2023, sekarang.
Aku seperti biasa menulis di atas meja belajar, dan menulis beberapa permasalahan dalam catatan digital. Mengingat semua kejadian berlalu begitu cepat. Aku juga memikirkan beberapa cara agar aku bisa mengontrol pikiran secara penuh, tanpa ada gangguan dari anomali atau keanehan yang ada dalam raga ini.
Pasti mayoritas dari manusia yang aku kenal, sudah dipastikan mereka tidak akan mempercayai apa yang sudah aku alami. Lantaran mereka hanya melihat bahwa aku benar-benar baik-baik saja. Bahkan orang tua sendiri tidak percaya bahwa hal itu benar-benar ada.
Pertengkaran aku dengan Papa saat pertama kali aku pergi ke dokter umum untuk meminta surat rujukan khususnya kepada spesialis kejiwaan (sebutlah dokter jiwa atau psikiater). Tepatnya belum lama ini, sekitar tanggal 27 Februari 2023. Kami pergi ke klinik k*mia Farma yang tidak jauh dari rumah.
Awalnya aku pikir papa akan mendukung bahwa aku benar-benar tidak bisa untuk melanjutkan perkuliahan, tapi itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Dia menyepelekan apa yang aku rasakan.
Maksudku begini, ketika kami pergi ke dokter umum. Dan sudah ada hasil diagnosa sementara atau fase pertama, sudah jelas-jelas disana tertulis "Other anxienty disorder (F1)" atau secara harfiah berarti "depresi dan kecemasan secara menyeluruh". Apa yang aku harapkan ternyata tidak sesuai ekspetasi, lagi dan lagi aku terkena ceramah yang begitu menohok dan merasa lara baru dalam batin hidup untuk kesekian kalinya.
Saat aku memeriksa, dan konsultasi dengan dokter umum. Sebelum bisa mendapatkan sebuah surat rujukan, aku harus menceritakan apa yang ada di dalam kehidupan dan apa yang aku rasakan.
"Halo, kamu kenapa? Gimana kabarnya?". Tanya Dokter itu kepadaku.
"Begini Dok.. saya sudah lama menderita hal ini. Saya pikir saya harus bisa berobat agar saya bisa stabil."
"Apa yang kamu rasa? Bisa ceritakan secara spesifik?"
"Iya, jadi sejak kecil saya pernah menjadi objek pembulian. Semua memandang saya sebagai anak aneh, dan beberapa anomali pada tubuh ini juga terasa jelas. Apa yang sudah saya alami itu di luar nalar."
"Baik, ada lagi?". Dokter itu sambil menulis beberapa hal yang berkaitan dengan diri ini.
"Ada, bahkan dulu saya juga takut menggunakan bolpoin karena beberapa trauma yang berkaitan dengan bolpoin itu sendiri. Mangkanya dari saya duduk di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah kejuruan, saya lebih terbiasa menggunakan pensil ketimbang bolpoin. Lantaran terasa sakit dan mengingat semua hal seperti baru saja terjadi."
"Oke, jadi kamu merasakan hal seakan itu baru saja terjadi pada waktu dekat ya? Serta kamu juga merasa sakit yang sama ketika kamu memegang bolpoin. Begitu kan?"
"Benar, saya juga terkadang suka tidak sadar telah melakukan sesuatu. Kepala begitu berisik. Saya juga bisa melihat diri saya yang lain tapi dengan wujud berbeda."
"Oke, cukup.. Jadi gini Pak.. anak bapak itu memiliki banyak trauma yang begitu berat. Sehingga masih ada luka yang ada di batin dirinya."
Ketika aku mendengar respon baik dari Dokter aku turut ikut lega dia bisa mengerti apa yang telah aku lalui. Tapi entah atmosfer ruangan tiba-tiba terasa berat, seketika Papa ku seperti memberikan motivasi namun tidak melihat keadaan anaknya sendiri.
