Disore hari terdengar suara kerusuhan, bentrok antara ras manusia setengah hewan atau biasa di sebut hamal dengan ras elf.
Myland bersembunyi di gang sempit berlari dari orang-orang yang mengejarnya.
Pira tua yang ia bunuh kemarin ternyata adalah sesepuh yang sangat di hormati di sini, tetapi anak kecil yang Myland selamatkan adalah putri elf di Ngea Abig.
Bentrok antara ras elf dan dan Hamal membuat kericuhan terutama di kota yang ditenpati Myland, Koasi.
"Kenapa hari ini aku mendapatkan banyak masalah?" Ucap Myland dengan kesal.
Myland lalu melihat jubah yang tergeletak di tanah, ia mengambilnya.
Walaupun sudah kumuh dan mungkin hampir rusak, Myland tetapi memakainya.
Mylnda lalu mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi wajahnya. Myland menemukan kain hitam, entah kain apa itu.
Myland langsung memakainya. Ia berlari secepat mungkin tidak menghiraukan sekelilingnya.
Dia berlari tanpa arah sampai ia masuk ke dalam tembok besar. Ia memasuki distrik yang tertutup.
Myland merasa ada yang mendekatinya hingga ia menendang kearah belakang dan ternyata seorang laki-laki bertanduk iblis berwarna merah ingin menyerangnya.
Laki-laki itu bahkan lebih muda dari Myland.
Laki-laki menyerang Myland berkali-kali, namun Myland hanya menghindarinya saja.
"Apa-apaan bocah ini, kenapa ia meneyrang ku?" Gumamnya.
Karena terlalu main-main, ia di serang dari belakang oleh seseorang.
Wajah Myland di tutupi dengan kain, ia tiba-tiba merasakan tubuhnya di ikat.
Beberapa menit ia hanya merasa tubuhnya terangkat oleh seseorang dan akhirnya tiba-tiba ia di lempar kekursi dan penutup wajahnya di buka.
Myland melihat ke sekeliling, ia menyadari dirinya berada di tenda yang besar. Dihadapannya ada meja kayu dan cahaya yang masuk dari pintu masuk.
Dihadapannya juga ada seorang pira berambut coklat, bermata merah dan pria tua yang juga berambut coklat, bermata merah. Keduanya memiliki hal yang menarik perhatian Myland, tanduk merah di kepala mereka.
Pria besar itu menggertak. "Bagaimana kau bisa masuk ke simi!?"
"Aku tadi hanya berlari tanpa arah lalu sampai di sini. Memangnya kenapa aku tidak bisa masuk kesini." Ucap Myland.
Pria tua itu mendekat. "Kami sedang mengisolasi diri. Setelah perang besar bersama Kerajaan Padang, kami memilih mengisolasi diri walaupun masih dari bagian Padang."
Pria tua itu melihat pedang yang di pegang oleh Myland, pria tua itu jelas mengenali pedang legendaris itu, terutama ia sesepuh penduduk Padang. "Aku, pemegang pedang itu!?"
"Ah ya, aku terpilih oleh pedang ini." Jawab Myland.
Pria itu agak terkejut. "Dia bisa memilih mu?"
Myland mengangguk. "Kenapa memangnya."
"Selama ratusan tahun, dalam sejarah hanya pertama kali seorang gadis muda seperti mu yang terpilih." Ucap pira tua tersebut.
Myland terkejut. "Tidak mungkin, pasti ada sejarah yang tidak tertulis."
Pria tua itu menggelengkan kepalanya. "Sejarah ketujuh pedang legendaris itu di tulis dan simpan oleh orang-orang yang di tugaskan oleh seseorang dari generasi ke generasi, tidak mungkin ada yang terlewat satupun."
Myland terkejut dan agak tidak dapat berkata-kata.
"Lalu apa yang membawamu berlari kearah sini? Kau lari karena apa?" Tanya pria besar.
