Sekar menangis karna terpaksa setuju. Karna tidak mungkin baginya kehilangan orang tua yang selama ini menyayanginya.
Meskipun hatinya berteriak tidak rela, tapi Sekar tetap menyetujui pernikahan itu.
***
Besok harinya, di Sekolah SMA Nusa Bangsa.
Sekar menatap lurus ke depan seolah melamun. Bahkan dia tidak terlalu fokus saat pria incarannya Tomy sedang bermain basket di lapangan. Helena dan Viona, melihat gelagat aneh sahabatnya itu langsung menegurnya.
"Sekar, lo kenapa?" tanya Viona langsung.
"Sebentar," ucap Helena sambil memainkan dadu di tangannya.
"Biar aku terawang. Oh, roh leluhur beritahukan aku apa...." belum selesai ia merapal mantranya, Viona sudah lebih memotong ucapannya Helena itu.
"Hel, lo jangan aneh-aneh deh. Ini kita lagi di lapangan," kesal Viona ketika sahabatnya itu lagi-lagi bertingkah aneh.
"Lah, lo napa? Nggak percaya ama leluhur gue! Gue kasih tahu, ya. Leluhur gue itu sakti mandraguna di era-nya. Jadi, lo jangan macam-macam. Gini-gini gue salah satu keturunannya!" marah Helena.
"Whatever-lah. Lo kalau lagi kumat, nggak ada obatnya!" cibir Viona.
"Lo, ya. Lama-lama gue santet juga!" balas Helena tidak mengalah.
Sekar yang lagi pusing dan mendengar pertengkaran sahabarnya itu, semakin membuat dia merasa kacau.
"Duh, kalian berdua. Bukannya bikin gue tenang, malah makin bikin gue sakit kepala. Diam, napa!" marah Sekar melerai pertikaian antara kedua sahabatnya itu.
Keduanya langsung diam tak bersuara kecuali hanya tatapan tajam yang mereka saling lemparkan.
"Oke, oke. Sorry, Sekar. Memang lo kenapa sih? Sedari tadi, gue perhatikan lo kaya nggak senang gitu?" tanya Viona.
"Heem, bahkan lo nggak fokus ketika Si Tomy lagi main basket. Biasanya lo, nggak bisa lepas dari bayang-bayang dia," ucap Helena setengah menyindir.
"Gue...." ucap Sekar tidak jadi ketika ia melihat Samuel dari kejauhan masuk ke dalam perpustakaan sekolah.
"Lo, kenapa?" desak Helena.
"Nanti gue jelasin, sekarang gue mau pergi dulu," ucap Sekar yang langsung beranjak pergi meninggalkan kedua sahabatnya itu.
"Eh, lo mau kemana?" tanya Viona sebelum Sekar pergi jauh.
"Hooh, ini pertandingan basketnya belum selesai loh," sahut Helena.
"Udah kalian aja. Gue ada urusan, bye."
Mereka berdua saling bertukar pandang dengan bingung saat melihat Sekar pergi menjauh dari mereka.
"Dia, kenapa?" tanya Helena pada Viona.
"Entah. Dari tadi pagi tingkahnya aneh aja aku tengok," jawab Viona sambil menggelengkan kepalanya.
Mereka berdua kembali menonton pertandingan bola basket itu. Bahkan tak ada yang menyadari kalau ada sepasang mata memperhatikan kepergian Sekar dari area bangku penonton.
'Dia pergi!'batin seseorang.
***
Sekar berjalan cukup cepat, bahkan langkah kakinya itu bisa mengalahkan kecepatan kuda dalam berlari. Ia segera menuju perpustakaan tempat Si Culun Samuel masuk.
Ia segera mengedarkan pandangannya untuk mencari siluet Samuel dan berhasil. Ia menemukan Samuel tengah duduk di sudut ruangan bersama dengan temannya.
Dengan langkah cepat dan terburu-buru, Sekar menghampiri Samuel.
"Samuel!" teriaknya.
Sampai semua mata tertuju kepada Sekar dan Samuel.
"Dia kenapa, Samuel? Kamu buat salah sama dia?" tanya Arko.
Samuel tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu, sampai akhirnya Sekar berdiri tepat di depannya. Dengan begitu berani, Sekar berdiri di depan Samuel sambil menarik dasi sekolahnya.
"Samuel, lo!" ucap Sekar tertahan ketika menyadari banyak mata memperhatikan dirinya.
Sekar, sebaiknya kita bicara di tempat lain. Di sini sedikit kurang pantas!" pinta Samuel yang membuat Sekar langsung melepaskan tangannya dari dasi milik Samuel.
