Super Freelance :: Kucing Hitam Misterius.
Senja merangkak naik dengan lambat, membingkai kedai kopi kecil milik Pak Joko dalam warna jingga yang hangat.
Di sudut ruangan, Bima dan Brata, dua pemuda multitalenta yang menyebut diri mereka "Super Freelance," sedang menikmati sore mereka.
Bima, yang selalu optimis meski seringkali sial, duduk menyesap kopi hitamnya dengan khidmat. Sementara itu, Brata, sahabatnya yang jauh lebih realistis dan tenang, memeriksa handphone dengan harapan ada email masuk, mungkin sebuah proyek freelance yang bisa menyelamatkan kondisi keuangan mereka yang sedang terpuruk.
"Tidak ada email yang masuk," gumam Brata sambil garuk-garuk kepala.
"Sepertinya nasib burukmu memang menular."
Bima hanya menyengir tanpa merasa bersalah.
"Tenang saja, pasti ada sesuatu yang datang. Kita hanya perlu sedikit sabar."
Rutinitas sore mereka yang damai mendadak terusik ketika pintu kedai terbuka dengan derit halus. Seorang wanita paruh baya masuk dengan wajah cemas, membawa selembar poster di tangannya. Ibu Melisa, begitu warga menyebutnya, terkenal karena kecintaannya pada hewan, terutama kucing.
"Pak Joko, saya butuh bantuan.. Kucing saya hilang, sudah beberapa hari.. Bolehkah saya menempelkan poster di kedai kopi, barangkali ada yang melihat di sekitar sini?" katanya, dengan mata yang berkaca-kaca.
Pak Joko menerima poster tersebut, lalu menatap ke arah Bima dan Brata yang sedang duduk santai di sudut ruangan.
"Tentu saja, tapi mungkin dua pemuda itu bisa membantu lebih dari sekadar menempelkan selebaran," ucapnya sambil tersenyum ke arah Bima dan Brata.
Bima langsung menyala.
"Kami bisa bantu, Bu! Tidak ada kasus yang tak bisa kami selesaikan, Super Freelance selalu siap!" katanya dengan semangat berlebih, yang membuat Brata hanya bisa menghela napas panjang.
"Benarkah? Oh, terima kasih!" kata Ibu Melisa penuh harap, menyerahkan poster kucing putih berbulu lebat yang hilang kepada Bima.
Brata, dengan realistisnya, menatap Bima dengan pandangan yang ogah-ogahan.
"Apakah kita benar-benar harus melakukan ini? Mencari kucing yang sudah hilang beberapa hari itu merepotkan, Bim.." tanyanya pelan.
"Hey, ada imbalan.. Dan kita juga tidak bisa pilih-pilih tugas? Mengingat kondisi keuangan kita saat ini!" jawab Bima penuh percaya diri dan menyala seperti biasa.
Dengan terpaksa, Brata menerima misinya, lalu memastikan semua informasi yang diperlukan dari Ibu Melisa. Kemudian mereka berangkat menuju taman kompleks perumahan, tempat terakhir kucing itu terlihat.
Bima menyalakan motor tua mereka dengan senyum penuh optimisme. Kemudian, Brata berpamitan pada Pak Joko dan Bu Melisa, lalu berjalan ke arah Bima dan motornya.
"Sebaiknya kita segera menemukan kucingnya, karena hari sudah mulai malam," ucap Brata sambil melihat bulan purnama yang sempurna di atas langit.
Namun, seperti biasa, nasib buruk tampaknya selalu menempel pada Bima. Motor mereka tiba-tiba mogok di tengah jalan, membuat Brata menatapnya dengan tatapan. "aku-sudah-menduga-ini."
"Kau pasti lupa isi bensin lagi, kan?" tanya Brata, setengah mengomel.
Bima hanya nyengir. "Ya, mungkin sedikit."
Mereka akhirnya harus menuntun motor beberapa ratus meter ke taman komplek perumahan tempat tinggal Bu Melisa. Bima kemudian memarkirkan motor tuanya di pinggiran taman.
Begitu tiba, Brata segera mengaktifkan kemampuan spesialnya, Soca Aura, mata yang mampu melihat aura individu dari setiap makhluk.
Matanya bersinar lembut saat dia memfokuskan pandangannya pada poster kucing hilang di tangannya, lalu memperhatikan sekeliling taman untuk mencari jejak aura yang terlihat sama dengan yang ada di poster.
"Ada jejak auranya, walaupun samar-samar," kata Brata sambil menunjuk ke arah gedung tua terbengkalai di ujung komplek.
Bima mengangguk,
"Kalau begitu, kita ke sana!"