"Aku tidak sengaja membunuh seorang kakek yang di hormati di padang sekaligus aku menyelamati putri elf. Itu membuat selama tiga hari terjadi kerusuhan dan sekarang menebsar karena bentrok dari kedua ras ini. Itu membuat aku berlari agar tidak ada yang menyadariku." Ucap Myland.
Pria tua itu menghadap ke pria besar. "Binas, kita harus melindunginya."
"Tapi dia langsung masuk ke wilayah kita!!" Ucap Binas dengan agak kesal.
Pria tua itu memegang pundak Binas. "Nak, kita harus melindunginya, aku yakin dia yang benar-benar terpilih."
"Tapi, kakek Droxk.…"
"Ikuti saja kata ku." Ucap Dorxk.
Droxk mendekati Myland lagi. "Nak, kau tinggal saja dulu disini, kami akan melindungi mu."
Myland mengangguk.
"Binas, antar gadis ini ke rumah sementara." Ucap Droxk.
Binas mengangguk, menurut pada Droxk. "Ikuti aku, nak."
Myland lalu mengikuti Droxk. Myland melihat kesekeliling. Disini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kondisi di luar.
"Ngomong-ngomong apa nama tempat ini?" Tanya Myland.
"Distrik Blis." Jawab Binas dengan singkat.
Sepanjang perjalanan merak tidak mengobrol atau basa-basi. Sesampainya Myland sampai di rumah sementara, Myland dipersilahkan masuk oleh Binas. Saat Mylad sudah masuk, Binas langsung meninggalkannya.
"Orang itu sangat pendiam." Gumam Myland.
Myland melihat kesekeliling. Kondisi tua tetap masih sangat bagus dan layak, tidak terlalu besar, dan sangat bersih, Rumah dengan keseluruhan kayu, sangat sederhan.
Myland lalu memasuki kamar, ia melihat kasur besar yang cukup untuk dua orang. Ia langsung berbaring di kasur.
Myland melihat kondisi luar yang sudah gelap dan akhirnya ia tertidur.
Keesokan harinya ia bangun, sepertinya agak kesiangan tetapi ia tidak peduli. Myland bangun dari kasur dan pergi kekamar mandi untuk cuci muka saja.
Myland berjalan keluar dari rumah dan melihat bocah yang kemarin menyerangnya. "Oi, aku tidak terima aku di permainkan seperti itu!!!"
"Hei dek, kau sebaiknya belajar lebih giat lagi, gerakan mu mudah di tebak." Jawab Myland.
"Jangan panggil aku adek!!" Ujarnya sambil cemberut.
"Berapa umurmu."
"Sebelas."
Myland agak terkejut ternyata lebih muda dari perkiraannya kemarin. Walaupun hanya berbeda satu tahun tetapi tetap saja berbeda dari perkiraannya.
"Sebaiknya kau belajar lebih lagi." Myland lalu berjalan mengabaikannya.
"Kalau kau memang benar-benar hebat maka ajari aku." Ucap anak laki-laki tersebut.
Myland berbalik dengan seringai liciknya. "Kau yakin? aku ini keras loh."
Laki-laki itu mengangguk walaupun ia agak ragu, terlebih ia sempat meneyrang Myland tetapi ia tetap mengangguk.
Myland memandangi bocah itu dengan tatapan tajam sejenak, mencoba membaca kesungguhan di balik raut wajahnya. Ia bukan tipe yang suka mengajar, apalagi kepada anak yang baru saja mencoba menyerangnya tanpa alasan yang jelas.
Tapi, ada sesuatu pada bocah itu entah semangatnya, atau mungkin sekadar kebodohannya yang membuat Myland sedikit tertarik.
"Oke, baiklah. Tapi aku punya syarat," kata Myland, menyilangkan tangannya di dada.
"Apa itu?" tanya bocah itu penasaran.
