Chereads / tx2 / Chapter 2 - dua

Chapter 2 - dua

Lima ratus meter pertama jelas aku menang, KRL itu masih berakselerasi. Selepas itu, KRL mulai menyalipku, lantas membuatku tertinggal jauh. Satu kilometer kemudian, KRL itu mengerem laju, bersiap berhenti. Itu kesempatanku memangkas jarak. Lari semakin kencang. "LEBIH CEPAT, PADMA!" Aku membayangkan Abu Syik yang berteriak. "JANGAN MEMBUATKU KECEWA, PADMA!" Aku mengatupkan rahang. Aku tidak akan membuat Abu Syik kecewa. Aku berlari mengerahkan semua tenaga. Jantungku berdetak bagai mesin. Napasku menderu. Pakaianku basah kuyup. KRL itu berhenti tiga menit di stasiun kedua. Aku berhasil menyalipnya, kembali unggul. Beberapa ratus meter berada di depannya, KRL di stasiun

kembali maju. Penumpang telah selesai naik turun. Suara klaksonnya terdengar di belakang. Rodanya menggilas jalur kereta. Aku menggeram, terus berlari di jalan aspal yang bersisian dengan jalur itu. Satu menit, KRL itu sejajar di sampingku, dan beberapa detik, dengan mudah menyalipku. Meninggalkanku di belakang. "LEBIH CEPAT, PADMA!" Aku mendengus. lya, Abu Syik, aku akan berlari lebih cepat. "LARI LEBIH CEPAT, PADMAAA!" ltulah latihan lariku empat tahun terakhir. Bagiku, Abu Syik selalu ada di sana. Menyemangatiku. Meneriakiku. Mengomeliku. Marah-marah. Hingga kereta itu tiba di stasiun ketiga, dan aku masih tertinggal. Berdiri sejenak di sana, sambil mengatur napas, menunggu KRL dari arah sebaliknya, ronde kedua. Hingga matahari mulai terbit. Dua jam, setelah dua kali bolak-balik mengejar KRL, aku akan kembali ke kosan. Apa kabar talang itu? Apa kabar ladang sawah tadah hujan? Hutan Bukit Barisan? Pohon tumbang, pohon manggis. Apa kabar monyet itu? Aku tersenyum sendiri. Entahlah, di mana monyet itu sekarang. Menghilang begitu saja. Nina sempat mencarinya, memasukkan nama 'Agam'. Tapi tidak ada informasi tentangnya. Apakah monyet itu masih mengingat janji kami? 'Berteman' selama-lamanya. Wajahku semakin memerah. * kk Tiba di kosan.

Telepon genggam milik jenderal itu masih teronggok bisu saat aku meneriaki Nina, bertanya apakah dia mau ikut membeli sarapan. Nina keluar kamarnya, ikut melangkah menuju ujung gang. Pemilik warung-warung kecil kembali berjualan. Termasuk Bi Atun. Percakapan di warung-warung itu masih membahas tentang putra Mang Agus. Itu sepertinya masih akan jadi topik hingga beberapa hari ke depan. Sementara sebaliknya, beberapa hari ke depan, tetap tidak ada berita tentang jenderal bintang satu itu di media, tidak ada berita jenderal polisi bunuh diri, mereka menutup rapat ruangan kerja itu dari endusan para wartawan. Aku sarapan bersama di kamar Nina. Dia terlihat hanya mengaduk-aduk makanannya. "Punyamu tidak enak, Nina?"

Dia menggeleng pelan. "Atau kau sakit?" Dia menggeleng lagi. Biasanya Nina selalu semangat makan apa pun. "Aku tidak selera makan, Kak Padma." "Heh?" "Aku tegang." Dia menunjuk telepon genggam di atas meja. Sejak semalam telepon itu memang diletakkan di sana, karena Nina berusaha memeriksanya. Kabel-kabelnya masih tersambung ke komputer. Aku menyeringai, "Yang seharusnya tegang itu aku, Nina. Aku yang menantang Kaisar itu." "Aku juga ikut tegang, Kak Padma."

Aku tertawa. Aku tahu, Nina bukan hanya tegang, dia cemas. Dia mencemaskanku. Nina adalah sahabat yang baik. "Tenang saja, Nina. Semua akan baik-baik saja." Nina mengembuskan napas pelan. "Ngomong-ngomong ke mana Sapti?" "Dia pulang ke rukonya, dia bilang hendak menyiapkan rencana cadangan." "Rencana cadangan apa?" Nina mengangkat bahu. % kk Aku tetap berangkat kuliah pagi itu. Menuju Fakultas Sastra, tepatnya Jurusan Sastra Rusia. Ada dosen tamu, datang dari Moskow, aku tidak mau kehilangan kesempatan belajar bahasa itu langsung dengan native speaker.

Aku mengabaikan ketegangan yang terus menumpuk tebal. Lepas kuliah Sastra Rusia, aku pindah kelas di gedung yang sama, menyimak mata kuliah tentang haiku. Itu juga favoritku di semester ini, belajar seni sastra negara-negara lain. Telepon genggam milik jenderal bintang satu itu aku bawa. Hingga kelas usai, tetap tidak ada yang menghubungi. Pukul dua siang, aku kembali ke kosan. Lengang. Sebagian anak kosan masih sibuk di kampus. Nina di kamarnya, dia tidak kuliah, bolos. Memilih menghabiskan waktu membuat program. Sapti belum terlihat. "Kau mau makan burger dan ayam goreng, Nina?" Kepalaku melongok ke kamarnya. "Kak Padma bawa?"

Aku mengangguk, melangkah masuk, menjulurkan kantong kertas. Tadi aku sengaja mampir di restoran fast food. Agar selera makan Nina membaik. Dia jelas belum makan siang. Wajahnya berubah lebih cerah. Mengambil bungkusan makanan. Lima belas menit lengang, hanya desing CPU. Kami berdua menghabiskan makan siang. "Kak Padma baik-baik saja, kan?" Dia bertanya, memutus senyap. Aku mengangguk. "Bagaimana caranya agar bisa tetap setenang Kak Padma?" "Aku juga tegang, Nina." Aku tersenyum, "Tapi Abu Syik dulu bilang, aku harus fokus. Itu akan membantu menghilangkan pikiran buruk. Jangan

pernah membawa beban dalam pertarungan. Karena tanpa beban sekalipun, kita belum tentu menang." "Abu Syik itu, pastilah hebat sekali." Aku mengangguk. Abu Syik memang hebat. Aku tahu sekarang, aku bisa mengalahkan Abu Syik di pertarungan terakhir karena kondisi fisiknya semakin lemah. Jika dia dalam kondisi fit, aku tidak akan punya kesempatan melawannya. Abu Syik adalah segala-galanya bagiku. Dia yang merawatku, melatihku, dia juga adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Tentang kalimat terakhirnya yang bilang ayah dan ibuku, dia yang membunuh orang tuaku, Abu Syik bohong. "Kelompok itu belum menghubungi telepon genggam itu, Kak?" Nina bertanya lagi. Aku menggeleng.

"Bagaimana jika mereka lupa nomor teleponnya? Mereka tidak menyimpannya di daftar kontak, kan? Jadi mereka sejak semalam bingung harus menelepon ke mana." Nina teringat sesuatu. Aku terdiam. Lantas tertawa, itu mustahil. Kelompok itu pasti tahu nomor telepon anggota kelompoknya, dengan caranya masing-masing. KK kK Aku menghabiskan sisa sore dengan membaca di kamarku. Tetap tenang. Yang semakin tegang itu Nina, dia setiap setengah jam muncul di depan kamar, melongokkan kepala, bertanya, apakah kelompok itu telah menghubungi. "Jika sudah dihubungi, kau orang pertama yang aku beri tahu, Nina." Aku menjawabnya setelah untuk ketiga kalinya dia muncul di celah pintu.

