Chereads / Echoes of Eternity : The Journey of Freina / Chapter 6 - CHAPTER 5 : Undangan Maharatu

Chapter 6 - CHAPTER 5 : Undangan Maharatu

"Perkenalkan, saya adalah Raja Eldera Elcerian III dari Kerajaan Elceria," ucapnya dengan percaya diri, suaranya bergema memenuhi ruangan berkilauan dari citra ajaib yang terekam sempurna. "Saya adalah penerus kekuatan Pahlawan Pedang, sebuah warisan hebat yang diberikan oleh Ibunda saya, Maharatu Luciagerald Carolina Elcerian II."

Setiap kata yang mengalir dari bibirnya tidak hanya mengisyaratkan kekuatan, tetapi juga memancarkan beban tanggung jawab yang begitu besar. Sorotan mata rajanya, dalam, penuh makna, mencerminkan kebijaksanaan dan harapan.

"Apa yang bisa saya bantu, Yang Mulia?" tanyaku, mencoba menyembunyikan rasa terkejut sekaligus terkesan. Mengetahui bahwa ia adalah anak dari sahabatku, Lusi yang dulu seorang Pahlawan Pedang, membuatku merasa bangga. Dalam pemikiranku, terbayang kenangan indah saat kami berjuang bersama di masa lalu.

Tidak terasa ternyata sudah begitu lama waktu telah berlalu. Dikala muda dulu Lusi adalah wanita yang berani dan anggun. Raja Eldera tersenyum, membuat suasana semakin hangat.

"Benar yang dikatakan oleh Ibunda, Anda ternyata sangat cantik dan awet muda. Sungguh anggun dan menawan sekali!" ucapnya memberikan pujian akan kecantikan ku.

"Ah, Anda pandai sekali memuji Yang Mulia, saya hanya beruntung karena terlahir sebagai seorang Elf," balas ku sambil tersenyum.

"Haha, baiklah! Karena keterbatasan pengguna sihir ini tidak usah lama-lama. Saya hanya ingin menyampaikan pesan penting dari Ibunda. Beliau mengajak Anda untuk menghadiri jamuan minum teh di istana," katanya terdengar ragu-ragu. "Mohon maaf jika selama saya menjabat sebagai Pahlawan Pedang, saya belum pernah sekalipun menghubungi Anda sesama Pahlawan Bintang. Saya baru saja mengetahui tentang kemampuan ini dari Ibunda, haha!"

Tawa ceria itu seakan menghapus ketegangan di antara kami. Dalam kepalaku, memori akan kenangan dengan Lusi kembali hidup. Suasana bersahabat dan kehangatan dalam hubungan kami teringat, membuatku merasakan nostalgia yang kuat.

"Menjaga hubungan adalah hal yang penting. Saya akan senang sekali menghadiri jamuan itu, Yang Mulia," jawabku dengan tulus, berharap dapat melanjutkan tradisi persahabatan yang telah mengikat diantara kami.

Dengan senyum yang penuh harapan, Raja Eldera mengangguk "Ah, kapan kiranya Anda dapat menghadiri jamuan minum teh ini?" tanyanya dengan nada yang hangat, seolah berharap untuk segera bertemu.

"Saya tidak dapat memastikannya, mengingat jarak yang cukup jauh di antara kita," jawabku, merasakan ketidakpastian di dalam hati.

"Kalau boleh saya tahu, saat ini Anda berada di mana?" tanya Raja Eldera, matanya berbinar penuh perhatian.

"Saya berada di wilayah Kerajaan Akraina, tepatnya di kota Roste," jawabku.

"Ah, jadi Anda berada di kerajaan tetangga. Sepertinya perjalanan ke sini tidak akan memerlukan waktu lama," kata Raja Eldera dengan penuh antusiasme.