"Kau harus patuhi apa pun yang aku katakan. Tidak ada protes, tidak ada keluhan. Kau lari jika aku menyuruh lari, kau menangkis jika aku menyuruh menangkis. Dan jika kau menyerah di tengah jalan, maka ini akan berakhir dan aku tidak akan peduli lagi. Mengerti?"
Anak itu menelan ludah. Ekspresi keras Myland membuatnya gentar, tetapi ada juga perasaan bahwa ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Ia mengangguk dengan tegas.
"Baik, mulai sekarang kau akan bangun saat matahari belum terbit. Kita mulai latihan dengan hal dasar: stamina. Kau akan lari mengelilingi desa setiap pagi sampai aku bilang cukup."
"Apa? Lari? Bukannya kita akan bertarung?" protes anak itu, wajahnya menunjukkan rasa kecewa.
"Kau kira bertarung hanya soal mengayunkan pedang? Salah besar. Tanpa stamina, satu pukulan pun sudah cukup untuk menjatuhkanmu. Atau kau mau kalah lagi?"
Anak itu terdiam, teringat bagaimana kemarin Myland dengan mudah menghindari serangannya dan membalikkan situasi dalam sekejap. Ia mengangguk lagi, kali ini lebih mantap.
"Bagus. Namamu siapa, bocah?" tanya Myland.
"Arden. Namaku Arden."
"Arden, ya? Nama yang bagus. Besok pagi, kau mulai lari. Kalau kau datang terlambat, lebih baik kau pulang saja dan lupakan ini semua."
Arden mengangguk dengan penuh tekad, dan Myland pun berjalan pergi, meninggalkan bocah itu yang kini berdiri dengan keyakinan baru.
Myland lalu berjalan meninggalkannya, ia memutuskan untuk mencari Binas lagi di tenda kemarin.
Sesampainya di sana, ia hanya bertemu dengan Kakek Droxk. "Ada apa nak?"
"Aku ingin menemui Binas, tetapi sepertinya bertemu kakek juga tidak masalah." Jawab Myland.
Myland mendekati Droxk. "Kakek, sampaikan aku harus disini?"
"Sampai kondisi mereda." Jawab Droxk.
Ekspresi Myland sedikit kecewa. "Yang benar saja, kek."
"Kondisi diluar tidak kondusif, terutama aku tahu ada seseorang yang mengincar mu, lelaki berjubah dan memakai topeng kitsune itu."
Myland agak terkejut. "Kakek tahu orang itu!?"
Droxk mengangguk. "Orang itu, dahulu mengincar orang-orang yang memegang senjata legendaris bahkan membuka segel iblis yang tersimpan didalamnya."
Myland terkejut. "Iblis?"
"Penggunaan terdahulu memiliki dosa besar setelah memegang pedang-pedang legendaris. Mereka di rasuki oleh iblis tingkat atas yang memguasai tujuh dosa besar. Agar para pengguna tidak terjerumus terlalu jauh jadi mereka menyegel di pedang mereka. Entah pedang legendaris sekarang masih memiliki iblis atau tidak."
"Kembali ketopik, jadi aku harus bersembunyi disini samapai kondisi mereda?"
Droxk mengangguk.
"Baiklah kalau begitu aku permisi." Myland berjalan keluar tenda.
Myland mencari tempat makan untuk sarapan. Setelah sarapan ia lalu berjalan-jalan. Cahaya hangat matahari menyinari dirinya.
Myland jalan-jalan di luar hingga sore hari. Myland sepertinya tidak sadar ia keluar selama itu.
Ia merasa tidak ada yang benar-benar menarik. Ia lalu memikirkan teman-temannya. Myland merasa hidup lebih menyenangkan kalau bersama teman-temannya.
Myland lalu kembali kerumah untuk istirahat lalu berbaring di kasur.
Ia mulai berfikir. "Apa kehidupan ku akan begini terus hingga diluar sudah stabil??" Myland benar-benar bosan hingga ia teringat dengan Arden.
