Cepat sekali efek racun itu. Mataku mulai berkunang-kunang. "Apa... apa yang kau lakukan?" Aku berseru. "Dasar bodoh! Aku sedang menghabisi kalian." Ini semakin rumit. Bukan hanya Nina, aku ikut tidak berdaya. Aku benar-benar tidak menyangka jika Kaisar ini masih punya 'senjata' lain. Racun. Kaisar itu menoleh ke dua anak buahnya, "Lemparkan temannya ke bawah." Aku berseru tertahan. Tapi tubuhku mulai lemas. "KAK PADMAAA! TOLOOONG!" Dua polisi di sana menyeret Nina mendekati bibir lantai, lantas tanpa ampun mendorong tubuhnya. "KAK PADMAAA!" Teriakan Nina terdengar bersamaan tubuhnya meluncur jatuh.
Sementara Kaisar itu mengangkat kedua tangannya, dia siap menghabisiku dengan jurus maut itu. Aku berteriak kencang. Aku tahu, aku akan mati. Nina juga telah dilemparkan. Saatnya aku mati bersama Kaisar ini. Dengan sisa tenaga, dengan sisa kesadaran, tanganku menyambar rencong yang tergeletak di dekatku. Dengan tubuh separuh limbung, mata semakin berkunang-kunang, aku lompat menyergap, rencong itu menebas ke depan. Cepat sekali. SLAAB! Dua tangan Kaisar lebih dulu putus hingga ke bahu sebelum dia memulai jurus Tak Kasat Mata. Dia tidak menduga jika aku masih bisa menyerang. Tubuhnya terjungkal ke belakang.
Aku juga kembali jatuh terduduk. Kepalaku seperti hendak meledak. Racun itu telah tiba di sarafku. Tubuhku terguling di beton lantai. Tanganku terkulai, rencong berkelontangan. Selamat tinggal semuanya.... Aku akan menyusul Abu Syik. Aku akan menyusul Nina. Selamat tinggal monyet itu. Wajahnya berkelebat di ingatanku. "Jika kau tidak keberatan, apakah kau mau menjadi temanku, Padma?" Aku tersenyum getir. Aku tidak bisa memenuhi janji itu. Menjadi 'teman' selamanya. * kk Tapi kisah ini belum berakhir.
Saat itulah, saat penglihatanku semakin pudar, kesadaranku semakin turun, beberapa orang terlihat berloncatan masuk ke lantai 40 menggunakan wingsuit. Satu, dua, tiga... Empat, lima.... Salah satu dari mereka segera berlarian mendekatiku. "Padma!" berseru. Aku masih bisa mengenalinya. ltu Sapti. "Suntikkan antidote-nya. Segeral!" Seseorang yang lain berseru. Sapti meluncur di dekatku, tiba di depankuy, tangannya menghunjamkan sesuatu ke bahuku. Sebuah jarum suntik, dengan cairan kuning. Menyuntikkan antidote, alias penawar racun. "Bertahanlah, Padma." Sapti memelukku erat-erat.
Aku menatapnya. Kosong. Aku tidak bisa bergerak. Tubuhku lumpuh. "Bertahanlah, Padma! Aku mohon...." Aku tidak bisa bicara. "Lihat, Padma! [tu Nina, dia baik-baik saja." Sapti menunjuk. Aku menatap di anak tangga darurat, dua orang terlihat membopong Nina. Apa yang terjadi? "Halo, Padma. Kita bertemu lagi." Seseorang menyapaku. [tu Chen. Tepatnya DAC Chen, polisi Singapura. Seseorang juga berdiri di samping Chen. Seorang wanita, usianya sekitar enam puluh tahun, mengenakan pakaian gelap. Dia sepertinya
pemimpin rombongan yang datang. Dia jongkok, tersenyum. "Halo, Anakku." Wanita itu juga menyapaku, lembut. Siapa dia? Siapa wanita itu? "Selamat datang di Organisasi." Wanita itu memegang erat jemariku, "Akhirnya kita bertemu langsung. Kau sedang melihat anggota-anggota terbaik Organisasi ini." Lima orang berdiri di belakang wanita itu. Termasuk Chen. Organisasi apa? Apakah organisasi yang disebut Abu Syik dulu? "Aku minta maaf jika tidak segera memberitahumu.... Empat tahun lalu, akulah yang seharusnya kau temui di taman, Nak. Tapi kau tidak muncul. Aku berpikir, kau memilih jalan hidup lain.
