Chereads / Echoes of Eternity : The Journey of Freina / Chapter 5 - CHAPTER 4 : Hidangan Nostalgia

Chapter 5 - CHAPTER 4 : Hidangan Nostalgia

Setelah meninggalkan guild, aku melangkah menuju salah satu permandian umum yang terkenal di kota Roste. Guna untuk membersihkan tubuhku dari debu dan kotoran yang menempel setelah berhari-hari terjebak dalam dungeon. Suasana permandian terasa menenangkan air hangat mengalir dari dinding bak air terjun, dan aroma herbal mengisi udara. Setiap tetes air yang menyentuh kulitku memberikan rasa lega. Setelah menyelesaikan ritual mandiku, aku merasa segar dan siap untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya.

Tidak lama setelah itu, aku melangkah ke salon kecantikan yang terletak tidak jauh dari situ. Sebuah tempat ramai, penuh dengan hiruk-pikuk wanita yang saling berdiskusi sambil menunggu giliran. Salon ini memang terkenal di kalangan penduduk wanita setempat, membuatnya tak kekurangan pengunjung. Semenjak keluar dari dungeon, aku menjadi pusat perhatian di kota karena rambut ku yang rusak.

Di dalam salon, suasana hangat dan bersahabat menyambutku.

"Hee~ jadi ini tempat yang dimaksud itu. Cukup ramai,"

"Mari silahkan duduk Nona!" penata rias yang ramah menyambutku dengan senyuman.

Aku tahu bahwa tiba saatnya untuk mengambil keputusan sulit untuk merawat rambut panjangku yang rusak. Aku merasa sedikit enggan, tetapi bahwa demi kesehatan rambutku, dengan terpaksa harus rela memangkasnya.

Setelah beberapa saat berdiskusi tentang gaya yang cocok, penata rias mulai bekerja dengan cermat dan teliti. Ia memijat dan mencuci rambut ku. Kemudian memotong rambut dengan hati-hati, memisahkan helai demi helai, sehingga setiap potongan terasa lembut. Aku memperhatikan bayanganku di cermin, melihat perubahan yang berlangsung dengan cepat. Setiap snip suara gunting membangkitkan perasaan campur aduk, sedih, tapi juga ada harapan akan tampilan baru yang lebih segar.

"Sudah selesai, bagaimana Nona?" ujar penata rias menghentikan aktivitasnya.

Ketika potongan rambut hingga sebahu selesai, aku terpesona dengan refleksi diriku yang baru. Kecantikan rambutku tidak hanya bergantung pada panjangnya, tetapi juga pada kesehatan dan kecerahan yang sekarang kembali muncul.

"Wah, indah sekali. Tak kusangka rambut ku yang rusak bisa terlihat seperti ini!"

Aku tersenyum, dan penata rias itu pun tersenyum balik. Kini, dengan rambut baruku yang segar, aku siap menghadapi petualangan berikutnya.

***

Seusai memotong rambut aku memutuskan untuk mengisi perut di restoran langganan yang telah lama kusukai.

"Sudah begitu besar, ya! Keluarga ini sepertinya sangat sukses," gumamku sambil menatap megahnya bangunan restoran di tengah kota.

Tanpa ragu, aku memasuki restoran tersebut dan langsung disambut hangat oleh pemiliknya ketika dia menyadari kedatanganku. Dari perkiraan ku, sepertinya dia adalah cucu dari pendiri restoran ini. Tidak terasa ternyata sudah lama aku tak menyantap hidangan di sini, dan senang rasanya dapat kembali.

"Selamat datang di restoran kami, Nona!" sapa seorang pemuda dengan senyuman hangat saat aku melangkah masuk.

Aku membalas senyumnya dan berkata dengan nada penuh rahasia, "Kembalilah untuk kenyang jika nama mereka terucap, Freina, sahabat lama." Kalimat yang dulu pernah diberikan oleh pemilik restoran terdahulu, seakan menghidupkan kenangan masa lalu di benakku.

