Kebohongan terbesar dan dosa paling buruk dalam hidup, mengenal manusia dan kebiasaan. Penipuan atau manipulasi atas apa yang aku rasakan. Aku terpaksa melakukan hal itu. Tidak semua orang memahami apa yang aku rasakan.
Status aku sebagai mahasiswa fakultas ilmu komputer di suatu institut teknologi, aku membuat kebohongan terbesar dalam sejarah kehidupan. Iya, aku berbohong kepada orang tua. Berbohong atas kegiatan perkuliahan yang mereka harapkan.
Kehidupan nyata begitu pahit, aku harus memilih kesehatan mental atau pendidikan. Jalan apa yang aku harus ambil. Aku bimbang, namun aku memutuskan untuk berbohong kepada kedua orang tua bahwa aku masih melanjutkan perkuliahan. Karena ini salah satu cara, aku juga sangat takut jika mereka yang berharap begitu tinggi kepadaku.
Aku mengecewakan mereka. Meskipun di bab sebelumnya aku bilang bahwa aku sebenarnya sedang menderita suatu masalah yang jarang atau kasus yang cukup langka. Yaitu, permasalahan kesehatan mental.
Ketika aku berbicara dengan mereka, isi dari pikiran adalah rasa takut dan tubuh begitu gemetar. Papa atau mama, pasti akan menganggap aku tidak normal. Meskipun mereka selalu mendoktrinasi bahwa aku baik-baik saja dan semua akan baik-baik saja.
Sebenarnya tidak juga, maaf. Mungkin novel ini sebagai bukti bahwa aku memang seorang pecundang. Pencundang yang payah dalam kejujuran. Aku memang tidak pandai untuk berbohong, tetapi cuma satu cara yang aku bisa pilih untuk menempuh perjalanan hidup.
Masa perkuliahan memang semuanya baik, tapi aku merasa aku belum bisa atau tidak mampu untuk beberapa hal. Mungkin di awal aku berbicara kepada mereka bahwa aku mampu dan aku bisa berdiri dengan tegak. Tapi ternyata itu hanya diriku sendiri yang berbohong kepada dunia dan seisinya.
Isi kepala penuh dengan pertanyaan, dan peryantaan. Kenapa saat awal-awal aku berbohong kepada semuanya bahwa aku mampu. Bukan sebuah penyesalan, tapi ini sebuah pikiran yang memang sangat berat.
Tapi pemikiran dan cara aku untuk hidup, ini jalan yang aku pilih. Aku juga tidak mengetahui apakah mereka termasuk orang yang ada di dalam rumah ini, bisa memahami tentang kasus atau perkara tentang kesehatan mental yang sudah lama aku alami.
Belum lama ini, tepatnya tanggal 21 bulan Maret tahun 2023. Aku sudah pernah menceritakan bahwa aku pergi ke psikiater untuk mendapatkan pengobatan pertama. Kata-kata yang dokter itu katakan begitu membuat aku semakin takut.
Walaupun sebenarnya aku lebih memilih untuk mengerjakan tugas yang aku mampu. Jadi, saat itu Psikiater memberikan 4 tugas dan aku harus menyelesaikan secara langsung. Tanpa ada campur tangan kesadaran sekunder atau pribadi yang lain dalam tubuh ini.
Tugas yang pertama, aku di minta untuk lebih sering berkomunikasi dengan baik antara aku dan mereka atau entitas yang ada di dalam pikiran ini. Berbicara dengan kepribadian lain, agar aku bisa mengontrol mereka. Meskipun, aku mengetahui bahwa tidak semua entitas atau kepribadian mau aku perintahkan.
Mengingat semua hal yang memang terjadi pada pikiranku saat mendapatkan tugas dari Psikiater untuk aku selesaikan atau mengaplikasikan ilmu kesadaran mendalam tentang diri sendiri. Aku sudah sering mendengar dan berkomunikasi dengan mereka. Tapi, aku di minta agar aku bisa lebih intensif untuk berbicara dengan kepribadian yang bersemayam di dalam tubuh ini.
