Pukul satu dini hari.
Entah badannya yang belum lelah atau matanya yang belum mengantuk sama sekali, yang jelas, seorang Remaja berusia 16 tahun dengan perawakan yang terlihat lebih dewasa dari usianya itu masih berkutat dengan laptopnya.
Anggara Aji Hidayat, siswa kelas sepuluh yang baru saja masuk ke sekolah menengah atas (SMA) itu masih belum memalingkan wajahnya dari laptop yang berada di atas meja belajarnya. bukan untuk lembur mengerjakan tugas atau pekerjaan, tapi hanya iseng menunggu matanya mengantuk, sesekali ia membuka halaman pencarian pintar, lalu media sosial, kemudian streaming musik dan lain-lain secara bersamaan. entahlah sebenarnya apa yang ia cari.
Remaja yang memiliki tinggi hampir 180cm dengan rambut hitam lebat, dan rahang wajah yang tegas itu memiliki tubuh yang tegap dibalut otot-otot bisepnya yang menonjol. padahal dirinya bukanlah seorang anak remaja yang rajin berolah raga. Tapi, sejak ia kecil, tubuhnya memang bongsor dan berbeda dari anak-anak seusianya. Untung saja, ia memiliki wajah yang cukup tampan, dengan alis tebal mata kecoklatan dan kulit yang putih. Alhasil, selama dirinya bersekolah sejak SD hingga SMA, tidak pernah ada yang berani mencoba untuk membully nya.
Badannya yang tinggi sedikit membungkuk menyesuaikan posisi duduknya. Saat ini, dilayar laptop nya terlihat lagu-lagu dari band indi kesukaannya yang tengah memutar sebuah lagu berjudul 'miniatur' dari 'rumah kayu' yang ia sambungkan ke sound bluetooth yang ada di atas meja belajar.
Karena postur tubuh seorang Anggara sedikit berbeda dengan teman-teman seusianya, ia sering dikira sebagai anak kuliahan atau bahkan pernah sekali waktu ada yang memanggilnya dengan sebutan 'om' atau 'bapak'. Nasib jadi anak yang bongsor.
Matanya masih terus mencari-cari sesuatu dari layar laptopnya, sampai ia dikagetkan dengan suara dering dari handphonenya di ujung meja.
Anggara menekan tombol hijau di layar handphone-nya " ngapain woy! udah jam satu malem ini!" bentaknya pelan.
"hehehehe..." di jawab suara cengengesan dari orang di seberang telepon. Dandra namanya.
Dandra ini, sahabat kental nya Anggara, partner in crime - umurnya lebih tua setahun dari Anggara. Kakak kelas Anggara di SMA sekarang bahkan sejak mereka SD mereka selalu satu sekolah. Pernah sekali waktu Dandra memohon ke guru nya waktu SD untuk tidak naik kelas, supaya bisa bareng satu kelas sama Anggara.
" Ang... gak bisa bobo nih " ucap Dandra dengan nada manja.
"idih... trus lu mau gue bacain dongeng ?" Anggara menjawab ketus.
"Bukain pintu ...." singkat Dandra yang sudah berdiri di depan pintu rumah Anggara. Jarak rumah Anggara dan Dandra hanya terhalang tiga rumah, sangat dekat.
"ck ! AH!..." Balas Anggara sembari berdiri mematikan musik lalu segera keluar kamarnya yang ada di lantai dua. Anggara turun menyusuri lantai dua rumahnya yang sudah sepi dan gelap.
Remaja cowok yang memiliki perawakan berbanding terbalik dengan Anggara - kurus, kecil dan lebih terlihat seperti anak SMP ini sudah berdiri di depan pintu rumah Anggara sembari memasang senyum kuda di wajahnya.
"Kebiasaan !" bentak Anggara pelan sambil nyelonong memunggungi Dandra yang masih berdiri di depan pintu.
"hihihi " Dandra cengengesan sembari masuk membuntuti Anggara menuju kamar.
***
"bukannya tidur ! begadang trus ! " ucap Dandra saat mereka memasuki kamar Anggara yang selalu terlihat nyaman di mata Dandra.
Anggara membalas sindiran Dandra dengan tatapan sinis.
Anggara tidak menjawab kalimat sarkas Dandra, ia memilih untuk merebahkan badannya di kasur sekarang.
Dandra melompat ke kasur, menempatkan diri di samping Anggara " minggir..."
Anggara menggeser badannya yang bongsor memberikan ruang untuk Dandra yang kecil, sembari berusaha menutup matanya. " ... dra, gue males dah ikutan ospek..." bisik Anggara.