Nina mengembuskan napas, kembali ke kamarnya. Hingga matahari terbenam, sekitar mulai gelap, lampu-lampu kosan menyala, telepon genggam itu tetap teronggok bisu di atas meja. Aku mengajak Nina makan malam di luar. Sekalian nongkrong di kafe, memesan menu kesukaannya, ramen. Kafe itu ramai oleh mahasiswa lain. Murah meriah. Nina tetap tegang. Bahkan kehadiran rombongan mahasiswa Fakultas Teknik tetap tidak membuat Nina jelalatan seperti biasanya. Dia sibuk makan—setidaknya nafsu makannya membaik. Hingga piring kami habis, aku membayar makanan di kasir, pulang ke kosan. Telepon itu tetap bergeming. "Habis baterainya mungkin, Kak?" Nina yang menunggu di kamarku bertanya.

Aku melambaikan tangan, asyik membaca. Hanya Nina yang terus memandangi telepon genggam itu, seolah tiba-tiba akan muncul jin dari dalamnya. Pukul sebelas malam, saat Nina menyerah, beranjak ke kamarnya, persis dia di bawah bingkai pintu, telepon genggam itu bergetar. Nina berteriak—segera menutup mulutnya, dia nyaris berteriak kencang. "Kak Padma! Kak Padma!" Nina berseru panik. Aku mengangguk. Meletakkan buku tebal yang kubaca, beringsut turun dari tempat tidur, mengambil telepon genggam. Sebuah pesan terkirim. Pendek saja. "Sekarang. Pukul 00.00, Gedung S, Lantai 40." Dengan link titik lokasi.

Aku menarik napas perlahan. Tempat. Waktu. Telah ditentukan. Kaisar ini pintar, dia sengaja mengirim pesan ini satu jam sebelum pertemuan, itu membuatku tidak punya waktu untuk bersiap-siap. Tidak masalah, aku segera meraih ransel. Memasukkan senjata, dan peralatan ke dalamnya. Mengenakan pakaian aksi, memakai sepatu yang cocok. Wajah Nina pias—dia sejenak tidak bisa bicara. Kurang dari lima menit, persiapanku tuntas. "Aku berangkat, Nina." "Eh, eh, iya, Kak." Nina menjawab patah-patah. Aku telah berlarian kecil meninggalkan kamarku. Menuju gang, terus berlari, tiba di jalan raya, melambaikan tangan ke taksi yang melintas dengan lampu atas menyala—tanda kosong.

Lima menit kemudian, aku telah menuju titik pertemuan. Aku luput memerhatikan, jika diam-diam, lawanku juga telah bergerak. kkk

Gedung S Lima belas menit sebelum pukul 00.00, aku tiba di lokasi. Turun dari taksi, berdiri agak jauh dari titik yang ditentukan. Mendongak. tu sebuah gedung yang sedang dibangun. Menjulang tinggi, 80 lantai. Konstruksi besarnya telah selesai, tiang-tiang berdiri kokoh, lantai demi lantai, calon gedung tertinggi di ibu kota. Tapi dindingnya masih terbuka, dalam proses pengerjaan. Lantai 40, itu berarti lokasi pertemuan adalah lantai di tengah-tengah gedung tersebut. Gedung ini kemungkinan besar dimiliki oleh kelompok itu. Orang-orang menyebutnya dengan nama 'Gedung S'. Entah apa kepanjangan S tersebut. Yang pasti, dengan uang dari bisnis gelap, satu sisi gedung itu. Kembali berpindah tempat dari satu bayangan ke bayangan lain. Tiba di salah satu sisi gedung yang menjulang ke atas. Aku akan memanjat gedung ini dengan tangan kosong. Itulah cara terbaiknya. Dan itu tidak sulit. Aku adalah pemanjat ulung di hutan Bukit Barisan. Tidak ada pohon di hutan dekat talang yang tidak bisa kupanjat.

Gedung ini hanyalah pohon lain, yang dibuat dari beton. Konstruksi bangunan yang belum selesai justru menguntungkanku, memberikan banyak pijakan dan pegangan. Aku konsentrasi sejenak, hup, mulai naik. Tanganku lincah memegang potongan besi yang terjulur, atau cerukan di beton yang belum rata. Di saat bersamaan, kakiku menginjak titik-titik yang aman. Satu lantai, dua lantai, aku terus naik dengan cepat. Tiba di lantai lima, gerakanku terhenti. Mengintip dari balik tiang. Lihat! Tebakanku benar, Kaisar sialan itu menyiapkan tim sambutan. Ada dua puluh orang polisi bersiap di sana. Sebagian menunggu di dekat anak tangga, sebagian bersembunyi di balik tiang. Mereka mengenakan seragam tempur, lengkap dengan senjata mesin dan granat. Dasar

bodoh! Aku tidak lewat tangga, mau mereka tunggu sampai besok, aku tidak akan muncul di sana. Aku masih punya waktu, baiklah, sebelum pasukan ini merepotkanku, aku akan menghabisinya terlebih dahulu. Tubuhku melompat tanpa suara ke lantai lima. Mulai berlarian dari satu tiang ke tiang lain di bagian dalam gedung. Tiba tanpa diketahui rombongan polisi itu. Dan tanpa banyak bicara, aku mulai menyerang. Ada salah satu polisi di dekatku, aku mengendap mendekat. Berdiri di belakangnya. Mengeluarkan pisau kecil. SLAAB! Polisi yang malang, dia bahkan tidak tahu apa yang menyerangnya, kepalanya terkulai dengan leher robek. Aku merebahkan tubuhnya agar tidak menimbulkan suara. Bergerak lagi ke tiang yang lain. Dua polisi siaga di sana. Aku mengetuk helm mereka, menoleh.

SLAAB! SLAAB! Pisauku bekerja. Dua polisi berikutnya tersungkur. Darah segar membasahi lantai beton. Tubuhku kembali menyelinap di dalam gelap, mendekati satu per satu polisi. Hingga sisa sepuluh orang, yang berdiri persis di depan tangga. Posisi mereka di tempat terbuka, tidak bisa disergap diam-diam. Aku mendengus, memegang dua pisau sekaligus. Berlari mendekat, ZAP! ZAP! Dua polisi paling depan tersungkur dengan kepala ditembus pisau. Sisanya menoleh kaget. ZAP! ZAP! Dua lagi polisi itu terkapar. Enam sisanya berseru, "Apa yang terjadi?", "Ada yang menyerang! Berlindung!" ZAP! ZAP! Sisa empat. "Siapa yang menyerang?"', "Awas dari belakang!" Aku tinggal dua meter. ZAP! ZAP! Tanganku terus bergerak cepat meraih pisau kecil di pinggang. Tidak memberikan kesempatan mereka balas menyerang.

Tersisa dua polisi, yang hendak menarik pelatuk senjata mesin, ZAP! ZAP! Aku lebih dulu menghabisinya. Semua polisi itu terkapar mati. Darah menggenang, mengalir di anak tangga, terus ke lantai bawah. Aku mendengus. Mengendalikan deru napas, jongkok, mencabuti satu per satu pisau dari kepala mereka. Mengelapnya dengan seragam mereka. Pisau-pisau ini efektif dalam penyergapan. Tidak ada suara, lawan bahkan tidak tahu apa yang telah menghantam kepala mereka. Terlanjur mati lebih dulu. Tapi repotnya, amunisi pisau terbatas, berbeda dengan senapan mesin. Pisau terakhir berhasil dicabut dari dahi polisi itu, menyekanya, memasangnya kembali ke pinggang. Mengambil beberapa senjata dari tubuh polisi yang terkapar, memasukkannya ke dalam kantong pakaian. Melihat jam di pergelangan, tersisa sepuluh menit lagi. Aku berlarian, kembali menuju sisi gedung itu, melanjutkan memanjat. Lantai 6, lantai 7. Tubuhku terus naik. Angin malam bertiup kencang, menerobos topeng yang kukenakan, mengeringkan keringat di pelipis. Lantai 11, lantai 12. Sejauh ini kosong. Tidak terlihat siapa pun, hanya gelap. Lantai 21, lantai 22, gerakanku terhenti lagi. Ini mulai seru, dengusku. Jantungku kembali berdetak lebih kencang. Bukan polisi, di lantai ini ada dua puluh kontraktor yang menunggu. Mereka mengenakan seragam taktis dan senjata mesin. Jelas lebih berbahaya dibanding kelompok polisi sebelumnya. Terbagi menjadi dua kelompok. Sebagian berjaga di dekat tangga, sebagian lagi di depan lift, menungguku. Dua-duanya tidak kugunakan, Bodoh!