Untuk tugas yang ke-dua, aku di minta untuk memberikan nama setiap karakter yang ada dalam tubuh ini.
"Begini, jika kamu gatau nama mereka.. artinya kamu tidak kenal."
"Begitu ya dok?"
"Iya, tak kenal maka tak sayang. Jadi kamu harus bisa mengetahui atau seminimal mungkin memberikan nama kepada mereka yang ada di dalam tubuh kamu."
Begitu banyak permasalahan yang aku hadapi, aku harus menamai karakter yang bersemayam di dalam tubuh ini. Terlihat aneh dan tidak masuk akal, tapi ini cara aku untuk bisa mendapatkan titik terang untuk permasalahan yang aku lewati. Dengan karakter yang aku yakini lebih dari lima kepribadian yang berbeda.
Aku sempat meminta beberapa teman untuk survei singkat, meneliti kepribadian yang lain. Dengan cara ini aku bisa mengetahui atau mengindentifikasi siapa saja yang pernah muncul dalam pembicaraan atau melihat karakter aku yang lain.
Belum lama ini aku menghubungi temanku yang selalu menemani aku menulis atau bisa dikatakan, aku memiliki beberapa teman online dan dia tau apa yang aku rasakan serta aku lewati.
"Cha, lu pernah ketemu dengan siapa aja dari kepribadian yang lain?"
"Maksudnya?"
"Gw minta saran nama"
"Nama buat siapa?"
"Gw, berikan nama buat karakter yg pernah lu temuin dalam diri gw"
"Acha belum pernah ketemu sama karakter yang lain"
"Untuk karakter di dalam diri kakak Acha suka merasakan ada anak kecil seperti tadi, dia cowok?"
"Atau cewek?"
"Yang periang itu siapa?"
"Yang pemurung itu siapa?"
"Gatau, lu kan yang interaksi dengan mereka". Jawab aku untuk menjawab pertanyaan beruntun dari Acha.
"Acha punya ide gimana kalau yang untuk anak kecil, acha kasih nama Gio"
Ketika aku sedang chattingan dengan temanku, entah dengan spontan kesadaran sekunder tanpa aku rekayasa menswipe atau mereply "hi" kepada temanku Acha.

Gio menjawab dan merespon tanpa aku sadari, jari bergerak begitu cepat dan kesadaran aku yang lain menjawab dengan cepat. Lantaran aku hari itu sedang berada di fase kedua, dimana fase kedua itu aku dan kepribadian yang lain bergabung menjadi satu.
Jujur, sekian lama aku menderita hal ini. Baru-baru ini kepribadian anak-anak yang diberikan nama oleh teman online ku sebut lah namanya "Gio" merespon tanpa aku pinta atau perintahkan untuk menjawab pesan Acha.
Aku berpikir ketika "Gio" menjawab itu, aku pikir kalau jari dari tangan kanan kepeleset atau tidak sengaja. Ternyata anak kecil yang ada didalam tubuh ini menyukai nama yang temanku berikan.
Di malam itu, aku dengan temanku berdiskusi mengenai pemberian nama lain. Meskipun aku juga tidak menyadari bahwa jari ini bergerak seperti memiliki nyawa lain. Memang benar tubuh terasa seperti wayang yang memiliki dalang di balik layar.
Dengan observasi dan penalaran masalah yang sudah lama aku tulis, aku berhasil memberikan nama dari beberapa karakter. Meskipun aku meyakini bahwa ada beberapa karakter minor jarang mengantikan tubuh ini. Aku yakin bahwa karakter minor masih ada dan pernah membajak tubuh ini secara tidak langsung, mereka semua dalam tubuh ini pernah bermunculan diwaktu yang benar-benar aku tidak ketahui.
Singkat cerita, memang aku berhasil membuat nama untuk beberapa karakter mayor. Dan memberikan clue dengan nama "Varian Minor". Permasalahan pun sepertinya beres, aku telah memberikan nama dan identitas agar mereka tau siapa diri mereka.
