Mataku terbuka, aku seperti terbangun dari tidur panjang. Yang aku lihat pertama kali adalah plafon kayu yang terlihat antik. Ketika aku berusaha menggerakan tubuhku untuk beranjak bangun, tubuhku terasa sangat sakit, terutama di bagian perut. Sepertinya ini luka tikaman, memangnya aku habis ditikam?
"Oh? Tuan sudah bangun?" Seseorang melihatku dan datang kepadaku.
"Tubuh tuan masih terasa sakit, sebaiknya jangan bergerak terlebih dahulu," kata orang itu. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata ia adalah seorang suster yang memakai pakaian suster kuno. Dan ... tunggu.
Tunggu dulu.
Aku baru menyadari hal ini. Yang aku lihat hanya warna monokrom. Apakah aku terbangun di dunia tanpa warna?
Sebenarnya apa yang terjadi?
Kepalaku sangat pusing, aku bahkan tidak mengingat apapun sebelum pingsan dan terbangun di tempat yang sama sekali tidak aku kenal.
"Suster, bolehkah aku bertanya?" Tanyaku kepada sang suster.
"Ada apa?"
"Ini di mana?"
Suster itu tampak terdiam sebentar, lalu ia pun membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaanku. "Tuan berada di kota Reveryn," katanya. Aku mengerutkan dahi, kota ini masih sama dengan kota kampung halamanku, tetapi semuanya terasa beda. Aku benar-benar tidak familiar dengan kota ini.
"Mengapa aku tidak melihat warna sama sekali? Seperti warna merah, biru, dan yang lainnya?"
Kali ini suster tersebut terdiam cukup lama, itu membuatku kebingungan sekaligus merinding.
"Tuan, sungguh, aku tidak mengerti apa yang tuan bicarakan. Warna itu hanya ada tiga. Hitam, putih, dan abu-abu saja."
Lidahku terasa kelu, hatiku terus menolak kata-kata tersebut. Tentu aku sangat terkejut hingga hanya bisa terdiam seperti ini. Pikiranku terus memikirkan apa saja kemungkinan yang terjadi. Apakah aku berada di cerita fantasi? Apakah aku bertransmigrasi ke tubuh seseorang?
Bertransmigrasi ke tubuh seseorang?
"Suster, ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan," ucapku secara otomatis. Dengan sedikit ketus, suster yang tadinya sedang membereskan berkas tersebut menoleh kepadaku.
"Siapa namaku?"
"Tuan, anda bersikap aneh hari ini. Katakan saja apa yang anda butuhkan."
"Serius, siapa namaku?" Tanyaku lagi penuh penegasan. Suster ini menghela napasnya, tampaknya ia sangat lelah menghadapi pertanyaan yang menurutnya tidak masuk akal.
"William Antoine. Itu nama anda, tuan."
Aku tersenyum. Aku mengerti apa yang terjadi sekarang, jiwaku berpindah ke tubuh seseorang. Namun tetap saja, aku terkejut karena novel-novel fantasi yang pernah kubaca menjadi kenyataan.
"Baik, terima kasih." Aku mengucapkan rasa terima kasihku kepada sang suster. Tanpa membalas perkataanku, suster tersebut langsung pergi dan meninggalkanku di ruangan ini.
Ruangan kuno ini.
Aku melihat sekeliling lalu beranjak dari kasur dan mengabaikan semua rasa sakitku. Terasa kuno, kuno sekali. Rasanya aku kembali ke zaman dahulu di mana coat, kemeja putih, rompi, dasi, serta top hat sedang menjadi tren. Aku melihat ke arah luar jendela, yang aku lihat adalah kehidupan kota yang sama seperti zaman dahulu kala. Jangan lupa dengan monokrom yang mengisi warna kehidupan di kota ini, sungguh itu sangat mengganggu penglihatanku.
"William Antoine, kota Reveryn, monokrom, era dahulu, hm ... dunia transmigrasi yang menarik. Tapi siapa itu William Antoine?" gumamku sembari melihat pemandangan kota. Aku mencoba mengingat semua hal yang aku pelajari dalam buku sejarah, tetapi nihil, aku tak mengingatnya sama sekali.
Aku menoleh ke seisi ruanganku. Ruangan ini memiliki aksen kayu yang mewah, aku menyukainya. Namun ada satu hal yang membuatku kesal, yaitu tidak ada cermin yang bisa membuatku melihat bentuk fisikku sendiri.
Aku melihat tanganku, lalu dadaku serta perutku. Tidak ada yang spesial dari tubuhku kecuali memiliki pinggang yang ramping. Tinggi badanku juga standar, kurang lebih sekitar 175 cm.
Aku beranjak duduk di atas ranjang lalu memikirkan semua ini, semua misteri yang terlalu tiba-tiba ini. Sebenarnya apa yang terjadi denganku—tidak, sebenarnya apa yang terjadi dengan Aiden Royce? Diriku yang sebelumnya? Apakah aku sebenarnya sudah meninggal lalu jiwaku berpindah ke tubuh William Antoine? Atau sebenarnya William Antoine seharusnya sudah meninggal tetapi jiwaku menyelamatkannya?
Ketika aku termenung, aku mendengar suara ketukan pintu. Aku sedikit berseru menyilakan dia untuk masuk. Ketika pintu terbuka, aku melihat seorang laki-laki yang tingginya sepantaran denganku dan memakai tail coat serta baret yang terpakai di atas kepalanya. Tidak lupa dengan seorang perempuan yang memakai gaun berwarna terang serta korset yang terpasang di pinggangnya, rambutnya yang digerai menambah kesan yang menawan. Aku penasaran dengan nama mereka berdua, dan tentu mereka berdua mempunyai hubungan dengan William Antoine.
