Alen merasakan keheningan berat menggantung di udara setelah penyihir tua itu mengungkapkan kebenaran tentang asal-usulnya. Kata-kata penyihir itu bergema di dalam pikirannya, mengguncang dasar-dasar pemahaman yang selama ini dia miliki tentang dirinya sendiri. Sebuah garis keturunan kuno? Warisan kekuatan besar? Semua itu terasa tidak nyata, seperti sebuah cerita dongeng yang tiba-tiba menjadi kenyataan.
"Arlen," suara Lia yang lembut namun tegas memecah keheningan, "Kau baik-baik saja?"
Arlen mengangguk pelan, meski dalam hatinya dia merasa kebingungan. "Aku... aku tidak pernah tahu tentang semua ini. Aku hanya seorang petani biasa."
Penyihir itu mendekati Arlen, matanya yang tajam menyelidik wajah pemuda itu. "Kebesaran seringkali tersembunyi di balik kesederhanaan. Kekuatanmu selama ini tertidur, menunggu waktu yang tepat untuk bangkit. Namun, sesuatu telah membangunkannya lebih awal. Mungkin itu mimpi buruk yang kau alami."
"Mimpi buruk?" Lia bertanya, mengarahkan pandangannya pada Arlen. "Kau belum pernah cerita tentang itu."
Arlen menghela napas panjang, lalu menceritakan mimpi-mimpi aneh yang menghantui tidurnya sejak beberapa waktu lalu—sosok gelap yang membayangi, bisikan-bisikan aneh yang mengancam, dan perasaan takut yang begitu nyata.
Penyihir itu mendengarkan dengan seksama, mengangguk beberapa kali saat Arlen berbicara. Setelah Arlen selesai, penyihir itu menghela napas dalam, seolah-olah menyadari sesuatu yang berat. "Mimpi-mimpi itu bukan sekadar bayangan dari alam bawah sadarmu, Arlen. Mereka adalah kenangan dari kehidupan yang pernah ada—mungkin kehidupanmu yang sebelumnya."
Lia memandang penyihir itu dengan bingung. "Kehidupan sebelumnya? Apa maksudmu?"
"Kehidupan sebelumnya," penyihir itu mengulangi dengan suara rendah, "adalah kehidupan yang telah berlalu sebelum kau dilahirkan kembali ke dunia ini. Jika Arlen memiliki kekuatan sebesar yang aku duga, maka dia mungkin adalah reinkarnasi dari seorang penyihir besar di masa lalu—mungkin bahkan lebih dari itu."
Kata-kata itu membuat Arlen terdiam, pikirannya berputar-putar mencoba memahami implikasi dari apa yang baru saja didengarnya. Reinkarnasi? Apakah dia benar-benar pernah hidup sebelumnya, sebagai seseorang yang memiliki kekuatan besar? Dan jika ya, mengapa dia dilahirkan kembali dalam tubuh ini, sebagai petani sederhana di desa kecil yang terpencil?
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Arlen bertanya, suaranya dipenuhi dengan kebingungan dan keraguan. "Aku tidak tahu apa yang harus aku percaya."
Penyihir itu meletakkan tangannya yang keriput di pundak Arlen, memberi rasa tenang yang aneh. "Yang harus kau lakukan sekarang adalah menggali kenangan itu. Kenangan dari kehidupanmu yang sebelumnya, dan memahami siapa dirimu yang sebenarnya. Itu akan menjadi kunci untuk mengendalikan kekuatanmu dan menghadapi apa yang akan datang."
"Bagaimana caranya?" tanya Lia, yang sekarang tampak lebih khawatir tentang apa yang akan terjadi pada temannya.
Penyihir itu mengangkat tangannya, dan sebuah buku besar melayang ke arah mereka, terbuka di halaman yang penuh dengan simbol-simbol aneh. "Ada ritual kuno yang dapat membantumu menggali kenangan yang tersembunyi di dalam dirimu. Namun, ritual ini tidak tanpa risiko. Ini bisa mengungkapkan kebenaran yang mungkin tidak ingin kau ketahui."
Arlen merasakan dingin menjalar di tulang punggungnya. Tapi dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain. Jika dia ingin memahami siapa dirinya dan apa takdir yang menantinya, dia harus menjalani ritual itu, apapun resikonya.
"Aku akan melakukannya," kata Arlen akhirnya, dengan suara yang tegas meskipun hatinya bergetar.
Penyihir itu mengangguk pelan, seolah-olah dia sudah menduga keputusan ini. "Baiklah. Kita akan mempersiapkan ritual ini. Tapi ingat, apa yang kau temukan mungkin akan mengubah cara pandangmu tentang dunia ini—dan tentang dirimu sendiri—selamanya."
