Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 24 - Jalan Kebenaran

Chapter 24 - Jalan Kebenaran

Setelah membawa Isholdyenca dan Flaura yang terluka parah ke dalam rumah, Gurfeda segera memeriksa keadaan mereka. Tangan Isholdyenca yang hampir robek membuat darah terus mengalir, sementara Flaura terlihat sangat lemah, seperti nyawa hampir terlepas dari tubuhnya.

"Luna, tolong siapkan kain bersih dan air hangat!" pinta Gurfeda dengan nada tegas.

Luna, meskipun masih lelah dan kebingungan, langsung berlari untuk mencari apa yang diminta. Peals dan Veni mencoba membantu, meskipun kondisi tubuh mereka sendiri belum pulih sepenuhnya.

Dalam keheningan yang penuh ketegangan, Gurfeda menggenggam tangan Isholdyenca. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi pandangannya penuh dengan tekad. "Aku tidak akan membiarkan kalian menyerah. Tidak di depanku."

Namun, sebelum ia bisa mulai melakukan sesuatu, ruangan itu tiba-tiba dipenuhi dengan kabut tebal yang dingin.

"Apa ini!?" Luna berteriak sambil memegang kain di tangannya.

Gurfeda berdiri dengan cepat, matanya menyapu ruangan. Ia tahu ini bukan kabut biasa. Sebuah kekuatan asing telah menyusup. Dan benar saja, lantai di bawah mereka berubah menjadi lingkaran bercahaya dengan simbol-simbol misterius.

"Ini... sihir dimensi!" seru Veni.

Sebelum mereka sempat bereaksi lebih jauh, cahaya dari lingkaran itu menyelimuti mereka semua. Dunia di sekitar mereka lenyap dalam sekejap, dan mereka terlempar ke dalam ruang dimensi mimpi yang tak dapat dipahami.

---

Gurfeda membuka matanya perlahan. Ia mendapati dirinya berada di sebuah padang yang ia kenali—padang rumput di dekat desanya saat ia masih kecil. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma bunga liar yang menyegarkan. Namun, bukannya merasa tenang, hatinya justru terasa berat.

"Kenapa aku di sini…?" gumamnya.

Suara tawa kecil tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Gurfeda menoleh, dan di sana, ia melihat Lebiya, adiknya, sedang bermain dengan boneka kayu yang pernah ia buatkan.

"Lebiya?" panggil Gurfeda, suaranya hampir bergetar.

Gadis kecil itu menoleh, tersenyum manis seperti yang selalu ia lakukan di masa lalu. Namun, ada sesuatu yang aneh. Tatapan matanya terlihat kosong, dan senyumnya seperti dipaksakan.

"Kakak, kenapa kau membiarkan aku pergi…?" tanya Lebiya dengan suara lembut yang menusuk hati.

Gurfeda merasa tubuhnya membeku. "Apa maksudmu? Aku tidak pernah ingin kau pergi!"

Namun, seiring dengan langkah Gurfeda yang mendekat, pemandangan di sekitar mereka berubah. Padang rumput hijau itu menjadi gelap, bunga-bunga layu, dan udara menjadi berat. Sosok Lebiya perlahan menghilang, digantikan oleh bayangan samar yang hanya tertawa dengan suara menyeramkan.

"Ini bukan nyata!" Gurfeda berteriak, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, kenangan itu terlalu kuat, menjeratnya dalam rasa bersalah yang mendalam.

---

Di tengah kekacauan pikiran Gurfeda, sebuah suara lembut terdengar. Itu suara ibunya—suara yang sudah lama tidak ia dengar.

"Gurfeda, anakku... jangan biarkan rasa bersalah menahanmu. Kau lebih kuat dari apa yang kau pikirkan."

Cahaya kecil muncul di depan Gurfeda, seperti lentera yang memandu jalannya. Cahaya itu perlahan berubah menjadi sosok ibunya, yang tersenyum hangat sambil memegang kalung yang selalu ia pakai.

"Ibu…" Gurfeda hanya mampu berbisik. Air mata mengalir di pipinya.

Ibunya mendekat, meletakkan tangan di pundaknya. "Tidak semua kenangan buruk harus menjadi beban. Jadikan itu kekuatanmu, dan jangan biarkan siapa pun merampas harapanmu."

Kata-kata itu seakan menyentuh inti jiwa Gurfeda. Ia merasakan kehangatan yang memberinya kekuatan baru.

"Terima kasih, Ibu."

Dengan tekad yang diperbarui, Gurfeda menggenggam pedangnya yang tiba-tiba muncul di tangannya. Ia memfokuskan pikirannya, mencoba keluar dari dimensi mimpi ini.

---

Namun, dunia mimpi itu tidak membiarkan Gurfeda pergi begitu saja. Kabut kembali menyelimuti, dan bayangan gelap muncul di sekitarnya, menyerupai sosok-sosok dari masa lalunya yang penuh penderitaan.