Myland mulau memikirkan cara mendidiknya hingga dirinya tertidur m
Keesokan harinya, langit masih gelap saat Myland keluar dari rumahnya. Namun, ia bisa melihat Arden sudah berdiri di dekat pagar, terlihat cemas tetapi tetap bersemangat.
"Kau datang lebih awal, bagus," ujar Myland dengan senyum tipis. "Siap?"
"Siap!" jawab Arden dengan antusias.
"Baik, mari kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan."
Latihan dimulai, dan Myland memperhatikan Arden dengan seksama, mencari tahu batas-batasnya. Arden berlari dengan sekuat tenaga, meski napasnya mulai terengah-engah setelah beberapa putaran.
Namun, Myland tak memberikan kemudahan. Ia terus memaksa Arden untuk terus berlari, bahkan saat kakinya gemetar dan tubuhnya hampir menyerah.
Di sinilah Arden harus membuktikan tekadnya. Myland melihat sesuatu dalam diri bocah itu yang membuatnya teringat pada dirinya sendiri di masa kecil.
Mungkin, hanya mungkin, bocah ini punya potensi. Tapi potensi saja tidak cukup dibutuhkan kemauan baja untuk menjadi lebih kuat.
Matahari mulai muncul di ufuk timur saat Arden akhirnya terjatuh, terengah-engah, tetapi dengan senyum puas di wajahnya. Myland menepuk pundak bocah itu dengan lembut.
"Kerja bagus. Tapi ini baru permulaan."
Arden menatap Myland, tersenyum dengan wajah penuh keringat. "Aku akan lebih kuat, Myland. Lebih kuat dari siapa pun."
Myland mengangguk. "Kita lihat saja nanti."
"Tapi kau dapat hukuman ya." Ucap Myland dengan sedikit tersenyum.
Arden terkejut. "Tunggu apa!!?"
"Aku tidak menyuruhmu berhenti, tahu." Sedikit menyeringai.
"Hei, aku sudah kelelahan." Ucap Arden yang kelelahan.
"Aku tidak mau tahu, kau ingin aku latih atau tidak."
Arden mengangguk. "Mau."
"Kalau begitu sekarang lakukan push up."
Arden menghela napas dalam, mencoba mengumpulkan sisa tenaganya. "Berapa kali?" tanyanya, meski sudah tahu jawabannya tak akan menyenangkan.
Myland tersenyum kecil, tapi tidak ada belas kasihan di matanya. "Seratus kali."
"Seratus?!" Arden terkejut, matanya melebar. "Aku bahkan tidak yakin bisa berdiri lagi!"
"Kalau begitu, kau bisa mulai sekarang. Tentu saja, tidak ada waktu istirahat," jawab Myland dengan tenang.
Kemudian bersandar di pagar dan melipat tangannya. "Ingat, ini untuk melatih tekadmu."
Arden menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa lelah yang menekan setiap otot di tubuhnya.
Dengan gerakan gemetar, ia jatuh ke tanah dan memulai push up pertamanya. Napasnya berat, tapi ia tak berhenti.
Setiap dorongan yang dilakukan terasa seperti beban dunia ada di punggungnya, tapi di dalam hatinya ia tahu, ia tak akan menyerah.
"Satu, dua, tiga..." perlahan tapi pasti, hitungannya terus bertambah.
Myland hanya mengawasi, sesekali melirik ke arah matahari yang semakin tinggi. Dia tahu betul rasa sakit yang sedang dirasakan Arden, karena dia sendiri pernah melaluinya. Dan justru karena itulah, ia tak akan memberi keringanan.
Setelah hitungan ke-50, Arden mulai mengeluarkan suara erangan dari tenggorokannya.
Tubuhnya bergetar hebat, dan keringat membasahi wajah serta punggungnya. Namun, meskipun terlihat lelah, ada tekad membara di matanya.
"Jangan berhenti," kata Myland dengan suara tenang, tapi ada nada tegas yang tak bisa diabaikan.