"Oke. Gue tunggu lo di halaman belakang sekolah!" setelah itu Sekar segera keluar dari perpustakaan dan diikuti oleh Samuel dari belakang.
Mereka berdua berjalan beriringan sampai akhirnya mereka tiba di halaman belakang sekolah. Sekar menoleh ke belakang sambil membalik badannya, ia menatap tajam ke arah Samuel yang hanya diam di belakangnya.
"Kamu ingin bicara apa?" tanya Samuel lebih dulu.
Sekar langsung berjalan mendekati Samuel sampai kaki Samuel teratuk tembok dinding sekolah. Ia menatap Sekar yang begitu dekat dengannya, bahkan jarak mereka tidak sampai 5cm.
"Sekar, ka-kamu mau apa?" tanya Samuel dengan gugup.
Sekar meletakkan sebelah tangannya di sebelah sisi Samuel membuat jantung Samuel tidak berhenti berdetak kencang. Bahkan rasanya sulit sekali untuk Samuel melarikan diri dengan punggung yang menempel ketat pada tembok.
Sekar menatap tajam pria yang berada di depannya, sampai-sampai Samuel rasanya kesulitan bernafas saat ini, "Lo, tanya gue maunya apa? Gue mau lo batalin pernikahan kita. Lo tahu -kan, lo bukanlah tipe gue. And, gue harap lo jauh-jauh dari hidup gue."
Samuel yang ditekan segera membetulkan posisi tubuhnya. Ia menegakkan badannya agar sejajar dengan Sekar. Ia menatap Sekar yang sedari tadi mengintimidasi dirinya.
"Kamu tahu, pernikahan ini juga bukanlah mauku. Ini adalah keinginan orang tua kita," ujar Samuel.
"Ya, bagus kalau begitu. Lo batalin sekarang! Dan, masalah kita kelar."
"Tidak semudah itu, Sekar. Jika kita melakukan penolakan lebih dulu, aku yakin mereka tidak akan mendengarkan kita. Sebaiknya, kita jalani dulu. Setelah beberapa waktu berlalu, baru kita beritahukan pada mereka kalau di antar kita sama sekali tidak ada kecocokan. Bagaimana?" ujar Samuel yang terdengar seperti tawar-menawar.
Sekar terdiam sambil berfikir. Apa yang dikatakan oleh Samuel ada benarnya juga.
"Baik, gue setuju ama rencana lo. Tapi awas kalau lo berpikiran macam-macam ama gue. Aku patahin nanti punya lo!" ancam Sekar yang terdengar sarkas.
Setelah itu ia segera pergi meninggalkan Samuel yang masih berdiri di tempatnya sambil memandang kepergian Sekar dari belakang.
'Gadis ini cukup pemarah. Aku harus banyak bersabar dengannya, 'batin Samuel.
Pria itu segera kembali masuk ke dalam perpustakaan dan mengambil barangnya yang ketinggalan, karna tidak lama dari itu bel masuk-pun berbunyi.
Di dalam kelas, Samuel duduk di kursinya bersama dengan temannya Arko. Samuel sibuk membaca bukunya sambil menunggu kedatangan guru masuk ke dalam kelasnya. Sementara Sekar, ia terlihat sibuk menatap ke arah Samuel sambil bertopang dagu. Dia menatap Samuel dengan tajam, bahkan tatapannya itu terasa lebih tajam dari pedangnya seorang samurai.
"Eh, Sekar. Lo ngelihatin apaan?" tanya Viona yang duduk di samping Sekar.
Sementara Helena yang duduk di belakang mereka, ikut-ikut melihat ke arah mana mata Sekar memandang.
"Lo, nggak sedang memperhatikan Si Culun itu, -kan?" kali ini Helena yang bertanya.
"Bentar-bentar. Gue nggak percaya ini. Gue harus bertanya ama leluhur gue dulu," celetuk Helena lagi yang membuat Viona memutar bola matanya.
"Lo ama leluhur lo sama-sama bikin sakit kepala," sewot Viona.
"Napa sih, lo. Nggak percaya banget ama leluhur gue. Asal lo tahu ya...." ucap Helena terputus ketika Viona langsung menyahut.
"Leluhur gue itu sakti mandraguna," sahut Viona dengan nada mengejek.
"Lo, ya. Lama-lama gue santet juga!" ancam Helena sambil berdesis.
Di tengah keributan mereka, tiba-tiba Guru masuk ke dalam kelas sambil membawa buku di tangannya.
"Anak-anak, hari ini kita ulangan!" ucap Guru itu membuat semua murid kaget kecuali Arko dan Samuel.
"What! Apa! Tidak bisa begitu dong, Pak. Masa tiba-tiba udah ulangan aja," protes Viona lebih dulu.