Mendengar kata-kataku, pria yang berdiri di hadapanku tampak terperanjat. Matanya melebar, seolah-olah mengingat janji yang dipegang teguh oleh kakeknya. Ya, janji untuk tidak melupakan sosok seperti diriku, yang selalu mengunjungi restoran ini dengan suka cita.

"Ah, Anda akhirnya kembali lagi ke restoran kecil kami. Sudah begitu lama sejak kunjungan terakhir Anda," katanya dengan semangat. "Mohon maaf jika sambutan saya terkesan biasa saja. Seandainya saya tahu Anda akan datang, saya pasti telah menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk Anda, Nona Pahlawan!"

Aku tertawa ringan, merasa hangat dengan kata-katanya. "Ah, tidak perlu khawatir. Lagian aku memang tidak suka dengan perhatian berlebihan. Sambutan seperti ini sudah lebih dari cukup untuk membuatku senang," jawabku, merasakan kebahagiaan yang menyelimuti hati.

Di sekeliling kami, aroma masakan yang menggugah selera mengalir lembut, mengingatkanku pada berbagai hidangan yang sudah lama tidak kucicipi. Suasana yang sederhana namun akrab membuatku merasa seolah kembali ke rumah setelah lama pergi.

"Saya punya beberapa hidangan spesial yang mungkin Anda rindukan," lanjutnya sambil mengarahkanku ke meja yang berada di dekat jendela, di mana sinar matahari membanjiri ruang restoran dengan hangat. "Saya akan menyiapkannya untuk Anda. Selamat datang kembali, Nona."

Dengan hati yang penuh rasa nostalgia, aku mengangguk saat pelayan mendekat. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya hidangan yang ditunggu-tunggu itu siap disajikan.

"Permisi, Nona," ucapnya dengan sopan. "Saya mohon maaf telah membuat Anda menunggu. Berikut adalah menu favorit Anda: Steak Caesar Salad dan minuman Mocktail lemon segar bebas alkohol."

Melihat hidangan tersebut, alisku terangkat, dan senyum tak tertahan menghiasi wajahku. "Wah, ini! Tak terasa sudah lama aku tidak menyantapnya. Tampilannya hampir tidak berubah, ya!" Aku menatap steak yang disusun rapi di atas piring, dengan saus yang menggiurkan menempel di permukaan daun salad yang segar.

Pelayan itu tersenyum, seolah mengerti kebahagiaanku. "Saya berani menjamin bahwa rasanya tetap sama seperti terakhir kali Anda menikmatinya, Nona Freina. Resep salad ini telah diturunkan dari generasi ke generasi oleh keluarga kami, khususnya oleh kakek buyut saya yang merupakan pelopornya," jelasnya dengan nada bangga dan hormat.

Senang mendengar cerita tersebut, aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan di wajahku. "Aku senang mendengarnya. Baiklah, mari kita makan!"

"Ah, silakan nikmati sajian ini, Nona. Jika ada yang Anda butuhkan, jangan ragu untuk memanggil saya," katanya sambil memberikan senyuman hangat sebelum mundur menjauh.

Saat pisau dan garpu menyentuh steak yang lembut itu, aroma yang kaya langsung mengisi udara. Setiap gigitan membawa kembali kenangan indah dari masa lalu, saat aku menikmati hidangan yang sama di tempat ini. Suasana yang akrab dan nyaman membuat momen ini semakin berarti. "Ini benar-benar luar biasa," gumamku, merasakan rasa kenangan dan kebahagiaan menyatu dalam setiap suapan.

***

Di malam yang sunyi, ketika bintang-bintang bersinar terang di langit, aku dan bersama Party pahlawan pernah singgah di sebuah reruntuhan bangunan tua. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak setelah seharian penuh berpetualang. Di tengah kegelapan malam, hanya suara angin yang berbisik dan dedaunan yang berdesir menemani kami.