Ketika mereka tiba di gedung terbengkalai, suasana berubah. Langit malam yang tadinya cerah dengan gemerlap bintang, mulai tertutup awan gelap, dan angin dingin berhembus pelan.
Tanpa banyak bicara, mereka berdua menyelinap melewati pagar yang rusak dan memasuki area gedung terbengkalai yang gelap.
Di dalam gedung yang gelap, mereka menemukan hal yang tak terduga. Entah itu puluhan, bahkan ratusan kucing berkerumun di sana.
"Miauw.."
"Miau.."
Suara kucing yang saling bersahutan dengan lainnya.
Sekilas, Brata merasakan sensasi seperti ada yang menatapnya dengan tajam setelah memasuki gedung besar itu. Suasana di dalam gelap dan sepi, hanya suara kucing yang terdengar.
Brata mengerutkan kening, ia tidak bisa mengabaikan rasa tidak nyaman ini. Ada sesuatu yang misterius di sini, menjadikannya waspada dengan Soca Aura miliknya selalu aktif.
"Ini... surga pecinta kucing, atau gimana?" tanya Bima dengan mata berbinar.
Bima pernah bercerita kepada Brata bahwa dia sangat menyukai hewan dan ingin sekali mempunyai hewan peliharaan, tapi setiap hewan yang didekati selalu takut dan berlari menjauh darinya, entah itu kucing, anjing, atau lainnya.
Bahkan ikan yang di dalam toples bisa stres dan mati kalau Bima mendekatinya, mungkin semua itu karena kutukan nasib buruk yang ada dalam dirinya.
Brata hanya menggelengkan kepala.
"Fokus, Bim... Ini bisa jadi lebih dari sekadar mencari kucing yang hilang."
Menggunakan Soca Aura, Brata melacak kucing putih milik Ibu Melisa.
"Itu dia!" katanya sambil menunjuk kucing yang sedang duduk di sudut ruangan.
Dengan cekatan, Brata menangkap kucing itu dengan kedua tangannya.
"Bagus, misi selesai!" seru Bima dengan senang hati.
Bima dan Brata bermaksud segera pergi meninggalkan tempat itu, tapi langkah mereka terhenti ketika terdengar suara serak yang menggema dari dalam gedung.
"Berhenti! Lepaskan temanku!" teriaknya dengan nada mengerang marah.
Dalam suasana mencekam itu, dari balik bayangan kegelapan, seekor kucing hitam muncul.
Tubuhnya diselimuti oleh aura gelap yang samar, seolah mengisyaratkan ada kekuatan misterius yang meluap dari dalam dirinya.
Mata merah menyala kucing itu bersinar tajam, menembus ketegangan malam, memancarkan rasa misteri dan ancaman bagi yang melihatnya.
Brata melihatnya dengan Soca Aura miliknya, ternyata kucing hitam tersebut adalah sesosok siluman dengan wujud kucing berwarna hitam.
"Kucing ini memiliki majikan yang mencarinya. Kami tidak bermaksud buruk," Brata mencoba menjelaskan dengan tenang.
Kucing hitam itu awalnya terlihat biasa, namun saat ia mulai menggeram dengan suara yang dalam. Suara itu menggema di udara.
Auranya tiba-tiba berubah gelap, seolah-olah ada badai yang mengelilinginya. Sesaat kemudian, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Tubuhnya membesar dengan cepat, dan dalam sekejap, ia berubah menjadi kucing hitam raksasa setinggi tiga meter.
Dengan cakar kuat yang mencengkram tanah dan mata merah yang menyala.
"Manusia selalu tidak bisa dipercaya. Kembalikan temanku, atau kalian akan jadi makan malamku!" Raung siluman kucing hitam itu, membuat suasana semakin mencekam.
Bima sekilas saling bertukar pandangan dengan Siluman kucing hitam tersebut.
Tanpa ragu, Bima berjalan maju kedepan.
"Serahkan ini padaku," katanya dengan tenang, meskipun Brata menatapnya sedikit khawatir.
Siluman kucing hitam raksasa itu melompat menerjang Bima, meski terseret mundur beberapa langkah.
Tapi Bima berhasil menahan serangan itu.
Sewaktu Siluman kucing hitam raksasa menyadari terjangannya mampu ditahan, secara refleks, dia menggigit bahu kanan Bima.
Bima sedikit meringis kesakitan, menahan gigitan Siluman kucing hitam raksasa tersebut. Walaupun dengan kesakitan itu, Bima tetap berdiri tegak dan tidak melepaskan pegangannya.
Sesaat Siluman kucing hitam raksasa menggigit bahu Bima, dirinya seperti ditatap tajam dengan sepasang mata merah dari dalam kesadaran Bima, seolah ada entitas lain yang lebih gelap dan superior di dalam diri Bima.