Walaupun mereka adalah aku, namun mereka bukan sepenuhnya seperti aku. Mereka memiliki nyawa, pikiran, dan perasaan berbeda dari kesadaran primer. Aku bersyukur karena aku cukup membutuhkan waktu kurang dari 3 Minggu untuk bisa menyelesaikan salah satu atau salah dua dari 4 tugas yang diberikan oleh psikiater.
***
2016, SMP kelas 2.
Tahun ini, tahun paling campur aduk rasanya. Hal memalukan dan hal menyenangkan juga ada di tahun ini. Melihat kondisi diri cukup stabil seiring dengan perkembangan waktu, aku yang dulu saat masih berdiri di bangku sekolah dasar terlihat memiliki beberapa pengalaman yang seharusnya aku tidak ulangi kembali.
Apapun yang terjadi pada diriku, aku hanya bisa menerimanya. Bagaimana cara aku menerima, dan bagaimana cara aku mengikhlaskan semua hal yang telah aku lewati. Kala itu, tepatnya pagi sebelum upacara sekolah dimulai.
Setelah bell berbunyi, kami diminta untuk segera berkumpul di tengah-tengah lapangan untuk bersiap upacara. Mengingat semua siswa telah berkumpul, aku melupakan satu atribut yaitu topi. Lantaran peraturan tertulis bahwa upacara wajib mengenakan pakaian serta artibut yang lengkap, terpaksa aku maju paling depan untuk menerima hukuman hari ini.
Di pertontonkan banyak orang, cukup memalukan sebenarnya. Tapi aku baik-baik saja, lantaran aku tidak sendirian saat dihukum. Begitu tenangnya pagi ini, berharap pagi yang sial ini adalah sebuah cerita yang aman tanpa ada drama yang harus aku lewatkan.
15 menit upacara sedang berlangsung, pagi itu perutku terasa sakit dan ingin segera pergi ke toilet. Jujur awalnya aku pikir aku bisa bertahan tanpa harus buang air besar saat itu. Tapi semua sudah ada di ujung tanduk.
"Permisi pak, saya izin buang air ya?"
"Ok boleh, jangan lupa untuk hukuman kamu ya!"
"Iya pak, bisa bapak liat saya di toilet langsung tegur aja."
"Baik lah, silahkan.. jangan lama-lama ya!"
Setelah aku pergi untuk izin keluar dari hukuman itu, aku menyempatkan diri untuk segera pergi ke toilet untuk mengurusi urusan perut dan toilet. "Mumpung masih pagi, toilet sekolah biasanya bersih.". Dalam hatiku yang berharap begitu.
Sepertinya hari ini aku sial, dan trauma tertanam yang pernah aku lalui kembali untuk kesekian kalinya. Aku benci mengakuinya, tapi jujur aku malu dan takut karena beberapa alasan yang membuat diriku sendiri mengingat kejadian toilet pada waktu masih di bangku sekolah dasar.
**BRAKKK!!!** (suara dobrakan pintu kuat dari depan)
"BAHAHA NAJIS DI BULE BERAK!"
"LIAT-LIAT!"
"FOTO COK FOTO!"
aku tidak tau lagi apa yang para pengganggu itu lakukan, aku hanya bisa sedikit menangis untuk bertahan dari kejadian itu. Aku berusaha menutupi pintu tapi mereka terlalu ramai dan cukup menganggu saat hati itu. Jujur, lantaran dibuat kaget aku terpaksa jatuh di WC jongkok dan "maaf" aku terkena kotoran di bokong ini.
Karena mereka, aku hanya bisa menangis dan tidak bisa melawan lantaran mereka terlalu banyak. Badanku yang kecil, aku juga tidak begitu tinggi saat SMP. Aku masih mengingat kejadian itu, dan membuat luka baru dalam hidup.
Selain takut dengan sebuah pena, aku juga sempat menderita pasca traumatis cukup berat untuk pergi ke toilet. Lagi dan lagi, sial dalam hidup membuat aku mengutuk orang-orang brengsek yang pernah menistakan seorang yang jelas tidak pernah berbuat masalah terlebih dahulu.
