"Oh? Yah, kerisnya sudah kelihatan, sih. Perkenalkan, namaku Mira Dirgantara dari tanah air Atlas."
Mira menyalurkan tangannya untuk mengajakku berdiri, aku menerima tangannya lalu berdiri sambil menggendong anak kecil tersebut.
"Topimu terjatuh tadi, untungnya pacarmu mengambilnya," tutur Mira sembarangan. Aku menoleh ke arah belakang, ternyata benar, Olivia sedang berlari ke arahku dengan topiku yang ada di genggamannya.
"Aku duluan, ya. Ulat jelek ini sudah menungguku, haha!" Lalu Mira pun pergi berlari menjauhi diriku dan Olivia—oh, jangan lupakan anak kecil yang ku gendong ini.
Aku mengambil topi yang Olivia bawa lalu memakainya di atas kepalaku, lalu aku pun berlari bersama Olivia dengan anak kecil yang ada di gendonganku.
Aku dan Olivia berlari menuju posko terdekat. Posko itu berada di dalam tokoh pakaian ... kalau sudah darurat begini orang-orang akan membangun posko dimanapun mereka berada, kan?
"Hah, hah ...." Napasku memburu, aku berlutut agar tubuhku bisa beristirahat. Sialan, tubuh William memang selemah ini, kah?
"Olivia." Aku memanggil Olivia untuk memastikan perempuan itu tidak menghilang. Ketika aku melihat sekelilingku, aku bernapas lega karena Olivia sedang berlutut sembari menopang badannya menggunakan kedua tangan lalu mengatur napasnya.
Aku menatap anak ini, anak laki-laki ini. Wajahnya sangat pucat, anehnya anak ini kelihatan tenang.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku padanya.
Anak ini mengangguk.
"Namamu siapa?" Aku mencoba untuk bertanya lagi pada anak itu.
Anak itu terdiam, sorot matanya menunjukkan rasa takut. Namun anak itu tetap mau menjawab pertanyaanku.
"S-Silas ...."
"Silas?" Secara spontan aku bertanya balik. Anak itu mengangguk.
"Namanya Silas Rafferty." Tiba-tiba saja seorang perempuan datang mendekati kami berdua. Perempuan itu memiliki rambut barwarna putih, paras yang cantik tapi pucat, dan memakai snelli dokter dengan rompi hitam ketat dan kemeja putih. Ya, sudah pasti perempuan itu adalah seorang dokter.
"Aku mengurusnya, itulah mengapa aku mengenal anak ini," jelas dokter tersebut. Aku hanya mengangguk paham.
Dokter itu berlutut di hadapanku lalu mengambil tubuh Silas dan mendekapkan Silas. Ia terlihat berusaha menenangkan Silas, aku hanya bisa menatap momen itu dengan kekosongan.
"Namamu siapa?" Aku bertanya pada dokter itu, ia pun menoleh padaku.
Dokter tersebut tampak terdiam sebentar sebelum ia menjawab pertanyaanku.
"Bianca," jawabnya dengan cuek. Sebagai dokter seharusnya ia ramah, tapi perempuan ini ... mungkin ia lelah.
Aku melihat ke arah sekitar, tokoh pakaian ini penuh dengan pakaian dengan kualitas tinggi. Dalam situasi begini, orang-orang tidak akan memikirkan sistem jual beli, kan?
Aku harus mencurinya, lalu memakainya.
Tidak, jangan gegabah, Aiden. Tahan nafsumu ...
... tapi aku ingin coat itu.
Coat berwarna hitam tersebut cocok untuk melengkapkan rompi warna hitam, celana hitam panjang, dan sepatu pantofel berwarna hitam yang sedang aku pakai. Jangan lupakan top hat yang tadi jatuh ke tanah.
William Antoine akan lebih menarik jika coat itu dipakaikan ke tubuhku yang ramping karena coat itu akan terlihat menambah dimensi tubuhku.
Ya, aku harus mengambilnya.
Setelah aku menghilang diam-diam selama lima menit, aku pun kembali ke tempat posko dengan membawa sekantung tas belanja. Aku menaruh tas belanja tersebut di balik rak parfum agar tidak ketahuan. Setelah itu, aku beranjak untuk menemui Olivia yang sedang berdiri di dekat pintu toko.