Sebenarnya jarak tempuh dari Akraina menuju ibu kota Elceria memang cukup mengejutkan. Jika menjalani perjalanan darat, aku akan menghabiskan waktu hampir lima bulan. Jalanan berliku, medan yang keras, dan cuaca yang tak menentu pasti akan menjadi tantangan tersendiri. Namun, jika aku memilih untuk berlayar melalui laut, waktu perjalanan itu bisa terpangkas menjadi dua setengah bulan. Kapal-kapal besar pelabuhan berlayar di lautan luas, membawa harapan akan perjalanan yang lebih cepat, tetapi tetap memerlukan kesabaran.

Namun, ada opsi lain yang lebih menarik seperti melalui jalur udara. Dengan kemampuan terbang, aku bisa melayang di udara dan mencapai Elceria dalam waktu hanya tujuh hari. Bayangan tersenyum, seraya merasakan angin menyapu wajahku, mulai memenuhi pikiranku. Meski demikian, ada risiko yang tidak bisa diabaikan.

Jika terbang, aku pasti akan menjadi pusat perhatian. Penyihir yang mampu terbang adalah sesuatu yang langka, hampir seperti legenda. Akan banyak mata yang tertuju padaku, bisikan keheranan, dan bahkan mungkin kekaguman yang tidak diinginkan, terlalu mencolok. Sementara itu, jika aku memilih untuk langsung berteleportasi menggunakan tongkat kardinal ini, meski cepat, ada konsekuensi yang harus kutanggung. Pengalaman itu akan membuatku mengalami mabuk Mana yang sangat parah, sehingga aku akan tak berdaya selama berhari-hari setelahnya, terbaring lemah sambil berjuang melawan rasa pusing dan mual.

Setelah mempertimbangkan semua risiko tersebut, aku akhirnya mengambil keputusan.

"Baiklah, Yang Mulia!" kataku, menatap Raja Eldera dengan keyakinan. "Kemungkinan besar, saya akan tiba di Elceria dalam tujuh hari. Namun, saya tidak dapat memastikannya, mengingat mungkin saja ada halangan di tengah perjalanan. Dalam dunia sihir dan petualangan, tak ada yang pasti."

Kedua mata Raja Eldera menatapku dengan penuh pengertian. "Kami akan menunggu kedatanganmu dengan penuh harap. Semoga segala sesuatunya berjalan lancar. Sampai jumpa Nona Freina," kata Raja Eldera mengakhiri percakapan kami dan seketika tongkat sihir ku berhenti bercahaya.

Dari situ, pikiranku melayang kepada Lusi. Semenjak ia melahirkan, kabar darinya semakin jarang kudengar. Tentu saja, ada alasan di balik hal ini. Setiap senjata kardinal memiliki karakteristik unik yang membedakannya satu sama lain.

Pedang kardinal yang dimiliki Lusi, misalnya, memiliki aturan khusus. Ketika seorang pahlawan pedang memiliki keturunan, seluruh kekuatan dan statusnya akan secara otomatis berpindah kepada anak yang baru lahir. Inilah mengapa Lusi dan aku jarang berkomunikasi, semenjak ia menjadi ibu, kami hanya saling berkirim pesan melalui surat. Bukan melalui citra ajaib seperti barusan tadi. Statusnya sebagai pahlawan pedang telah beralih, dan ia kini menjalani peran baru sebagai seorang ibu sekaligus Maharatu Kerajaan Elceria.

Namun, keadaan untukku berbeda. Tongkat sihir kardinal yang ada padaku tidak serupa. Tongkat ini hanya membutuhkan pengguna yang memiliki potensi Mana yang luar biasa dalam dirinya. Berbeda dengan Lusi, aku dapat mewariskan kekuatanku dengan cara menemukan sosok yang sesuai. Mungkin dengan mengangkat seorang murid atau memilih seseorang yang benar-benar layak. Dengan demikian, aku bisa benar-benar pensiun dari peran sebagai Pahlawan Sihir dan menanggalkan beban status yang kuemban selama ini.