"Aku... tidak akan," jawab Arden sambil menggertakkan giginya, melanjutkan push up yang tersisa meskipun lengan dan kakinya terasa seperti akan runtuh kapan saja.
Ketika akhirnya ia mencapai hitungan keseratus, Arden terbaring di tanah, napasnya tersengal-sengal, seakan paru-parunya tak lagi bisa menarik udara. Tapi senyumnya muncul di wajahnya.
Myland berjongkok di sebelahnya, menyentuh bahunya dengan lembut. "Kau bertahan lebih lama dari yang kuduga. Ada kemauan keras dalam dirimu, Arden."
Arden hanya tersenyum, tak bisa berkata-kata. Tubuhnya terasa seperti akan menyerah, tapi hatinya justru merasa lebih kuat dari sebelumnya.
"Kau bisa istirahat sekarang," kata Myland sambil berdiri. "Besok, kita mulai lebih awal."
"Besok?!" seru Arden kaget, namun ada sedikit tawa di suaranya. "Kau gila!"
Myland hanya tersenyum samar. "Kau yang ingin menjadi lebih kuat, bukan? Ini adalah harganya."
Myland lalu meninggalkannya, setelah beberapa langkah ia lalu menoleh kebelakang dan Arden sepertinya pingsan.
Entah pingsan atau tidur Myland tidak menemukan perbedaannya.
Myland yang tidak ingin dia tidur di tanah akhirnya ia menggendong nya kerumahnya.
Myland membaringkannya di kasurnya. "Ah, bocah ini tangguh juga."
Myland penasaran dengan tanduk Arden berwarna merah tersebut. Jadi Myland sedikit memegangnya.
Teksturnya seperti marmer yang halus, seakan seperti marmer yang dipahat sempurna. Teksturnya keras dan tidak ada retakan sama sekali.
Myland memegang ujung tanduknya dan teksturnya elastis, pertanda kalau tanduk ini masih muda.
Bentuk tanduknya yang melengkung menandakan tanduk itu masih dalam masa pertumbuhan.
Myland lalu menjauh dari Arden, ia melihat kesekeliling dan sepertinya ia ingin memasak sesuatu pagi ini. Myland penasaran apa ada bahan makanan di dapur.
Myland lalu mengecek dapur apakah ada sesuatu untuk bisa ia masak, ternyata ada beberapa bahan makanan.
Saat Myland melihat beberapa sayur dan daging, ia langsung sadar diri kalau dirinya tidak bisa memasak.
Myland hanya mengambil daun teh, lalu ia merebus air di panci logam, setelah itu ia pun memasukan daun teh lalu memasukkan air yang sudah panas.
Myland lalu pergi ke teras rumah dan meminum teh nya sambil menikmati suasana pagi hari, walaupun sudah agak siang.
Suasana kota yang tenang meski banyak orang yang berjalan, kicauan burung terkadang terdengar, dan angin yang meniup kencang.
Ia bersantai di teras rumah, seketika ia memikirkan tentang teman-temannya. Awalnya mungkin Myland senang tidak perlu bertemu mereka lagi, tetapi sekarang Myland jadi sedikit khawatir.
Masalahnya ia juga harus memgurus anak yang harus ia latih. Lagipula sekali ia muncul di hadapan orang-orang, kerusuhan bertambah parah.
Ia mengalami dilema, Myland lalu menyeruput teh nya lagi.
Mylnda melihat pedang yang digantung di pinggangnya. Myland langsung menghabiskan teh nya lalu ia pergi ke padang rumput, ingin melatih kemampuan berpegang nya.
Ia melihat beberapa pohon sebagai target latihannya.
Padang rumput yang luas itu tampak sepi, hanya diisi oleh pepohonan yang menjulang di beberapa titik.
Dalam kesunyian, Myland bisa mendengar langkah kakinya menyentuh tanah dan suara dedaunan yang bergoyang karena tiupan angin.
Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya. Pedangnya benda yang selalu setia menemaninya, tergantung berat di pinggang.