Kami hanya memiliki bahan seadanya untuk makan seperti sisa makanan dari perjalanan dan beberapa buah-buahan yang kami temukan di sekitar reruntuhan. Secara mengejutkan, pemimpin partyku, ternyata telah menyiapkan sesuatu yang istimewa.

Saat mataku terpejam, terhanyut oleh rasa kantuk dan perut yang keroncongan, tiba-tiba aroma yang menggugah selera menguar di udara. Aroma itu begitu kuat dan menggoda, membuatku terbangun seketika. Aku segera menegakkan tubuh dan menajamkan indera penciumanku.

"Kau masak hidangan apa, Jay?" tanyaku, sambil memandang ke arah pria berambut klimis yang sedang berkutat di dekat api unggun, wajahnya bersinar lembut oleh cahaya api.

"Ah, ini... hanya hidangan yang berasal dari dunia asal ku," jawabnya dengan senyum, matanya berbinar-binar saat menjelaskan. "Namanya Steak Cesar Salad."

"Steak salad apa?" tanya sahabatku, si Pahlawan Pedang, yang juga terbangun dan mendekat, wajahnya tampak kebingungan namun penasaran.

"Steak Cesar Salad!" ulangnya dengan semangat, menunjukkan sepotong steak yang dimasak dengan sempurna, disajikan di atas piring daun hijau segar dengan taburan keju parmesan dan potongan roti panggang yang renyah.

"Darimana kau dapat bahan-bahan ini, Jay?" tanyaku, terkejut melihat beragam bahan masakan yang tergeletak rapi di atas batu datar di dekat api unggun. Rekanku, si Pahlawan Tombak, tampak bangga dengan persiapannya yang mengagumkan.

"Wahaha, menyala bang Jay! Sepertinya ini enak," ucapnya.

Jay tersenyum lebar, matanya berkilau dengan semangat. "Aku menyimpannya di dalam Item Box. Sejak kita berangkat, aku tidak pernah lupa untuk mengisi logistik setiap kali kita melewati pasar," jelasnya dengan yakin. Aroma rempah-rempah hangat mulai tercium, semakin membangkitkan selera makan.

"Kenapa kau tidak mengatakannya dari awal? Seandainya aku tahu, pastinya kita bisa menikmati hidangan istimewa ini sejak awal!" tanyaku kembali, sedikit kesal namun lebih karena rasa lapar yang mulai mengganggu pikiranku.

Jay menatapku dengan tatapan hangat dan penuh pengertian. "Freina, jika aku memberitahukan semuanya dari awal, bekal yang aku simpan pasti akan cepat habis," jawabnya sambil tersenyum kecil. "Aku hanya ingin memastikan kita punya persediaan untuk masa-masa mendatang."

Suara mengantuk dari arah lain memecah kekompakan obrolan kami. "Ada ribut-ribut apa sih? Oahhhhhmm~" keluh salah seorang rekan ku si Pahlawan Perisai, sambil menggosok-gosok matanya yang berat. Rambutnya yang acak-acakan dan ekspresi kebingungannya membuatku tersenyum.

"Hei, Noland! Waktunya makan malam," sapa Jay, suaranya ceria dan menular. Sejenak, aku melihat cahaya api unggun yang menari-nari di wajahnya, memberikan kehangatan di malam yang dingin ini.

Noland pun berusaha untuk bangkit dari tempatnya, masih menguap dan merapikan pakaiannya. "Apa yang kalian masak? Aku datang!" katanya, semangatnya mulai bangkit seiring aroma lezat yang menguar.

Kami berlima duduk melingkar di sekitar api unggun yang menyala terang di antara reruntuhan bangunan tua. Nyala api yang berkedip-kedip menerangi wajah kami, menciptakan bayangan menari-nari di dinding. Aroma menggugah selera dari hidangan yang baru saja disiapkan menembus udara malam, menggugah rasa lapar yang telah lama kami tahan. Ketika sesuap daging empuk dan beraroma kuat itu masuk ke dalam mulutku, lidahku seolah terbangun, menyambut rasa yang luar biasa.

