Aiko, seorang ibu sekaligus seorang pelindung. Hidupku sederhana namun penuh kebahagiaan di Desa MoonTales, sebuah tempat yang dipenuhi kehangatan keluarga dan damai oleh tawa anak-anakku.
Gurfeda, putraku yang penuh semangat dan selalu ingin tahu, serta Lebiya, adiknya yang manis dan lugu, adalah dunia bagiku. Suamiku, Rakuza, adalah seorang pengrajin, pria yang bekerja keras untuk memberikan kehidupan terbaik bagi kami.
Hari itu, seperti biasanya, pagi dimulai dengan suara burung berkicau di pepohonan. Aku sedang menyiapkan sarapan.
ketika Gurfeda menghampiriku.
"Ibu, lihat apa yang aku temukan di dekat sungai!" katanya sambil memperlihatkan batu berwarna biru berkilauan.
Aku tersenyum dan mengelus kepalanya. "Kau selalu membawa sesuatu yang menarik, nak. Batu ini indah sekali."
Aku tidak tahu, hari itu akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang akan merenggut kedamaian yang kami miliki.
---
Beberapa hari kemudian, desas-desus mulai menyebar di desa. Penduduk berbicara tentang makhluk asing yang terlihat berkeliaran di hutan dekat desa. Makhluk itu tidak pernah menampakkan diri dengan jelas, tetapi beberapa saksi bersumpah bahwa mata merah menyala terlihat di malam hari.
"Ada sesuatu yang tidak beres," ujar Rakuza suatu malam. "Mungkin kita harus memperkuat penjagaan di sekitar desa."
Aku merasakan kegelisahan yang sama. Ada energi gelap yang terasa di udara, sesuatu yang tidak bisa ku jelaskan tetapi sangat nyata.
Ketika aku hendak menenangkan Lebiya yang terlihat gelisah di kamarnya, aku mendengar suara aneh dari luar. Seolah ada bisikan lembut yang memanggil namaku.
"Aiko..."
Aku berdiri, mencoba mencari asal suara itu, tetapi tidak menemukan siapa pun. Aku merasa seolah ada sesuatu yang mengawasi, namun ketika aku melihat ke luar jendela, hanya kabut tebal yang menyelimuti desa.
Malam berikutnya, saat semua orang tertidur, suara jeritan tiba-tiba mengguncang keheningan. Aku terbangun dan berlari keluar, diikuti oleh Kalen. Di tengah desa, api membara, menerangi sosok-sosok hitam yang menyerang tanpa ampun.
Makhluk itu lebih tinggi dari manusia biasa, tubuhnya berselimut bayangan yang terus bergerak, seolah-olah kabut tersebut terlihat hidup. Penduduk desa berusaha melawan, tetapi mereka kalah jumlah dan kekuatan.
Aku memeluk Gurfeda dan Lebiya erat-erat, mencoba melindungi mereka dari kekacauan. "Tetap di sini. Jangan ke mana-mana!" perintahku dengan tegas.
Namun, hatiku terbelah. Aku tahu, sebagai seorang pelindung desa, aku memiliki tugas lebih besar. Tanpa memberitahu keluargaku, aku berlari menuju pusat pertempuran. Aku tidak bisa hanya diam melihat orang-orang yang aku sayangi dilukai.
Aku adalah salah satu dari sedikit penduduk desa yang mewarisi seni sihir pelindung dari leluhur kami. Tanganku bersinar saat aku memanggil perisai magis untuk melindungi para penduduk.
"Bersatu! Jangan biarkan mereka melewati garis pertahanan!" teriakku.
Namun, makhluk-makhluk itu lebih kuat dari yang aku bayangkan. Mereka bukan hanya menyerang fisik, mereka menyerang pikiran. Bisikan-bisikan gelap mulai masuk ke pikiranku, mencoba menggoyahkan tekadku.
"Apa gunanya melawan? Kau tahu kau tidak bisa menang..."
Aku menggertakkan gigi, menolak untuk menyerah. Tapi di saat aku mulai menguasai perasaanku, aku melihat sesuatu yang membuat hatiku berhenti.
Di tengah kerumunan musuh, ada seorang wanita berjubah hitam. Wajahnya tersembunyi, tetapi auranya sangat kuat. Aku tahu dia adalah pemimpin mereka. Dia tidak menyerang, hanya berdiri di sana, mengamati dengan tenang.
"Siapa kau!?" aku berteriak.
Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, aku merasakan tubuhku terseret ke dalam kegelapan.
Ketika aku membuka mata, aku tidak lagi berada di desa. Tempat ini seperti dunia lain, dipenuhi dengan bayangan dan suara aneh. Rasanya seperti mimpi buruk yang tidak bisa dihindari.
"Selamat datang, Aiko"
Suara wanita itu terdengar, lembut namun penuh ancaman. Ia berdiri di hadapanku, wajahnya masih tersembunyi.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyaku.