Myland meraih gagangnya dan menghunusnya dengan gerakan anggun. Cahaya matahari memantul dari bilah pedang itu, membuatnya tampak seolah-olah berkilauan dalam cahaya siang yang cerah.
Myland mulai dengan gerakan sederhana, memotong udara di sekitarnya dengan akurasi dan ketepatan yang nyaris sempurna. Pedangnya menebas angin dengan kecepatan luar biasa, dan setiap ayunan terasa lebih kuat dari yang sebelumnya.
Ia membidik pohon-pohon sebagai sasarannya, melatih kontrol dan kekuatannya.
Sambil melatih, pikirannya kembali ke teman-temannya. Sebuah perasaan hampa menghinggapinya, walau hanya sesaat. Ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa kehadirannya di tengah kerusuhan bisa memperburuk keadaan.
Namun, ia juga tahu bahwa tanggung jawabnya sebagai seorang pelindung tak bisa diabaikan.
"Tidak bisa terus seperti ini," gumamnya sembari melancarkan tebasan terakhir yang menghantam batang pohon, meninggalkan bekas luka dalam di permukaannya.
Myland terus mengayunkan pedangnya. Dahulu ia belajar, ia terus mengayunkan pedangnya dan kecepatan ia mengayunkan pedangnya bertambah 0,1 persen.
Dahulu sejak kecil, ia terus mengayunkan pedangnya dari oagi hingga tengah malam. Sekarang ia melakukan kegiatan itu lagi.
Disaat ia lelah ia llau duduk dan menutup matanya setelah dirasa sudah cukup untuk istirahat ia lalu berdiri dan mengayunkan pedangnya lagi.
Tiba-tiba Myland merasakan sesuatu yang basah di tubuhnya. "Apa ini, keringat?"
Tiba-tiba hujan deras turun dam membasahi tubuh Myland.
"Latihan ini saja tidak mungkin membuat ku berkeringat."
Myland lalu berjalan menuju rumahnya. Ia melihat Arden masih tidur. Ia ingin bergati pakaian tetapi ia tidak memiliki baju selaim yang ia pakai sekarang.
Myland lalu menyalahkan perapian. Myland membuka bajunya lalu ia menggantungnya disekat perapian.
Ia terduduk di dekat perapian tersebut. Entah dari mana tiba-tiba Tadakara muncul dan membuat Myland yang awalnya tenang, wajahnya langsung memerah.
"KELUAR DARI RUANGAN INIII!!!"
Myland melihat kesekeliling dan mengambil kain apapun untuk menutupi tubuhnya.
Myland lalu sedikit mengeluarkan kepalanya dari balik tembok. Myland melihat Tadakara, Revanna, dan Karuna ada di situ.
"Bagaimana kalian bisa ada disini!!?"
Revanna lalu mengatakan, "Kami di hampiri oleh kakek bertanduk."
"Jangan masuk dulu, tunggu pakaian ku kering nanti baru aku keluar."
Myland laku berjalan lagi ke perapian yang ia nyalakan. Dirinya merasa malu karena Tadakara melihat tubuhnya barusan. Wajahnya benar-benar merah.
Setelah satu setengah jam berlalu pakaian akhirnya kering dan Myland mulai memakainya.
Myland lalu keluar dari ruangan tersebut.
Myland terkejut saat Arden duduk dan dirinya digoda oleh Revanna, tidak heran karena sepertinya Arden adalah manusia setengah iblis. Monster itu turunan iblis.
"Revanna, jauhi dia!"
"Kenapa, dia menggemaskan, bukan."
"Heei, sudah kubilang jangan ganggu dia."
Myland menarik Arden.
"Aedem, kau pulang ya."
Arden mengangguk laku berlari keluar
"Bagaimana kalian bisa sampai ke sini!?"