Tidak masalah. Aku memutuskan mencoret namamu dari daftar. Tapi hei, setahun kemudian, radio antik milik Abu Syik menyala. Aku terkejut. Radio itu dulu adalah alat komunikasi darurat, sekaligus untuk mengetahui posisi masing-masing. Aku tahu lokasimu, mengunjungimu diam-diam. Menyaksikan seorang gadis muda, yang penuh semangat, kuliah di dua belas fakultas. Yang berlatih berlari mengejar KRL setiap pagi. "Itu mengesankan. Di luar harapanku. Kau ternyata terus berlatih dan menyiapkan diri dengan caramu sendiri. Itu jauh lebih hebat dibanding latihan yang akan disiapkan oleh Organisasi... Maka, aku memutuskan mengirimkan teman untukmu. Nina. Dia juga adalah anggota organisasi muda. Direkrut sejak usia enam tahun, saat dua orang tuanya kembali berlayar. Dia memasukkan namanya sebagai mahasiswa baru Fakultas Komputer...
Tinggal di kamar sebelah. Dan kalian cocok satu sama lain, bersahabat karib. "Setahun kemudian, melihatmu semakin berkembang, aku mengirim Sapti, juga anggota organisasi muda. Direkrut sejak tinggal di panti asuhan. Suster itu juga anggota Organisasi. Lagilagi, kalian cocok satu sama lain. Nina dan Sapti tidak pernah bilang soal itu—termasuk Nina tidak tahu jika Sapti adalah anggota Organisasi, agar kalian bisa berteman secara alamiah, persahabatan sejati. Sambil terus berkembang, melatih kemampuan masing-masing. "Maka lihatlah aksi kalian." Wanita itu tersenyum lagi, "Terutama, lihatlah aksimu, Padma.... Seorang diri, kau meruntuhkan kelompok Jiwa Korsa. Menghabisi Kaisar. Mengalahkan jurus Tak Kasat
Mata. Itu benar-benar di luar harapanku. Kau telah tumbuh menjadi petarung hebat, Nak." Aku masih menatap wajah wanita itu. Tubuhku perlahan mulai bisa digerakkan. Penawar racun itu bekerja efektif. "Organisasi.... Organisasi apa?" Aku bisa bicara kembali—meski masih patah-patah. "Organisasi. Hanya itu namanya. Atau gampangnya, sebut saja organisasi para vigilante!" Wanita itu menjawab. "Untuk apa?" "Dunia ini dipenuhi kejahatan, Nak. Saat sistem hukum tidak bekerja, negara-negara tidak bisa melawan, maka Organisasi yang akan melawannya." "Melawan siapa? Polisi-polisi jahat?"
"Dia memang masih minim pengalaman." Chen ikut bicara, tertawa. Aku menoleh menatap Chen. "Besok lusa kau akan tahu, Nak. Polisi-polisi jahat ini hanyalah bagian kecil dari kejahatan terorganisir. Di luar sana, masih banyak lagi." Wanita itu tersenyum, menjelaskan, "Salah satunya melawan keluarga penguasa shadow economy. Satu di antara mereka, mungkin menarik sekali bagimu. Karena dia sekarang sedang menapaki jalan menjadi pemimpin keluarga. Kau masih membutuhkan waktu bertahun-tahun berlatih agar siap menghadapi keluarga shadow economy. Tapi kau adalah Padma. Kaulah anggota terhebat Organisasi ini. Disiapkan sejak kecil, dilatih di talang itu." Aku menelan ludah. "Sekali lagi, selamat datang di Organisasi, Nak."
Aku menatap wanita itu, masih belum mengerti. Tapi Nina telah sampai di dekatku. Tadi, saat dia dilemparkan ke bawah sana, dua anggota Organisasi terlatih menyambarnya dengan jaring di lantai 38. Lantas membawanya naik melewati anak tangga. Sapti yang memberi tahu Organisasi. ltulah rencana cadangannya, diam-diam meminta bantuan. Organisasi datang dengan kekuatan penuh. Nyaris terlambat, tapi mereka berhasil mendarat di gedung. Menyelamatkan Nina, dan juga menyelamatkanku. Nina yang sekarang terduduk di dekatku, lantas memelukku erat-erat. "KAK PADMA!"