Olivia terlihat khawatir.
"Ia akan baik-baik saja," ucapku padanya. Namun, Olivia mengeraskan rahangnya dengan tatapan yang sama.
Olivia mengangkat kepalanya ke langit seperti berbicara pada seseorang.
"Ezra tidak jujur padaku, mengapa? Apakah aku benar-benar tunangannya? Apakah ia tak berpikir bagaimana dengan diriku kalau aku sendirian di rumah?"
Kata-kata yang menyakitkan tersebut terdengar dan masuk ke dalam telingaku. Aku berusaha mengerti Olivia dan juga menenangkannya.
Dari reaksi Olivia sekarang, sepertinya ia memiliki trauma yang mendalam soal monster.
"Ia akan tetap hidup, percayalah padaku. Lagipula ia sudah terbiasa dengan situasi ini. Lihat, ia sangat keren, bukan?" Aku menunjuk ke arah Ezra yang sedang bertarung dengan satu monster larva. Ia sangat gesit, ia membuat pergerakan yang lincah untuk menghindari lendir beracun yang dikeluarkan dari tubuh dan mulut larva.
Sudah jelas sekali, bukan? Ezra memiliki pengalaman bertarung.
Dari tubuhnya sudah kelihatan. Walaupun tingginya sepantaran denganku, tubuh Ezra juga memiliki proporsi yang ideal, tidak terlalu ramping dan juga tidak terlalu berotot. Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa ia memiliki hobi dan pengalaman untuk membentuk otot.
"Bantuan yang kuat juga datang untuk kali ini. Jadi semua akan baik-baik saja, percaya padaku." Aku masih berusaha untuk menenangkan Olivia. Beruntung, perkataanku berhasil membuat Olivia sedikit tenang.
"Ayo ke dalam," ajakku. Aku dan Olivia pun menuju ke dalam lagi lalu duduk di depan rak parfum.
Kala melihat sekitar, aku tak sengaja melihat Bianca yang menyembuhkan luka seseorang hanya dengan usapan tangan saja. Aku terkejut, bagaimana bisa?
Apakah ia salah satu pengguna senjata khusus juga?
Tapi di mana senjatanya?
Aku jadi mengerti mengapa ia langsung diutus ke lokasi pertempuran, mungkin di antara semua dokter hanya dia yang bisa menyembuhkan luka secara langsung.
Omong-omong soal pengutusan, apakah Mira Dirgantara juga diutus ke sini untuk memberantas monster? Ia sudah memakai pakaian siap tempur, dengan semua persiapan itu mana mungkin ia bertarung secara kebetulan.
Dan kalau Bianca juga sudah siap dengan peralatan serta snellinya ...
... itu artinya mereka berdua diutus oleh tuan yang sama.
Sial, aku jadi ingin ikut bertarung juga.
Aku melihat ke arah luar, sedari tadi para larva tersebut tidak semakin berkurang. Ezra dan Mira juga terlihat sedikit kelelahan. Ironis sekali, diriku yang menjadi 'karakter utama' dalam dunia ini hanya bisa menonton tanpa memberikan bantuan apapun.
Aku menoleh ke arah Olivia yang tertidur pulas di lantai, sepertinya ia kelelahan.
Tunggu.
"Eden," panggilku ke seseorang yang jauh berada di belakang Olivia.
"Hai," jawabnya dengan senyuman ringan.
Aku terdiam, aku tak tahu harus apa ketika Eden menunjukkan sosoknya secara tiba-tiba di depan netraku.
"Mengapa kau tidak mau membantu mereka?" Aku bertanya pada Eden, sekaligus meminta Eden untuk membantu Ezra dan Mira.
"Berpikirlah sedikit, Aiden." Jawaban Eden membuatku kesal. Ia terus memberikan banyak teka-teki yang harus dijawab pleh diriku sendiri.
"Kau mau aku bertarung?" tebakku. Ternyata benar, ia mengangguk setelah aku menebaknya.
Aku melanjutkan perkataanku. "Aku tidak ingin mati," ujarku secara jujur. ya, aku tidak mau mati, aku masih ingin merintis karirku sebagai penyair. Menjadi petarung adalah hal yang sangat bertentangan dengan keahlianku.
