itu langsung. Aktivitas 'ekstrakurikuler' ini hampir tiba di puncaknya. Pertarungan final. Aku tidak bisa lagi mengubah skenario. Toh, pada akhirnya aku memang harus menghadapi Kaisar itu. Maka biarlah terjadi segera. Sebelum ada korban lain, orangorang kecil tidak berdosa yang masuk penjara, anak-anak muda yang mati ditembak, hanya untuk menutupi kelompok itu. Atau sebelum ada lagi anak-anak kecil yang bekerja di ladang ganja, direkrut oleh kelompok tersebut. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Kak Padma?" "Menunggu. Tetap beraktivitas seperti biasa." Aku menjawab, berdiri. "Kak Padma mau ke mana?" "Tidur. Istirahat. Kau juga perlu tidur, Nina." "Ilya, kau juga harus istirahat, Nina. Berhenti memelototi layar komputer. Salah satu tips kalau mau cepat kurus, tidur yang cukup." Sapti bergurau,
mencoba menurunkan ketegangan di kamar Nina. Sejak tadi wajah-wajah kami serius. "Iya, Tukang Jambret. Terima kasih tips-nya." Nina menimpali. Kami bertiga tertawa sejenak. * kk Esok pagi-pagi pukul empat subuh, aku latihan lari. Aktivitas biasa. Memasang gelang besi di kaki, dan tangan. Hampir empat tahun aku berlatih mengejar KRL. Jika dijumlahkan, itu setara dua kali berlari mengelilingi planet Bumi. Udara terasa segar. Aku segera bersiap di stasiun pertama, menunggu KRL tiba. Salah satu rangkaian KRL merapat ke stasiun. Aku masih menunggu. Dan persis saat klakson KRL itu melenguh, mulai bergerak maju, aku melesat lari.