Aku harus menghabisinya, agar tidak mengganggu pertemuanku dengan Kaisar. Bagaimana menghabisi dua kelompok ini? Aku harus melumpuhkan satu kelompok dengan cepat, baru mengurus kelompok berikutnya. Tapi itu tidak bisa dilakukan diam-diam, sekali mereka tahu, yang lain akan membantu. Baiklah, aku mendengus, saatnya mengumumkan kedatanganku. Toh, cepat atau lambat, Kaisar itu tahu aku telah datang. Lebih baik diumumkan dengan bergaya. Hup, aku lompat ke lantai 22. Melangkah dengan mantap. Mendekati kontraktor yang berdiri di dekat lift. "Halo!" Aku menyapa. Mereka segera sigap, berseru-seru, senjata mesin teracung, siap menembak.

Aku lebih dulu melemparkan granat yang pinnya telah dilepas sejak tadi. Itu granat yang kuambil dari tubuh polisi di lantai lima. BUM! BUM! Dua granat meledak di udara. Merobek lantai, dan dinding. Melemparkan kontraktor yang ada di dekatnya. BUM! BUM! Dua granat berikutnya meledak. Para kontraktor itu bertumbangan. Tubuh mereka terbanting, senjata mereka terpelanting. Debu beterbangan. Sebagian mencoba lari menghindar, berseru-seru panik. "BERLINDUUNG!!", "AWAAS!" BUM! BUM! Aku menimpuknya dengan granat.

Tiga puluh detik, sepuluh kontraktor yang berjaga di dekat lift beres. Terakhir, aku melemparkan dua granat ke jalur lift. BUM! BUM! Tiang-tiang lift merekah, lepas dari dinding, lantas terjungkal ke bawah sana. Berdebam keras. Juga beres! Tidak ada lagi yang bisa menyusul naik lewat lift. TRAATATATAT.... TRAATATATAT.... Sepuluh kontraktor dari anak tangga telah berdatangan. Melepas tembakan. Aku segera berlindung di balik tiang, sambil meraih dua senjata mesin yang tergeletak di dekat dua mayat kontraktor. Ini senjata yang bagus, AK-47. Abu Syik menyukainya. Setiap dia membahas tentang senjata, tiba di bagian tentang AK-47, matanya berbinar-binar.

Senjata ini biasanya dipegang dengan dua tangan. Tidak untukku. Aku mencengkeram dua senjata itu sekaligus di tangan kanan dan tangan kiri. Bersiap. TRAATATATAT.... TRAATATATAT.... Lawan terus menghujani tiang tempatku berlindung. Membuat tiang itu terkelupas, potongan semen dan kerikil beterbangan. Sekarang! Aku berteriak, keluar dari balik tiang sambil melenting tinggi, menghindari tembakan. Masih di udara, aku balas menembak. TRAATATATAT.... TRAATATATAT.... Dua AK-47 yang kupegang mengirim tembakan mematikan. Lantai 22 itu gelap dan penuh debu mengepul sisa ledakan granat. Itu membuat

posisiku tidak terlihat, tapi aku bisa melihat posisi lawan. Latihan melintasi padang rumput dengan mata tertutup di talang itu sangat berguna. TRAATATATAT.... TRAATATATAT.... Kontraktor itu mulai bertumbangan. Satu per satu. TRAATATATAT.... TRAATATATAT.... Peluru AK-47 yang kutembakkan bagai mengukir kegelapan malam. Mendesing mengincar target. Bau mesiu tercium menyengat. Percik api dari moncong senjata terlihat di antara kepul debu. Tiga, empat, lima, menyusul terkapar. Aku mendarat di lantai, lantas berlari sambil menembakkan AK-47. Enam, tujuh, sisanya mulai tiarap panik. Aku maju, mereka bangkit hendak menembakku. Delapan, sembilan, sepuluh, seluruh kontraktor itu tamat. Napasku menderu, jantungku seperti derap roda KRL menggilas rel besi. Aku melemparkan AK-47 ke lantai. Mengambil dua granat terakhir dari saku pakaian. Melepas pinnya, melemparkannya ke konstruksi anak tangga. BUM! BUM! Tiang itu runtuh. Menimpa tiang di bawahnya. BRAK! BRAK! Tiga lantai kehilangan tangga. Sekarang, juga tidak ada yang bisa menyusul lewat tangga. Tidak akan ada bantuan untuk lantai 40 dari bawah, aku telah memotong jalurnya. Aku melihat pergelangan tangan, pukul 00.00. Lupakan tiba tepat waktu, Kaisar itu pasti telah tahu aku datang. Suara dentuman granat, juga tembakan barusan terdengar di atas sana. Aku kembali berlarian menuju sisi dinding luar gedung. Melanjutkan memanjatnya. Semakin tinggi, angin semakin kencang.

Apakah itu Kaisar? Aku balas menatapnya tajam dari jarak terpisah tiga puluh meter. Dia sendirian? Mustahil. Jenderal polisi ini tidak akan menemuiku sendirian di lantai ini. Dia pasti menyiapkan sambutan yang 'meriah'. Apa rencananya? Aku memutuskan mendekat. Sambil awas menatap sekitar. Waspada atas serangan mendadak. Dua puluh meter. Napasku menderu lagi. Jantungku berdetak kencang. Langit-langit lantai itu pekat oleh atmosfer menegangkan.

Sepuluh meter. Tanganku mengepal, bersiap dengan apa pun yang terjadi. Lima meter. Aku berhenti. Orang itu lebih dulu berdiri dari kursinya. Dari jarak cukup dekat, aku bisa memastikan jika dialah Kaisar itu. Fotonya ada di kertas besar di dinding kamar Nina. Dia mengenakan seragam lengkap seorang jenderal bintang tiga. Tinggi, besar. "Selamat malam, Nona Vigilante Tanpa Nama." Dia berseru. Suaranya terdengar lantang. Aku menelan ludah. "Kau terlambat lima menit, Nona Vigilante, tapi aku bisa memahaminya, kau terhambat menuju ke sini... Bukan main.... Seorang diri menghabisi dua puluh polisi terbaik, seperti mengalahkan murid taman kanak-kanak. Juga menghabisi dua puluh kontraktor dengan mudah."

Aku masih diam, menatapnya siaga. Ini sedikit mengherankan, Jenderal polisi ini terlihat tenang. Seolah dia yang berada di atas angin. Lihatlah, dia seorang diri. Bagaimana dia akan menang melawanku, heh? "Akhirnya kita bertemu.... lJika saja situasinya berbeda, ini akan menyenangkan. Tapi kau telah membuat tiga anak buahku bunuh diri.... Apa yang kau inginkan dari pertemuan ini, Nona Vigilante?" Kaisar itu bertanya. "Kau menyerah, lantas membuka seluruh operasi kelompokmu di depan media. Semua anggota kelompokmu menyerahkan diri." Aku balas berseru. "Menyerahkan diri kepada siapa?" Kaisar itu tertawa pelan, "Menyerah kepada polisi? Akulah polisi tersebut. Jaksa? Akulah jaksa tersebut. Juga hakim. Akulah penegak hukumnya."

Aku terdiam. "Kau menyuruhku menyerah kepada siapa, Nona Vigilante? Di negeri ini semua telah aku beli. Lantas aku menyerah kepada siapa? Wakil rakyat? Partai politik? Presiden? Dia hanya petugas partai. Atau kepada rakyat? Yang bersedia menjual suara mereka setiap pemilihan dengan amplop tipis berisi uang receh?" Aku menggeram, "Menyerah padaku. Dan aku akan membunuhmu. Juga membunuh semua anggota kelompokmu." Kaisar itu bersedekap, menatapku, "Baik, anggap saja keinginanmu tercapai. Aku mati, kelompokku binasa. Tapi kau lupa satu hal, Nona Vigilante, besok lusa, akan selalu muncul polisi-polisi sepertiku. Jaksa-jaksa, hakim-hakim sepertiku. Mati satu, tumbuh seribu. Negeri ini adalah tanah para bandit, mereka tumbuh lebih subur dibanding jamur saat musim penghujan." "Aku akan membunuh mereka juga!" Aku berseru lantang. Kaisar tertawa lagi, "Kau terlalu percaya diri, Nona Vigilante. Bukan hanya kau yang bisa bertarung...." Aku menggeram, bersiap. "Kau menginginkan pertarungan? Akan aku berikan lawan untukmu. Mari kita lihat seberapa hebat dirimu, Nona Vigilante." Persis di ujung kalimatnya, Kaisar bertepuk tangan sekali. Dan persis di ujung suara tepuk tangan itu, dari balik tiang-tiang, bermunculan sosok-sosok gelap. Satu, dua, tiga... Enam, tujuh.... Sembilan, sepuluh. Seperti muncul begitu saja dari kegelapan.