Eden menatapku dengan datar, beberapa detik kemudian senyumannya kembali seperti semula.
"Dahulu kau adalah orang yang paling mengejar kematian. Sekarang ... baru kali ini kau sangat mengejar kehidupan."
Kali ini aku yang terdiam. Masa laluku sebagai Aiden Royce memang menyedihkan karena aku gagal meraih mimpiku sebagai penyair. Jadi apa salahnya aku mengejar kehidupanku yang sekarang untuk membangun mimpiku kembali?
"Aku hanya ingin menjadi penyair," tuturku pada Eden.
"Bukan itu yang kau butuhkan." Lalu Eden membalas pernyataanku dengan pernyataan yang penuh teka-teki.
"Yang kau butuhkan adalah pertarungan. Dan dengan begitu, kau akan mendapat benefit yang indah. Benefit itu hanya bisa dimengerti oleh penyair sepertimu, Aiden," terang Eden padaku.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"
Aku bertanya padanya, aku benar-benar bingung apa tujuan Eden hingga membiarkanku kebingungan dengan perkataan yang ia buat.
Eden melirik ke arah balik rak parfum yang merupakan tas belanja yang berisi coat milikku. Aku pun juga ikut melirik ke arah tas belanja tersebut.
"Kau hanya perlu mengerti dirimu sendiri."
Setelah mengatakan itu, Eden menghilang dari pandanganku. Aku sedikit terkejut, kemudian aku menatap rak parfum di dekatku.
Haruskah aku memulainya?
Apakah aku harus peduli dengan mereka?
Bahkan jika aku lebih lemah?
Bahkan jika aku lebih mencintai kematian?
.
.
.
Ya.
Walau hatimu penuh kekosongan.
Aku akan membuatmu mencintai kehidupan.
.
.
.
Mira sekali lagi menebas tubuh larva hingga tewas. Napasnya terengah-engah. Ia menoleh ke arah Ezra yang keadaannya sama sepertinya.
"Sepertinya ulat-ulat ini tidak akan habis!" seru Mira pada Ezra.
Ezra tidak bisa mengatur napasnya, ia bertumpu pada lutut untuk mengistirahatkan tenaga sebelum ia gunakan kembali.
"Ini bencana," gumam Ezra.
Walaupun mereka makhluk yang lemah, bagaimana bisa para monster tersebut tidak pernah berkurang jumlahnya?
Saat Ezra sudah cukup putus asa, dan Mira yang sudah frustrasi dengan keadaan, seseorang yang memakai coat warna hitam datang. Ia berlari ke arah Ezra, berusaha mencapai pundak yang terlihat lelah itu dengan tangannya.
Ezra merasakan ada yang menepuk kedua pundaknya secara kencang dari belakang. Ketika ia menoleh, ia melihat William Antoine yang nekat datang kepadanya.
"Ezra!" seru William padanya.
Ezra tercengang. Mengapa William ada di sini? Seharusnya William istirahat, seharusnya William tidak ada di sini.
Ezra takut, ia takut gagal melindungi William sekali lagi.
"Bangkitlah," pinta William.
William mengambil knuckle yang Ezra gunakan pada tangan kirinya, lalu William memasangkan knuckle tersebut ke tangan kirinya sendiri. Mata Ezra sedikit terbelalak karena tindakan William.
"Kau tidak bisa menggunakannya, Will. Kekuatannya tidak akan aktif, kau tidak bisa." Ezra berusaha membujuk William untuk mengembalikan knuckle-nya, tetapi William bersikap keras kepala.
"Ayo bertarung bersama." Itulah kata-kata yang William ucapkan sebelum ia berlari ke arah monster.
Ezra mengejar William sembari menyerukan namanya.
"William!"
Namun tak disangka, Ezra terdiam di tempat dengan wajah yang sangat amat terkejutnya. Karena William—seorang penyair tanpa kekuatan—bisa mengaktifkan kekuatan dari knuckle tersebut. William meninju tubuh dari larva itu, dan seketika itu juga ...
... tubuh larva itu hancur, menyisakan William yang tersenyum.