Anggara merebahkan badannya menghadap langit-langit, sementara Dandra mengambil posisi terbalik, kaki Dandra hampir menyentuh wajah Anggara, sebelum Anggara menghadiahkan tamparan maut ke kaki Dandra.
" ya trus gimana, kan harus ikut ospek " jawab Dandra yang kali ini sudah menelungkupkan badannya. Tangannya mengambil handphone di saku celana pendeknya. "lagian cuma tiga hari doang kan..." lanjut Dandra sembari membuka media sosial di handphonenya.
Ritual obrolan kosong tengah malam ini memang sudah sering mereka lakukan, bahkan hampir tiap malam. Tidak jarang juga Dandra yang akhirnya ketiduran dan menginap di kamar Anggara.
Dandra adalah tetangga sekaligus teman Anggara sejak kecil. saat ini ia tinggal sendiri dirumahnya. Orang tuanya harus pindah dinas ke Australia sejak dua tahun lalu, atau sejak Dandra menginjakan kaki di kelas sepuluh SMA. Makanya, tidak jarang Dandra lebih memilih tidur di rumah Anggara dan sering banget ngerecokin hidup Anggara.
"Trus kalo gue gak ikutan ospek gimana ?" ucap Anggara lagi sambil memperhatikan motif-motif rasi bintang yang terpasang di langit-langit kamarnya.
" ya gak gimana-gimana.... palingan lu ga punya temen baru" jawab Dandra enteng.
Anggara memiringkan tubuhnya kali ini, menghadap ke arah tembok yang memiliki warna cat biru muda yang sudah sedikit luntur.
Insomnia, hampir setiap malam, Anggara memang sering kesulitan tidur. tidak jarang dirinya baru bisa tertidur di atas jam satu malam. Tapi anehnya, ia selalu bangun tepat waktu, hampir tidak pernah terlambat untuk ke sekolah.
"apa gue skip ospek aja ya dra. gue udah males pake seragam putih biru." ucap Anggara lagi, belum bisa menutup matanya.
"serah lu ang..." Dandra menjawab ketus.
Anggara sedikit tersenyum, ia tahu, dandra mungkin sudah mulai mengantuk. Tapi seperti biasa, ia selalu mengganggu Dandra setiap kali Dandra baru mulai tertidur, selalu saja diganggu Anggara dengan pertanyaan-pertanyaan absurd-nya.
anggara terdiam sebentar. Dandra mulai membunyikan suara dengkuran halus. Kali ini Anggara merubah posisi tidurnya lagi, sengaja, supaya kasurnya sedikit bergoyang, dan membuat Dandra mengerjap sadar.
"dra, lu pernah gak sih mikir kalo kita ini ternyata bukan dari bumi yang sekarang." Tanya Anggara gak penting.
"ahhhh! baru merem!," dandra menggerutu pelan sembari memiringkan badannya.
Anggara tersenyum jahil. "jawab dulu, pernah enggak!".
"pernah..." Dandra menjawab seraya memiringkan lagi badannya ke arah lain, kali ini kepala Dandra bertemu dengan kaki Anggara.
Dengan sengaja, dandra menarik satu bulu kaki Anggara, akibatnya, mukanya harus sesak tertimpa bantal yang dilempar keras oleh Anggara. "anjrit!"
Dandra terkekeh puas. Ia mencoba untuk tidur lagi.
anggara terdiam lagi sebentar, menunggu suara dengkuran Dandra.
Lalu.
Krok...
Ini waktunya...
"serius dra, gw selalu mikir kalo mungkin aja gw bukan dari bumi yang sekarang, atau jangan-jangan gw alien..." Ganggunya lagi.
Dandra tidak menjawab. Kepala Anggara melirik. sepertinya dandra berhasil tidur. tapi, Anggara tidak menyerah.
Kali ini ia mencoba duduk sambil mencari-cari handphone-nya yang tadi di jatuhkan saat melempar bantal ke Dandra.
Suasana kamar seperti hening sebentar, hanya terdengar suara angin dan jam dinding.
Anggara melirik ke arah Dandra yang sudah terlelap di sampingnya, "sial... " bisik Anggara dalam hati. Akhirnya Anggara menyerah, ia mencoba merebahkan lagi tubuhnya, membiarkan otot-ototnya rileks mencoba menutup matanya, sampai raganya dibiarkan beristirahat dan matanya tertutup sempurna.
***
Sesaat kemudian ia sudah berada di lapangan sekolah SMAnya, Anggara sudah memakai seragam sekolah SMA - celana panjang, lengkap dengan atribut untuk upacara bendera. Padahal seingatnya ia masih harus memakai serang putih biru celana pendek, selama Anggara masih ospek.
