Kami serentak menoleh ke arah pintu yang rusak didobrak seseorang.
"Wah, cepat sekali kalian mau pulang," seseorang itu berseru dengan wajah sinis.
"BRAM?" kami berseru kaget.
Dia gak datang sendirian. Ada dua orang di belakangnya.
"Bram?" Alex bertanya kebingungan.
Kami mengangguk bersamaan.
"Hahahaha, perkenalkan namaku adalah Mort," jelas Mort
"Kalian memang mudah ditipu," Mort tertawa mengejek.
"Dia adalah wakil pemimpin kota Atlantis," jelas Alex menatap mereka dengan tatapan tajam.
Kami serempak menoleh ke Alex. Hah? wakil pemimpin? bukannya dia hanya salah satu penjual makanan di kantin? dan dia benar-benar tau bahwa Atlantis itu nyata?
Ternyata selama ini, Bram yang menjadi penjaga kantin adalah mata-mata yang mengintai penduduk atas, untuk membawa semua orang yang cerdas, dengan tujuan agar Atlantis gak akan pernah terbukti kenyataannya.
"Wah wah wah. Sudah kuduga, kalian pasti benar-benar ingin sekali menemukan kota Atlantis. Rasa penasaranmu yang tinggi, membuatmu berani mencarinya sendiri, bahkan tidak takut akan rintangan yang menghalanginya. Dan tidak hanya itu, kalian juga anak-anak yang sangat pintar. Di usia kalian yang masih muda, kalian telah menemukan kota Atlantis yang hilang dari peradaban, bahkan sejarah telah menganggapnya mitos belaka," Mort berkata sambil tertawa keras, suaranya bergema di dinding rumah Alex.
"Aku tahu kalau kalian anak-anak cerdas, yang memiliki kemampuan berpikir di luar kemampuan orang lain. Aku bisa melihatnya sendiri. Bahkan di usia kalian pun, tidak ada orang yang sepintar kalian," Mort menatap kami sinis.
"Susah mengajak kalian berangkat bersamaku ke sini, aku sudah tahu itu sejak awal. Itu yang membuatku melakukan rencana ke dua. Yaitu menaruh persegi hitam yang berisi informasi tentang Atlantis di meja Vano, dan aku merencanakan ini, seolah-olah kalian sendiri yang telah menemukan kota Atlantis ini," Mort tertawa.
"UNTUK APA KAMU MENGINGINKAN ANAK-ANAK INI HAH?" bentak Alex marah. Suaranya menggelegar.
"Anak-anak ini memiliki kemampuan istimewa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Tentunya akan berdampak buruk pada keseimbangan alam, jika dia menyalahgunakan kemampuan itu," ucap Mort santai.
"Omong kosong. Kalianlah yang telah merusak keseimbangan alam itu sendiri. Dan kalian takut, jika anak-anak ini bisa menyeimbangkan kembali apa yang harus diseimbangkan sejak dulu. Jika ada perusak keseimbangan alam, maka akan ada yang mengembalikan keseimbangan itu seperti semula. Dan anak-anak inilah yang akan mengembalikan keseimbangan itu," Alex menyergah.
Wajah Mort dan kedua orang yang di belakangnya merah padam. Kami terdiam, berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan oleh Alex dan Mort.
"Oooo jadi kamu," Mort tertawa. "Kamu pasti salah satu dari tiga orang yang datang dari jauhkan? tapi tidak apa-apa. Kalian bukan lawanku," Mort menatap tajam.
"Berlindung anak-anak, mereka bukan orang yang datang kesini dengan niatan yang baik," Alex Berbisik ke arah kami.
Kami segera berlari menuju sudut ruangan di belakang Alex, begitu juga Ariel, karena Ariel manusia biasa seperti kami. Kedua orang yang berada di belakang Mort juga ikut mundur dari arena, karena mereka tidak mau terlibat pertempuran itu.
"Apa yang akan mereka lakukan Rey," tanya Dani ketakutan.
"Aku gak tau," jawabku.
"Sudahlah, tidak perlu capek-capek bertarung. Serahkan saja mereka baik-baik, dan masalah akan beres," ucap Mort.
"Tidak akan kubiarkan itu terjadi," kata Alex dengan tegas.
"Wah, sungguh keras kepala," Mort menatap buas.
Belum habis dia bicara, dia memunculkan sarung tangan tebal dengan warna hitam, dan melesat meninju Alex yang dari tadi sudah siap untuk bertempur.