Aku menahan napas. Cepat sekali kemunculan mereka. Aku tidak menyadari kehadiran orang-orang ini. Ternyata mereka telah menunggu di balik tiangtiang. Siapa pun mereka, jelas tidak setara dengan dua puluh polisi atau dua puluh kontraktor sebelumnya. Tampilan mereka seperti ninja, tapi bebat di kepala mereka seperti dari dataran tinggi Asia. "Perkenalkan, Sepuluh Pedang dari negeri seberang." Kaisar memperkenalkan rombongan, terkekeh. Lantas beranjak duduk kembali. Bersiap menonton. Aku menggeram, pantas saja jenderal ini terlihat tenang. Dia punya kartu As. Orang-orang ini, pasti lihai bertarung. Datang dari negara lain. Mereka bisa bersembunyi dalam gelap. Inilah 'sambutan meriah' untukku. Boleh jadi, jenderal ini sengaja menunda 24 jam menghubungi telepon genggam itu untuk menunggu para pembunuh bayaran ini tiba di ibu kota. Aku menatap awas sekitar. Sepuluh orang itu mulai maju, membentuk formasi mengepungku. Mereka menghunuskan pedang satu per satu. Berkilat-kilat di antara gelapnya malam. Satu lawan sepuluh. Pertarungan level mematikan siap berlangsung. * kk

Rencong Tuanku Imam Tiga puluh detik. Langit-langit lantai 40 itu terasa pengap oleh ketegangan. Tapi mereka belum menyerang, mereka masih menatapku tidak kalah tajamnya. Mengukur kekuatan lawan. Lima belas detik berlalu, salah satu dari mereka menjulurkan pedangnya. Apa maksudnya? Aku menatap bingung, mereka memberiku pedang? "Ah, pembunuh bayaran yang memiliki kehormatan bertarung," Kaisar yang duduk di kursi berseru, "tapi tetap bersedia membunuh siapa pun

sepanjang dibayar sepuluh kilogram emas masingmasing. Hipokrisi." Aku menerima pedang itu. Kaisar benar, sepuluh orang ini tidak mau melawanku yang tanpa senjata. Mereka meminjamkan pedang. Mencabut pedang cadangan lain untuknya. Sedikit sekali pembunuh bayaran dengan prinsip ini. Dan itu kabar buruk, itu berarti mereka sangat hebat. Mereka yakin dengan kemampuan sendiri, memberikan kesempatan lawan memiliki senjata. Lima belas detik lengang kembali. "Astagal Kalian tunggu apalagi, heh! Aku membayar kalian mahal-mahal bukan untuk menonton basa|" basi, bunuh vigilante itu!" Kaisar berseru jengkel. Dua dari lawanku segera maju, menebaskan pedang. Pertarungan dimulai.

Aku mengelak cepat ke samping, menghindari tebasan, lantas menangkis satunya, TRANG! Bunga api memercik. Dua lagi lawanku menyerang dari dua sisi berbeda. Aku merunduk menghindar. TRANG! Menangkis satunya. Dua lagi lawanku menyusul maju. Aku menangkis dua kali. TRANG! TRANG! Serangan mereka semakin cepat dan semakin kuat. Aku berkelit, menghindar, menangkis, TRANG! TRANG! Berusaha mengimbangi. Dari belakang maju dua orang, aku bergegas memutar badan, berdiri dengan kuda-kuda kokoh. TRANG! TRANG! Dua dari samping kiri giliran maju. Nyaris merobek bahuku, aku berkelit mundur. TRANG! TRANG! Sepuluh orang ini masih menyerang dua-dua, setiap dua serangan gagal, dua yang lain menyusul. Tidak memberiku kesempatan balas menyerang. Seperti

gelombang lautan yang datang susul-menyusul. TRANG! TRANG! Dua lagi menyerang dari samping kanan. Aku berteriak, cukup sudah, tubuhku melenting, melewati kepala-kepala mereka, keluar dari kepungan, mendarat di sisi luar. Berteriak sekali lagi, balas menyerang formasi kepungan dari luar. TRANG! TRANG! Dua orang segera menangkis seranganku, delapan yang lain bergegas bergerak, memulihkan formasi, kembali mengepungku. Enak saja, aku mendengus, aku melenting lagi, keluar dari kepungan. Sambil pedangku ganas menyerang lawan terdekat. TRANG! Dia terbanting ke belakang, pertahanannya terbuka, pedangku melesat hendak menyambar perutnya. Tidak akan sempat ditangkis olehnya. TRANG! Rekannya lebih dulu membantu, menangkis. Orang-orang itu balas berteriak, kali ini tidak hanya dua, mereka maju berempat. Meningkatkan level pertarungan. TRANG! TRANG! Aku mati-matian menahan serangan. Kiri, kanan, depan, belakang, pedangpedang mereka menyambar. TRANG! TRANG! Tidak mudah menahan empat pedang. Aku sekali lagi lompat menjauh. Mereka mengejar buas. TRANG! TRANG! Salah satu dari lawanku muncul dari sisi kiri, aku merunduk, pedang itu mengenai udara kosong. Sial, masih dalam posisi merunduk, empat lawan maju menyerang. TRANG! TRANG! Aku bisa menangkis dua pedang. Lantas mengelak dari pedang ketiga, tapi pedang keempat menyambar bahuku, merobek baju yang kukenakan, menggores kulitku, darah segar mengalir. Aku menggeram, TRANG! TRANG! Menghantamkan pedang. Balas menyerang, empat orang itu

tertahan sejenak. Tapi empat yang lain tidak, mereka maju dari dua sisi. Menggantikan empat yang lain. Aku tidak akan bisa menahan mereka sekaligus, berteriak, melenting lompat ke belakang, dua meter. Mereka mengejar. Aku lompat lagi, TRANG! TRANG! Sambil menahan serangan. "Bagus sekali! Habisi vigilante itu!" Kaisar tertawa di atas kursinya. Lima belas menit pertarungan pedang, kondisiku buruk, aku terus terdesak. Satu lawan sepuluh, secepat apa pun gerakanku, mereka adalah lawan yang tangguh. Sepuluh pemain pedang ini tidak bertarung sendiri-sendiri. Mereka bertarung sebagai satu kesatuan unit. Saat salah satu dari mereka terdesak, yang lain segera menutupnya. Saat aku berusaha lari dari kepungan, yang lain segera menutupnya. Sejak tadi, aku tidak bisa melukai seorang pun. Sebaliknya, Iluka di tubuhku mulai bertambah. TRANG! TRANG! Mereka kembali meningkatkan intensitas pertarungan. Kali ini, maju menyerang lima-lima. Gelombang demi gelombang. Gagal lima, diganti lima. Tertahan formasi lima, ditutup lima yang lain, dan saat aku mati-matian menahan lima tersebut, lima sebelumnya kembali maju. TRANG! TRANG! Posisiku terdesak lagi. Sebelum bertambah rumit, aku berteriak, kembali melenting menjauh. Hanya itu yang bisa membantuku bertahan sejauh ini, kemampuan lompat. Sekali aku mulai keteteran menahan serangan, aku melenting, menjauh. Tapi mereka membaca pola bertahanku, sepuluh orang ini berpengalaman. Mereka mulai mendesakku ke salah satu sisi gedung.