Anggara terlihat baris paling belakang. Matanya memindai sekitar, melihat seluruh siswa yang juga ikut berbaris di depan dan kanan kirinya.
"ini kenapa panas banget ... " salah seorang siswi terdengar mengeluh dari barisan depan sembari mengibas-kibaskan jarinya ke wajahnya.
Bahkan Anggara yang berdiri paling belakang pun bisa merasakan panas matahari yang gak seperti biasanya, seolah-olah matahari begitu dekat di atas kepalanya. Ia melihat ke sekeliling, ada sekitar 600 anak yang ikut Upacara bendera di cuaca yang panas ini, mereka semua seperti tidak tahan kepanasan.
"HEI KAMU! berhenti ngeluh ! kita semua kepanasan bukan kamu aja!" terdengar teriakan dari suara yang sudah tidak asing lagi di telinga Anggara. Dandra berusaha terlihat berwibawa di depan lapangan menghardik para juniornya. Anggara cuma tersenyum kecil melihat tingkah Dandra. sampai kemudian, Cuaca semakin terasa lebih panas dan lebih panas lagi, sampai-sampai membuat telinga Anggara seperti berdenging.
Anggara melihat langit yang cerah berubah menjadi kuning - hampir orange menuju merah kelam, dibarengi dengan suara yang membuat bulu kuduk mereka semua meremang, termasuk Anggara.
"SEBENTAR LAGI !" suara berat dengan gema yang memutar di telinga Anggara atau mungkin di telinga mereka semua, membuat tubuh Anggara lemas. Sedetik kemudian, satu persatu teman-temannya terjatuh bahkan ada yang sampai pingsan.
Keringat sangat deras mengucur dari sela pori-pori di tubuh Anggara, matahari terasa semakin panas, sementara langit memperlihatkan warna yang tidak biasa.
Anggara yakin, ada yang tidak beres. Matanya terus memindai ke sekeliling. Suara teriakan demi teriakan dari seluruh siswa yang ikut upacara, membuat suasana dilapangan semakin lama semakin kacau.
Anggara mencoba menenangkan seorang teman yang baris di depannya, anehnya ia tidak mengenali wajah-wajah teman yang berbaris bersamanya. Hanya Dandra yang ia kenal
Kali ini dirinya mencoba berjalan menyusuri barisan yang sudah mulai tidak berbentuk lagi, mereka semua mengerang kepanasan ketakutan bahkan ada yang membuka bajunya saking panasnya yang tidak bisa mereka tahan.
Anggara mencoba menembus barisan ke arah depan, mencari Dandra maksudnya.
Suara berat dengan nada mengancam terdengar lagi seperti dari arah langit, bukan dari pengeras suara untuk upacara bendera.
"KALIAN AKAN TAHU SEBENTAR LAGI...." ucap suara berat menggema ke seluruh lapangan upacara.
Kali ini, tanah yang di pijak Anggara seperti bergetar, pelan lalu semakin berguncang hebat.
Satu persatu barisan benar-benar tumbang, satu orang diujung barisan seperti terbakar, kepanikan mulai dirasakan Anggara, ia berlari kali ini menembus barisan teman-temannya, mencari Dandra sahabatnya.
Ditengah gempa yang semakin kencang, Anggara mencoba menyeimbangkan tubuhnya untuk tetap berlari mencari Dandra.
Sampai kemudian, Anggara melihat Dandra yang sudah tergeletak di dekat tiang bendera bersama beberapa orang dari barisan depan. Tubuh Dandra seperti menguap, terlihat asap dari tubuhnya keluar mengepul pelan-pelan.
Wajah Anggara jelas sangat panik.
"apa ini dra.... " bisik anggara sambil menggendong di taruhnya di pangkuan Anggara.
Tubuh Dandra semakin lama seperti menciut, Asap keluar dari seluruh tubuhnya. Terbakar lalu menguap.
Tangan Dandra menunjuk sesuatu ke atas langit. Anggara sontak kaget ketika ia melihat ke arah langit. Ke arah yang ditunjuk oleh seorang Dandra yang sedang sekarat.
Wajah Anggara seperti kehabisan darah, pucat. Matanya kosong ketakutan ketika ia melihat langit. Ia bersumpah dengan mata kepalanya sendiri.
Anggara melihat MATAHARI RUNTUH perlahan jatuh menghancurkan sekitarnya.
Teriakan yang semula riuh, perlahan mulai sepi, sampai akhirnya semuanya terbakar, menguap, lenyap ditelan matahari yang sudah jatuh menghantam bumi. Anehnya, Anggara masih terduduk lemas tidak mengerti, tubuhnya tidak merasakan apa-apa sampai kemudian...
Anggara jatuh dari kasurnya.
Mimpi yang Aneh.
***