"Will! Aku benar-benar mengkhawatirkanmu!" seru perempuan itu. Aku tersenyum ke arah perempuan itu.
Laki-laki yang ada di belakangnya melepas baretnya lalu menyentuh dadanya sembari bernapas lega. "Syukurlah, Will," ungkapnya dengan senyum yang sendu.
"Aku tak menyangka bisa melihat kalian lagi," tuturku bohong yang sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang terjadi. Aku harus mengikuti arusnya agar tidak dicurigai oleh mereka berdua.
"Ayolah, jangan bicara seperti itu. Kau bahkan belum melihat seberapa terkenalnya puisi buatanmu di kota ini." Perempuan itu memberitahu sebuah kejutan bagi William Antoine.
"Ya! Puisimu mengisi kota Reveryn, bahkan aku hampir muak melihat diksi-diksi yang terpampang di mana-mana," imbuh laki-laki itu sembari terkekeh pelan.
"Kau akan menjadi penyair yang hebat, Will. Penyair terhebat di kota Reveryn—tidak, di pulau Achasia! Bahkan seluruh dunia! Jadi, tolong, jangan mati terlebih dahulu ya," cetus perempuan itu sambil menggenggam tanganku dengan erat.
Aku menunduk, menutup mata lalu tersenyum. Ternyata William Antoine adalah seorang penyair, sama sepertiku di kehidupan sebelumnya. Aiden Royce dan William Antoine ternyata adalah orang yang sama. Apakah jiwaku dipindahkan oleh dewa secara sengaja?
"Ya, aku tidak akan," jawabku sambil menatap perempuan itu.
Perempuan itu menoleh ke laki-laki yang ada di belakangnya, mereka terlihat saling memberi kode satu sama lain. Lalu laki-laki itu maju ke depan, menghampiriku dengan tatapan yang sendu.
"Will, aku minta maaf. Tapi kedua orang tuamu ...."
"... terbunuh."
Aku terkejut, mataku sedikit terbelalak. Aku pun terjebak dalam pikiranku sendiri.
William Antoine, kau benar-benar orang yang malang.
Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya aku tertunduk, aku pun bergumam walaupun gumamanku masih bisa terdengar oleh mereka berdua.
"Aku tahu."
---
Empat hari kemudian, aku diperbolehkan untuk pulang. Tentu laki-laki dan perempuan yang empat hari yang lalu bertemu denganku adalah yang mengantarku ke rumah mereka sekarang dengan mengendarai mobil yang menggunakan mesin uap. Sensasi yang unik, ini adalah sensasi yang ketika aku menaiki delman.
Aku melihat sekelliling kota, terlihat sangat normal, ya. Ada anak-anak yang berlarian, ada para kaum pelajar yang berbincang-bincang, dan ada para pemabuk yang tertawa bersama. Mereka semua benar-benar terbiasa hidup hanya dengan warna monokrom saja.
Apakah ini kutukan?
Aku pun sampai di rumah mereka. Yah, tentu, bagaimana mungkin aku tinggal di rumah yang sedang dievakuasi oleh polisi?
"Ezra," panggilku kepada laki-laki itu. Ya, nama laki-laki yang datang kemarin adalah Ezra, Ezra Sebastian.
"Ya?"
"Kau tidak perlu membawa tasku. Aku bisa membawanya sendiri," ungkapku padanya.
"Tidak, kondisimu masih belum baik-baik saja."
"Dagingku tidak akan robek jika hanya mengangkat sebuah tas. Percayalah padaku." Aku berusaha meyakinkan Ezra. Dengan wajah terpaksa, Ezra memberikan tasku kepadaku.
Aku masuk ke dalam lalu pergi ke kamar tamu yang ada di lantai bawah. Rumah ini terasa sejuk, ah, atau aku yang terlalu menyukai suasana zaman dahulu?
Suara langkah kaki terdengar, aku melihat bayangan seorang perempuan memakai gaun datang ke kamarku. Tentu itu adalah sang tunangan dari Ezra, Olivia Hermione.
"Will, kami membelikanmu makanan. Silakan makan," tutur Olivia kepadaku. Aku menerima makanan itu lalu Olivia pergi dari pandanganku setelah menampilkan senyuman manisnya.
Olivia adalah perempuan yang ceria, sedangkan Ezra adalah laki-laki yang lembut. Mereka berdua sangat cocok sebagai pasangan sejati. Mereka berdua juga sudah menganggapku sebagai sahabat dan sering kali membantuku dalam mencari ide untuk menulis puisi.
Aku melihat sekeliling dan hatiku menjadi ceria karena melihat sebuah cermin besar yang menampilkan diriku di sana. Fisikku lumayan tinggi namun ramping, wajahku terlihat menenangkan layaknya air mengalir. Alisku tebal, bentuk mataku adalah almond, memiliki hidung yang mancung, serta postur rahangku sempurna. Yang paling kusukai adalah rambutku, rambutku berwarna gelap dan panjang tetapi tak sampai menyentuh bahu. Sepertinya gaya rambutku adalah wolf cut.
Oh Dewa, bagaimana bisa aku setampan ini?
"Ternyata aku tampan." Begitulah kalimat yang keluar dari mulutku.
Namun secara mengejutkan, ketika aku berkedip satu kali ada seseorang yang menawan, sangat tinggi, dan bercahaya layaknya dewi berdiri di belakangku dan memegang kedua pundakku. Aku terkejut, tubuhku berbalik ke arah belakang dan tanganku mengepal lalu menghajar orang itu. Namun tak ada yang aku lihat di sana. Aku melihat ke arah cermin lagi dan orang aneh itu masih ada di cermin dengan senyuman lembutnya.
Dunia fantasi macam apa ini?