Waktu berlalu dengan cepat setelah pengumuman dari Ustadzah Shalsa. Syakhila Aqila dan Asyifa Adila, si kembar yang dikenal cerdas dan memiliki suara merdu dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, kini menjadi pusat perhatian di pesantren. Setiap hari, para santriwati sering kali mendekati mereka untuk memberikan semangat dan dorongan moral. Tak jarang, mereka juga menerima nasihat dari ustadzah dan ustadz yang berharap Aqila dan Adila bisa membawa nama baik pesantren dalam perlombaan MTQ yang bergengsi tersebut.
Meski menerima banyak dukungan, Aqila dan Adila tidak lepas dari rasa gugup dan keraguan. Mereka berdua menyadari bahwa ini adalah tanggung jawab besar yang harus dipikul. Namun, di balik rasa khawatir itu, ada semangat yang tak pernah padam. Mereka tahu bahwa ini adalah kesempatan emas untuk mengamalkan ilmu yang telah mereka pelajari selama bertahun-tahun di pesantren.
Setiap pagi setelah shalat Subuh, mereka mulai meningkatkan intensitas latihan. Ustadzah Shalsa dan Ustadz Fathir, ustadz yang dikenal ahli dalam bidang tajwid dan tahfidz, memberikan bimbingan khusus kepada mereka. Latihan-latihan ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat hafalan, tetapi juga untuk meningkatkan kepercayaan diri dan ketenangan jiwa saat melantunkan ayat-ayat suci di depan khalayak ramai.
Latihan yang Tak Kenal Lelah
Di ruang latihan, suara merdu Aqila dan Adila sering kali terdengar, mengisi setiap sudut pesantren dengan keindahan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an. Santriwati lain yang mendengar sering kali berhenti sejenak untuk menikmati keindahan tersebut. Kadang, mereka ikut bergabung dalam latihan, memberikan dukungan dengan doa dan tepukan ringan setelah setiap sesi selesai.
"Adila, ingat untuk memperhatikan makhraj dan tajwid, jangan terburu-buru saat melafalkan ayat," nasihat Ustadz Fathir suatu pagi.
"Iya, Ustadz. Terima kasih atas bimbingannya," jawab Adila sambil membetulkan posisi duduknya. Aqila yang duduk di sampingnya, juga memperhatikan dengan serius setiap koreksi yang diberikan.
Di antara sesi latihan yang padat, mereka juga mendapat pelajaran tambahan tentang ilmu-ilmu Al-Qur'an lainnya, seperti tafsir dan sejarah para qari dan qariah terkenal. Ini dilakukan agar mereka tidak hanya mampu melafalkan ayat-ayat dengan baik, tetapi juga memahami maknanya dengan lebih dalam.
Pada suatu sore, setelah sesi latihan yang melelahkan, Aqila dan Adila memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah pohon besar di halaman pesantren. Angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut membawa kesejukan, membantu meredakan ketegangan di tubuh mereka.
"Kak, kadang aku merasa gugup memikirkan perlombaan ini," kata Aqila pelan sambil memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi kemerahan.
"Ya, aku juga merasakan hal yang sama," jawab Adila, "Tapi kita harus tetap tenang. Ingat apa yang selalu dikatakan oleh Ustadzah Shalsa, kita lakukan ini bukan hanya untuk pesantren, tapi juga untuk diri kita sendiri dan demi keridhaan Allah."
Aqila mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Ini adalah tantangan besar yang harus dihadapi dengan penuh keyakinan dan doa.
Dukungan dari Sahabat
Nabilla dan Putri, dua sahabat dekat mereka, selalu ada untuk memberikan semangat. Meski sering kali bercanda, mereka berdua sangat memahami betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga mental Aqila dan Adila tetap kuat.
"Nabilla, aku lihat kamu sering membawa buku kecil itu, sedang belajar apa?" tanya Putri suatu hari saat mereka bertiga sedang duduk di teras kamar.
"Oh ini?" Nabilla mengangkat buku kecilnya. "Ini buku doa-doa harian. Aku sedang mencoba menghafal beberapa doa tambahan untuk Aqila dan Adila. Siapa tahu, doa-doa ini bisa membantu mereka merasa lebih tenang."
Putri tersenyum dan mengangguk. "Bagus itu. Aku juga akan menambahkan doa khusus dalam shalatku. Aqila dan Adila pasti bisa melakukan yang terbaik."
Aqila yang mendengar pembicaraan itu merasa terharu. "Terima kasih, Nabilla, Putri. Dukungan kalian sangat berarti bagi kami."
"Tentu saja! Kalian adalah kebanggaan pesantren ini. Kami akan selalu mendukung kalian," jawab Putri dengan semangat.