Terasa seperti di dorong ke sudut ruangan, serangan psikologi dari Papa berkesan "superior" dan dia menendang kaki kiri untuk aku tidak cerita soal masalah internal. Karena sebelum dokter merespon hal yang positif sempat bicara seperti ini "selain tekanan dari luar, apakah ada tekanan dari dalam? Maksudnya dari keluarga?". Aku yang sudah di berikan kode agar tidak membicarakan tentang keluarga, papa dengan nyeletuk bicara seperti ini "Nggak, saya ga pernah memberikan tekanan dari dalam. Sejauh ini keluarga dukung anak saya kok!". Seolah-olah Papa telah lupa apa yang dia sering katakan dan seakan tidak memiliki dosa sebutir biji zara.
Dengan respon ego dari Papa, bukan malah membuat diri ini membaik. Akan tetapi malah menjadikan diri ini semakin krisis identitas dan merasa tidak nyaman untuk berinteraksi dengan Papa ku sendiri.
Aku mengetahui, bahwa kode etik untuk menjaga nama baik martabat keluarga memang baik. Tapi aku tidak diberikan satu kesempatan untuk berbicara dengan orang ke tiga, untuk tau apa yang sebenarnya tekanan aku rasakan dari dalam.
Terasa seperti bunga mawar yang indah, namun memiliki duri yang membuat luka. Aku lelah akan hal ini, diri semakin menjadi-jadi. Fase kepribadian yang aku tandai dengan beberapa gejala setelah pulang dari klinik. Semua perdebatan panjang dari kami ada di klinik itu sampai kami berdua ada di dalam perjalanan menuju pulang.
Aku terus-menerus meyakinkan bahwa hal ini bukan hal paling sepele. Aku bingung, dan aku semakin ingin merubah agar menunjukkan kegilaan dari kepribadian yang lain mengambil alih.
Aku sadar untuk hal keanehan dalam tubuh, segala identitas diri juga terasa menipis dan semakin di penghujung waktu. Aku semakin tidak bisa membedakan mana diriku yang primer, dan diriku yang lain.
Aku tidak hanya ingin mendiagnosa diri sendiri, tapi aku memiliki semua catatan dan penelitian secara ilmiah dengan metode kualitatif. Aku mendengar banyak sekali cerita tentang diri sendiri, ketika aku berubah seperti apa.
Karakter yang naik dari dalam permukaan itu seperti apa. Aku sudah mengetahui hal tersebut. Oleh karena itu aku sebenarnya ingin bertujuan memeriksa apakah mereka benar-benar seperti apa yang aku asumsikan?
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Papa sudah mengetahui hal ini tapi tekanan untuk aku terus melanjutkan pendidikan dengan moto "minimal S1 dan jadi kebanggaan orang tua tanpa harus aku melawan agar kedua orang tua ku tidak kecewa".
Jujur, ini pengalaman paling berat dalam banyak hal. Aku harus berbohong seolah aku benar-benar masih ikut dalam perkuliahan. Padahal kenyataannya aku sudah keluar lantaran aku tidak mau diri ini semakin menjadi-jadi.
Karena dengan beberapa banyak kasus. Aku juga belajar dari pengalaman sebelumnya. Masa iya, aku tidak bisa belajar dari pengalaman sebelumnya. Motivasi dari dalam diri "aku bukan keledai, tapi aku manusia yang bisa belajar dari pengalaman sebelumnya".
Aku juga sempat membuat salah satu puisi sajak yang biasa aku upload di telegram ku. Kira-kira begini puisi sajak nya.
Ijazah,
Sebuah kertas yang tercipta.
Akademisi menjadi tuntutan pekerja.
Akademisi menjadi tuntutan pelajar seperti kita.
Tatkala,
Tatkala mereka memaksamu.
Tatkala sekedar formalitas memaksamu.
Tatkala mereka menjaga citra keluargamu.
Seperti,
Catatan gelap ntah apa yang sesungguhnya terjadi.
Sisi gelap sama terangnya dengan jabatan palsu.
Mengapa,
Mengapa mereka memaksamu?