"Kenapa kau tidak bisa melindungi kami?" suara-suara itu bergema, membuat hati Gurfeda terasa seperti ditusuk.

Namun kali ini, ia tidak goyah. Ia mengangkat pedangnya, yang kini bersinar dengan cahaya terang, melawan bayangan-bayangan itu.

"Aku tidak akan membiarkan kalian menghancurkanku lagi!" teriaknya sambil mengayunkan pedangnya.

Dengan setiap ayunan, bayangan-bayangan itu menghilang, satu per satu, hingga akhirnya hanya tersisa cahaya terang di sekelilingnya.

---

Gurfeda membuka matanya dan mendapati dirinya kembali di rumahnya. Di sekitarnya, teman-temannya perlahan mulai sadar. Luna, Peals, Veni, Isholdyenca, dan Flaura semuanya terlihat lemah tetapi hidup.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Gurfeda, suaranya penuh perhatian.

Luna mengangguk pelan. "Kami terjebak dalam mimpi… mimpi yang begitu nyata. Tapi aku mendengar suaramu, Gurfeda. Itu membantuku keluar."

Peals dan Veni juga mengangguk, meskipun masih terlihat linglung. Isholdyenca menatap Gurfeda dengan rasa syukur yang mendalam.

"Terima kasih, Gurfeda. Kau menyelamatkan kami," ucapnya pelan.

Namun, sebelum mereka bisa beristirahat lebih jauh, suara dentuman keras terdengar dari luar rumah. Tanah bergetar, dan langit yang sebelumnya cerah mulai dipenuhi dengan awan hitam.

"Apa lagi sekarang?" gumam Gurfeda, sambil menggenggam pedangnya dengan erat.

---

Dari kejauhan, terlihat sosok tinggi besar mendekat. Aura gelap yang dipancarkan sosok itu membuat semua orang merinding.

"Dia datang…" bisik Flaura, wajahnya penuh ketakutan.

Gurfeda berdiri di depan teman-temannya, melindungi mereka. "Tidak peduli siapa atau apa yang datang, kita akan melawan bersama."

Dengan tekad yang baru, Gurfeda dan teman-temannya bersiap menghadapi ancaman baru yang lebih besar. Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan pernah berhenti berjuang untuk dunia ini.

--

Kenangan buruk, rasa bersalah, dan luka masa lalu bukanlah akhir. Gurfeda telah belajar bahwa semua itu bisa menjadi kekuatan, jika ia mau berdamai dengan dirinya sendiri. Dan dengan teman-teman di sisinya, ia percaya bahwa kegelapan apa pun bisa dikalahkan, selama ada cahaya harapan yang terus menyala.

sosok sang Penguasa Kegelapan berdiri angkuh di atas singgasananya. Mantelnya berwarna hitam pekat, melambangkan kekuatan gelap yang menyelubunginya. Tatapan dingin dari matanya yang merah menyala membuat udara terasa berat, seakan-akan setiap napas yang diambil membutuhkan usaha ekstra.

"Kalian benar-benar berhasil sampai sejauh ini," ucapnya dengan nada penuh ejekan. Suaranya bergema di seluruh ruangan, membuat tim Gurfeda semakin waspada. "Namun, usaha kalian sia-sia. Tidak ada yang bisa menghentikan kegelapan."

Gurfeda maju selangkah, menatap lurus ke arah Penguasa Kegelapan. "Kami tidak akan menyerah. Tidak peduli seberapa kuat dirimu, cahaya selalu bisa mematahkan kegelapan."

Penguasa Kegelapan hanya tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. "Jika itu yang kalian inginkan, maka aku akan memberikan akhir yang pantas untuk kalian."

Dengan sekali tepukan, ruangan di sekitarnya berubah. Lantai menjadi cair seperti tinta hitam, dan dinding-dinding menara tampak menghilang, digantikan oleh langit malam yang dipenuhi petir dan awan gelap.

"Kita tidak punya pilihan selain bertarung!" seru Luna sambil mempersiapkan mantra anginnya.

---

Pertarungan dimulai dengan serangan dahsyat dari Penguasa Kegelapan. Ia melancarkan gelombang energi hitam yang menyebar ke seluruh ruangan, memaksa semua orang untuk bertahan. Isholdyenca mengangkat perisainya untuk melindungi kelompok, sementara Veni dan Flaura melancarkan serangan balik dengan sihir api dan air mereka.

Namun, serangan-serangan itu seakan tidak berpengaruh pada Penguasa Kegelapan.

"Dia terlalu kuat!" teriak Peals, yang mencoba melindungi Luna dengan mantra penghalang.

Gurfeda memegang erat pedangnya, yang kini mulai berpendar dengan cahaya biru. Itu adalah pedang warisan keluarganya, yang katanya memiliki kekuatan tersembunyi untuk melawan kegelapan. Ia tahu, ini adalah satu-satunya harapan mereka.