BUM!!
Pukulannya sangat kuat, membuat ruangan bergetar. Untungnya dengan cepat Alex memunculkan tombak dari tangannya dan menangkis serangan Bram. Walaupun pukulan itu tidak mengenai badannya, tapi dia tetap terlempar ke belakang sampai menabrak dinding, dan jatuh berguling di lantai.
"HAHAHAHAHA, itu saja kekuatanmu? sangat lemah," Mort tertawa dan menatap buas Alex yang berusaha berdiri lagi.
Alex berdiri dan menyerang balik dengan trisulanya. Di saat trisula sempurna terarah ke Bram, seketika trisula mengeluarkan air dengan tekanan tinggi.
BYURR!!
Mort membuat tameng dari sarung tangan tebalnya. Air bertekanan tinggi itu hanya membuatnya mundur satu langkah. Jika terus-terusan begini, Alex tentu akan kalah. Mort seorang petarung jarak dekat, karena senjatanya hanya bisa digunakan jarak dekat. Sedangkan Alex pertarung jarak jauh. Jika Alex tidak mengimbangi cara bertarung Mort, dia akan kalah.
Alex kembali melesat, kali ini mereka berdua bertarung jarak dekat. Pukul, tangkis, menghindar, pertarungan yang amat sengit. Kami hanya bisa menatap jeri pertempuran itu.
"Duh, bagaimana ini? apa yang akan kita lakukan? masa mau diam aja? jika Alex kalah bagaimana?" bisik Dani, wajahnya takut dan khawatir.
"Oh iya, kita bisa bantu Alex dengan senjata trisula kita," usul Vano.
"Tapi trisula itu sekarang ada di dalam Atlas, bagaimana kita akan mengambilnya?" tanyaku.
"Apalagi di sebelah pintu ada kedua orang suruhan Mort, dan juga kita sasaran mereka. Jadi kita gak bisa seenaknya aja keluar dari sini," aku menambahkan.
"Gak ada waktu untuk berpikir. Semakin lama kita berpikir, kita sama saja dengan buang-buang waktu, ayo!" ucap Vano sambil menarik tanganku dan Dani.
"Maaf apakah rumah ini memiliki pintu belakang?" Vano bertanya kepada Ariel.
"Ada kalian tinggal lurus saja kebelakang," jawab Ariel.
Kami berlari menuju pintu belakang. Kedua orang bodyguard Mort tidak melihat kami yang menyelinap menuju pintu belakang. Kami pun segera menuju Atlas untuk mengambil senjata dan kembali menolong Alex yang sudah gak mampu menghadapi Mort.
"Hei cepat, tunggu apa lagi?" seruku.
Aku sudah berlari 1 meter meninggalkan Atlas.
"Sebentar!" akhirnya vano berlari menyusulku.
"Ngapain sih, lama amat," decakku ke Vano.
Di saat yang genting, Vano malah lama banget di dalam atlas, entah apa yang dia lakukan di sana.
Akhirnya kami berlari masuk melewati pintu depan. Ya kami cukup berani karena kami memegang senjata untuk melawan balik.
"HEI HENTIKAN!!!" teriakku.
Seketika semua mata menoleh ke arah ku. Kedua bodyguard Bram merangsek maju ingin menangkapku.
"BERHENTI!! SEKALI LAGI KALIAN MELANGKAH MENDEKAT, AKU AKAN MENYERANG KALIAN DENGAN SENJATA INI!!!" aku berseru keras.
Kedua bodyguard Mort melangkah mundur 1 langkah.
"HAHAHAHA, dasar bodoh!!!" belum genap Bram bicara, dia melesat meninju ke arah kami.
BUM!!
Baru dua langkah kami berpencar menghindari pukulan itu, kami terpental terkena efek ledakannya. Walaupun tidak terkena pukulannya, tapi efek ledakannya tetap membuat kami terlempar hingga dua meter. Aku segera bangkit dan mengacungkan trisula ke arah Mort.
"Sungguh bodoh, kau ingin mengalahkanku dengan senjata yang aku rancang sendiri?" Mort tertawa lepas.
"Dan asal kamu tahu, senjata itu tidak akan berguna jika digunakan untuk melawanku,"
Ternyata benar apa yang dikatakan. Sudahku coba berkali-kali menyerang dia dengan trisula, tapi gak terjadi apa-apa.
"Terlalu memaksa," belum habis dia bicara, dengan cepat Mort menyerangku dengan senjatanya.