Masih banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab di kepalaku. Siapa wanita ini? Siapa saja anggota Organisasi yang bersamanya? Apa maksudnya dengan keluarga shadow economy? Dan siapa yang sedang menapak jalan menjadi pemimpin salah satu keluarga? Aku meringis, kepalaku masih terasa sakit. Lupakan sejenak semua pertanyaan itu. Malam ini, aku berhasil mengalahkan Kaisar. Malam ini, Nina, sahabat terbaikku selamat. Dia sedang memelukku erat-erat. Seolah tidak akan pernah dilepaskan lagi. "Kak Padma, tadi aku takut sekali...." "Nina...." "Iya, Kak Padma?" "Aku juga takut sekali kehilanganmu.... Aku juga sekarang senang sekali dipeluk olehmu.... Tapi tubuhmu membuatku susah bernapas. Bisa tolong lepaskan sejenak, Nina?" Aku bicara. "Oh, maaf, Kak." Nina melepaskan pelukan. "Makanya diet, Nina." Sapti mengedipkan mata. "lya, Tukang Jambret. Besok-besok aku diet." Nina mendengus. Kami bertiga tertawa pelan. * kk
Bab Bonus: Boss Girl! Belasan tahun kemudian. BUK! Diego melepas pukulan kuat itu, Bujang terbanting ke belakang. Terkapar. Debu beterbangan di basemen. Maria berlari, mendekati tubuh Bujang yang tidak bergerak. Darah mengalir dari mulutnya. Thomas, White, Junior, Salonga, Yuki, Kiko, dan Nyonya Ayako mematung. Mereka tidak bisa membantu Bujang, kondisi mereka juga buruk. Tidak ada yang bisa mengalahkan Diego sekarang. Diego melangkah maju, diikuti oleh Natascha dan antek-anteknya. Tertawa lebar.
Bujang masih tidak bergerak. "Malam ini, aku akan membunuhmu, Dik!" Diego terkekeh. "Bujang, moya zhizn, bangun." Sementara Maria berseru panik. Pakaiannya ikut basah oleh darah dari tubuh Bujang, "Aku mohon, bangun, kotik." Situasi semakin menegangkan. Diego tinggal beberapa langkah lagi dari Bujang. "Bangun, moya zhizn, kotik." Maria terus berusaha. Saat ketegangan langit-langit basemen nyaris tiba di puncaknya— "Tidak, Nona dari Moskow!" Seseorang ikut bicara. Membuat kepala-kepala menoleh. Dari anak tangga batu melangkah turun seseorang. Wanita. Tinggi, dengan pakaian gelap. Melintasi kepul debu dengan penuh percaya diri. Matanya menatap tajam.
Rambut panjangnya tergerai hingga pinggang. Dianyam sedemikian rupa, membentuk 'ekor' panjang, dengan ujungnya terikat tombak berkilat sejengkal. Di pinggangnya sebuah rencong tergantung. Tawa Diego terhenti. Dia ikut menatap siapa yang baru tiba. "Kau tidak pernah memiliki Bujang, Nona dari Moskow." Perempuan itu tersenyum, "Dia bukan kotik-mu. Dia adalah 'monyet'-ku." Perempuan itu tiba di tengah ruangan, berdiri di samping Maria—yang menatapnya bingung. Tepatnya, nyaris semua orang di basemen itu menatapnya bingung. "Dan kau, Diego, putra dari Samad, cucu dari Si Mata Merah. Tidak, bukan kau yang berhak
membunuh Bujang. Hanya aku yang berhak menghabisinya." Ruangan lengang sejenak. Perempuan ini terlihat sangat percaya diri, seolah Diego dan antekanteknya hanyalah petarung biasa. "Keren!" Yuki berseru. "Boss Girl!" Kiko menimpali. "Siapa.... Siapa gadis itu?" Nyonya Ayako bertanya. Dia mengenali rencong itu, dibuat dari logam mulia Gunung Fuji, sama seperti pedang miliknya.... Dan gadis ini... mengenakan senjata 'ekor ular berbisa' Gurun Sahara di ujung anyaman rambutnya. "Kalian tahu siapa gadis itu?" Nyonya Ayako bertanya lagi. "Tidak tahu." Yuki menggeleng.
"Tapi sepertinya Bujang punya urusan dengannya." Kiko menambahkan. "Iya, dan itu mungkin lebih menakutkan dibanding berurusan dengan Diego." Yuki menyeringai. "Benar. Aduh, juga malang sekali nasib Maria." "Ini bakal seru. Cinta. Patah hati. Masa lalu. Masa depan." Si Kembar tertawa cekikikan. Nyonya Ayako menatap si kembar. Apa yang terjadi? Siapa perempuan ini? Dari keluarga mana dia?
Buku berikutnya: Bandit-Bandit Berkelas