Ritual itu dimulai saat malam telah mencapai puncak kegelapan, ketika cahaya bulan menjadi satu-satunya penerangan di langit yang gelap. Arlen duduk di tengah lingkaran simbol-simbol sihir yang digambar di lantai rumah penyihir tua itu, sementara Lia duduk tak jauh darinya, mengawasi dengan cemas. Penyihir itu berdiri di luar lingkaran, membaca mantra kuno dengan suara rendah yang penuh kekuatan.
Udara di dalam ruangan terasa tebal dan berat, seolah-olah dipenuhi dengan energi yang tak terlihat. Simbol-simbol di lantai mulai bercahaya perlahan, menyala dengan cahaya biru yang terang. Arlen bisa merasakan aliran energi yang kuat mengalir melalui tubuhnya, membuatnya merasa seolah-olah dia sedang ditarik keluar dari dunia ini, masuk ke dalam kegelapan yang tak berujung.
Matanya tertutup, dan dia merasakan dunia di sekitarnya mulai berputar. Suara mantra penyihir itu semakin terdengar jauh, digantikan oleh suara lain—suara bisikan-bisikan yang tidak dia kenal, namun terasa akrab di telinganya. Dia merasa seolah-olah sedang jatuh ke dalam lubang yang dalam, terjun semakin dalam ke dalam kegelapan yang mengelilinginya.
Kemudian, tiba-tiba, dia merasakan tanah di bawah kakinya. Dia membuka matanya, dan menemukan dirinya berada di tempat yang sama sekali berbeda. Tempat itu adalah sebuah hutan yang gelap, dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, menciptakan kanopi tebal yang hampir menutupi seluruh langit. Angin dingin bertiup melalui pepohonan, membawa suara bisikan-bisikan aneh yang tampaknya berasal dari bayangan-bayangan di antara pepohonan.
Arlen melangkah maju dengan hati-hati, matanya terus mengawasi sekeliling. Dia tidak tahu di mana dia berada, atau bagaimana dia bisa sampai ke tempat ini. Tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa tempat ini, entah bagaimana, penting baginya.
Tiba-tiba, di tengah hutan yang gelap itu, dia melihat sosok seseorang berdiri di kejauhan. Sosok itu mengenakan jubah hitam yang panjang, dengan wajah yang tersembunyi di balik bayangan. Arlen merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia tahu bahwa dia harus mendekati sosok itu, meskipun setiap insting dalam tubuhnya memperingatkannya untuk berhati-hati.
Dengan langkah hati-hati, Arlen mendekati sosok itu. Ketika dia cukup dekat, sosok itu berbalik, menatapnya dengan sepasang mata merah yang menyala di dalam kegelapan. Wajahnya masih tersembunyi, namun Arlen bisa merasakan kekuatan yang besar dan menakutkan yang terpancar darinya.
"Kau akhirnya datang," kata sosok itu, suaranya terdengar seperti gemuruh di tengah malam yang sunyi. "Aku telah menunggumu, Arlen."
Arlen mundur selangkah, merasakan kengerian yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Siapa kau?"
Sosok itu tersenyum, senyuman yang dingin dan tanpa belas kasihan. "Aku adalah bayangan dari masa lalumu. Bayangan yang kau lupakan, tapi tak pernah benar-benar hilang. Kau adalah aku, dan aku adalah kau. Kita terikat oleh takdir yang sama—takdir yang telah ditetapkan jauh sebelum kau dilahirkan kembali."
Arlen merasakan kepalanya berputar, berusaha memahami kata-kata sosok itu. "Apa yang kau inginkan dariku?"
"Aku tidak menginginkan apa-apa," kata sosok itu, suaranya menjadi lebih lembut namun tidak kalah menakutkan. "Tapi kau membutuhkan aku. Kau membutuhkan kekuatan yang telah kau lupakan. Hanya dengan mengingatnya, kau bisa mengalahkan apa yang akan datang."
"Apakah kau ini..." Arlen ragu-ragu, merasa ketakutan untuk mengucapkan kata-kata berikutnya, "Kaisar Sihir?"
Sosok itu tidak menjawab, hanya menatap Arlen dengan mata merahnya yang menyala. Tapi Arlen bisa merasakan jawabannya di dalam hatinya—ya, sosok itu adalah bayangan dari Kaisar Sihir, penguasa sihir yang begitu kuat dan menakutkan, yang pernah ada dalam kehidupan sebelumnya.
"Tapi... bagaimana aku bisa menjadi dirimu?" Arlen bertanya dengan suara gemetar.
"Karena itulah takdirmu," kata sosok itu, suaranya seperti angin dingin yang menusuk tulang. "Kau dilahirkan kembali untuk menuntaskan apa yang belum selesai. Untuk menghadapi musuh yang bahkan lebih kuat dari yang pernah kau hadapi sebelumnya. Tapi pertama-tama, kau harus menerima siapa.