Teman-teman, semuanya. Tidak ada yang benar-benar bisa menolong. Mereka terlalu takut, mereka semua tidak berani melawan. Aku, aku hanya bisa bertahan selama 3 tahun di waktu aku masih sekolah menengah pertama.
Saat pagi yang cukup sial itu, mereka berhasil pergi dengan tawa begitu besar suaranya. Aku segera membersihkan diri dari kotoran yang menempel itu. Tapi lupakan soal kotoran.
Setelah aku beres dengan urusan sendiri, aku hanya bisa menangis halus dan sempat berganti alih kepribadian. Aku juga tidak mengetahui, kata temanku yang di sebelahku. Aku mengatakan seperti "gw gamau tau, gw mau mukul orang itu ajg Lo!". Kira-kira begitu aku berbicara ketika aku tidak sadarkan diri. Untungnya kesadaran yang lain masih bisa di tahan sehingga aku tidak benar-benar berani untuk melawan secara frontal.
Ya, aku hanya bisa mengadu tapi sepertinya aduan ku tidak begitu berkerja untuk membuat anak-anak itu merasa jera atas tindak laku yang mereka perbuat padaku. Mungkin aku hanya bisa menerima maaf mereka, tapi tidak dengan luka yang mereka perbuat.
"Semua, semuanya! Entah apa yang terjadi pada hidup ini. Kenapa selalu aku?". Hati yang begitu menahan banyak lara pedih. "Seperti apa lagi yang aku harus rasakan?". Semua hanya keluhan.
Kejadian? Sepertinya aku melewatkan hari dimana aku mengerjakan tugas ujian sebelum kejadian itu. Iya, aku mengingatnya. Deskriminasi yang aku rasakan dari seorang guru. Iya guru.
Jauh sebelum kejadian tragedi toilet umum sekolah. Aku yang memang malas untuk pergi ke sekolah, aku sering kali terkena hukuman dari salah satu guru piket yang selalu menghukum anak-anak yang sering terlambat seperti aku.
Aku memiliki tinggi sekitar 130-135cm tepatnya saat 2016, kelas 2 SMP. Iya, dengan tubuh kecil dan pendek. Porsi hukuman dan berat yang aku rasakan cukup tidak adil. Temanku dengan badan yang jauh lebih besar mengapa dia mendapatkan hukuman yang begitu ringan dibandingkan dengan aku.
"Bu, kok saya di suruh angkat 100 batu bata. Sedangkan dia cuma setengah aja?"
"Gausah banyak nanya, kerjain aja tugas kamu!"
Pagi itu aku harus mengangkat puluhan kilo batu bata, itu merepotkan. Aku juga tidak di izinkan untuk menggunakan gerobak agar bisa membantu saat membawa batu bata. Jujur, ini sekolah atau menjadi tukang proyek bangunan sih sebenarnya.
Menurut sumber dari Wikipedia yang aku lihat 1 berat dari bata merah itu sekitar 3kg/buahnya. Jika aku kalikan dengan 100 batu bata merah berarti aku membawa 300 kilogram bata merah untuk aku susun ke jalan bawah dekat taman sekolah berjarak 50 meter.
Aku membutuhkan waktu sekitar 3-5 jam untuk menyelesaikan 1 tugas hukuman yang paling tidak masuk akal itu. Anehnya kenapa harus aku sendiri yang memiliki beban tugas begitu banyak. Tubuh kecil dan ramping ini mencari akal untuk bisa menghemat energi. Aku memindahkan 50 batu bata dan aku susun di tengah-tengah perjalanan menuju tempat yang seharusnya aku letakan batu-batu itu.
Setiap 25 meter dari jarak tempat seharusnya, aku menaruh batu-batu itu untuk mobilitas aku membawa bata merah itu. Jujur, setelah aku menyelesaikan tugas tidak masuk akal ini. Aku hanya bisa terkapar dan tertidur pulas ketika jam pelajaran istirahat selesai aku tetap mengambaikan semua nya. Aku lelah, dan aku beristirahat sebentar namun ternyata aku istirahat cukup lama sekitar 2 jam dari selesai aku menyelesaikan hukuman itu.