Hooh. Bahkan leluhur saya nggak bisa prediksikan hal itu, Pak." Helena ikut-ikutan menimpali.
Sementara Sekar ia hanya diam ketika dua sahabatnya itu sudah lebih dulu berkomentar menyuarakan suara hatinya.
"Tidak ada tapi-tapian. Hari ini kita ulangan!" tegas Pak Guru pada murid-muridnya.
Dengan sangat terpaksa semuanya menerima meskipun dalam hati rasanya sangat ingin menolaknya. Selama ulangan, baik Viona dan Sekar terlihat begitu gelisah berbanding terbalik dengan temannya Helena yang terlihat tenang sambil komat-kamit.
"Oh, leluhurku. Tunjukan jawaban yang benar kepadaku," ucap Helena dengan suara yang pelan sambil melempar dadu keramatnya.
Ia tersenyum ketika mendapat jawaban untuk pertanyaan, dan ia langsung mencentang jawabannya di buku soal miliknya. Viona yang merasa Helena sedikit tenang segera melirik sedikit ke arah belakang, dan ia melihat apa yang dikerjakan oleh Helena di belakangnya. Viona hanya mendesis tertahan untuk meredam emosinya ketika mengetahui apa yang dilakukan oleh Helena.
"Lo, agak-agak gila ya. Masa iya, kamu bawa-bawa leluhur lo itu buat jawab ulangan kaya gini," desis Viona.
Sekar segera menoleh ke belakang.
"Memangnya, jawabannya bisa diandalkan?" tanya Sekar pelan.
"Yah, daripada nggak ada jawaban. Mending gue minta bantuan leluhur gue buat bantuin," jawab Helena cuek.
"Kalau gue nyontek ama lo, sama aja gue gilanya kaya lo. Mending gue jawab asal daripada percaya leluhur lo itu!" hina Viona.
"Idih, hati-hati kualat lo. Moga aja lo dapet nilai rendah!" sumpah Helena.
"Biarin," ledek Viona.
Mendengar keributan dari arah tempat Sekar duduk, Pak Guru segera menegur mereka dari kursi tempat duduknya.
"Helena, Sekar, Viona. Jangan ribut!" tegur Pak Guru Irwan pada mereka.
"Lo sih, Vion!" cibir Helena dengan wajah
kesal.
"Lah, kok gue. Lo sendiri yang ribut," balas Viona tidak terima.
"Udah, udah. Jangan ribut! Kalian mau kita kena hukum? Udah diem!" perintah Sekar kepada kedua sahabatnya itu.
Sementara itu di tempat lain, Arko dan Samuel terlihat tenang mengisi jawaban soal mereka. Tidak seperti di tempat Sekar yang terlihat cukup heboh.
Tidak beberapa lama kemudian, bunyi bel berbunyi. Tanda bahwa pelajaran telah usai, dan sudah saatnya untuk beristirahat.
Helena, Viona, dan Sekar segera keluar kelas dan menuju kantin. Sembari menunggu makanan mereka, Sekar terlihat melamun berbeda dengan dua sahabatnya yang sibuk beradu argumen.
"Eh, ayo taruhan. Kira-kira diantara kita siapa dapat nilai tertinggi. Gue yakin, nilai gue paling tinggi," ucap Helena dengan bangganya.
"Idih, yakin banget lo. Memangnya dari mana lo dapet kepercayaan diri seperti itu, hah?" tanya Viona.
Helena membusung sambil menepuk bagian tengah antara hati dan jantungnya.
"Tentu dari leluhur gue. Gue yakin 100% kalau nilai gue kali ini pasti tinggi," ucap Helena dengan sombongnya.
"Heleh, paling juga lo dapet nilai terbawah," ucap Viona tidak mengenakan hati.
"Kita lihat aja besok, pasti nilai gue tinggi !" ucap Helena masih dengan sombongnya.
Setelah sekian lama beradu argumen, Helena baru menyadari kalau Sekar seharian ini terlihat begitu pendiam. Bahkan Sekar yang sekarang ini, seperti bukan Sekar yang biasanya.
Helena segera menyenggol Viona yang berada di sebelahnya, "Apaan sih, senggol-senggol!" ucap Viona kesal.
Helena segera mengerucutkan bibirnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Sekar.
"Kenapa tuh teman lo, seharian ini gue perhatikan agak lain?" bisik Helena di kuping Viona.
"Yah, mana gue tahu. Memang gue Emaknya? Coba lo tanya sendiri dia kenapa?" sewot Viona.
Mendengar jawaban Viona yang seperti itu membuat Helena langsung mendesis. Ia memperhatikan Sekar cukup lama sampai akhirnya ia-pun membuka suaranya.