Revanna menjelaskan, "Jadi kami sebelumnya tinggal di salah satu penginapan di luar. Aku menggunakan sihir ku untuk memalsukkan wajahku, wajah Tadakara, dan wajah Karuna. Namun tiba-tiba ada satu orang tua yang memiliki tanduk menghampiri kami dan menjelaskan kondisi mu jadi kami menghampiri mu."
Myland ada sedikit kebingungan. "Bukankah di luar hujan, bagaimana kalian—"
"Itu karena aku." Karuna mengangkat tangannya dengan bangga.
"Aku membuat gelembung air yang melindungi kami dari air hujan." Ucap Karuna dengan bangga.
Myland tahu kalau kakek yang menemui mereka ini adalah kakek Droxk. Namun ia berfikir bagaimana kakek itu tahu tentang teman-temannya.
Keesokan harinya Myland menunggu Arden di teras rumah nya, ditemani Revanna.
"Kau yakin tidak akan mengganggu anak itu?"
Revanna mengangguk tetapi wajahnya sangat antusias menunggu kedatangan Arden.
Arden lalu datang dengan semangat, sesaat saat dia melihat Revanna, wajahnya sedikit memerah.
Myland mendekati Arden, "Tenanglah, ia tidak akan mengganggu mu, dia sudah berjanji."
Myland tersenyum tipis melihat ekspresi Arden yang kikuk saat melihat Revanna. Ia tahu betul bagaimana Revanna suka dengan iblis atau monsty. Tapi Myland tak ingin hal ini mengganggu fokus latihan Arden hari ini.
"Baiklah, kita mulai," kata Myland sambil memberi isyarat pada Arden untuk bersiap.
Arden segera berdiri tegak dan mengatur napasnya, mempersiapkan diri untuk apa yang akan dia hadapi. Myland melihat semangat di mata bocah itu, meski sedikit gugup karena kehadiran Revanna yang tampaknya terus mengawasi dengan penuh minat.
"Latihan hari ini lebih berat dari kemarin," ujar Myland. "Kau harus bisa menahan tekanan dan tetap fokus."
Arden mengangguk mantap. Myland mulai dengan menyuruhnya melakukan beberapa gerakan dasar, mulai dari lari cepat, melompati halangan, hingga menahan keseimbangan sambil menyerang bayangan lawan. Myland memperhatikan setiap gerakannya dengan teliti, mengoreksi ketika diperlukan.
Di tengah latihan, Revanna tiba-tiba mendekat dengan senyum jahil di wajahnya.
"Arden, kau terlihat kuat sekarang, ya," goda Revanna sambil menyilangkan tangannya di dada.
Arden sedikit tersendat saat mendengar komentar itu, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus. Myland yang memperhatikan segera memberi teguran halus.
"Revanna, kau berjanji tidak akan mengganggu, ingat?"
Revanna hanya mengangkat bahu, masih tersenyum nakal. "Baiklah, baiklah. Aku hanya mengamati, tidak apa-apa kan?"
Arden kembali fokus, matanya menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan godaan yang datang dari Revanna.
Setelah beberapa menit latihan keras, tubuh Arden mulai berkeringat, tetapi dia terus berusaha memberikan yang terbaik.
"Bagus, kau lebih cepat dari kemarin," ujar Myland sambil menepuk bahu Arden. "Tapi kau harus lebih kuat lagi."
Arden mengangguk meski napasnya terengah-engah. "Aku bisa... Aku akan terus berusaha."
Revanna yang berdiri di samping hanya tersenyum puas, kali ini tanpa mengganggu. Dia bisa melihat ketekunan dalam diri bocah itu, dan meski ia suka menggoda, Revanna tampaknya menghargai semangat Arden.
"Kalau begitu, lanjutkan," kata Myland tegas. "Kita belum selesai."
Rutinitas Myland bersama Ardem dilakukannya selama lima minggu dimana ia bahkan tidak mendapat kabar dari kakek Droxk. Myland akhirnya tinggal di kota ini sambil menunggu kabar dari kakek Droxk.