Mengingat semua hal, badan ini bergerak seperti biasanya. Bergerak tanpa aku pinta, kepribadian lain masih bisa menggantikan posisi aku yang lelah untuk bisa beristirahat dari pekerjaan menyebalkan itu.
Seperti biasa, mereka berhasil mengelabui teman-teman di sekolah. Bahkan hingga guru juga menganggap aku tidak benar-benar tidur saat jam pelajaran. Tubuh ini sudah terbiasa dengan siksaan neraka dari waktu yang lalu.
***
2023, sekarang.
Semua cerita dari masa lalu menuju cerita yang sekarang, semua memiliki arti dan makna yang harus aku ambil. Membenci diri karena selalu mendapatkan beberapa hal pahit, sepertinya memang takdirnya begitu.
Aku hanya bisa menulis beberapa hal, terutama perjalanan aku yang menuju kesempurnaan menerima diri, masalah besar dan dosa paling bisa membuat diri ini menjadi overthinking atau berpikir secara berlebihan yaitu masalah tentang perkuliahan atau masa depan.
Ma, atau pa. Maaf, mungkin aku lebih sering mengecewakan kalian. Aku hanya seorang pecundang yang tidak tahu malu. Aku hanya seorang beban dan sampah masyarakat, karena itu aku tidak bisa berani mengatakan langsung kepada mereka dan keluarga lainnya.
Maaf juga untuk Bu dokter yang mau menjadi psikiater ku atau konselor selama beberapa bulan ini, aku belum bisa berbicara dengan orang dari rumah. Aku takut, dan membutuhkan waktu lebih banyak demi bisa mengungkapkan semua perjalanan menuju kesempurnaan menerima diri sendiri.
Aku, maksudnya kita. Iya, aku dan mereka yang ada didalam tubuh ini. Tidak semua mau mendengarkan ucapan orang-orang bahkan aku sama keras kepalanya dengan pendirian yang aku punya. Tidak seperti apa hal yang kalian bayangkan.
Mengetahui bahwa semua orang memiliki masalah dan porsi yang sudah ditetapkan dalam hidupnya. Aku memang seorang yang memiliki kesadaran lebih dari satu, tapi bukan berarti aku juga tidak bisa hidup bersama manusia lain kan?
Sepertinya begitu, begitu pula sebaliknya. Caraku mencintai sepenuh hati tentang diri sendiri, tidak begitu mudah. Membutuhkan waktu yang cukup panjang bahkan bertahun-tahun untuk merasakan hal yang aku telah lalui.
Aku, hanya, bisa. Memisahkan 3 kata dengan sebuah 3 fakta unik yang terpisah menjadi 3 bagian. Aku yang berarti kita. Hanya memiliki satu artian dengan berpura-pura menjadi sosok yang orang lain kenal sebagai "aku". Bisa sebagai kepastian aku menjalankan dosa terbesar dalam hidup, seperti berbohong kepada semuanya termasuk dalam diri sendiri.
Melukai diri sendiri, seni paling indah bukan? Indah dalam sebuah tulisan yang tersusun dari uraian kata per kata. Namun, terasa pahit makna dibalik kenyataan dari sebuah kata yang tersusun.
Sebuah hari yang aku harus lalui, hari ini. Menjadi sebuah saksi. Sekaligus novel ini sebagai cerita pertama yang membuat aku sadar, ternyata aku benar-benar tidak bisa berbicara dengan apa adanya. Sang pemilik mental tahu. Lebih lembek dibandingkan dengan mental tempe.
Menulis sebuah buku, berusaha menjadi produktif di waktu-waktu yang sempit ini. Mereka meremehkan apa yang aku mampu ketika aku berada di titik paling terendah. Seperti itulah manusia, berusaha meraih kemenangan dalam hidup.