Siluman kucing hitam raksasa itu secara naluri seketika terdiam dan gemetaran, merasakan ketakutan yang luar biasa setelah ditatap tajam oleh sepasang mata merah tersebut.
Dengan lembut, Bima mengusap kepala siluman kucing hitam raksasa itu dengan tangannya.
"Apakah kau sudah tenang sekarang?"
"Saat pertama kali melihat sorot matamu, aku jadi teringat melihat diriku di masa lalu sebelum bertemu dengan Brata.."
"Sorot mata yang kesepian..." bisik Bima kepada kucing hitam raksasa di telinganya.
Siluman kucing hitam raksasa yang tersadar dari rasa takutnya, setelah mendapat bisikan Bima tersebut, lalu refleks melepaskan gigitannya.
Dia melompat ke belakang dengan tubuh yang masih gemetaran menahan ketakutan.
Pada Bima, dia melihat Bima dengan waspada dan takut.
Bima berdiri sambil memegang bahunya yang terluka dan melihat siluman kucing hitam raksasa yang waspada kepadanya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu di masa lalu.."
"Tapi percayalah, kau hanya perlu menemukan teman yang mengerti dirimu, dapat kau percayai, dan saling berbagi perasaan bersama!" ucap Bima sambil tersenyum dengan ekspresi wajah yang kasihan, melihat siluman kucing hitam raksasa tersebut.
Saat Bima melontarkan kata-katanya, sebuah gelombang kenangan menghantam si siluman kucing hitam raksasa. Ia teringat masa lalu yang kelam.
Dulu, ketika hidup, ia menjadi korban stigma. Suara ejekan dan tatapan penuh ketakutan dari manusia mengukir luka mendalam di jiwanya.
Mereka percaya takhayul bahwa dirinya kucing hitam adalah simbol kesialan, yang membuat hidupnya penuh penderitaan.
Hingga suatu hari, nasibnya berakhir tragis dan misterius. Sejak itu, jiwanya terjebak di dunia ini.
Ia berkelana, mengganggu setiap manusia yang disekitarnya dengan alasan balas dendam.
Ingatan siluman kucing hitam raksasa kemudian kembali pada saat ini, dan melihat luka di tubuh Bima yang disebabkan olehnya.
Namun, yang mengejutkan, Bima tidak menunjukkan sifat marah padanya. Sebaliknya, simpati terpancar dari wajahnya. Ekspresi ini benar-benar membuat si kucing hitam raksasa bingung.
"Apakah semua manusia tidak sama?" pikirnya.
Perlahan, tubuhnya kembali ke wujud semula, dan tanpa suara, ia lenyap bagai asap yang dihembuskan angin, meninggalkan tempat itu dan para kucing lainnya.
Semua kucing yang ada di dalam gedung itu tiba-tiba seperti tersadar kembali dari Domain milik Siluman kucing hitam, lalu berlarian keluar dari gedung ke berbagai arah.
Brata menghela napas lega.
"Kau sungguh aneh, tahu nggak?" ucapnya menghampiri Bima karena khawatir padanya dan Bima hanya membalasnya dengan tersenyum.
Setelah mengantar kucing putih kembali ke Ibu Melisa, mereka menerima hadiah uang yang lebih besar dari yang dijanjikan. Membuat Bima dan Brata senang dan berterima kasih kepada ibu Melisa.
Dalam perjalanan pulang, sambil menuntun motor yang masih kehabisan bensin, Brata menatap luka di bahu Bima.
"Jadi, bagaimana dengan luka itu?" tanya Brata.
Bima hanya tersenyum santai.
"Besok juga sembuh. Lagipula, aku punya hubungan baik dengan nasib burukku," jawabnya sambil tertawa.
Brata, yang sudah berteman lama dengan Bima, hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Dalam hatinya, ia juga heran dengan pemulihan tubuhnya. Karena luka apapun yang dialami oleh Bima pasti sembuh sendiri besok harinya.
Bahkan, sekian lama berteman dengan Bima, Brata tidak pernah melihat Bima mengeluh sakit seperti orang normalnya. Seperti sakit kepala, demam, dan lain-lain.
Mungkin, nasib buruk yang selalu mengelilingi Bima memang bukan nasib buruk biasa.
Tapi satu hal yang pasti, setiap petualangan mereka selalu berakhir dengan cerita yang aneh, tidak bisa mereka prediksi, dan banyak misteri di dalamnya.
---
Terima kasih, sudah membaca sampai selesai yaa Guys..
Tungguin, Bab Selanjutnya,.
Super Freelance :: Markas Dan Anggota Baru.