Valis selalu menjalani hidupnya seperti roda yang berputar tanpa henti—kehidupan seorang pekerja kantoran biasa di jantung kota yang sibuk. Hari-hari baginya seakan terjalin dari lembaran yang sama: bangun pagi, mandi terburu-buru, sarapan dengan kopi pahit dan roti panggang yang terlalu matang, lalu bergegas ke kantor dengan ekspresi datar. Di kantor, ia duduk di depan layar komputer, membalas email yang tak berkesudahan, mengikuti rapat yang penuh dengan jargon perusahaan yang menguap begitu keluar dari ruangan.
Waktu terasa berlalu lambat di ruangan kecilnya yang penuh sesak dengan tumpukan dokumen, laptop, dan kertas catatan yang tak pernah selesai ia periksa. Dinding kantor abu-abu dan lampu neon berkedip di atasnya seakan menunjukkan betapa membosankan dunia ini. Setiap hari ia merasa semakin terjebak dalam rutinitas tak berujung yang membuatnya lupa akan impian dan tujuan hidupnya.
Rekan-rekan kerjanya juga tak jauh berbeda darinya—mereka berbicara hanya jika ada kebutuhan mendesak, seakan-akan kata-kata hanyalah alat untuk menuntaskan pekerjaan. Suara obrolan ringan yang terdengar samar-samar hanyalah kebisingan yang berlalu begitu saja, tanpa ada arti yang penting.
"Valis, dokumen bulan ini sudah dikirim ke departemen keuangan belum?" Suara tajam atasan Valis membuatnya tersentak dari lamunannya. Ia mengangguk cepat, menatap layar komputernya dengan jari-jari yang menari cepat di atas keyboard.
"Sudah, Pak. Saya kirim tadi pagi," jawabnya tanpa menoleh, berharap suara atasan itu segera menjauh.
Hari-hari seperti ini terasa seperti tak ada akhirnya. Dalam benak Valis, setiap jam yang berlalu hanyalah bagian dari siklus hidup yang tak berarti. Bahkan saat jam pulang tiba, kelegaan yang ia rasakan hanya bersifat sementara—karena ia tahu, besok hari segalanya akan kembali sama.
Malam itu, setelah menuntaskan semua tugasnya yang monoton, Valis pulang ke apartemennya. Suasana kota yang ramai terasa dingin dan acuh tak acuh, seakan kehidupan di luar sama hampa dan tak berarti seperti di dalam kantor. Ia menaiki lift ke lantai 11, membuka pintu apartemennya, dan segera disambut keheningan yang memekakkan telinga.
Apartemennya kecil dan sederhana—ruang tamu yang berfungsi juga sebagai ruang makan, dapur di pojok, dan kamar tidur yang hanya cukup untuk satu tempat tidur sempit. Tempat itu mencerminkan hidupnya yang sederhana, tanpa kejutan, tanpa ambisi besar. Ia menjatuhkan diri di sofa dan menyalakan televisi, meskipun hanya untuk mendengarkan suara latar. Berita yang ditayangkan tak lebih dari pengulangan peristiwa-peristiwa dunia yang tak berpengaruh langsung pada hidupnya.
"Semua terasa hampa..." pikirnya dalam hati sambil menatap kosong ke layar televisi. Ia tertidur dengan cepat di atas sofa, tenggelam dalam rasa lelah fisik dan mental yang menumpuk.
Namun, malam itu ada sesuatu yang berbeda.
𝕸𝖎𝖒𝖕𝖎 𝖆𝖓𝖊𝖍
Saat Valis tertidur, ia tiba-tiba merasa dirinya melayang. Dalam kegelapan yang dalam, suara-suara samar mulai terdengar. Bukan suara manusia, bukan pula suara alam—lebih seperti getaran atau bisikan yang datang dari tempat yang jauh, sangat jauh. Ia melihat bintang-bintang di sekelilingnya, ribuan, mungkin jutaan, berkilauan di lautan gelap tanpa batas.
Namun, bintang-bintang itu tidak diam. Mereka bergerak, jatuh dari langit seperti hujan api yang deras, mengarah langsung ke Valis. Ia mencoba lari, namun tak bisa menggerakkan tubuhnya. Hanya terdiam di tengah kehampaan, menatap bintang-bintang jatuh semakin dekat, hingga...
"Valis..."
Suara itu tiba-tiba terdengar di telinganya, begitu jelas seolah datang dari balik punggungnya. Ia terkejut, menoleh ke segala arah, tapi tak ada siapa-siapa. Suara itu hanya memanggil namanya sekali lagi, kali ini lebih lembut, tetapi tetap mengerikan.
"Siapa di sana?" teriaknya dalam mimpi, namun suaranya tak terdengar.
Tiba-tiba, semuanya menghilang. Langit yang penuh bintang berubah menjadi kegelapan total, dan ia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Matanya terbuka lebar, napasnya memburu, jantungnya berdegup keras. Ia duduk tegak di sofa, menatap sekeliling apartemennya yang sekarang terasa asing.
Valis mengusap wajahnya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi buruk. Namun, rasa tak nyaman yang mencekamnya tak kunjung hilang. Ada sesuatu tentang mimpi itu yang terasa sangat nyata—suara itu, bintang-bintang jatuh, dan kegelapan yang seakan menelannya.
"Ini... apa tadi?" bisiknya pada diri sendiri.
Ia berdiri dari sofa, beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air, berharap bisa menenangkan dirinya. Namun, saat ia berjalan menuju dapur, ada sesuatu yang aneh. Pintu apartemennya, yang biasanya tertutup rapat, kini sedikit terbuka.
"Kenapa terbuka?" Valis bertanya dalam hati, bingung.
Ia perlahan-lahan mendekati pintu, mengintip keluar. Bukannya melihat koridor apartemennya yang biasa, Valis malah mendapati sesuatu yang tidak masuk akal: sebuah lorong yang tampaknya tak berujung, dengan dinding-dinding yang berkilauan dan berdenyut seperti jantung yang berdetak.
"Hah...? Ini bukan apartemenku," gumam Valis dengan suara gemetar. Tiba-tiba, dorongan yang tak bisa ia kendalikan memaksanya untuk melangkah masuk ke dalam lorong tersebut, meski seluruh nalurinya berteriak untuk mundur.
Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seperti berjalan dalam air, sementara dinding-dinding di sekitarnya mulai bergetar, seolah-olah tempat itu hidup. Suara yang ia dengar dalam mimpinya kini terdengar lagi, kali ini lebih dekat, lebih jelas. "Valis, datanglah... kamu dipanggil.