Aku juga sebenarnya tidak tau ingin menulis apa selain permasalahan dan solusi yang pastinya aku akan aplikasikan dalam kehidupan. Bukan hanya sebuah tulisan. Tapi menjadi tulisan yang memiliki tindakan pengaplikasian kebiasaan terbaru.
Sebuah hal kecil berdampak begitu besar dalam hidup, begitu juga dengan referensi tentang merubah pikiran negatif menjadi hal yang produktif. Merubah hal positif menjadi sentuhan kehancuran. Berbalik arah demi perubahan kecil.
1% dengan bunga majemuk yang aku rasakan dari semua perubahan yang terjadi pada diriku sendiri. Mungkin tidak sepenuhnya akan benar-benar 1% setiap harinya adalah kemajuan, bisa jadi 1% itu adalah kemunduran.
Aku, sedang berusaha keras untuk bisa berubah meskipun aku mengetahui bahwa bunga majemuk yang terjadi pada manusia membutuhkan waktu yang cukup lama atau memiliki proses yang panjang. Begitu kompleks manusia, bahkan diri ini.
Meneliti setiap permasalahan dalam hidup seperti menulis takdir dalam novel. Aku sebagai penulis takdir, takdir yang aku jalankan. Aku pula yang menulis dan menjalankan semuanya. Ini cerita bukan tentang siapa aku, dan siapa kamu.
Melainkan, bagaimana aku bisa merubah sesuatu hal dari yang kecil menjadi sebuah perubahan yang menjadi kemajuan dari dalam diri sendiri. Bukan tentang menghakimi sesama manusia. Aku membenci hal itu.
Setiap mindset yang aku berikan, alam bawah sadar memang mengetahui apa yang benar-benar aku alami. Hanya diriku, bukan orang lain. Berbohong memang sesuatu hal paling menyakitkan, tapi aku harus berbohong kepada semuanya demi kesehatanku untuk sementara waktu.
Aku mempersiapkan diri untuk benar-benar bisa berbicara secara gamblang dan terang-terangan menyatakan bahwa aku sudah tidak lagi berkaitan dengan masalah pendidikan. Aku tetap belajar dari luar perkuliahan namun aku juga tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan kembali lagi ke jalur pendidikan.
Kesehatan dalam diri butuh aku pertimbangkan, aku tidak bisa mengontrol diri sehingga aku dapat menyakiti atau membuat masalah yang sepertinya itu terjadi pada perasaan kepribadian lain. Biar apa kata orang mengatakan tentang diri ini.
Aku membiarkan semua orang berspekulasi bahwa aku seperti A, B, C, D, E, ... , Z. Saat ini aku mengambil keputusan untuk dibenci oleh orang yang ada di sekeliling ku. Merelakan diri sendiri agar tidak di sukai, membuang image atau gambaran tentang diri ini adalah seseorang yang orang lain harapkan.
Berani tidak di sukai, salah satu prinsip dasar yang aku anut. Segala permasalahan yang terurai satu per satu. Semua akan selesai pada waktunya yang tepat. Aku perlu memikirkan lebih dalam bagaimana cara aku mengerjakan tugas 2 dari 4 tugas yang telah psikiater itu berikan kepadaku.
Sebenarnya memang paling berat adalah pesan atau amanah ke-tiga dari empat amanah yang aku harus selesaikan. Setidaknya aku berhasil mengerjakan beberapa terkecuali berbicara langsung dengan keluarga tentang masalah apa yang terjadi pada hidup ini.
Mungkin, ketika waktu yang tepat. Diagnosa kedua dari hal ini bisa membantu aku untuk membuktikan bahwa aku benar-benar mengalami hal ini. Aku rela untuk di benci bahkan tidak di sukai untuk beberapa orang.
Aku hidup bukan untuk membahagiakan orang, aku hidup di tugaskan untuk bagaimana aku bisa mengerjakan segala amanah yang memang aku harus kerjakan. Prinsip dasar mengenai bahagia bukan terpaku pada orang lain. Melainkan, diri sendiri terlebih dahulu atau harus menjadikan sebuah prioritas utama dari penerimaan diri sendiri.