TRANG! TRANG! Aku berhasil menangkis dua pedang. Tiga pedang lain mengejar dari samping Kiri dan kanan. Dua berhasil kuhindari dengan berkelit, menyambar udara kosong satu senti dari dadaku. Tapi yang satunya, mengiris punggungku. Aku berteriak, menghantamkan pedang. TRANG! TRANG! TRANG! Tiga orang mundur satu langkah, digantikan lima berikutnya. Aku berseru kesal, lompat lagi. Menjauh. Lima orang itu mengejar, pedang-pedangnya mengancam. TRANG! TRANG! Setengah jam, posisiku kritis. Aku terus terdesak, mundur menuju satu sisi gedung. Tidak ada kesempatan untuk pindah ke sisi lain, mereka mengunciku. Saat lima menyerang, lima yang lain menutup area melompat. TRANG! TRANG! Dua pedang berhasil aku tangkis.

Salah satu dari mereka terlalu dekat denganku, pedangku balas menyambar, berusaha mengenai lehernya. Tidak akan bisa dia tangkis atau elakkan, TRANG! Temannya segera menutup celah pertahanan. Aku berteriak kesal, mengejarnya. Terhenti, lima yang lain mencegatku. TRANG! TRANG! Aku harus segera menjauh. Hendak lompat ke belakang. Tidak bisa. Tidak ada lagi lantai di belakang sana. Habis. Aku telah tiba di bibir lantai 40. Bergeser satu langkah, tubuhku meluncur deras ke bawah sana. Sementara lima pedang itu terus buas menyerangku. Aku berteriak, menyabetkan pedang. TRANG! TRANG! Menangkis beberapa pedang sekaligus. Tapi satu lawan lima, diserang bertubi-tubi, kalah tenaga, tanganku yang mencengkeram pedang mulai goyah. TRANG! TRANG! Persis di serangan

kelima, peganganku terlepas, pedang itu terpelanting, menggelinding ke bibir lantai, jatuh ke luar sana. Dan lima yang lain menggantikan menyerang. Mereka maju, siap menghabisiku. Lima pedang menyambar buas. Aku menggeram. Tidak bisa menangkis. Tidak bisa mengelak. Tidak bisa melompat mundur. Tanganku segera meraih sesuatu dari ransel di punggung. Saatnya aku menggunakan senjata ini. Senjata yang dulu diberikan Abu Syik. Aku berteriak. Mencabut rencong dari dalam ransel. Mengerahkan tenaga, menangkis lima pedang.

TRANG! Dua pedang mereka patah seketika. Tiga yang lain terbanting ke belakang. Itu tangkisan yang hebat. Tepatnya, rencong yang kupegang yang hebat sekali. Aku tidak menduga, rencong ini bisa mematahkan pedang lawan. Napasku menderu, rencongku teracung. Berkilat di bawah cahaya bulan sabit. Sepuluh orang itu menahan sejenak serangan. Tiga yang terbanting jatuh segera berdiri kembali membentuk formasi. Dua yang kehilangan pedang, mencabut pedang cadangan di pinggang, lima yang lain berdiri di belakang. "Logam mulia Gunung Fuji!" Salah satu dari mereka berseru—dengan bahasa dari negerinya. "Bagaimana mungkin?" Timpal yang lain, "Bukankah hanya ada satu senjata yang ditempa dari logam mulia itu?"

"Nona Muda, dari mana kau mendapatkan senjata itu?" Aku menggeram—aku tahu bahasa yang mereka gunakan, kuliah di Fakultas Sastra itu membantu. Tapi sebagai jawaban, rencongku teracung tinggi. Lima belas detik, sepuluh pemain pedang dari negeri seberang itu masih menatapku awas. Pertarungan terhenti sejenak. Kembali mengukur kekuatan lawan dengan senjata barunya. Mereka jelas tidak menduga aku memiliki rencong itu. Lima belas detik. "HEI! Apa yang kalian lakukan di sana, Bodoh!" Kaisar berdiri dari kursinya, berseru dari sisi satunya, "Aku membayar kalian mahal untuk membunuh, bukan untuk mengobrol. Habisi 1" vigilante itu

Sepuluh orang itu kembali ke formasi lima-lima. Berteriak, lima pemain pedang di depanku kembali menyerang. Tapi kali ini, dengan rencong pemberian Abu Syik ada di tanganku, aku punya kesempatan. Lupakan menghindar, berkelit, apalagi lompat menjauh. Aku menyambut lima serangan itu sambil berteriak, menangkisnya, TRANG! Satu pedang patah lagi, TRANG! TRANG! Pedang kedua dan ketiga tetap bertahan, tapi pemiliknya terbanting satu langkah, aku mengejarnya sambil berkelit dari pedang keempat dan kelima. SLAAB! Rencongku kali ini berhasil menyabet paha salah satu lawanku, tidak sempat ditutup oleh temannya. Darah muncrat ke mana-mana. Mereka berseru tertahan. Mundur. Juga lima yang di belakang.

Aku sebaliknya, mengejarnya. TRANG! TRANG! Lima yang di belakang segera menutup celah pertahanan. Pertarungan berbalik arah, mereka yang sekarang bertahan habis-habisan. Lima-empat, bergantian bertahan. Aku buas menyerang. TRANG! TRANG! Satu lagi pedang mereka patah. Rencong yang kupegang berkilat-kilat menyambar ke sana kemari. SLAAB! Salah satu lawanku tersungkur dengan perut terburai. Aku berteriak, mengejar tanpa ampun. Empat lawanku kembali mundur. Digantikan empat yang lain. Kehilangan dua petarung, formasi mereka berubah menjadi empat-empat. TRANG! TRANG! Tiba di tengah-tengah lantai 40. TRANG! TRANG! Aku lompat menyabetkan rencong.

Empat yang di depan menangkis mati-matian, saling membantu, tapi itu percuma, dua pedang yang menahan seranganku patah. Masih di udara, aku memutar badanku, rencong itu bergerak seratus delapan puluh derajat, menyambar lawan terdekat. Dua dari mereka tersungkur dengan luka besar di dada. Formasi mereka hancur lebur. Enam tersisa, mereka mundur serempak, semakin mendekati posisi kursi Kaisar. Aku menghentikan sejenak serangan. Napasku menderu kencang. Rencongku teracung, penuh darah. Pakaianku juga dipenuhi darah lawan dan darah dari lukaku. Enam orang itu berbaris di depanku, menggunakan formasi tersisa, enam sekaligus. Kaisar masih berdiri, wajahnya menggelembung marah. Jenderal

polisi itu sepertinya tidak menduga aku bisa mengatasi pembunuh bayaran ini. Lima belas detik, aku berlari maju sambil berteriak, rencongku menyabet ke depan. Satu lawan enam, pedang menyambar dari berbagai sisi menyambut serangan, TRANG! TRANG! Aku menangkisnya, satu pedang lagi patah, sisi kiri formasi mereka terbuka. Rencongku berkelebat ke sana, SLAAB! Lawanku tersungkur. Dua dari kanan menyerang. TRANG! TRANG! Rencongku menangkis sambil mengamuk, mencari sasaran. TRANG! TRANG! Dua pedang patah sekaligus. SLAAB! SLAAB! Menyusul dua lawan sekaligus terkapar. Tersisa tiga, dan mereka kali ini benar-benar paham situasinya. Mereka tidak akan menang melawan rencong di tanganku. Senjataku lebih kuat, gerakanku lebih cepat.

"Serang vigilante itu, Bodoh!" Kaisar berteriak marah melihat tiga orang itu justru melangkah mundur setiap aku maju. "SERAAANG, PENGECUT!" Wajah Kaisar itu merah padam. Dia mencabut pistolnya. Aku bersiap menghindar. DOR! DOR! Jenderal justru menembak kepala dua pembunuh bayaran yang berdiri di dekatnya. Tidak sempat menghindar, dua pemain pedang terkapar di lantai. Tersisa satu orang yang berseru panik, bergegas berlari menjauh menuju tangga darurat. Kaisar membidiknya. DOR! Pemain pedang itu terjungkal di anak tangga. Jenderal memasukkan lagi pistol di pinggang. "Dasar bodoh! Pengecut! Percuma membayar kalian mahal-mahal!" Dia berteriak ke arah tempat lari pembunuh bayaran itu.