Mengapa mereka tidak melihat kesehatanmu?
Apakah mereka,
Apakah tidak mengetahui dirimu?
Kamu hanya terpaksa.
Di tuntut untuk hidup.
Demi citra keluarga.
Miris,
Termakan harga diri.
Ya kira-kira begitu puisi sajak yang aku buat, ini tentang persepektif pribadi untuk melihat kehidupan dari sisi paling puitis. Aku tidak tau apa yang aku harus lakukan setelah aku berhenti dari masa perkuliahan karena kesehatan mental ini sudah bisa dikatakan cukup berbahaya dan harus ditangani oleh Psikiater serta obat-obatan yang harus aku konsumsi.
Aku juga mengetahui bahwa aku berbohong seperti sedang memegang kawat berduri berlapis emas, begitu indah dan menyakitkan penderitaan ini. Aku harus berbohong demi bisa meminimalisir kejadian-kejadian anomali dari tubuh ini.
Sekitar beberapa minggu setelah aku pergi membuat surat rujukan ke spesialis kejiwaan, sempat aku berpikir bagaimana aku bisa pergi dari rumah tanpa ketahuan kalau aku pergi ke rumah sakit untuk konsultasi pertama.
Aku mengingat salah satu teman SMP yang mana, dia mau membantu aku untuk menemani sebagai wali. Hanya dia satu-satunya yang hadir ketika aku sedang ada di bawah. Bahkan teman aku saat masih SMK dan ikut kuliah bersama di institut yang sama, dia tidak pernah menjenguk atau menengok bagaimana kabar asli dari diri ini.
Memang benar, ketika kamu berada di posisi paling sulit. Hanya segelintir orang yang benar-benar menjadi teman kamu. Mau kamu susah kayak gimana. Orang-orang tidak benar-benar peduli dengan kehidupan kamu.
Bahkan orang yang paling dekat sebutlah sebagai keluarga, tidak semua akan menerima kenyataan bahwa kesehatan mental itu ada. Balik ke cerita utama, hari itu aku bergegas untuk menghubungi teman ku itu.
"Halo, ci."
"Iya Cen? Ada apa?"
"Buka chatting dong, gw tadi chat elu. Karena slow resp. Gw telpon deh."
"Oh, nanti ya gw lagi gawe dulu."
Setelah itu kami chattingan via ApaApp. Syukurlah teman lama yang ini dapat aku hubungi sehingga kami pun bisa pergi untuk menemani aku ke RSU yang tidak jauh dari rumah.
***
2015, sekolah menengah pertama.
Aku Cen kelas 1 SMP, berpikir bahwa aku telah berhasil untuk bertahan dari neraka kecil itu. "Akhirnya, gw berhasil naik kelas sampai sekarang. Semoga di sekolah ini gw nggak kenapa-kenapa". Gumam aku ketika lagi berangkat ke sekolah.
Saat awal-awal tahun ajaran, aku angkatan ke-dua dari angkatan pertama. Bisa dikatakan bahwa sekolah menengah pertama ini adalah sekolah baru berdiri selama 1-2 tahun belakangan ini. Dan kami khususnya kelas 1 SMP, wajib mengikuti kegiatan ospek.
Aku dan teman-teman mengikuti kegiatan itu. Dalam imaji aku berkhayal kalau acara pertama ini seperti apa yang aku ekspetasi kan, kegiatan menyenangkan tanpa ada paksaan. Sebelum acara dimulai, kami para murid baru berkumpul di tengah-tengah lapangan untuk upacara sekaligus pembukaan MOS (masa orientasi siswa).
Dimana saat masa orientasi siswa kami di minta untuk pengenalan lingkungan sekolah, metode belajar, sarana dan prasarana hingga petunjuk maupun tata tertib yang harus diketahui peserta didik baru.
Saat MOS, siswa mungkin hanya tahu nama guru sambil lalu, sehingga berpeluang lupa. Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan mengadakan kuis terkait guru di sekolah. Panitia MOS bisa mengadakan kuis atau kegiatan yang memungkinkan siswa langsung
berkenalan satu per satu pada guru.