"Kekuatanmu," jawabnya singkat. "Kau adalah pelindung, dan itu membuatmu menjadi ancaman. Tapi lebih dari itu, aku ingin melihat bagaimana pengorbanan seorang ibu bisa mengguncang seluruh dunia."
Aku merasakan kemarahan membara di dadaku. "Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh keluargaku atau desaku!"
Wanita itu tertawa kecil. "Kita lihat saja."
Dia melambaikan tangannya, dan bayangan-bayangan di sekitarku mulai bergerak, menyerangku dari segala arah.
Aku melawan dengan sekuat tenaga, memanggil seluruh kemampuan yang aku miliki. Tapi tempat ini melemahkanku, seolah-olah energiku diserap oleh kegelapan.
Pertarungan berlangsung lama, hingga akhirnya aku jatuh tersungkur, kehabisan tenaga. Wanita itu mendekat, mengulurkan tangannya ke arahku.
"Kau tidak bisa menang, Aiko. Tapi aku akan memberimu pilihan. Serahkan dirimu padaku, dan aku akan meninggalkan desamu. Jika tidak, aku akan menghancurkan segalanya."
Hatiku terasa hancur. Aku tahu, aku tidak bisa mempercayainya, tetapi aku juga tahu bahwa aku tidak punya kekuatan untuk melawannya lagi.
Dengan air mata mengalir, aku berdiri. "Baiklah. Aku akan ikut denganmu. Tapi pastikan desaku tetap aman."
Wanita itu tersenyum tipis. "Pilihan yang bijak."
Dalam sekejap, dia melambaikan tangannya, dan aku merasakan tubuhku menghilang ke dalam kegelapan.
---
Ketika aku membuka mata lagi, aku berada di sebuah tempat yang jauh berbeda. Sebuah kastil megah, di kelilingi oleh lautan kabut. Aku tidak tahu di mana aku berada, tetapi aku tahu bahwa aku tidak akan bisa kembali.
Hari-hari berlalu, aku menjadi tahanan di tempat itu. Aku tidak diberi makan atau minum, tetapi aku tidak pernah merasa lapar atau haus. Wanita berjubah hitam selalu datang, mencoba mematahkan semangatku dengan bisikan-bisikan gelap.
Namun, aku tidak pernah menyerah. Setiap hari, aku memikirkan keluargaku, terutama Gurfeda dan Lebiya. Mereka adalah kekuatanku, alasan aku terus bertahan.
"Aku akan kembali," aku berjanji pada diriku sendiri. "Bagaimanapun caranya, aku akan kembali."
---
Meskipun aku terjebak di tempat ini, aku mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Kadang-kadang, aku melihat kilasan cahaya di kejauhan, seperti lentera kecil yang membimbing jalanku.
Aku tidak tahu apa itu, tetapi aku tahu bahwa itu adalah harapan. Aku mulai merencanakan pelarianku, mencari celah di antara kegelapan yang menyelimutiku.
"Aku tidak akan membiarkan mereka menang," aku berbisik, dengan tekad yang semakin kuat.
---
Meskipun aku tidak lagi berada di desa, hatiku selalu bersama mereka. Aku tahu suatu hari nanti, Gurfeda akan menemukan jejakku. Dia adalah putraku, dan aku percaya pada kekuatannya.
Hilangnya diriku bukanlah akhir, tetapi awal dari sebuah perjuangan yang lebih besar.
"Untuk keluargaku, untuk desaku, aku akan terus bertahan."
---
menatap kabut yang melingkupi sekitar. Hari-hari berlalu tanpa makna waktu. Tempat ini tidak memiliki siang atau malam.
Setiap dinding dan lorongnya dipenuhi bisikan dan bayangan yang menari-nari seolah menertawakan keputusasaanku.
Wanita berjubah hitam, yang aku ketahui bernama Zareya, datang setiap malam dengan tawaran yang sama.
"Serahkan semua ingatanmu. Bebaskan dirimu dari rasa sakit, Aiko," bisiknya lembut, namun ada nada ancaman di balik suaranya.
"Aku tidak akan pernah menyerah padamu," jawabku tegas.
Zareya tertawa pelan. "Kau akan menyerah pada waktunya, seperti semua yang datang sebelum dirimu."
Aku menggigit bibirku. Aku tahu Zareya kuat, tetapi aku juga tahu bahwa ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Setiap kali aku menolak, dia tampak semakin frustrasi, seolah-olah kehadiranku adalah ancaman baginya.
Aku mulai menyusun rencana. Jika aku ingin melarikan diri, aku harus memahami tempat ini. Aku harus tahu apa yang membuat Zareya begitu takut.
---
Hari itu, aku menjelajahi lorong-lorong ketika aku menemukan sebuah pintu besar yang berbeda dari yang lain. Pintu itu terbuat dari cermin hitam, dan di permukaannya, aku melihat bayangan Gurfeda.
"Gurfeda!" aku memanggil, berharap itu nyata.
Namun, bayangan itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah ke arahku, dan aku merasa seolah-olah, aku ditarik masuk ke dalam cermin.