Aku terdiam sejenak. Kaisar itu kembali menatapku. "Sepertinya aku harus membereskan masalah ini dengan tanganku sendiri." Jenderal polisi itu menggeram. Aku balas menatapnya. Ini membingungkan. Kenapa Kaisar ini malah menembaki pembunuh bayarannya? Dan lihatlah, dia tetap tenang. Bahkan terlihat seperti bersiap bertarung melawanku. Melemaskan tubuhnya. "Nona Vigilante Tanpa Nama." Kaisar itu berseru, "Aku tahu rencong yang kau pegang itu milik Tuanku Imam." Aku menelan ludah. Bagaimana Kaisar ini tahu?

"Bukan hanya kau yang berlatih di talang itu, Nona Vigilante." Dia mendengus. Sambil melemaskan tangannya. "Aku juga menghabiskan masa kecilku di sana." Dia bicara lagi, "Akhirnya aku paham kenapa kau sangat hebat. Kau dilatih di tempat itu... Tapi ini menyebalkan, Nona Vigilante. Talang itu melahirkan bandit-bandit besar. Kau sebaliknya, entah siapa yang mencuci otakmu, kau menjadi berbeda begini.... Aku akan membereskan kekacauan ini, mengembalikan talang itu sebagai tanah para bandit. Bukan vigilante murahan sepertimu." Kaisar itu maju penuh percaya diri. Aku bersiap. Rencongku kembali terhunus siaga. Orang ini, aku juga akhirnya paham kenapa dia tetap tenang, dia juga adalah petarung.

Seberapa hebat orang ini? Aku tidak tahu. Tapi dia maju dengan tangan kosong untuk menghadapi rencong yang aku pegang. ltu berarti dia sangat percaya diri dengan kemampuannya.

Sang Kaisar Pertarungan final. Kaisar itu tidak berlari, lompat, apalagi melenting. Dia melangkah mendekatiku. Dengan langkah terkendali, tenang. Dua tangannya terangkat. Dua meter, semakin dekat, satu meter, masuk jangkauan pukul. Aku berteriak lebih dulu, menyabetkan rencong itu ke tangannya. Itu serangan mematikan, Kaisar ini terlalu percaya diri melawanku tanpa senjata. Tapi, astaga! Aku berseru tertahan. Dua tangan Kaisar menghilang begitu saja, dan sejenak, PLAK! Bukan hanya bisa menghindari serangan, tangan itu telah menghantam pergelangan tanganku yang memegang rencong.

Kuat sekali pukulan itu, membuat telapak tanganku pedas. PLAK! Pukulan kedua, rencong terlepas dari genggamanku, terpelanting di lantai beton. Aku masih berseru tertahan, kaget. BUK! Tinju Kaisar itu telah tiba, menghantam telak perutku, membuatku terbanting dua langkah ke belakang. Membuatku terduduk. Cepat sekali, lawan telah memukulku mundur. Kaisar itu menahan serangannya sejenak. Menatapku yang berusaha bangkit. "Hanya itu kehebatanmu, Nona Vigilante?" Dia bertanya sinis. Aku berteriak marah, melompat maju. Bergerak lebih cepat dan lebih kuat. Dua tinjuku teracung. Kiri, kanan. Tapi lagi-lagi, Kaisar itu tetap tenang berdiri di posisinya, dua tangannya terangkat.

Dan persis tubuhku masuk jarak pukul, bukan tinjuku yang mengenai tubuhnya, sebaliknya. Tangan Kaisar itu kembali menghilang. Secepat apa pun mataku berusaha membaca gerakannya, tetap tidak terlihat, dan BUK! BUK! Tinju Kaisar menghantam tanganku lebih dulu, membuatku mengaduh. Seranganku berhasil dipatahkan. Giliran Kaisar balas menyerang, BUK! Meninju daguku, membuatku terpental ke udara, dan BUK! Saat tubuhku masih berada di udara, tinju Kaisar yang lain kembali telak mengenai perutkuy, membuatku terpelanting dua meter. Bergulingan di lantai beton. Darah segar mengalir di mulutku. Aku meringis menahan rasa sakit. Bagaimana.... Bagaimana dia begitu mudah mengalahkanku? Aku tidak bisa melihat dua tangannya. Seolah menghilang begitu saja.

Kaisar itu maju dua langkah, berhenti. Menatapku sinis. "Mengecewakan, Nona Vigilante. Gurumu akan malu sekali melihatmu bertarung seperti ini. Atau hanya ini yang bisa diajarkannya di talang itu? Kau memilih guru yang lemah, Nona Vigilante." Aku berteriak marah, tidak ada yang boleh menghina Abu Syik. Aku bangkit, tidak peduli dengan kondisiku, menyerangnya membabi buta. Tiba di depannya. BUK! Dia menangkis tinjuku. BUK! Juga tinju kedua. Secepat apa pun gerakanku, dia bisa membacanya. Tangannya yang tidak terlihat itu bergerak lebih cepat. BUK! BUK! Juga serangan ketiga dan keempat. Saat aku hendak melepas serangan kelima. BUK! Dia lebih dulu meninju bahuku.

Membuatku terbanting. BUK! Sekali lagi meninju perutku. Membuatku tersungkur di atas beton. Kaisar itu lagi-lagi menahan sejenak serangannya. Aku menggeram. Berusaha berdiri. "Harus berapa kali aku menghajarmu hingga kau paham, heh? Kau tidak akan menang melawanku, Nona Vigilante." Kaisar itu mengangkat dua tangannya, "Lihat tanganku! Kau tahu jurus yang kugunakan, heh?" Aku mendengus. Sejak tadi aku tahu. Itu adalah jurus 'Tak Kasat Mata'. Abu Syik pernah menceritakan jurus itu padaku, hanya petarung hebat di talang yang menguasainya. Jurus itu harus dilatih sejak kecil. Itu sama seperti jari tanganku yang bisa menembus pohon atau tembok. Prinsipnya sama. Saat bagian

fisik tertentu dilatih terus-menerus, belasan tahun, kemampuan bagian fisik itu akan lompat mencapai titik mengagumkan. Jurus 'Tak Kasat Mata' melatih tangan bergerak secepat mungkin. Bukan berarti tangannya hilang, melainkan karena bergerak sangat cepat, lawan tidak bisa melihatnya. Itu jurus mematikan dalam pertarungan jarak dekat. Dikuasai petarung-petarung hebat masa lalu. Bagaimana jenderal polisi ini menguasainya? Siapa yang mengajarinya? Kaisar itu tertawa pelan. "Kasihan melihat wajahmu, Nona Vigilante.... Kau bertanya-tanya, bukan? Bingung? Baiklah. Atas nama kenangan sentimental di talang itu, sebelum menghabisimu, aku akan menceritakan sebuah kisah, Nona Vigilante. Sebuah kisah satire, ah, bukan.... Komedi. Juga bukan. Atau elegi. Drama. Aksi. Atau mungkin semua jenis kisah itu berkumpul menjadi satu.... Kisah tentang polisi." Kaisar itu menatapku sejenak. Aku meringis, perutku masih terasa sakit. Setelah tiga kali ditinju lawan. "Empat puluh dua tahun lalu, usiaku enam tahun, Nona Vigilante.... Anak kecil. Begitu polos. Begitu sederhana.... Aku lahir dan dibesarkan di kota kabupaten, dekat Bukit Barisan. Ayahku seorang polisi. Pangkatnya paling rendah. Prajurit dua. Ibuku seorang guru honorer, yang kadang dibayar dengan pisang, ubi, hasil bumi dari murid-muridnya. "Waktu itu, aku hidup bahagia. Aku punya adik perempuan usia tiga bulan. Aduh, senang hatiku. Aku selalu bangga bilang ke teman-teman tentang adikku. Juga tentang ayahku, Prajurit Dua polisi. Ayahku polisi yang jujur. Jangankan mencari-cari

kesalahan pelanggar lalu lintas, bahkan menerima hadiah makan siang dari orang lain dia akan diamdiam memberikannya ke anak yatim, atau fakir miskin yang lebih berhak. ltulah Ayah, polisi paling jujur seluruh negeri." Kaisar itu diam sejenak, mendongak. "Hingga suatu hari, Ayah bertugas mengatur lalu lintas di sebuah perempatan. Siang itu, sebuah mobil melaju cepat tidak terkendali. BRAK! Mobil itu lompat ke atas trotoar, menabrak pejalan kaki. Dua orang, suami istri. Malang nasibnya, si suami tewas di tempat, istrinya kehilangan kaki, diamputasi beberapa jam kemudian. Ramai perempatan itu. Ayah mengamankan sopir mobil itu. Seorang pemuda usia tujuh belas tahun, bersama teman perempuannya. Mereka mabuk.