Aku yang baru mengetahui ternyata ada kegiatan seperti ini. Dengan polosnya aku bertanya kepada salah satu panitia.
"Tujuan MOS ini buat apa ya?".
Tidak lama kemudian panitia mengambil megaphone atau toa sebagai media untuk pengeras suara. Menjelaskan mengenai kegiatan MOS.
"Ehm... Cek.. cek.."
"Tes.."
"Oke, anak-anak jadi kegiatan MOS kali ini memiliki tujuan khusus ya!"
"Jadi gini.."
"Tujuan utama dari adanya orientasi yaitu sebagai media belajar untuk anggota baru dalam mempelajari sebuah institusi ataupun organisasi baru. Pembelajaran tersebut tidak hanya berkaitan dengan nilai-nilai, aturan, dan berbagai hal abstrak lainnya"
"Sampai sini kalian semua paham?"
Dengan serentak semua siswa-siswi bersorak-sorai mengatakan "PAHAM!". Di situ lah aku ikut seru-seruan dengan mereka. Aku di minta untuk mengikuti kegiatan ringan, jika tidak mengikuti kegiatan dengan prosedur yang sudah diberikan. Mereka akan menghukum anak-anak yang tidak mau mengikuti perintah dari panitia.
Begitu banyak orang-orang, sehingga menjadi banjir bandang manusia. Lagi dan lagi, masalah yang ada di tubuh ini meluap. Ya, siapa yang tahu? Kalau aku ini memiliki sedikit perbedaan dengan murid lain nya.
Pagi menjelang siang itu aku pergi ke toilet untuk buang air kecil. Tepatnya ketika semua murid di minta masuk ke dalam kelas masing-masing yang sudah di arahkan.
"Permisi kak, izin ke toilet". Aku meminta izin dengan nada canggung karena aku belum mengenal siapa kakak itu.
"Oh Cen, di sebelah sana.."
Aku pergi ke toilet untuk buang air kecil, akhirnya aku bergegas menuju toilet. Tak lama kemudian, aku baru sadar ada kakak kelas yang sedang merokok di toilet itu. Seperti biasa, aku dengan acuh lewat tanpa memandang bulu siapa orang itu.
Tidak lama kemudian, mereka memanggil nama dengan rasisnya. Serta mengolok-olok kalau aku seperti budak polos yang penurut.
"Hei lihat, ada tuyul bawa kardus digantung tepatnya di lehernya."
"Haha, coba sini gw liat! Namanya aneh!"
"Hahaha, dek. Lu ngapain ke sini?"
Aku yang hanya bisa terdiam karena tidak mau meladeni mereka, aku langsung bergegas pergi tanpa peduli apa yang telah mereka katakan kepada diriku.
"Bahaha, lihat dia takut sama kita!"
"Cemen!"
"Huuu!!!"
Jujur, kepala terasa meluap. Aku pribadi tidak masalah. Namun entitas yang aku belum ketahui, mereka marah dengan kebisingan yang dibuat dalam pikiran ini. Aku tetap menahan kesadaran, jangan sampai aku lepas kendali.
Lagi dan lagi, kepala terasa berisik dan berat. Aku segera bergegas menuju kelas untuk bisa duduk dan istirahat sejenak. Kala itu kepala terasa seperti diremas hingga menyebabkan suhu tubuh naik sedikit.
Untungnya, aku masih bisa mengendalikan anomali yang ada di dalam tubuh ini. Menjauh dan menyendiri demi bisa meredam pemicu yang bisa merubah diri menjadi personal yang orang lain tidak kenal.
Mengingat kejadian itu, dan pertama kalinya aku berhasil mengontrol diri. Supaya tidak menekan tombol switch on. Suatu penghargaan dalam hidup ini. Aku bisa bertahan dan berusaha menjadi anak manja atau culun, selama semasih aku di sekolah menengah pertama.