Ujian Kesabaran dan Keikhlasan
Semakin dekat dengan hari perlombaan, ujian demi ujian mulai datang. Rasa lelah karena latihan yang tak henti-henti, terkadang membuat mereka merasa hampir menyerah. Namun, setiap kali rasa itu datang, mereka berusaha untuk mengingat niat awal mereka.
Pada suatu malam, ketika Aqila sedang berlatih sendiri di dalam kamar, tiba-tiba ia merasa suaranya serak dan tidak sebaik biasanya. Panik mulai menyergapnya. Bagaimana jika ia tidak bisa tampil dengan baik? Bagaimana jika suaranya tiba-tiba hilang saat perlombaan?
Adila yang mendengar kegelisahan Aqila segera menghampirinya. "La, jangan khawatir. Mungkin kamu hanya kelelahan. Coba kita istirahat dulu, ya."
Namun, Aqila tetap terlihat cemas. "Aku takut, Dil. Bagaimana kalau aku tidak bisa memberikan yang terbaik? Bagaimana kalau suara ini tidak kembali normal?"
Adila memegang tangan Aqila dengan lembut. "Kak, ingat, kita sudah berusaha semampu kita. Selebihnya, kita serahkan pada Allah. Mungkin ini adalah cara-Nya untuk menguji kesabaran dan keikhlasan kita."
Aqila menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, kata-kata Adila benar. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain berdoa dan menyerahkan semuanya pada Sang Pencipta.
Malam itu, mereka berdua berdoa dengan penuh khusyuk, memohon agar diberi kekuatan dan ketenangan hati. Setelah berdoa, mereka merasa lebih tenang dan yakin bahwa apa pun yang terjadi nanti, itu adalah yang terbaik yang Allah pilihkan untuk mereka.
Pertemuan dengan Ustadz Shiddiq Husein
Beberapa hari sebelum keberangkatan ke Turki, sebuah kejadian yang tak terduga terjadi. Saat sedang dalam perjalanan pulang dari pasar untuk membeli keperluan terakhir sebelum keberangkatan, mereka bertemu dengan seseorang yang sangat dikenal di pesantren, Ustadz Shiddiq Husein. Ustadz muda ini dikenal karena kecerdasannya dan kemampuannya yang luar biasa dalam bidang Al-Qur'an dan hadits.
Saat mereka berpapasan, Ustadz Shiddiq menyapa dengan senyum ramah. "Assalamualaikum, Aqila, Adila. Apa kabar?"
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barokatuh, Ustadz. Alhamdulillah, kami baik," jawab mereka serentak dengan sedikit gugup.
"Apa kalian sedang mempersiapkan sesuatu?" tanyanya dengan nada ingin tahu.
"Iya, Ustadz. Kami sedang mempersiapkan perlombaan MTQ di Turki," jawab Adila.
Ustadz Shiddiq mengangguk sambil tersenyum. "Alhamdulillah. Saya dengar kalian berdua yang terpilih untuk mewakili pesantren kita. Semoga Allah memudahkan langkah kalian dan memberikan hasil yang terbaik."
Aqila dan Adila merasa hatinya bergetar mendengar doa dan dukungan dari Ustadz Shiddiq. "Terima kasih, Ustadz. Mohon doanya agar kami bisa memberikan yang terbaik," kata Aqila dengan sopan.
"Saya akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian. Ingat, yang terpenting adalah niat yang ikhlas dan usaha yang maksimal. Hasilnya, biarkan Allah yang menentukan," ujar Ustadz Shiddiq sebelum berpamitan dan melanjutkan perjalanannya.
Setelah pertemuan itu, Aqila dan Adila merasa semangat mereka kembali berkobar. Kata-kata Ustadz Shiddiq menjadi pengingat penting bahwa yang terpenting dalam setiap usaha adalah niat yang lurus dan keikhlasan hati.
Hari Keberangkatan
Hari keberangkatan akhirnya tiba. Sejak pagi, suasana pesantren dipenuhi dengan rasa haru dan kebanggaan. Para santriwati mengerubungi Aqila dan Adila, memberikan ucapan selamat jalan dan doa. Bahkan, Ustadzah Shalsa dan Ustadz Fathir turut hadir untuk mengantarkan mereka ke bandara.
"Saya bangga dengan kalian berdua. Apapun yang terjadi di sana, kalian sudah menjadi kebanggaan bagi pesantren ini," kata Ustadzah Shalsa sambil memeluk mereka berdua.
"Terima kasih, Ustadzah. Kami akan berusaha sebaik mungkin," jawab Aqila dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Setelah berpamitan, mereka naik ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke bandara.