Tidak punya SIM. Sempurna sudah melanggar semua peraturan. "Tapi betapa beruntungnya pemuda itu, dia adalah anak kepala polisi di kota provinsi. Sehari kemudian, datang rombongan polisi dari kota provinsi, menyuruh pemuda itu dibebaskan dari penjara. Seluruh berkas tuntutan dicabut. Semua penyidikan dihentikan. Lantas, istri yang kehilangan kaki itu dijadikan tersangka. Dengan tuduhan, mengenakan pakaian berwarna terlalu mencolok saat berjalan kaki di trotoar, hingga mengganggu pengemudi, membuat kehilangan konsentrasi. Dialah yang menyebabkan kecelakaan. Ajaib sekali, bukan?" Kaisar itu terkekeh. "Wanita yang malang. Kehilangan suami, kehilangan kaki, beberapa hari kemudian menjadi tersangka. Diadili. Saksi-saksi didatangkan. Jaksa,

hakim, semua telah disuap. Termasuk wartawan. Bahkan jika ada burung pipit yang menyaksikan kejadian itu, dia juga disuap. Tapi Ayah, dia tidak bisa disuap. Saat pengadilan berlangsung, dia dengan gagah berani bilang, mobil itulah yang melaju terlalu cepat, sopirnya mabuk, lompat ke trotoar menabrak pejalan kaki. Astaga! Jaksa berseru marah, bilang Ayah pembohong. Hakim mendengus buas, bilang Ayah menghina pengadilan. "Esok pagi, tubuh Ayah ditemukan di kubangan got busuk. Dengan tubuh babak belur. Mati. Menurut hasil penyelidikan polisi lain, Ayah bunuh diri, lompat ke dalam got. Bayangkan. Ada bunuh diri lompat ke dalam got. Negeri ini memang serba tidak masuk akal. Besok lusa, boleh jadi, ada orang jadi presiden setelah lompat masuk got.

"lbuku berteriak histeris saat jasad Ayah dibawa pulang. Ibuku tidak terima. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Kejadian itu membuatnya depresi, dia jadi gila. Entah ada di mana dia sekarang, telanjang, terus berjalan tak tahu tujuan. Adik perempuanku? Tidak ada yang mengurusnya, dia mati beberapa minggu kemudian. Tamat sudah keluarga bahagia itu. Tidak ada lagi yang tersisa." Kaisar itu diam. Wajahnya sejenak sedih. "Kau mungkin tidak akan percaya mendengarnya.... Tapi itulah yang terjadi, Nona Vigilante. Tidak masuk akal. Tapi terjadi. Sangat tidak masuk akal, tapi berserakan kasus seperti ini di seluruh negeri. Hukum diatur semau mereka. Lupakan logika. Entah di mana nurani tersisa. Mereka bisa sejahat itu menghukum ayahku. Padahal apa salah ayahku? Dia hanya berkata jujur...."

Lengang sejenak. "Tinggallah aku seorang diri. Anak kecil enam tahun. Rumahku dipasangi palang kayu, tidak bisa dimasuki. Maka aku memutuskan menyusul mencari lbu, berjalan tidak tahu arah. Terus berjalan. Terus berjalan. Hari demi hari berganti. Seminggu penuh berjalan tanpa henti, aku tiba di talang itu. Kelaparan. Nasibku membaik, salah seorang penghuni talang kasihan melihatku yang kurus kering, memberikan makanan. Aku makan dengan lahap sekali. "Dan tidak hanya itu. Orang itu, yang sering mabuk di rumah panggungnya, dengan mata merah menyala, setelah mendengar cerita jika aku mencari ibuku, dia mengajariku jurus itu. Dia bilang, aku terlalu lemah untuk menjadi petarung hebat. Tidak akan kuat berlatih lari, lompat, dan sebagainya.

Tapi dia akan mengajariku jurus hebat. Yang cukup dengan jurus itu, aku bisa tidak terkalahkan. Yang dengan jurus itu saja, aku bisa membalas sakit hati. "Orang itu hanya tinggal dua minggu di talang, lantas pergi, entah ke mana. Aku ditinggalkan di rumah panggung. Sendirian. Tapi tidak masalah. Aku punya rumah sekarang. Di dalam rumah itu juga tersimpan karung-karung makanan. Saat habis, ada ladang yang bisa kutanami. Aku memutuskan tinggal di sana. Sambil terus melatih jurus itu. Menggerakkan tanganku dengan cepat. Kiri ke kanan. Atas ke bawah. Orang itu meninggalkan catatan cara berlatihnya. Siang malam aku berlatih. Bahkan saat tidur pun tanganku bergerak. Kiri ke kanan. Atas ke bawah. "Tahun demi tahun berlalu. Gerakan tanganku semakin cepat. Dua belas tahun di talang, saat

usiaku delapan belas, aku pergi ke kota kabupaten. Tidak ada lagi rumah kami yang lama. Berganti ruko. Tidak masalah. Aku sudah besar, aku punya rencana. Aku mendaftar masuk menjadi polisi. Tiga puluh tahun lalu, siapa pun bisa masuk polisi sepanjang mau. "Kenapa aku masuk polisi? Karena aku ingin membalaskan sakit hati. Sekali aku diterima, pintu itu terbuka lebar-lebar. Karierku melesat dengan cepat. Karena aku punya rahasia kecil itu. Jurus Tak Kasat Mata. Siapa pun yang menghambatku, aku singkirkan. Siapa pun yang merintangiku, aku habisi. Sepuluh tahun, aku menjadi kepala polisi di kota kabupaten. Aku mulai mendatangi siapa pun yang dulu terlibat dalam pengadilan itu. "Satu per satu mereka mati. Hingga yang terakhir, pemuda itu, yang ternyata telah menjadi perwira tinggi di ibu kota negara. Aku mendatanginya, seolah anak buah yang berkunjung ke atasan. Lima menit mengingatkan dia tentang kejadian masa lalu itu, aku membunuhnya. Balas dendamku tuntas. Aku tertawa. Sejenak aku terdiam. Apa yang akan aku lakukan sekarang? Misi hidupku telah selesai. Apakah aku kembali menjadi polisi yang baik seperti Ayah dulu? "Tidak. Masih banyak yang bisa kulakukan. Lupakan menjadi polisi baik. Buat apa? Ayahku tewas dipukuli, dilemparkan ke dalam got. Ibuku gila, entah ada di mana. Adik perempuanku mati kurang gizi. Lupakan menjadi orang baik. Aku punya visi dan misi baru. Aku akan jadi polisi jahat! Sudah saatnya, semua polisi jahat dijadikan satu. Jiwa Korsa. Mari kita jadi jahat sejahat-jahatnya. Saling melindungi. Saling membantu. Aku mulai membangun kerajaan itu. Satu demi satu.