Untungnya aku mengingat apa kata kakek, beliau mengatakan bahwa aku harus bisa menjauhi diri dari pemicu yang ada. Jangan sampai terbawa arus, tapi kita lah yang membuat arus sendiri.
Mau di sekolah dulu atau sekarang. Dimana aku berada, semua sama saja. Pendidikan, pembulian, diskriminasi, dan banyak hal lainnya masih sering terjadi. Begitu pula fakta bahwa tidak hanya satu-dua orang yang merasakan tindasan itu.
***
21 Maret 2023, rumah.
Paginya aku bangun lebih awal agar aku bisa berangkat ke RSU. Untuk pendaftaran awal. Teman lama, sebut saja Archie dia menjemput aku di depan rumah.
Tidak lama kemudian, kami bercerita nostalgia saat pertama kali kita saling kenal. Lantaran memang kami cukup lama tidak pernah berjumpa. Kami dalam perjalanan menuju RSU dan sedikit canda mengingat beberapa hal lucu dari pertemanan kita.
"Ci, gw heran. Kenapa lu mirip sama Sopo di animasi 3D Adit, Sopo, Jarwo ya?"
"Bahaha, iya gw juga mikir begitu. Tapi itu semua karena teman kita, jadi semuanya pada manggil gw Sopo"
Tak lama kemudian, setelah perbincangan kami di perjalanan. Sampailah kami di RSU. Archie memarkir motornya, sedangkan aku menunggu di seberang jalan.
"Bentar Cen, markir dulu gw."
"Okeh."
...
..
.
"Cen sini mana KTP, BPJS, Dan surat rujukan yang kemarin lu kasi tunjuk ke gw. Biar gw daftarin."
Akhirnya Archie membantu aku untuk penanganan admistrasi, setelahnya kami menunggu antrian yang cukup panjang. Kira-kira antrian F-249. Cukup lama kita menunggu, menjadi orang yang gabut kami ngobrol-ngobrol santai sembari menunggu antrian.
"Cen, memang ga ada yang bisa lu percaya ya?"
"Gimana mau percaya bro, bayangin aja gw cerita singkat aja di bilang gw yang halu."
"Iya sih, tapi masa iya ga ada yang percaya?"
"Bokap gw aja tau kalau gw begini, tetap aja dia bakal menepis apa yang gw katakan."
"Iya sih, habisnya soal kayak begini ga bisa di liat pake mata telanjang."
"Bener ci, gw jujur aja nih. Bukan berarti gw minta simpati elu."
"Yelah, seloww..."
"Jadi gini ci, lu pasti ingat semua kejadian saat gw masih SMP gak?"
"Nggak, lupa gw. Coba yang mana?"
"Itu loh, seketika gw nggak jelas mukul elu, terus membuat beberapa kerusuhan."
"Oh ya, inget. Kalau gw pikir sih itu cuma elu aja yang lagi error."
Setelah panjang lebar, kita berbicara cuma lama. Archie pun sepakat dengan apa yang aku teliti. Iya, meneliti diri sendiri. Mungkin untuk beberapa orang seperti kurang kerjaan.
Tapi menulis, dan meneliti. Itu adalah cara aku untuk bisa mengenali diri sendiri. Tanpa harus terpaku dalam danau yang tidak ada ujungnya. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku memang seperti ini.
Yah, walaupun aku masih memerlukan beberapa hal penting yang harus dilakukan. Seperti pengobatan lebih lanjut. Aku tidak pernah menyesal atas perjalanan menuju kesempurnaan menerima diri. Aku hanya harus menerima kenyataan, bukan lari dari kenyataan.
Yah, mungkin ini pilihan terbaik. Aku berhenti dari perkuliahan karena kondisi yang sekarang tidak benar-benar baik. Aku harus memegang kawat emas yang bergairah itu, supaya aku bisa tetap berada di jalan ini. Aku tahu, jika konselorku yang sekarang mengatakan bahwa aku harus benar-benar bisa jujur kepada orang sekitar.