Aku berangan-angan untuk menemukan seseorang yang memiliki potensi seperti diriku suatu saat nanti. Seseorang yang mampu mewarisi kekuatan tongkat ini dan melanjutkan perjuangan yang telah lama kujalani. Di tengah harapanku, muncul bayangan tentang masa depan, di mana kekuatan sihirku takkan hilang, tetapi akan terus hidup dan berkembang dalam diri generasi berikutnya.

***

Tak terasa, perutku telah terisi penuh. Saatnya aku bergegas mencari penginapan sementara sebelum berangkat di esok hari. Setelah menepuk tangan sekali, pemilik sekaligus penerus restoran ini segera menghampiriku.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona Freina?" tanyanya dengan senyuman hangat.

"Aku sudah menyelesaikan makananku. Berapa yang harus aku bayar?" jawabku, mencoba menjaga nada suaraku tetap sopan.

"Harga hidangan ini tidak sebanding dengan jasa Anda di masa lalu, Nona. Berkat resep masakan ini, Anda telah menyelamatkan kakek buyut saya dari kebangkrutan. Oleh sebab itu, saya memberikan ini secara gratis untuk Anda, dan Anda bebas makan gratis kapan pun jika Anda mau!" ucapnya dengan penuh rasa hormat.

"Eh, tidak-tidak! Dulu ya, dulu, sekarang ya sekarang. Aku akan tetap membayarnya!" sahutku, merasa agak canggung dengan tawaran itu. Aku tak ingin merasa berutang budi, meski hatiku terasa hangat dengan pengakuan itu.

Dengan sedikit keraguan, aku mengeluarkan satu koin emas dari item box. "Ini, pasti cukup kan?" kataku, mendekatkan koin itu ke arah lelaki itu.

Mata pria itu melebar seolah-olah melihat harta karun. "Ya ampun, Nona! 1 koin emas? Ini... ini terlalu banyak! Saya tidak bisa menerima ini!" serunya, wajahnya tampak antara terkejut dan terharu.

"Tapi aku tetap ingin membayarnya," tekanku, memastikan bahwa mengalihkan perhatian pada perbuatan baiknya tidak mengubah keinginanku untuk memberi penghargaan atas layanan dan kenangan yang kuperoleh dari tempat ini.

Setelah beberapa detik bergulat dengan situasi tersebut, ia akhirnya mengangguk perlahan. "Baiklah, jika itu yang Anda inginkan. Terima kasih, Nona Freina. Kebaikan Anda akan selalu kami ingat."

Dengan senyuman puas, aku berbalik dan melangkah keluar dari restoran, merasakan hangatnya suasana dan kenangan indah yang telah kutinggalkan di belakangku.

***

Setelah menyusuri jalan setapak yang berliku, akhirnya aku tiba di penginapan. Jaraknya sedikit lebih jauh dari restoran tempatku makan siang, sesuai rekomendasi warga setempat, penginapan ini terkenal cukup nyaman dan sangat cocok untuk para petualang sepertiku.

Melangkah masuk, aku langsung menuju meja resepsionis. "Satu kamar, tolong," kataku sambil mengeluarkan uang pembayaran 1 perunggu permalam. Petugas dengan ramah memproses pesananku, dan dalam sekejap, kunci kamar sudah berada di tanganku.

Segera setelah itu, aku menginjakkan kaki di dalam kamarku. Dengan kasur yang empuk dan bantal yang nyaman, rasanya seperti surga setelah seharian berkeliling. Aku merebahkan tubuhku, merasakan setiap otot yang pegal mulai bersantai. "Akhirnya bisa rebahan~ tubuhku pegal semua," ucapku sambil tersenyum, menghirup aroma segar dari linen yang baru diganti. Namun, teringat satu hal, aku belum membeli makanan untuk malam ini, ekspresiku berubah. "Oh tidak, aku lupa beli makanan! Sayangnya penginapan ini tidak menyediakan prasmanan..."

Dengan pikiran itu, aku menghela napas. "Ya sudahlah, aku bisa mencari sesuatu di luar saja."