"Aku akan mengalihkan perhatiannya!" seru Gurfeda. "Kalian fokus menyerang titik lemah di dadanya!"

Timnya mengikuti rencana itu. Gurfeda menyerang Penguasa Kegelapan dengan seluruh kekuatannya, mencoba membuat celah untuk rekan-rekannya. Meskipun terluka berkali-kali, ia tidak menyerah.

---

Namun, di tengah pertarungan, Penguasa Kegelapan melancarkan sihir khusus: ia menciptakan ilusi kenangan kelam yang langsung menyerang pikiran setiap anggota tim.

Luna melihat dirinya kehilangan keluarganya di masa lalu, sementara Isholdyenca terjebak dalam kenangan akan kegagalannya melindungi teman-temannya. Flaura dan Veni juga jatuh dalam perangkap mental ini, membuat mereka terdiam, tak mampu bergerak.

Gurfeda pun tidak luput. Di hadapannya, muncul ilusi Lebiya, yang tersenyum lemah padanya.

"Kak... kenapa kau meninggalkanku?" ucap ilusi itu dengan suara gemetar.

"Tidak! Ini tidak nyata!" Gurfeda berteriak, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, kenangan itu terlalu kuat, mencengkeram hatinya dan membuatnya merasa bersalah.

Di saat itulah, sebuah suara lembut terdengar di telinganya.

"Gurfeda, jangan biarkan rasa bersalah menguasaimu. Kau masih memiliki waktu untuk memperbaiki semuanya. Percayalah pada dirimu sendiri."

Kalung di lehernya mulai berpendar, memancarkan cahaya hangat yang membantunya melawan ilusi itu. Dengan segenap kekuatan hatinya, Gurfeda berhasil mematahkan sihir Penguasa Kegelapan.

---

Melihat Gurfeda berhasil bangkit, teman-temannya pun mulai mendapatkan kembali semangat mereka. Luna menghapus air matanya, lalu berdiri dengan mantap.

"Kita tidak boleh kalah!" serunya.

Satu per satu, mereka kembali menyerang. Kali ini, dengan kekuatan penuh. Gurfeda memimpin serangan terakhir dengan pedangnya, yang kini bercahaya terang. Ia melompat tinggi, menebas ke arah Penguasa Kegelapan.

Namun, serangan itu belum cukup.

"Tidak semudah itu!" teriak Penguasa Kegelapan, melancarkan serangan balik yang memukul mundur Gurfeda dan membuatnya jatuh ke tanah.

Di saat itu, suara lembut lain terdengar, kali ini bukan dari ibunya, tetapi dari Lebiya.

"Kak, aku percaya padamu. Kau bisa melindungi semuanya."

Cahaya dari pedangnya semakin terang, memenuhi seluruh ruangan. Dengan kekuatan gabungan dari kenangan baik dan kepercayaan teman-temannya, Gurfeda bangkit untuk terakhir kalinya.

Ia melompat sekali lagi, kali ini mengarahkan pedangnya langsung ke jantung Penguasa Kegelapan.

---

Terjadi ledakan besar ketika pedang Gurfeda menusuk jantung Penguasa Kegelapan. Aura gelap yang menyelubungi di depan rumah mulai menghilang, digantikan oleh cahaya yang hangat dan menyilaukan.

Sosok Penguasa Kegelapan perlahan menghilang, meninggalkan hanya bayangan samar. "Kalian... menang. Tapi cahaya tidak akan bertahan selamanya..."

Dan dengan itu, ia lenyap.

Gurfeda dan yang lainnya menghilang menggunakan kekuatan sihir yang mereka punya.

---

Setelah pertarungan sengit, mereka akhirnya kembali ke desa. Kabut yang selama ini menyelimuti desa mulai menghilang, digantikan oleh sinar matahari yang hangat.

Di depan rumahnya, Gurfeda berdiri dengan teman-temannya. Ia memandangi kalung di lehernya, lalu berkata dengan suara pelan, "Ini bukan akhir, tapi awal baru untuk kita semua."

Luna, Peals, Veni, Isholdyenca, dan Flaura berdiri di sampingnya, tersenyum. Mereka tahu, meskipun perjalanan mereka penuh dengan kehilangan dan penderitaan, mereka telah berhasil menciptakan harapan baru untuk dunia ini.

---

Beberapa bulan kemudian, desa MoonTales mulai kembali hidup. Orang-orang yang pernah melarikan diri dari ancaman kegelapan kini kembali membangun rumah mereka.

Gurfeda dan teman-temannya menjadi simbol harapan, membuktikan bahwa dengan keberanian dan kerja sama, tidak ada kegelapan yang tidak bisa diatasi.

Namun, jauh di dalam hatinya, Gurfeda tahu bahwa tugasnya belum selesai. Masih ada misteri tentang ibunya yang hilang, dan dunia magis ini masih membutuhkan pelindung.

Ia memandang ke arah horizon, lalu tersenyum. "Aku siap untuk apa pun yang datang berikutnya."