Di sebuah desa kecil, Aira, seorang gadis berusia delapan tahun, duduk di bawah pohon mangga di halaman rumahnya. Dia menggenggam sebuah buku catatan kecil, memandang kosong ke arah langit. Hari-hari terasa sepi sejak Luna, kucing kesayangannya, pergi.
Suatu sore, Aira terlihat termenung saat mendengar suara tawa anak-anak di luar. Dia menggigit bibirnya, rindu untuk bermain.
"Kenapa kamu tidak ikut bermain, Aira?" tanya Rina, teman sekelasnya, yang datang menghampiri. "Kami sudah menunggu kamu!"
Aira menggelengkan kepala. "Aku… aku tidak mau. Aku sedang tidak enak hati," jawabnya sambil menunduk.
"Apakah itu karena Luna?" Rina bertanya lembut. "Aku tahu kamu sangat menyayanginya."
Air mata Aira mulai menggenang. "Iya. Rasanya seolah ada yang hilang dari diriku."
Rina duduk di samping Aira. "Aku tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan, tapi mungkin kamu bisa bercerita tentang Luna. Dia pasti sangat spesial untukmu."
Aira menghela napas. "Dia selalu ada saat aku merasa kesepian. Kami bermain setiap hari. Sekarang… aku merasa sendirian."
"Kalau begitu, mari kita kenang Luna bersama-sama. Apa yang paling kamu ingat tentang dia?" Rina tersenyum, mencoba menghibur.
Aira tersenyum samar. "Dia suka tidur di pangkuanku sambil mendengkur. Dan dia sangat menyukai ikan!"
Rina tertawa. "Kucing pasti suka makanan enak. Kita bisa membuat cerita tentang petualangan kamu dan Luna!"
Aira merasa hangat di hati mendengar itu. "Iya! Kami pernah bermain di taman, dan Luna hampir mengejar kupu-kupu."
"Bagaimana kalau kita bermain bola setelah ini?" Rina mengusulkan. "Agar kamu tidak merasa sendirian lagi."
Aira ragu sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan coba."
Setelah beberapa hari, ayah Aira pulang dari kota. Saat Aira melihatnya, dia berlari dan memeluknya erat.
"Papa! Aku merindukanmu!" serunya.
"Aku juga merindukanmu, Nak. Bagaimana kabarmu?" Ayahnya membalas pelukan Aira.
"Aku… aku kehilangan Luna. Dia pergi, Papa," Aira berkata sambil menahan air mata.
Ayahnya menghela napas dan duduk di samping Aira. "Aku tahu itu sulit. Kehilangan memang menyakitkan. Tapi kita bisa mengenangnya dengan baik. Apa kamu sudah bercerita tentang Luna?"
"Rina membantuku. Kami bercerita tentang petualangan kami," jawab Aira dengan semangat yang baru.
"Bagus! Mari kita pergi ke tempat Luna beristirahat. Kita bisa memberikan bunga untuknya," ajak ayahnya.
Di bawah pohon mangga, Aira dan ayahnya berdiri di tempat Luna dimakamkan. Ayahnya meletakkan bunga di sana dan berkata, "Kita akan selalu mengingatnya. Cinta kita untuk Luna tidak akan pernah hilang."
Aira mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. "Aku akan terus menulis tentangnya di buku catatanku."
"Dan itu adalah cara yang bagus untuk mengenang cinta yang kita miliki," ayahnya menambahkan.
Sejak saat itu, Aira merasa tidak lagi sendirian. Dia punya ayah yang mencintainya, dan teman-teman yang siap bersamanya melalui suka dan duka. Aira belajar bahwa meskipun kehilangan itu menyakitkan, ada banyak cinta dan kebahagiaan yang bisa ditemukan di sekitarnya.
Setelah mengunjungi tempat Luna, Aira merasa sedikit lebih baik. Namun, rasa kehilangan itu masih ada. Dia kembali ke sekolah dengan semangat baru, tetapi terkadang kenangan tentang Luna mengganggunya.
Di sekolah, saat istirahat, Aira duduk bersama Rina dan teman-teman lainnya.
"Aira, bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Rina sambil menggigit roti lapis.
"Lebih baik sedikit," jawab Aira. "Tapi kadang-kadang, aku masih merindukan Luna."
"Wajar saja," kata Rina. "Mungkin kita bisa membuat proyek bersama untuk mengenang Luna. Kita bisa menggambar atau menulis cerita tentang dia!"
Aira merasa terinspirasi. "Itu ide yang bagus! Kita bisa membuat poster tentang petualangan kami."
"Aku akan membantu menggambarkan Luna," ucap Rina dengan semangat. "Dan aku bisa menulis cerita kita!"
Teman-teman lainnya pun ikut bergabung, dan mereka mulai merencanakan proyek tersebut. Setiap sore, Aira dan Rina berkumpul di rumah Aira, menggambar dan menulis di buku catatan.
"Aira, ingat waktu Luna mencoba mengejar tikus di kebun?" tanya Rina sambil tertawa.
Aira teringat dan ikut tertawa. "Iya! Dia berlari dengan sangat konyol, dan akhirnya terjatuh ke dalam parit!"