Saat pertama kali aku bertemu dengan konselor atau psikiater, aku memang mengatakan semua permasalahan yang aku rasakan. Aku memberanikan diri untuk bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam kepala ini.
Semua kejadian terasa begitu berlalu, tanpa aku sadari bahwa aku belum mengambil madu dalam sarang lebah yang telah aku lalui. Dahulu, aku sering menghancurkan sarang lebah tanpa mengambil madu. Mungkin karena aku takut dengan lebah, mangka dari itu aku menghancurkan sarang lebah.
Ah... Aku lupa menceritakan setelah aku mengantri ya? Jadi gini... setelah aku berhasil mendapatkan pengobatan. Aku dan Archie, bersyukur lega akhirnya bisa sampai tahap ini. Tahap dimana, aku bisa mendapatkan pengobatan dari Psikiater yang menangani kasus ini.
Aku bersyukur, dan aku sangat tenang ketika aku sudah mendapatkan beberapa pengobatan dari Psikiater. Meskipun, di dalam diri sendiri masih seringkali bingung karena identitas yang begitu sering berganti.
Ini sebuah cerita yang cukup panjang, aku tidak tau apakah aku bisa lolos dari cengkraman kutukan ini. Mungkin, aku bisa lepas dari hal ini. Tetapi aku belum mengetahui apa yang akan terjadi ketika mereka tahu bahwa aku sudah benar-benar keluar dari ranah perkuliahan.
Aku hanya bisa menulis, dan mencatat semua proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Aku ingin bersedih? Untuk apa? Jika aku bisa berdiri sampai di sini, dan memilih kesehatan mental lebih utama dari pada perkuliahan.
Pilihan yang rumit, tapi aku harus memilih. Meskipun dalam batin ini mengatakan bahwa aku seperti sampah. Iya, sampah yang di buang tidak ada gunanya.
Ketika aku pulang dari RSU, dan istirahat sejenak. Aku meminum obat yang telah diberikan. Aku istirahat, dan tidur karena lelah serta efek pengaruh dari obat yang aku minum membuat sedikit lebih tenang.
Dalam mimpi, mimpi yang begitu absurd. Aku bertemu dengan diri sendiri. Iya, mereka yang lain. Semua mematung seperti tidak memiliki nyawa. Tetapi mata dari mereka melirik tajam ke arahku.
Aku menanyakan kepada mereka. "Siapa?". Tidak ada satu pun yang menjawabnya. Aku selalu menjnggu balasan atau respon dari pribadi yang lain. Mungkin aku sudah gila, bahkan di anggap benar-benar gila jika aku cerita hal ini kepada orang awam.
Di alam bawah sadar, mimpi. Aku bermonolog dan menunggu satu dari mereka berbicara.
"Sebenarnya kalian ini ada ga sih?"
"Tapi aku mohon, kenapa kalian tiba-tiba muncul seketika? Lalu hilang?"
"Bisakah aku berbicara dengan kalian?"
...
..
.
"Halo." Suara halus dan berat membisik telinga kiriku. Dengan spontan aku terkejut dan aku terbangun dari tidur.
Nafas begitu berat, dan aku hanya bisa mengingat tanpa aku tulis. Jujur, aku terkejut sehingga badan ini terasa seperti menggigil kedinginan. Tangan kanan gemetar begitu kencang. Suara-suara itu muncul tepat di kepala ini.
Terasa heran dan bimbang, aku lagi dan lagi memasuki fase ke-dua dari tiga fase yang aku miliki. Logat, cara berbicara aku sempat menjadi lebih halus, dan seperti orang dari pulau Sumatera. Logat khas yang biasa orang pulau Sumatera bawakan, seketika menempel pada diri ini.
Lantaran aku seringkali merasa bingung ketika kesadaran terbelah menjadi 50:50. Tangan kanan yang tadinya bergetar hebat, bergerak tanpa aku pinta. Memegang jeruji besi kasur tingkat, seakan aku ingin turun dari kasur ini. Begitulah, hari yang cukup berat. Tapi tidak seberat november-desember 2022.