Ketika aku membuka mata, aku berada di tempat yang aneh—sebuah padang luas dengan langit kelam. Di depanku berdiri seorang lelaki tua dengan mata penuh kebijaksanaan.
"Kau Aiko, bukan?" tanyanya.
Aku mengangguk, bingung. "Siapa kau?"
"Aku adalah penjaga dimensi ini. Kau adalah orang pertama yang berhasil menembus gerbang cermin dalam seratus tahun terakhir."
Penjaga itu menjelaskan bahwa Dimensi Zareya bukan hanya tempat penjara, melainkan simpul energi yang menghubungkan dunia cermin dengan dunia manusia. Jika aku bisa menghancurkan inti kekuatan Zareya, aku bisa kembali ke desaku.
"Tetapi itu tidak akan mudah," katanya. "Intinya tersembunyi di dalam Labirin Kegelapan, dijaga oleh makhluk yang jauh lebih menakutkan daripada Zareya."
Aku menghela napas. Meski takut, aku tahu ini adalah satu-satunya cara.
"Bimbing aku," kataku dengan penuh tekad.
---
Aku memasuki Labirin Kegelapan dengan hati-hati. Setiap langkahku terasa berat, seolah-olah tanah itu mencoba menarikku ke bawah. Bayangan-bayangan melayang di sekitarku, berbisik tentang kelemahanku.
"Kau akan gagal…"
"Keluargamu sudah melupakanmu…"
Aku menutup telingaku, mencoba mengabaikan mereka. Tetapi semakin jauh aku berjalan, semakin keras bisikan itu.
Di tengah labirin, aku menemukan sesuatu yang membuat hatiku berhenti. Sebuah bayangan besar berdiri di depanku, berbentuk seperti Rakuza.
"Rakuza?" bisikku.
Bayangan itu tersenyum, tetapi senyum itu dingin dan kosong. "Aiko, kenapa kau meninggalkan kami? Kau tahu kau gagal melindungi kami."
"Aku tidak meninggalkan kalian!" seruku, air mata mulai mengalir di pipiku.
Bayangan itu tertawa. "Benarkah? Lalu kenapa kau di sini, jauh dari mereka? Apa yang telah kau lakukan untuk membawa mereka kembali?"
Aku tahu ini bukan Rakuza yang sebenarnya. Ini adalah ujian, jebakan yang dirancang untuk menghancurkan semangatku.
"Aku mencintai keluargaku," kataku, suaraku gemetar. "Dan karena itu, aku akan bertarung. Tidak peduli seberapa sulitnya, aku tidak akan berhenti."
Dengan kata-kata itu, bayangan itu menghilang, dan aku menemukan diriku berdiri di depan sebuah altar bercahaya. Di tengah altar itu ada bola kristal hitam yang berdenyut seperti jantung.
"Inilah intinya," bisikku.
Tetapi sebelum aku bisa mendekati bola itu, Zareya muncul.
"Kau berani sekali, Aiko," katanya, suaranya penuh amarah.
---
Pertarunganku dengan Zareya berlangsung sengit. Dia adalah musuh yang tangguh, tetapi aku tidak lagi takut. Aku memikirkan Gurfeda, Lebiya, dan Rakuza. Aku memikirkan kebahagiaan mereka, tawa mereka, dan cinta yang mengikat kami sebagai keluarga.
"Aku tidak akan menyerah!" aku berteriak, melepaskan seluruh kekuatanku.
Zareya tertawa. "Kau tidak cukup kuat untuk melawanku, Aiko!"
Tetapi aku tahu sesuatu yang dia tidak tahu. Dalam setiap pertarungan, kekuatan bukanlah segalanya. Tekad, cinta, dan pengorbanan adalah senjata terkuat.
Dengan satu serangan terakhir, aku menghancurkan bola kristal hitam itu. Zareya berteriak kesakitan, dan tubuhnya mulai menghilang, seperti kabut yang tertiup angin.
"Kau menang kali ini, Aiko," katanya sebelum lenyap. "Tapi pertempuran ini belum berakhir…"
---
Aku terbangun di tengah hutan di dekat desaku. Tubuhku lelah, tetapi hatiku penuh rasa syukur. Aku berhasil kembali.
Ketika aku berjalan menuju desa, aku melihat Gurfeda dan Lebiya berlari ke arahku, mata mereka penuh air mata.
"Ibu!" mereka berteriak.
Aku memeluk mereka erat-erat, merasakan kehangatan mereka yang kurindukan selama ini.
Rakuza berdiri di kejauhan, menatapku dengan mata penuh kelegaan. Ketika aku mendekatinya, dia memelukku tanpa kata-kata, tetapi aku tahu dia merasakan hal yang sama denganku.
---
Meskipun aku kembali, aku tahu bahwa pertempuran ini belum selesai. Zareya mungkin telah dikalahkan, tetapi ancamannya masih ada.
Namun, aku tidak takut. Karena aku tahu, selama aku bersama keluargaku, tidak ada yang tidak bisa aku hadapi.