Raut wajah sahabat-sahabatku pun menunjukkan kekaguman yang tak terduga setelah mereka mencicipi hidangan tersebut.

"Apa ini? Lezat sekali!!!" seru Pahlawan Tombak, sambil menepuk lututnya, matanya berbinar seolah menemukan harta karun yang selama ini tersembunyi.

"Aku baru pertama kali memakan hidangan seperti ini. Ah, sepertinya ini hoki seumur hidupku!" ucap sahabatku dengan tawa ceria.

"Mata ku langsung melek setelah mencicipinya! Sungguh cita rasa yang luar biasa!" sahut Noland, sambil menjejalkan potongan daging lagi ke dalam mulutnya. Ia tampak begitu terpesona, suaranya penuh semangat, dan sulit untuk membayangkan ada nikmat yang lebih baik dari ini.

Aku akui, hidangan yang dimasak oleh Jay memang luar biasa. Setiap bumbu terasa harmonis, menciptakan perpaduan rasa yang membekas di ingatan. Suara angin yang berhembus lembut melalui celah-celah reruntuhan bagaikan nyanyian malam yang menyempurnakan kebersamaan kami. Dengan setiap gigitan, hidangan itu bukan hanya mengenyangkan perut, tetapi juga mengikat kami dalam persahabatan yang semakin kuat.

Semenjak malam itu, hidangan yang disajikan oleh Jay menjadi favoritku. Momen kebersamaan kami di antara reruntuhan dengan hangatnya api unggun, akan selalu terukir dalam hati.

***

Tak terasa, momen nostalgia itu membawaku kembali ke saat-saat indah yang telah berlalu. Di piringku, sisa steak yang menggoda hanya tinggal satu potong, aroma rempahnya masih menguar dan mengundang selera. Dengan hati-hati, aku mengarahkan pisauku ke potongan terakhir itu, merasakan tekstur daging yang empuk di bawah ujung pisaunya. Ketika potongan steak itu akhirnya masuk ke mulutku, kenikmatannya menari di lidahku, menciptakan rasa yang sulit dilupakan.

Namun, saat aku mengunyah potongan terakhir itu, tongkat sihirku tiba-tiba berkedip-kedip dengan cepat. Cahaya lembut berwarna biru cerah itu mengindikasikan bahwa ada pesan penting dari pahlawan tujuh bintang yang lain. Rasa kelezatan steak seolah terbang menghilang, tergantikan oleh rasa penasaran.

"Siapa ya?" pikirku, sambil mengelap mulut dengan kain yang telah dipersiapkan. Sesegeralah aku mengangkat tongkat sihir kardinal yang sepanjang satu setengah etra. Tongkat itu berkilau di bawah cahaya ruangan. Aku merasakan getaran halus di telapak tanganku, seolah tongkat itu memiliki nyawanya sendiri, siap menyampaikan pesan yang mendesak.

(Satuan SI "Meter" dalam dunia Astren adalah Etra)

Saat aku menjawab pesan tersebut, tiba-tiba muncul citra ajaib yang memancarkan cahaya lembut dari tongkat sihirku. Di hadapanku, tampak wajah seorang pria paruh baya, rambutnya sudah mulai memutih, tapi matanya yang tajam dan penuh wibawa berbicara lebih banyak daripada usia yang tercermin di wajahnya. Meskipun asing, ada sesuatu yang akrab dalam tatapannya yang membuatku merasa seolah sudah mengenalnya lama.

"Halo, dengan siapa ini?" tanyaku, mencoba menegakkan suara di antara rasa ingin tahuku.

"Ah, mohon maaf atas kelancangan saya menghubungi Anda, Nona Freina," jawabnya, suara dalam dan berwibawa.

Bersambung...

Chapter selanjutnya rilis tanggal 15 Agustus 2024 antara jam 18.00 atau 19.30 WITA 📌