Kelompok demi kelompok berhasil disingkirkan. Hingga hanya tersisa satu kelompok, dan aku adalah kaisarnya. "Kerajaan itu semakin membesar. Kejaksaan, hakim, wakil rakyat, partai politik, media, semua bisa dibeli. Presiden? Dia hanyalah orang yang kebetulan ditunjuk saja. Tidak lebih, tidak kurang. Ujung ke ujung aku memerintah, menguasai. Aku adalah seorang Kaisar. Aku memang hanya memakai bintang tiga. Lihat! Tapi akulah yang menentukan jabatan tertinggi polisi. Aku bisa memesan undang-undang ke partai politik. Aku menguasai banyak hal." Jenderal polisi itu tertawa. "Itulah kisah lama itu, Nona Vigilante... Indah sekali, bukan? Kisah tentang polisi.... Seharusnya kau bergabung denganku. Dengan kemampuanmu, kelompok ini bahkan bisa menguasai negara lain. Jiwa Korsa ada di mana-mana. Sayangnya, kau memilih jalan sesat. Membuat malu. Talang itu hanya melahirkan bandit. Bukan pembela kebenaran sesat sepertimu." Dasar bodoh! Aku menggeram, dialah yang sesat. "Saatnya menghabisimu, Nona Vigilante." Jenderal polisi itu mendekatiku. Aku bersiap. Orang ini melakukan kesalahan kecil. Pertama, dia terlalu percaya diri. Dua, dia menceritakan kekuatannya. Apa yang dia bilang tadi? Dia hanya berlatih satu jurus saja sejak kecil. ltulah kelemahan besarnya. Aku tahu cara mengalahkan orang ini. Mudah saja. Jurus itu memang tidak terkalahkan. Siapa yang bisa melawannya jika tidak bisa melihat di mana tangan lawan? Tapi aku punya cara lain.

Jenderal itu tiba di depanku. Berada dalam jarak pukul. Tangannya kembali tidak terlihat. Aku berteriak. Tinjuku terangkat. Kaisar siap menangkis dengan tangan-tangan tak kasat mata. Bodoh! Kakiku yang diam-diam justru menendang kakinya. Aku tidak bisa melihat tangannya, buat apa aku menyerangnya. Tapi aku bisa melihat kakinya. PLAK! Telak menghantam kakinya. Dia kehilangan keseimbangan, berseru kaget, tidak menduganya. Sehebat apa pun tangannya, kakinya bisa diserang. PLAK! Aku sekali lagi menendang kakinya, tubuhnya terjungkal. Jenderal itu menggeram, segera berdiri. Melangkah mendekatiku. Tangannya kembali tidak terlihat, aku sekali lagi mengubah fokus serangan, BUK! Kakiku menendang lututnya. Dia berteriak marah. Masalahnya, dia seharusnya lompat menghindari

saat melawan petarung dengan kemampuan lengkap. Aku tahu, tanganmu bahkan bisa menangkap peluru saking cepatnya. Tapi selama ini, lawanmu hanyalah polisi-polisi bodoh! Mereka hanya sibuk menyerang bagian depan. Aku tidak, aku bisa memanfaatkan semua titik lemahmu."

"Ketahuilah, Kaisar. Nasibmu sudah tamat. Kaulah yang tidak akan menang melawanku dengan hanya mengandalkan jurus itu." Jenderal itu menyeka wajahnya, dia tahu dia telah kalah. Aku bersiap menghabisinya. Tapi dia lebih dulu bertepuk tangan pelan.

Rahasia Nina & Sapti Ternyata Kaisar ini masih punya kartu As terakhir. Jurus licik miliknya. Persis di ujung suara tepuk tangan itu, dua polisi turun dari lantai 41, menyeret seseorang. Apa yang terjadi? Siapa yang diseret oleh dua polisi itu—yang terlihat meronta-ronta melawan? Seranganku tertahan sejenak. Dua polisi itu terus menyeretnya hingga tiba setengah meter dari bibir lantai di dekat tangga darurat. Salah satu dari mereka melepas ikatan yang menyumpal mulut yang diseret. "KAK PADMAAA!" Persis mulutnya bisa bicara, seseorang itu berseru kencang.

"NINA!" Aku balas berseru. Hendak berlarian membantunya. "Tidak secepat itu, Nona Vigilante." Kaisar itu lebih dulu berteriak, "Lemparkan wanita itu ke bawah jika dia coba-coba membantu." Gerakanku terhenti. Ancaman itu serius. Dua polisi itu bersiap melemparkan Nina ke bawah sana. Nina kembali berontak, tubuhnya sudah separuh di luar bibir lantai, dipegangi dua polisi. "Tetap di tempatmu, Nona Vigilante. Atau temanmu berakhir mengenaskan di bawah sana. Jatuh dari ketinggian 40 meter." Kaisar itu mendesis.

Aku menelan ludah. Berdiri mematung. Ini rumit. Secepat apa pun aku berlari ke sisi lantai sana, dua polisi itu lebih cepat menjatuhkan Nina. "Lepaskan temanku!" Aku berseru, "Atau apa, heh?" Kaisar bertanya sinis. Aku mengepalkan jemari. Aku tidak punya daya tawar. "KAK PADMAAA!" Nina berseru lagi. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi teriakan itu menjelaskan semuanya. Dia panik, takut, semuanya terdengar dari teriakannya. Angin kencang menyibak rambut keritingnya. Dari ketinggian 40 lantai, Nina pasti menatap ngeri ke bawah sana. Apa yang harus aku lakukan? Aku menggeram. Kaisar ini kembali menguasai situasi.

Aku benar-benar luput memerhatikannya. Ini salahku, aku membiarkan Nina sendirian di kosan. Persis aku meninggalkan kosan itu, sepertinya serombongan polisi merangsek masuk. Menyergap Nina di kamarnya. Lantas membawanya dengan helikopter, mendarat di lantai paling atas gedung ini, menurunkannya saat situasi genting. Jenderal polisi ini punya rencana yang matang. Dia memiliki strategi berlapis-lapis. Tapi bagaimana dia tahu Nina? Kaisar itu menyeringai tipis. Seperti tahu apa yang kupikirkan. "Karena bukan hanya anak buahku yang membuat kesalahan, Nona Vigilante. Kalian juga bisa membuat kesalahan." Dia tertawa. Apa maksudnya?

"Ingat saat gedung di kawasan Kota Tua diledakkan, temanmu datang ke sana, bukan? Dia berjam-jam duduk di restoran itu. Membuka laptop... tu kesalahannya! Setelah alat berat memindahkan reruntuhan, melihat lubang di lantai dasar, kulkas dengan isi tanah, aku tahu apa yang terjadi. Orang yang menemui jaksa itu berhasil menyelamatkan diri, dan dia pasti dibantu orang lain yang memberikan informasi tentang saluran air. Aku menyuruh anak buahku menyita CCTV di kawasan itu, memeriksa petunjuk. Bukan hanya kalian yang mencari tahu informasi lawan. Aku juga melakukannya. "Sial bagi temanmu. CCTV restoran merekam dengan jelas, dia membuka peta kawasan Kota Tua. Aku segera tahu dialah yang membantu. Dia hacker yang hebat, namanya tidak ada di mana-mana. Hanya fotonya dari CCTV.

Tapi mata-mataku banyak, foto itu disebar. Kau tahu siapa yang akhirnya memberikan informasi temanmu? Ajudan yang mati itu. Dia awalnya mengaku pernah melihatnya. Tapi saat didesak, dia bilang lupa. Anak buahku yang lain memutuskan mengintai di gang kecil dekat rumah bapaknya. Berminggu-minggu, akhirnya dia melihat temanmu membeli makanan. "Rambut keriting, tubuh gendut, gampang sekali mengenalinya. Aku marah kepada ajudan itu. Dia menyembunyikan informasi. Itulah alasannya kenapa dia mati. Hanya karena alasan sentimental, tidak mau pelanggan setia warung itu mati, dia berusaha menutupi informasi. Aku menembak kepalanya. Sisanya, kau sudah tahu apa yang terjadi." Kaisar itu maju mendekatiku. "KAK PADMA!" Nina sekali lagi berseru.

Aku tahu, Nina butuh bantuanku, tapi aku tidak bisa melakukannya. "Berlutut, Nona Vigilante!" Jenderal polisi itu membentak. Aku menatap wajahnya. Yang terlihat serius, mengancam. "Berlutut, atau temanmu dilemparkan ke bawah sana." Aku menelan ludah, perlahan berlutut—tidak jauh dari tempat rencong tergeletak. Persis kakiku menyentuh beton lantai. PYAR! Kaisar itu menghamburkan serbuk halus dari genggaman tangannya. Dia sejak tadi telah mengambil serbuk itu dari sakunya. Aku terkesiap. Itu racun. Tapi aku terlanjur menciumnya.