"Dia pasti sangat lucu saat itu!" Rina menambahkan, mengangkat pensilnya untuk menggambar Luna dengan ekspresi lucu.
Setelah beberapa minggu, poster yang mereka buat selesai. Mereka menggambarkan Luna dengan warna-warni ceria dan menuliskan berbagai kenangan indah yang mereka miliki. Pada hari pameran sekolah, Aira merasa bangga.
"Lihat, Aira! Banyak yang suka dengan poster kita!" Rina berbisik saat melihat anak-anak lainnya tertawa dan menikmati karya mereka.
Aira tersenyum lebar. "Aku merasa seolah Luna ada di sini bersama kita."
Setelah pameran, Aira kembali ke rumah dengan perasaan bahagia. Ayahnya melihat wajah Aira yang ceria.
"Apa yang membuatmu begitu senang, Nak?" tanya ayahnya.
"Aku dan teman-teman membuat poster untuk mengenang Luna. Banyak yang suka!" Aira menjawab dengan bersemangat.
"Bagus sekali! Kamu telah melakukan hal yang sangat indah," puji ayahnya. "Luna pasti bangga padamu."
Aira mengangguk, merasa hangat di dalam hati. Dia sadar bahwa meskipun Luna telah pergi, cinta dan kenangan tentangnya akan selalu hidup dalam diri Aira dan teman-temannya.
Malam itu, sebelum tidur, Aira membuka buku catatannya dan mulai menulis:
"Hari ini adalah hari yang istimewa. Kami mengenang Luna dengan cara yang indah. Aku berjanji untuk selalu mengingat semua kenangan bersamanya, dan meskipun dia tidak ada di sini, cinta kami untuknya tidak akan pernah pudar."
Aira menutup bukunya dan tersenyum, merasa lebih kuat dan lebih bahagia. Dia tahu bahwa hidup harus terus berjalan, dan setiap kenangan adalah bagian dari cinta yang abadi.
Setelah membuat poster tentang Luna, Aira merasa semakin dekat dengan teman-temannya. Suatu sore, saat bermain di taman, Rina berkata, "Aira, bagaimana kalau kita mengadakan acara untuk mengenang Luna? Kita bisa mengundang semua teman dan keluarga!"
Aira mengerutkan dahi. "Acara? Seperti apa, Rina?"
"Piknik! Kita bisa membawa makanan, bercerita tentang Luna, dan mengenang semua kenangan indah bersamanya," jawab Rina, wajahnya bersinar penuh semangat.
Aira berpikir sejenak. "Itu ide yang bagus! Aku ingin mengundang semua orang."
Mereka pun mulai merencanakan acara tersebut. "Oke, aku akan membuat undangannya," kata Rina. "Kamu urus makanan sama ayahmu, ya?"
"Iya, aku akan minta ayah membuat makanan kesukaan Luna—ikan! Mungkin kita bisa bawa kue juga," Aira menambahkan, semangatnya mulai tumbuh.
Hari acara tiba, dan Aira merasa gugup tetapi bersemangat. Taman dipenuhi oleh teman-teman dan keluarga. Aira melihat wajah-wajah bahagia di sekelilingnya.
Setelah semua orang berkumpul, Aira berdiri di depan mereka, sedikit canggung. "Terima kasih sudah datang, semua. Hari ini, kita berkumpul untuk mengenang Luna, kucing kesayangan saya," katanya, suaranya bergetar sedikit.
Rina berdiri di sampingnya, mendorongnya dengan senyuman. "Mari kita berbagi cerita tentang Luna! Siapa yang mau mulai?"
Salah satu teman, Andi, mengangkat tangan. "Aku! Ingat waktu Luna mengejar bola benang? Dia berlari dengan sangat konyol!"
Semua orang tertawa. Aira merasa senang mendengar kenangan itu. "Iya! Dan dia terjatuh ke dalam parit!" jawabnya.
Setelah beberapa cerita, Aira berkata, "Sekarang, mari kita buat sesuatu yang spesial untuk Luna. Kita bisa membuat rangkaian bunga dan menulis pesan untuknya!"
"Aku suka itu!" Rina berkata. "Mari kita semua menggambar bunga dari kertas warna-warni."
Dengan cepat, semua orang mulai menggambar dan menulis. Aira menulis, "Terima kasih, Luna, untuk semua kenangan indah."
Setelah selesai, mereka mengikat bunga-bunga itu dan berjalan menuju pohon tempat Luna dimakamkan. Aira menatap makamnya dan berkata, "Ini untukmu, Luna. Kami akan selalu mengingatmu."
Rina menambahkan, "Kami sangat menyayangimu, Luna!"
Setelah meletakkan bunga, Aira merasa lebih tenang. "Terima kasih, semuanya. Aku merasa lebih baik sekarang," ujarnya dengan tulus.
Rina tersenyum. "Kamu sangat kuat, Aira. Luna pasti bangga padamu."
Aira balas tersenyum. "Terima kasih, Rina. Tanpa kalian, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan."
Mereka berpelukan, merasakan kebersamaan yang hangat. Aira menyadari bahwa meskipun Luna telah pergi, cinta dan kenangan yang ditinggalkannya akan selalu hidup dalam hati mereka.