"AWASS!!" Alex berteriak.
Aku gak sempat menghindar karena serangan Mort sangat cepat.
SPROOOTTTTT!!!!
Tiba-tiba muncul tekanan air yang sangat tinggi, menghantam tubuh Mort dan membuat dirinya terlempar menghantam dinding. Kami semua terkejut dan spontan menoleh ke arah sumber serangan. Ternyata serangan itu berasal dari seorang laki-laki yang berdiri gagah di depan pintu kamarnya, usianya 17 tahun, badannya kekar dan memiliki pupil mata berwarna biru muda.
"Amir hati-hati, dia memakai sarung tangan milik Her-Cules," ucap Alex memperingatkan Amir.
"DASAR PENCURI, BERANINYA DATANG-DATANG MEMBUAT RUSUH DIRUMAH ORANG," teriak Amir dengan suara lantang.
Mort berusaha berdiri dengan susah payah, serangan Amir membuat Mort sulit untuk berdiri lagi. Kedua bodyguardnya membantunya berdiri.
"Sialan, ternyata kekuatannya lebih besar dari yang kuduga," rintih Mort.
"Sebaiknya kau menyerah dan kembalikan sarung tangan milik Her-Cules itu," seru Amir.
Amir berjalan mendekat ke Mort, sementara kedua bodyguard itu berjalan mundur dan melepas Mort, membuat dia kembali terjatuh ke lantai.
"Kau salah datang ke sini Mort," ucap Amir.
Saat Amir sudah 5 langkah dari Mort. Dia tersenyum sinis dan tiba-tiba tubuh Amir berdiri tegap gak bergerak.
"Hahahaha, kaulah yang salah datang ke sini kawan," Mort tertawa lepas.
Kami semua terkejut karena gak mengerti apa yang sedang terjadi pada Amir.
"Ohh itu teknologi yang bisa mengikat seseorang dengan hologram yang dipadatkan," ucap Alex.
"Lepaskan Amir!" seruku.
"Santai dulu lah, kita buat kesepakatan. Kau menyerahkan diri kepadaku, atau dia aku bunuh dihadapan kalian," Mort mengancam.
"Baik aku akan menyerahkan diriku," ucapku.
"Jangan Rey, jangan pernah kamu ikut dengan dia," ucap Alex.
"Tenang saja Alex, aku akan baik-baik aja kok," ucapku.
"Jangan!" Alex menarik tanganku saat aku melangkah menuju Mort.
"Lepaskan aku Alex, kita gak punya cara lain. Ini semua gara-gara aku!" sahutku sambil melepas tangan Alex yang menahan lenganku.
"Baiklah. Hati-hati, dia sangat licik," ucap Alex mengalah.
"Sebaiknya kamu menepati janjimu untuk melepaskan Amir," seruku kepada Mort.
"Yaa, aku akan menepati janjiku," jawab Mort.
Aku melangkah perlahan dan hati-hati.
"Lepaskan dia!" seruku.
Jarakku dan Mort sudah dekat.
"Oke," jawab Mort singkat dan melepas ikatan hologram itu.
Saat ikatan hologram itu dilepas aku segera lari menjauh dan Amir menyerang Mort dengan tekanan air untuk yang kedua kalinya. Tapi sialnya dia berhasil menangkis serangan itu dengan sarung tangannya, jadinya serangan Amir gak langsung mengenai tubuh Mort, namun cukup membuatnya gak bisa berdiri lagi karena kehabisan tenaga.
"Dasar licik!" kesal Mort.
Tapi kedua bodyguard itu berhasil meraih tanganku di saat aku berusaha lari. Aku yang panik dan gak sengaja tanganku terarah ke satu bodyguard dan tiba-tiba mendecur air dari tanganku yang tepat menghantam dada penjaga, dia terlempar dan gak bergerak lagi di lantai. Sedangkan penjaga satunya terkejut dan melepas tanganku. Dia langsung berlari ke temannya yang terhampar di lantai. Aku pun menggunakan kesempatan itu untuk berlari dan berlindung di teman-temanku.
"Apa yang barusan kamu lakukan?" tanya Dani penasaran.
"Aku gak tau," jawabku. Karena aku sendiri gak tau kenapa aku bisa mengeluarkan air seperti Amir dan Alex.
"Itu gak mungkin bisa dilakukan oleh orang biasa seperti kamu.... hahh! atau mungkin kamu...."