Sore itu, aku memutuskan untuk berkeliling ke pasar lokal. Pasar yang biasanya ramai, di mana berbagai penjual menawarkan beragam makanan dan kerajinan tangan. Tujuanku jelas, aku ingin menemukan penjual roti babke yang terkenal dengan isian dagingnya yang menggugah selera. Roti ini sudah menjadi favoritku sejak pertama kali mencobanya.

Saat tiba di pasar, suasana riuh rendah menyambutku. Aroma rempah dan masakan tradisional menguar di udara, dan aku melihat kerumunan orang berkumpul di sekitar kios-kios yang penuh warna. Akhirnya, setelah beberapa menit mencari, aku menemukan penjual roti babke yang aku cari.

"Ah, Nona Elf. Anda kembali lagi ke kedai kecil saya!" sapa penjual roti itu.

"Iya, haha..." kataku sambil tertawa kecil. "Roti buatan Anda begitu lezat, saya berencana memborong semuanya!"

Mendengar aku ingin memborong dagangannya, mata pria itu melebar. "Anda ingin memborong semuanya?"

"Iyap!"

"Baiklah Nona, saya bungkus semuanya!"

Dengan semangat, aku melihat penjual merapikan roti-roti babke untuk dibungkus. Roti isian daging itu memang terlihat menggoda, dengan rasa yang sudah terbukti cocok di lidahku.

"Ini dia, Nona! Totalnya ada 30 roti, harganya 3 koin perunggu!" ucap si penjual dengan senyuman tulus. Dia mengangkat selembar kain yang menutupi tumpukan roti yang baru saja dipanggang, memperlihatkan roti-roti berwarna cokelat keemasan dengan kerak yang renyah, mengeluarkan aroma harum yang menggiurkan. "Sebenarnya, saya memproduksi 100 roti setiap hari. Namun, karena sudah sore, saya hanya bisa menjual seadanya."

Aku mengangguk, berpikir sejenak. Tiga koin perunggu untuk 30 roti, berarti satu roti hanya seharga 1 koin tembaga. Penawaran yang sepadan dengan harganya, mengingat betapa menggoda roti-roti itu terlihat. Tanpa ragu, aku mengeluarkan dompetku yang terbuat dari kulit, memeriksa koin-koin di dalamnya. Dengan sigap, aku menyerahkan tiga koin perunggu kepada penjual itu.

Wajahnya berseri-seri melihat uang yang diterimanya. "Terima kasih, Nona. Semoga roti ini membawa kebahagiaan untuk Anda," katanya sambil mengemas roti-roti hangat ke dalam kantong kain yang mulai pudar warnanya.

Setelah menyimpan roti di bawah lengan, aku melangkah menjauh dari kios, membayangkan betapa nikmatnya menikmati roti yang baru saja kubeli. Suara ramai pasar mengelilingiku, campuran antara tawa anak-anak, teriakan para penjual, dan aroma rempah-rempah berbaur menjadi satu, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

---

Keterangan Mata Uang:

Dalam dunia Astren, sistem mata uang yang digunakan cukup beragam dan tidak mengikuti standar harga dunia nyata. Untuk memberikan pemahaman lebih, berikut adalah nilai mata uang Astren dalam rupiah:

1. 1 Plat Palladium (20 gram) = Rp.50 juta

2. 1 Plat Platina (20 gram) = Rp.25 juta

3. 1 Koin Emas (5 gram) = Rp.2,5 juta

4. 1 Koin Perak (5 gram) = Rp.250 ribu

5. 1 Koin Perunggu (5 gram) = Rp.125 ribu

6. 1 Koin Tembaga (5 gram) = Rp.12,5 ribu

7. 1 Koin Lira (nikel, 5 gram) = Rp.1,25 ribu

Harga setiap logam ini tidak mengikuti harga pasaran dunia nyata, melainkan telah disesuaikan sesuai kebutuhan penulis agar lebih mudah dipahami oleh pembaca.

---

Bersambung...

Chapter selanjutnya rilis tanggal 17-20 Agustus 2024 antara jam 18.00 atau 19.30 WITA, bisa lebih cepat tergantung Mood penulis 🗿📌